Pengertian Sekolah Praktek Pekerjaan Sosial Dengan Anak Dalam Penanganan Anak Putus Sekolah

20

2.4 Pengertian Sekolah

Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatan yang ada menurut kamus besar bahasa indonesia. Suatu sekolah dikatakan baik apabila penampilan sarana dan prasarana sekolah tersebut mencukupi, terutama sarana praktek. Dan infrastruktur yang baik adalah sarana dan prasarana yang berjalan sesuai fungsinya Azahari. 2002. Menurut sulastiyono 1999, yang dimaksud fasilitas adalah penyediaan perlengkapan- perlengkapan fisik untuk memberikan kemudahan kepada para pemakai dalam melaksanakan aktivitas-aktivitasnya, sehingga segala kebutuhan dapat terpenuhi. Fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh lembaga pendidikan seperti sekolah, sebaiknya merupakan fasilitas yang dapat menunjang kegiatan belajar-mengajar agar dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal. Jenis-jenis fasilitas itu antara lain dapat berupa perpustakaan, laboratorium, pusat komputer dan internet, program pendidikan bahasa, dan sebagainya.

2.5 Pengertian Anak Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan persoalan yang dihadapi oleh semua negara miskin. Putus sekolah atau drop out berarti ketidakmampuan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Semakin tinggi angka putus sekolah mengindikasikan semakin rendahnya mutu atau kualitas pendidikan di negara yang bersangkutan. Angka putus sekolah atau drop out yang tinggi mempersulit peluang anak-anak untuk menempuh SD atau SLTP hingga selesai dan kemudian melanjutkan pada jenjang berikutnya. Artinya anak yang mengalami putus sekolah sulit untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 21 ”Putus sekolah, dalam bahasa Inggris dikenal dengan Drop Out adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Drop out perlu dicegah karena hal ini dipandang sebagai pemborosan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan sebelumnya. Banyaknya peserta didik drop out adalah indikasi rendahnya produktivitas pendidikan” Imron, 2004:33. Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak – hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Undang – Undang nomor 4 tahun 1979, anak terlantar diartikan sebagai anak yang orang tuanya karena suatu sebab, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak sehingga anak menjadi terlantar. Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat, mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Anak putus sekolah drop out adalah anak yang karena suatu hal tidak mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah secara formal Depag RI, 2003:4. Menurut Djumhur dan Surya 1975: 179 jenis putus sekolah dapat dikelompokkan atas tiga yaitu: 1. Putus sekolah atau berhenti dalam jenjang. Putus sekolah dalam jenjang ini yaitu seorang murid atau siswa yang berhenti sekolah tapi masih dalam jenjang tertentu. Contohnya seoarang siswa yang putus sekolah sebelum menamatkan sekolahnya pada tingkat SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. 22 2. Putus sekolah di ujung jenjang. Putus sekolah di ujung jenjang artinya mereka yang tidak sempat menamatkan pelajaran sekolah tertentu. Dengan kata lain mereka berhenti pada tingkatan akhir dalam dalam tingkatan sekolah tertentu. Contohnya, mereka yang sudah duduk di bangku kelas VI SD, kelas III SLTP, kelas III SLTA dan sebagainya tanpa memperoleh ijazah. 3. Putus sekolah atau berhenti antara jenjang. Putus sekolah yang dimaksud dengan berhenti antara jenjang yaitu tidak melanjutkan pelajaran ketingkat yang lebih tinggi. Contohnya, seorang yang telah menamatkan pendidikannya di tingkatan SD tetapi tidak bisa melanjutkan pelajaran ketingkat yang lebih tinggi. Putus sekolah secara umum dapat diartikan sebagai oranganak yang keluar dalam suatu sistem pendidikan sebelum mereka menamatkan pendidikan sesuai dengan jenjang waktu sistem persekolahan yang diikuti. Dengan demikian putus sekolah dapat pula diartikan tidak tamatgagal dalam belajar ketingkat lanjut. Dan biasanya orang yang gagaldalam suatu proses kegiatan pendidikan yang terkait dengan tingkat jenjang maupun waktu belajar sebagaimana telah ditetapkan dapat di kategorikan sebagai orang yang gagal dalam pendidikan ataupun putus sekolah. Menurut Gubali 1982 ;76 putus sekolah terjadi karena dua bentuk kemungkinan yaitu: 1 Mengundurkan diri sekolah sebelum menamatkan pelajaran, dan 2 Gagal dalam menempuh ujian akhir. Jadi, anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak berhenti atau tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat lebih tinggi karena berbagai macam alasan. Putus sekolah bisa juga disebabkan oleh dikeluarkannya Droup out seorang anak dari lembaga pendidikan karena anak tersebut mendapatkan masalah di sekolahnya. 23

2.5.1 Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu : 1 Kondisi ekonomi keluarga Latar belakang sosial ekonomi keluarga siswa perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Perhatian terutama diberikan pada anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang menguntungkan misalnya kemiskinan. Beberapa indikator latar belakang sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Supriadi 1997:33 adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan orang tua 2. Pekerjaan orang tua 3. Penghasilan orang tua 4. Tempat tinggal Selain indikator diatas, menurut kriteria Herbert Sorenson Nasution,2004:25 ‘tingkat status sosial ekonomi dilihat dari pekerjaan orang tua, penghasilan dan kekayaan tingkat pendidikan orang tua, keadaan rumah dan lokasi, pergaulan dan aktivitas sosial’ Peran status ekonomi terhadap putus sekolah Status atau keadaan ekonomi sebuah keluarga adalah faktor eksternal yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya pendidikan seseorang. Namun meskipun faktor eksternal, bukan berarti tidak berpengaruh. Status ekonomi yang dimiliki oleh keluarga sangat besar pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung. Telah banyak penelitian yang berhasil mengungkap besarnya pengaruh kondisi ekonomi keluarga terhadap kemampuan untuk menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. 24 Anak usia sekolah selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya kebutuhan untuk makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain, juga membutuhkan berbagai fasilitas belajar. Sedangkan fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. Tingginya angka putus sekolah tidak dapat dipungkiri berawal dari ketidakmampuan ekonomi keluarga. Meskipun anak dan orang tua memiliki keinginan yang sangat besar untuk tetap bersekolah hingga selesai, tetapi kenyataannya mereka hidup serba kekurangan maka tidak ada pilihan lain selain berhenti dari lembaga persekolahan. Bagi masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, jangankan menyisishkan pendapatannya untuk biaya sekolah, untuk kebutuhan pokok pun sering kali kekurangan. Kemiskinan menurut BPS adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Di negara berkembang, kemiskinan sering kali mempengaruhi penduduk di pedesaan dimana pengeluaran pemerintah daerah cenderung lebih rendah dari pada perkotaan. Kemiskinan sebagai gejala sosial lebih banyak berkaitan dengan sikap hidup penduduk miskin yang tidak punya keinginan untuk maju dan berusaha memperbaiki taraf kehidupan. Kemiskinan akan mempengaruhi kesempatan seseorang untuk memperoleh pendidikan. 2 Pengaruh teman yang sudah tidak sekolah 3 Sering membolos 4 Kurangnya minat untuk meraih pendidikan mengenyam pendidikan dari anak itu sendiri 25

2.5.2 Kondisi-Kondisi yang Berhubungan dengan Putus Sekolah

1 Kondisi Sosial Orang Tua Kondisi sosial orang tua yang menyebabkan angka putus sekolah meliputi tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Latar pendidikan orang tua yang berhasil dihimpun oleh peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dari anak yang mengalami putus sekolah latar pendidikannya masih rendah. Kurangnya pengetahuan dapat menyebabkan kurangnya bimbingan yang diberikan orangtua untuk anaknya, sehingga akan berpengaruh pada kualitas pendidikan anak itu sendiri. Meskipun latar pendidikannya rendah, semua orang tua tetap memberikan motivasi agar anaknya tetap melanjutkan sekolah. Alasan yang diungkap antara lain, karena perkembangan jaman sehingga muncul arus globalisasi yang menuntut seseorang untuk meningkatkan kualitas seorang individu. Alasan lainnya yaitu karena pengalaman orang tua yang berpendidikan rendah, sehingga orang tua tidak menginginkan anaknya mengalami hal yang sama. Alasan untuk orang tua yang berpendidikan SMA, adalah orang tua tidak ingin anaknya berpendidikan lebih rendah dari pada orang tuanya, sehingga pendidikan anak harus lebih tinggi atau sama. Jenis pekerjaan orang tua dari anak yang mengalami putus sekolah kebanyakan adalah menciptakan usaha sendiri atau wiraswasta. Tetapi ada juga yang menjadi pegawai di pabrik. Jenis pekerjaan ini berkaitan erat dengan pendidikan yang ditamatkan. Jika pendidikan rendah, maka akan memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian khusus. 2 Kondisi Ekonomi Orang Tua Kondisi ekonomi orang tua yang menyebabkan angka putus sekolah meliputi tingkat pendapatan dan beban tanggungan keluarga. Tingkat pendapatan berkaitan juga 26 dengan jenis pekerjaan. Sebagian dari orang tua anak yang putus sekolah adalah seorang wiraswasta, sehingga pandapatan mereka juga tidak dapat dipastikan. 3 Kondisi Psikologis Anak Kondisi psikologis yang paling mempengaruhi adalah motivasi. Motivasi berpengaruh penting pada keputusan seseorang untuk melanjutkan sekolah atau tidak. Meski semua orang tua telah memberi motivasi pada anak-anaknya, tetapi keputusan ini bergantung pada anak itu sendiri. Dari penyebab awal yaitu rasa malas, maka berkembang menjadi sering membolos. Sehingga pihak sekolah terpaksa mengembalikan ke orang tua.

2.5.3 Karakteristik Siswa Putus Sekolah

Penelitian awal berfokus pada karakteristik individual siswa yang putus sekolah, termasuk sejumlah faktor demografi dan sosial seperti status sosial ekonomi, ras dan etnis, jenis kelamin, dan status cacat. Hidup dalam kemiskinan, saat sedang sekolah di SD, SMP dan SMA adalah salah satu dari beberapa faktor yang secara signifikan berkorelasi dengan dropout. Siswa berusia 16 sampai 24 dari latar belakang sosial ekonomi tingkat atas tujuh kali lebih mungkin untuk lulus daripada yang dari kuartil sosial ekonomi terendah. Meskipun karakteristik demografi terkait dengan kelurga yang dropout tidak bisa diubah oleh sekolah, indikator ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok siswa yang mungkin beresiko untuk dropout dan yang mungkin mendapatkan manfaat dari layanan yang ditargetkan untuk meningkatkan tingkat kelulusan Hammond et al. 2007. Sementara studi awal difokuskan pada karakteristik individu dan kondisi yang dapat digunakan untuk memprediksi mana siswa yang akan dropout, penelitian telah diperluas untuk menyelidiki faktor tambahan berbasis rumah, masyarakat, dan sekolah, 27 yang sering mempengaruhi tingkat kelulusan. Faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh upaya intervensi. Prestasi akademik siswa yang rendah, siswa yang mengulang atau kelebihan usia, dan sering membolos, secara signifikan terkait dengan dropout, baik di SD, SMP, dan SMA. Faktor-faktor ini mudah diidentifikasi dan mungkin menjadi sasaran upaya pencegahan dropout. Pengalaman siswa terkena dampak sekolah, apakah mereka akan lulus dari SMA, kinerja akademik dan keterlibatan mereka di sekolah, merupakan indikator utama peluang dropout. Kinerja akademis yang buruk, yang diukur dengan nilai rendah, gagal kursus, atau nilai tes rendah, merupakan salah satu indikator dropout. Sejumlah penelitian juga menemukan kombinasi, antara kegagalan dalam pelajaran inti dalam kelas, kehadiran yang buruk, dan pernah mendapat peringatan buruk dari para guru, berhubungan dengan dropout. Siswa juga dapat secara psikologis melepaskan diri dari sekolah, tidak berharap untuk lulus, dan tidak memiliki rencana akademik untuk lulus SMA. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas dapat menunjukkan proses pelepasan siswa. Perilaku yang mengganggu pengajaran dan pembelajaran siswa dapat mencakup tindakan impulsif, menentang otoritas, berdebat dengan teman sebaya, dan atau melanggar peraturan sekolah. Siswa yang menunjukkan perilaku mengganggu di ruang kelas mengalami kesulitan baik akademik dan psikososial dan bisa menghambat pelajaran di sekolah. Meningkatnya perilaku yang tidak patut di ruang kelas, menyebabkan bertambah ketatnya tata tertib dan dan menurunkan prestasi akademik. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas dan kenakalan, terutama ketika kegiatan tersebut dimulai di kelas SD. Pelanggaran disiplin di sekolah dasar, SMP, dan SMA juga berhubungan dengan dropout, karena memiliki perilaku antisosial termasuk mendapatkan masalah dengan polisi, tindak kekerasan, dan penyalahgunaan obat-obatan. Bahkan setelah mengontrol 28 karakteristik demografi siswa dan prestasi akademik, Rumberger 2004 menemukan bahwa kurangnya keterlibatan siswa di sekolah secara signifikan berhubungan dengan dropout. Hasil penelitian menunjukkan retensi tidak memiliki efek positif pada prestasi siswa dan siswa yang ditunda, secara signifikan lebih mungkin mengalami masalah disiplin dan dropout. Alexander, Entwistle dan Horsey 1997 melaporkan bahwa 63 siswa sekolah menengah dan 64 siswa SD yang ditunda kenaikannya, kemudian gagal mendapatkan ijazah SMA.

2.6 Praktek Pekerjaan Sosial Dengan Anak Dalam Penanganan Anak Putus Sekolah

Persoalan putus sekolah merupakan tantangan bagi pekerja sosial. Data dari susenas menyebutkan ratusan ribu pelajar terancam putus sekolah, mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial keluar dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Dua solusi untuk menolong anak putus sekolah yang tidak mampu yang baik adalah: 1. Membangun sekolah rakyat yang baik diperuntukkan bagi anak terlantar dan tidak mampu. Tidak dipungut biaya apa pun dikarenakan ketidaksanggupan membiayainya karena kemiskinan di mana pendirian sekolah tersebut seluruhnya ditanggung pemerintah setempat. Pemerintah setempat memiliki kewajiban melindungi dengan sikap tegas. Sekolah rakyat tersebut disetarakan dengan SD, SMP, SMA. 2. Jika negara dan pemerintah setempat tidak sanggup membiayai pembangunan sekolah bahkan yang sederhana sekali pun, kita, terutama warga negara yang memiliki penghasilan besar seharusnya memberikan perhatiannya kepada anak miskin yang putus sekolah. 29 Menurut UU Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009 Pasal 8 menegaskan bahwa, masyarakat mempunyai peranan untuk membantu pemerintah. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan usaha kesejahteraan sosial selaras dengan garis kebijaksanaan dan ketentuan pemerintah. Oleh Walter A. Friedlander, mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial dari pada masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah sosial sehingga lembaga-lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja, dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai. Berikut ini beberapa defenisi yang menjelaskan arti kesejahteraan sosial. W.A Fridlander mendefenisikan : “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usaha-usaha dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara penuh untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan- kebutuhan keluarga dan masyarakat” Muhaidin, 1984: 1-2 Defenisi di atas menjelaskan : 1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial. 2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. 30 3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara, meningkatkan “kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam Kamus Ilmu Kesejahteraan Sosial disebutkan pula : “Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan sejahtera yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial tertentu saja. Bonnum Commune atau kesejahteraan sosial adalah kesejahteraan yang menyangkut keseluruhan syarat, sosial yang memungkinkan dan mempermudah manusia dalam memperkembangkan kepribadianya secara sempurna” Suparlan, 1989: 53. Sementara itu Skidmore, sebagaimana dikutip oleh Drs. Budie Wibawa, menuturkan : “Kesejahteraan Sosial dalam arti luas meliputi keadaan yang baik untuk kepentingan orang banyak yang mencukupi kebutuhan fisik, mental, emosional, dan ekonominya”Wibawa, 1982: 13.

2.7 Upaya yang dilakukan lembaga pendidikanpemerintah dalam mencegah terjadinya anak putus sekolah