Abu Bakar Ba’asyir
mereka yang ditangkap oleh aparat keaamanan. Ba‟asyir dan Sungkar merupakan bagian dari sekitar 700 orang yang dianggap bagian dari kelompok Komando Jihad
yang berhasil diringkus. Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar dikenai dakwaan telah melanggar
UU No. 11PNPS1963, yakni dakwaan yang umumnya ditujukan pada mereka yang dituduh sebagai anggota komplotan Anggota Jihad KOMJI, yaitu menentang
pemerintah dan ingin mengganti dasar Negara Pancasila. Persidangan itu mulai digelar setelah Ba‟asyir meringkuk di penjara selama kurang lebih empat tahun sejak
1978. Dari tuntutan 12 tahun yang diajukan, akhirnya Abu Bakar Ba‟asyir dan
Abdullah Sungkar divonis 4 tahun lebih ringan, yakni 9 tahun penjara potong masa tahanan. Menjelang putusan dijatuhkan, majelis hakim menyatakan kesepakatannya
dengan jaksa penuntut umum mengenai latar belakang kegiatan terdakwa Ba‟asyir dan Sungkar, yang menginginkan untuk membangun masyarakat yang berbeda dari
yang telah digariskan dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu ingin membentuk Negara Islam Indonesia NII. Setelah naik banding, akhirnya vonis yang dijatuhkan menjadi
lebih ringan, yakni 4 tahun penjara.
60
Selepas masa tah anan yang dijalaninya sejak 1978, Ba‟asyir tinggal di
Malaysia. Ia ditahan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad dan akan mendirikan Negara Islam Indonesia. April 1982, Pengadilan Negeri Sukoharjo menvonis Abu
Bakar Ba‟asyir dengan hukuman Sembilan tahun penjara, ia naik banding, Majelis
60
M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 212.
hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah pada Agustus 1982 memperingan hukumannya menjadi tiga tahun 10 bulan penjara. Mahkamah Agung kemudian
mengeluarkan penetapan Abu Bakar Ba‟asyir sebagai tahanan luar, karena masa tahanannya sudah melebihi vonis. Kemudian pihak Jaksa naik kasasi, saat menunggu
proses kasasi ini, Ba‟asyir menghilang bersama Sungkar seniornya yang terlibat perkara yang sama. “Saya dan Pak Abdullah Sungkar dikejar-kejar Benny Moerdani,”
katanya menyebut nama Pa nglima ABRI kala itu. “Kami menjadi target operasinya,
karena itu kami lari ke Malaysia,” Ujarnya.
61
Abu Bakar Ba‟asyir pulang ke Indonesia pada tahun 1999, “Setelah Soeharto dijatuhkan Allah,” katanya. Tapi
belakangan justru pemerintah Malaysia mengincarnya. Ia dianggap buron karena diduga terlibat kumpulan Mujahidin Malaysia yang dianggap subversif di sana.
3.
Abdullah Sungkar
Abdullah Sungkar nama aslinya adalah Abdullah bin Ahmad bin Ali Sungkar, lahir di Surakarta pada tahun 1937. Bapaknya bernama Ahmad Sungkar merupakan
imigran dari Hadramaut, sebelum kepindahanya ke Indonesia ia pernah menikah dengan wanita arab dan sempat dikaruniai seorang anak. Setelah berada di Indonesia,
Ahmad Sungkar menikah dengan seorang wanita Jawa asal Jombang. Dari pernikahan inilah lahir Abdullah Sungkar, Abdullah Sungkar merupakan anak
tunggal dari pasangan Arab-Jawa tersebut, karena itulah Sungkar di Indonesia tidak memiliki saudara, akan tetapi di Arab Saudi ia memiliki saudara seayah.
61
GATRA, 1 September 2010.
Dari segi ekonomi orang tuanya hidup dalam kesederhanaan, tetapi aspek pendidikan agama sangat diperhatikan. Abdullah Sungkar kecil sangat beruntung,
karena selain tinggal di lingkungan religius kampung Arab, orang tuanya sangat menekankan masalah agama. Itulah sebabnya Abdullah Sungkar belajar formal mulai
Taman Kanak-Kanak sampai SLTA selalu di lembaga pendidikan Islam. TK dan SD sekolah di Al-Irsyad, SMP dilangsungkan di Modern Islamic School, adapun SMA di
Muhammadiyah. Satau kelebihan yang dimiliki Abdullah Sungkar adalah, ia sangat cerdas dan
tekun dalam belajar. Dengan kelebihan itu, Abdullah Sungkar dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan sangat baik. Karenanya walaupun setelah SMA tidak
sempat melanjutkan ke perguruan tinggi, Abdullah Sungkar dapat belajar agama secara otodidak.
Sungkar menghabiskan masa mudanya dalam aktifitas gerakan kepemudaan. Untuk itu ia mulai menempa diri pada organisasi kepemudaan. Pertama-pertama
bergabung dengan Kepanduan Al-Irsyad, kemudian Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII. Sedang dalam politik praktis Abdullah Sungkar menjadi anggota partai
Masyumi. Untuk memperluas jangkauan dakwahnya, tahun 1969 Abdullah Sungkar
bersama kawan-kawannya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Radis di jalan Gading Solo. Abdullah Sungkar juga memiliki forum pengajian yang dilaksanakan di
Masjid Agung Solo. Bermula dari kuliah Dhuhur di serambi Masjid itulah, di tahun 1971 Abdullah Sungkar bersama lima kawannya sepakat mendirikan pondok
pesantren Al Mukmin yang lebih dikenal dengan Pondok Ngruki. Pondok ini
merupakan salah satu wadah pengkaderan generasi muda Islam. Pesantren al Mukmin Ngruki ini juga merupakan basis koordinasi gerakan dakwah kalangan aktifis yang
kritis dan menonjol dalam menyuarakan semangat penegakan Islam maupun mengkritisi Hegemoni politik penguasa Orde Baru. Dengan arti lain pesantren Ngruki
akhirnya menjadi milik para pejuang dan aktifis dakwah Islam, yang tidak saja memiliki jaringan di Jawa Tengah, tetapi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan
Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1975, pemerintah menilai Radio Dakwah Islamiyah Radis
dianggap membahayakan negara dan dilarang oleh Laksusda Jawa Tengah. Sejak saat itu Abdullah Sungkar banyak menemui berbagai kesulitan dalam menjalankan
kehidupan normalnya, karena ia telah diposisikan sebagai musuh oleh rezim Orde Baru.
Karir Abdullah Sungkar sebagai Mubaligh Juru Dakwah justru meningkat, apalagi setelah Abdullah Sungkar diangkat sebagai Ketua Pembantu Perwakilan DDII
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Surakarta. Sejak itu berbagai kritikannya kepada rezim Orde Baru kian menjadi- jadi, dan tentu saja memerahkan telinga
penguasa. Hasilnya, Abdullah Sungkar berkali-kali keluar masuk penjara. Pada tahun 1977, selama satu bulan 12 Maret-29 April Abdullah Sungkar
ditahan Laksusda Jateng, karerna mensosialisasikan GOLPUT pada pemilu saat itu. Sejak 10 November 1978 hingga 3 April 1982 4 tahun, Abdullah Sungkar kembali
mendekam di tahanan Laksusda Jateng, dengan tuduhan merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah, melalui dakwah-dakwahnya yang tegas. Bahkan Abdullah
Sungkar pun dituduh hendak mendirikan Negara Islam melalui berbagai dakwahnya itu.
62
Keluar dari penjara bukannya berhenti melakukan dakwah yang menyinggung pemerintah, bahkan ia semakin keras dalam mengkritik penguasa orde baru, apalagi
tahun 1982-1985, ada dua peristiwa yang sangat menggetirkan umat Islam, yaitu pembantaian Umat Islam Tanjung Priok dan pengasastunggalan pancasila.
Memperhatikan sepak terjangnya, tahun 1985 di komplek pesantren Al Mukmin Ngruki Solo, di pagi buta puluhan tentara menggeledah rumah Abdullah
Sungkar dan lingkungan sekitar, akan tetapi tidak ditemukan orang yang dicari, sebab malam harinya Abdullah Sungkar telah meninggalkan rumah untuk kemudian Hijrah
ke Malaysia. Di negeri Jiran, Abdullah Sungkar berganti nama dengan Abdul Halim, ia tinggal di kampung Air Bong, Serting tengah, Batu ulin, Negeri Sembilan.
Di tempat persembunyianya ini, j iwa Abdullah Sungkar sebagai Da‟i selalu
terpanggil untuk menyiarkan agama, karena itu walaupun dihimbau oleh banyak orang untuk sementara menghentikan kegiatan dakwahnya demi keselamatan, tidak
dipedulikannya. Abdullah Sungkar bahkan sempat mendirikan pesantren yang diberi nama “Mahad Tarbiyah Islamiyah Lukman al Hakim” di Johor Malaysia.
Pelarian Abdullah Sungkar ke Malaysia ditemani oleh Abu bakar Ba‟asyir, pelarian ini dilakukan terpaksa untuk menghindari penangkapan kembali. Di
Malaysia dua pelarian politik itu mendapatkan tempat berlindung yang relatif aman. Para pelarian politik Islam dari Indonesia yang berhimpun di Negeri itu diberi
62
Heri Setiawan, “Mengenal Ustadz Abdullah Sungkar”, artikel diakses pada tanggal 09 Januari 2011 dari
http:risalahjihad.blogspot.com 20110901.
kesempatan untuk menyebarluaskan aktifitas dakwahnya, termasuk mendirikan dan mengelola pesantren. Tempat dimana Ba‟asyir dan Sungkar bermukim di Malaysia
itu, lama-kelamaan menjadi semacam kampus bagi berkumpulnya para aktivis Islam radikal, baik yang berasal dari orang-orang Indonesia yang berada di sana, maupun
warga Negara Malaysia. Lembaga pendidikan Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan Pondok Pesantren Lukmanul Hakim yang dikelolanya menjadi sarana indoktrinasi dan
kaderisasi. Namun
bersamaan dengan
dilangsungkannya operasi-operasi
“antiterorisme” yang digencarkan pemerintah Malaysia, pesantren itu ditutup karena dianggap menjadi sarana pendidikan dan kaderisasi kelompok Islam radikal.
63