Terbentuknya NII-DITII LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD:

melaksanakan disiplin partai, SI memberlakukan peraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Akhirnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI yang selanjutnya pada tahun 1930 SI mengganti nama menjadi PSII Partai Sarekat Islam Indonesia. Pada kongres berikutnya tahun 1931, Kartosoewirjo terpilih kembali untuk menduduki jabatan sekertaris umum partai. Keputusan ini memaksanya meniggalkan Malambong untuk kembali ke pusat. Perpecahan dalam tubuh PSII menyeruak, krisis yang tengah terjadi kian bertambah, ajang perebutan kekuasaan dalam tubuh partai meramaikan suasana PSII ketika H.O.S Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Pertentangan antara dua golongan kepemimpinan mewarnai gerak-gerik PSII: Dewan Eksekutif Ladjnah Tanfidzijah dibawah pimpinan adik H.O.S Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, berhadapan dengan Dewan Partai dibawah pimpinan H. Agus Salim. Keduanya tidak menemukan kesepakatan mengenai kebijakan politik non-kooperatif, kebijakan yang sekian lama menjadi basis perjuangan partai. 21 Sebagai solusi alternatif, pada tahun 1936 diadakanlah kongres partai ke-22 di Batavia yang bertujuan untuk memilih ketua partai. Akhirnya Abikoesno Tjokrosoejoso terpilih memangku jabatan tersebut dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Atas inisiatif Abikoesno muncullah kebijakan politik partai yang disebut “hijrah”, yang kemudian dikenal dengan politik hijrah PSII. Kemudian ia 21 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 20. menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun brosur lengkap tentang kebijakan tersebut. 22 Situasi dalam partai pada tahun-tahun berikutnya banyak berubah. Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai pimpinan partai yang semula gencar meneriakka politik hijrah, membela semangat non-kooperatif partai kini berbalik berhadapan dan bertentangan dengan Kartosoewirjo. Abikoesno beserta Dewan pimpinan yang lain berharap Kartosoewirjo mau bergabung bersama satuan organisasi Islam GAPI Gabungan Politik islam. Namun Kartosoewirjo menolaknya dan tetap pada prinsip awalnya yaitu politik hijrah. 23 Kongres PSII ke-22 bulan Juli 1936 menetapkan Abikusno sebagai ketua partai, ia memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Kartosoewirjo menjabat sebagai wakil ketua partai sampai ia keluar pada tahun 1939. 24 Kartosoewirjo terpaksa dikeluarkan dari partai dan disepakati dalam kongres partai ke-25 pada bulan Januari 1940 di Palembang, dengan 134 suara setuju dan 9 suara netral. Karena meyakini bahwa partainya adalah satu-satunya partai PSII yang benar, Kartosoewirjo mengubah Komite Pembela Kebenaran PSII KPK PSII menjadi sebuah partai yang berdiri sendiri. Ia bekerja sama dengan Jusuf Taudjiri dan Kamran dalam membentuk anggaran dasar dan peraturan-peraturan partainya. 25 Pada akhirnya 22 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, Darul Falah, Juni 1999, hal. 10. 23 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 21. 24 Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoewirjo : Proklamator Negara Islam Indonesia Yogyakarta: Wihdah Press, 1995, hal. 34. 25 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 22. Ia memutuskan untuk mengubah KPK PSII menjadi sebuah partai yang bermarkas di Malambong tetapi dengan tetap menggunakan haluan politik PSII. Dengan berniat meneruskan cita-citanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang Islami, Kartosoewirjo memimpin pergerakan KPK PSIInya yang kelak kemudian dikenal dengan sebutan Darul Islam. Sebagaimana C. Van Dijk menegaskan bahwa “PSII kedua sendiri merupakan titik mula bagi perekrutan kader untuk Darul Islam”. 26

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DITII

Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh sentral DITII, ia adalah tokoh ideologi DITII sekaligus sebagai proklamator berdirinya NII Negara Islam Indonesia. Ia lahir di Cepu sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. 27 Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga cukup berada, hal ini membuatnya mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas di masanya. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda dalam menangani urusan distribusi perdagangan candu. Saat berusia enam tahun Kartosoewirjo memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat, ia dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya. Pada jenjang berikutnya ia melanjutkan pendidikan di Hollandsch-Inlandsce School Sekolah 26 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 28. 27 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 14. Bumi Putera, ia meneruskan pendidikannya di Europesche Lagere School, keduanya termasuk sekolah elite bagi seorang putra pribumi pada saat itu. Pada masa pendidikannya Islam politik adalah salah satu hal yang menarik dan cukup menjadi topik perhatian bagi Kartosoewirjo. Meskipun pada dasarnya Ia lahir di tengah-tengah keluarga priyayi Jawa, yang kurang mengenal tradisi, kultur dan pendidikan Islam dan bahkan latar belakang pendidikannya sarat dengan gaya pendidikan modern ala Belanda di masa itu. Kartosoewirjo telah akrab dengan dunia aktifis dan politik praktis sejak masa mudanya. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena memiliki buku-buku yang berhubungan dengan sosialis dan komunisme, yang pada saat itu sangatlah tabu karena stigma negatif yang melekat pada dua ideologi tersebut. Banyak tokoh yang mempengaruhi Kartosoewirjo dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang membawanya pada realistis politik di pentas nasional melalui Sarikat Islam SI. Pengalaman- pengalamannya pun sangat mendukung untuk bisa menjadi seorang aktor intelektual di pentas pergerakan. Satu hal yang menarik, Kartosoewiryo tidak hanya seorang aktifis yang berada di lapangan dan mengendalikan massa dan kondisi akan tetapi ia juga seorang wartawan, redaktur harian Fadjar Asia, ia juga berjuang dengan pena, menerbitkan artikel-artikel propaganda yang mengkritik dan menentang bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Seorang dengan kapasitas sebagai aktifis sekaligus organisatoris, menggunakan senjata lembaga dan pena untuk melawan penjajah Belanda pada waktu itu.