Kemunculan Gerakan Komando Jihad KOMJI dan Dinamika Politik
Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru memerankan panggung
politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru.
Di awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik
dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan Orde Baru adalah suatu rekayasa politik politic enginering untuk memperlemah potensi politik umat
Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintah baru.
47
Naiknya rezim Orde Baru di panggung kekuasaan pasca-Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan
besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan Orde
Baru. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam ketika itu.
Sepeninggalan Kartosoewirjo terjadi perpecahan di tubuh Darul Islam, para penerus perjuangan Kartosoewirjo terlibat konflik internal yang mengakibatkan
pecahnya Darul Islam DI atau Negara Islam Indonesia NII. Pasca kematian Kartosoewirjo kepemimpinan DITII NII dipegang secara kolektif oleh Agus
Abdullah, Kahar Sholihat dan Djaja Sujadi dan pada tahun 1976 kepemimpinan DI- NII diserahkan kepada Daud Baureuh yang menjabat selama kurang lebih 2 tahun.
48
47
Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: TERAJU, 2002, hal. 29.
48
Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003, hal. 142.
Dalam perkembangannya DI terpecah menjadi beberapa faksi, pada priode tahun 1979-1994 Djaja Sujadi yang tadinya menjadi wakil Imam disingkirkan oleh
kelompok Adah Jaelani yang akhirnya membuat kelompok sendiri. Helmi Aminuddin bin Dani Muhammad Dahlan keluar dari Darul Islam dan membuat kelompok sendiri
yang bernama tarbiyah pada tahun 1984. NII terpecah belah menjadi kelompok- kelompok kecil yang saling mengklaim kebenaran kelompoknya dan menyalahkan
kelompok yang lain. Setelah operasi penangkapan terhadap para anggota DI-TII yang jumlahnya
cukup banyak, akhirnya pada Agustus 1962 pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada para aktifis DI yang jumlahnya mencapai ribuan,
termasuk, 32 petinggi NII DITII dari sayap militer. Dari 32 petinggi NII DITII yang telah menyerah kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian
besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya: “Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI
1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan
pikiran kami guna membantu Pemerintah RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.”
49
Setelah ikrar bersama yang dilakukan oleh para petinggi DI, gerakan Islam Radikal mengalami kevakuman dan jarang terdengar lagi, tetapi ada diantara petinggi
DI yang tidak mau melakukan ikrar dan mencoba bangkit kembali menperjuangkan
49
Heri Setiawan, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”, artikel diakses pada 18 Maret 2010 dari
http:www.Komando Jihad.com20101803.
cita-cita semula namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima
amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.
Dalam mengamankan kekuasaannya, pemerintah Indonesia cenderung mengembangkan stigma-stigma negatif terhadap kelompok yang dianggap menentang
dan berbahaya bagi kekuasaan. Orde Lama menyebut kelompok “kontra Revolusi” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah, Orde Baru
menyebut dengan istilah “Anti-Pancasila”, “PKI” dan “Anti-Pembangunan”. Orde Baru meluncurkan stigma
sisasi untuk membuat masyarakat ketakutan. “Komando Jihad” termasuk dianggap sebagai ekstrem kanan yang cenderung Islami dan
Komunis dianggap sebagai ekstrem kiri.
50
Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1976-1984 terjadi sejumlah aksi terror yang terkait dengan
dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai “Gerakan Komando Jihad”, menurut penjelasan pemerintah, tujuan kelompok ini adalah
membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia.
Ali Said, Jaksa Agung masa Orde Baru sempat menjelaskan tentang Gerakan KOMJI pada acara dengar pendapat dengan Komisi III DPR akhir Juni 1977,
“Komando Jihad semakin popular. Dalam kegiatan bawah tanahnya KOMJI terkadang bernama “Jihad Fisabilillah”, “Pasukan Jihad”, “Barisan Jihad Sabilillah”,
50
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, Jakarta: LIPI dan MIZAN, 2001, hal. 142.
dan sebagainya. Ali Said juga mengatakan bahwa otak, pencetus dan perencana gerakan KOMJI adalah para mantan anggota dan pimpinan DITII.”
51
Ali Said juga menjelaskan bahwa sesepuh “Komando Jihad” berada di Jawa Barat. Dia menjadi Panglima Komando Wilayah Komandemen I, selain di Jawa
Barat, sesepuh KOMJI juga ada di Jawa Tengah. Pada 1976, mereka menetapkan wakil Panglima Komando Wilayah Besar dan 20 Komando Wilayah karesidenan.
Pada Maret 1977, mereka membentuk “Pasukan Jemaah Jihad”. Program jangka pendek mereka adalah menggagalkan Pemilu 1977, menumbuhkan keresahan sosial
dan mengganggu umat beragama.
52
Ada semacam kekhawatiran pemerintah Orde Baru terhadap kelompok yang dianggap akan mendongkel kekuasaaan penguasa, segala hal yang mengganggu
stabilitas Orde Baru harus segera dimusnahkan karena stabilitas adalah titik pangkal untuk membangun Negara. Penguasa Orde Baru sengaja melindungi diri dari
kemungkinan adanya ancaman, militer sebagai alat penguasa ketika itu sangat berperan dalam menemukan dan membasmi kelompok-kelompok yang menjadi
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan atau yang terkenal dengan istilah ATHG.
Militer dengan cepat mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan system Orde Baru, beberapa kelompok yang muncul dengan mengatasnamakan semangat
keagamaan ada yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan system yang
51
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103.
52
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli, hal. 103.
telah dibangun. Militer kemudian melindas Komando Jihad yang dianggap salah satu dari kelompok itu. Pelindasan ini menyangkut pembatasan ruang gerak atau
penghilangan kemerdekaan kelompok tersebut. Pengungkapan Komando Jihad menjelang Pemilu 1977 menimbulkan dugaan
adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu. Ketika Sudomo menerangkan kepada tokoh-tokoh masyarakat tentang adanya kegiatan sekelompok
orang yang ingin mengubah dasar Negara Indonesia pada 2 Februari 1977, sejumlah tokoh masyarakat langsung mempertanyakan kebenaran kelompok Komando Jihad.
53