Penumpasan DITII LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD:

berarti sangat merepotkan operasi yang dilakukan pihak TNI. 39 Kartosoewirjo dan DITII-nya tetap dianggap sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. DITII ternyata berhasil memberikan pengaruh gerakan ideologi Islam, ini terbukti dengan adanya perluasan gerakan dan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah yang berhasil pula memproklamasikan berdirinya Negara Islam di bawah komando Amir Fatah pada akhir April 1949, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah komandan Kahar Muzakkar, Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1954 juga menjadi bagian dari NII dengan tokohnya bernama Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam yang hingga kini masih menjunjung Ideologi Islamnya juga ikut bergabung sekitar tahun 1953 dengan dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. Bagi pemerintah Republik gerakan-gerakan ini tidaklah lebih dari perbuatan maker, represif dan kudeta terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan harus segera diadakan perlawanan demi pencegahan terhadapnya. 40 Tidak ada kata lain dari Pemerintah dan Tentara Republik untuk mengadakan operasi demi operasi demi mewujudkan cita-cita pencegahan tersebut, meski harus berperang dengan pihak pasukan liar terutama Darul Islam yang sebenarnya adalah kawan sebangsa, setanah air bahkan pula seagama. Berbagai upaya dilakukan hingga pergantian cabinet demi tercapainya ketertiban kondisi dan situasi dari wilayah pemberontakan. 39 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92. 40 Lihat keputusan sidang perkara terhadap Kartosoewirjo yang dikutip dalam Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 208. Secara teknis terdapat kesulitan yang dirasakan dalam operasi karena rumit dan repotnya menjelajah lapangan tempat para gerilyawan pemberontak bermarkas dan bergerak, pada umumnya menggunakan sarana hutan, semak belukar maupun gunung dan perbukitan untuk dijadikan tempat persembunyian mereka kelak. 41 Diantara sekian banyak upaya yang dilakukan ialah melalui perundingan dengan pihak TII, perundingan yang sempat dilakukan oleh pihak pemerintah adalah pada masa kabinet Natsir. Pemerintah memberikan maklumat kepada pihak gerilyawan agar segera menghentikan pergerakan pemberontakannya, dan segera akan diberikan amnesty atau semacam ganti rugi dari pemerintah kepada mereka yang mau menyerahkan diri dan bergabung kembali menjadi anggota bangsa Republik. Akan tetapi para gerilyawan tidak menghiraukan seruan itu sehingga hal yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan. 42 Ketika perundingan demi perundingan yang diupayakan oleh pemerintah Republik mengalami kegagalan, maka dicari jalan lain di luar perundingan untuk segera membereskan masalah ini. Maka ditempuhlah jalan perang dengan cara militer yang sesungguhnya, dikenalah kebijakan doktrin “perang wilayah” dan Pangdam Siliwangi Ibrahin Adjie ditunjuk sebagai pelaksana dalam perang tersebut. 43 Pada tanggal 1 April 1962, pihak TNI mengadakan operasinya kembali yang diberi nama “Operasi Brata Yudha”. Peperangan yang berlangsung sampai pada tanggal 24 April 1962 tercatat sebagai peperangan hebat yang terjadi di daerah 41 Lebih jelas lihat C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. 42 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 100. 43 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. Bandung Selatan yang banyak meminta korban. Akhirnya pada bulan mei 1962 berapa rekan dekat seperjuangan Kartosoewirjo berhasil ditangkap dan menyerahkan diri, Toha Machfoed dan Moehamad Danoe. Mereka pun meminta kapada Kartosoewirjo dan rekan yang lain untuk segera menyerahkan diri kepada TNI. 44 Keadaan ini membuat pasukan DITII-NII merasa terdesak dan menganggap tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Pasukan TNI di bawah pimpinan Suhanda berhasil menemukan markas persembunyian pasukan DITII-NII pada tanggal 4 Juni 1962. Tepatnya di sekitar wilayah gunung Geber, Cicalengka Selatan, Bandung. Akhirnya Kartosoewirjo dapat ditemukan bersama rekan-rekan yang lain, ia berhasil ditangkap di usianya 59 tahun, ia tertangkap bersama istri dan Kurnia, pengawal pribadinya. 45 Setelah tertangkap Kartosoewirjo disidang selama tiga hari yang berakhir pada 16 Agustus 1962. Ia didakwa melakukan tindakan makar, pemberontakan dan diduga merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati oleh para regu tembak pemerintah Republik. 46

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad KOMJI dan Dinamika Politik

Orde Baru 44 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 201-202. 45 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205. 46 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 205. Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru. Di awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan Orde Baru adalah suatu rekayasa politik politic enginering untuk memperlemah potensi politik umat Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintah baru. 47 Naiknya rezim Orde Baru di panggung kekuasaan pasca-Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan Orde Baru. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam ketika itu. Sepeninggalan Kartosoewirjo terjadi perpecahan di tubuh Darul Islam, para penerus perjuangan Kartosoewirjo terlibat konflik internal yang mengakibatkan pecahnya Darul Islam DI atau Negara Islam Indonesia NII. Pasca kematian Kartosoewirjo kepemimpinan DITII NII dipegang secara kolektif oleh Agus Abdullah, Kahar Sholihat dan Djaja Sujadi dan pada tahun 1976 kepemimpinan DI- NII diserahkan kepada Daud Baureuh yang menjabat selama kurang lebih 2 tahun. 48 47 Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: TERAJU, 2002, hal. 29. 48 Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003, hal. 142.