Gerakan IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

Warman juga merencanakan pembunuhan atas hakim dan jaksa yang mengadili kasus H. Ismail Pranoto pada tahun 1979, aksi perampokan gaji pegawai IAIN Yogyakarta, pada bulan Februari 1979, melakukan aksi perampokan uang belanja pegawai IKIP Malang pada bulan Maret 1979, melakukan segenap tindakan teror dan aksi perampokan toko emas di Tasikmalaya, Subang dan Bandung dari tahun 1979 sampai tahun 1981, dan melakukan aksi pembunuhan terhadap 2 anggota Polri ketika penangkapan pada tanggal 22 Agustus 1980. Semua gerakan dan aksi teror yang dilakukan oleh gerakan Warman tersebut juga bertujuan untuk mendirikan Negara Islam. Pada kasus Gerakan Imran, Dewan Revolusioner Islam Indonesia Pimpinan Imran pada tahun 1980 sampai 1981, Sudomo memaparkan sejumlah aksi teror yang dilakukan oleh gerakan ini yaitu: aksi penyerangan Kosekta 8606, Cicendo, Bandung, aksi ini menewaskan 3 anggota Polri dan mereka mencuri beberapa senjata, teror ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 1981, aksi pembajakan Pesawat Terbang Garuda DC-9 oleh 5 orang teroris yang menyebabkan 2 orang tewas: Pilot dan Pasukan khusus, pada tanggal 28 Maret 1981. Menurut keterangan Sudomo Gerakan Imran ini juga bertanggunga jawab atas tindakan teror dan kekerasan atas jamaah-jamaah di masjid sekitar Bandung pada sekitar bulan Juni November 1980, dan percobaan pembunuhan terhadap Dr. Samsudin, ketua Pengurus Masjid Istiqomah Bandung, pada tanggal 20 Februari 1981, juga bertanggung jawab atas percobaan pembakaran sebuah hotel besar di Jakarta, pada tanggal 29 Desember 1980. Semua aksi teror yang dilakukan baik Gerakan Komando Jihad, Teror Warman dan Gerakan Imran memiliki tujuan yang sama yaitu berdirinya Negara Islam Indonesia. Dalam penjelasan resmi pemerintah, teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976, dan aksi Teror Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun 1978, 1979, dan 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Gerakan Komando Jihad. Dalam kronologi yang termuat dalam penjelasan pemerintah setidaknya terdapat tiga buah kejadian yang diduga melibatkan kelompok pimpinan Haji Ismail Pranoto, yakni: pertama, percobaan peledakan Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi, tanggal 11 Oktober 1976; kedua, peledakan Masjid Nurul Iman di Padang, tanggal 11 November 1976; dan ketiga, sejumlah peledakan di Medan yang meliputi Gereja Eka Budi Murni, Gereja Methodis, Restoran Apollo dan Bioskop Riang serta penyebaran selebaran gelap “Momok Revolusi” tanggal 25-26 Desember 1976. Pada bagian terakhir dikemukakan juga bahwa dalam usahanya mencari pelaku kejadian itu maka pemerintah menangkap Haji Ismail Pranoto, yang kemudian diadili di Surabaya pada akhir tahun 1978, dan dijatuhi hukuman seumur hidup. 76 Gerakan teror yang dilakukan oleh Kelompok Warman cs yang juga menamakan diri sebagai Komando Jihad, pemerintah merinci 13 peristiwa teror, baik pembunuhan maupun perampokan, yang diduga dilakukan oleh kelompok ini. Di antara beberapa aksi teror yang diungkapkan pemerintah adalah: pertama, pembunuhan terhadap Djadja Soedjadi yang merupakan bekas anggota DITII di Jawa Barat tahun 1978; kedua, pembunuhan terhadap Pembantu Rektor I Universitas Negeri Sebelas Maret, Parmanto pada 11 Januari 1979 yang dilakukan oleh 4 anggota 76 Semua aksi teror gerakan radikal pada masa Orde Baru bisa di lihat di Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 75. kelompok Warman; ketiga, pembunuhan yang menimpa Hassan Bauw, seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga pada 19 Januari 1979. Keterangan berikutnya adalah mengenai bebarapa aksi penggarongan dan perampokan yang dilakukan kelompok ini yang terjadi di beberapa tempat di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Dalam keterangan resmi pemerintah disebutkan juga bahwa pada tanggal 4 April 1979 telah tertangkap salah seorang pelaku teror yang bernama Musa, yang sesungguhnya bernama Warman atau Marman. Dalam penjelasan itu disebutkan bahwa Warman atau Marman adalah seorang penjahat yang berasal dari Jawa Tengah yang bergabung dengan DITII Kartosoewirjo yang sudah ditumpas. Di tempat barunya di sebuah lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, ia melanjutkan aksi-aksi terornya. Paparan Pangkopkamtib Sudomo yang bersifat kronologis tersebut tidaklah cukup memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai berbagai dimensi yang terdapat dalam kelompok ekstrem itu, termasuk apa sebenarnya yang merupakan motif dan landasan bagi gerakan itu dalam melakukan aksi-aksinya. Pada kenyataannya skala gerakan radikalisme Islam jauh lebih luas dari apa yang dijelaskan pemerintah. Selama periode tersebut, pemerintah melakukan beberapa penangkapan dan proses hokum terhadap orang-orang yang diduga terkait dengan Kelompok Warman yang juga dinamakan Komando Jihad itu. 77 Gerakan yang menamakan diri kasus Teror Warman atau Jamaah Islamiyah atau dengan nama lain yang merupakan gerakan illegal tanpa izin yang bertujuan 77 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 78. mendirikan Negara Islam Indonesia dan berlakunya hokum Islam secara positif di Indonesia dengan menggantikan atau mengubah dasar Negara Republik Indonesia Pancasila dan UUD 1945 dengan cara kekerasan dan senjata. Muncul beberapa interpretasi mengenai apa sebenarnya yang ada di balik munculnya berbagai kejadian radikalisme Islam, baik Komando Jihad, Teror Warman, maupun Gerakan Imran. Dalam penjelasan pemerintah yang disampaikan Sudomo dinyatakan bahwa kelompok-kelompok yang disebutkan sebagai pelaku berbagai teror itu murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara berdasarkan Agama, dan bahwa mereka memiliki kesamaan pendapat, khususnya dalam melihat segi-segi negatif dari hasil usaha pembangunan, seperti kemaksiatan, dekadensi dan demoralisasi. Pada bagian penutup penjelasan, dia menampik isu-isu yang berkembang di kalangan masyarakat luas mengenai peranan pemerintah yang justru merekayasa dan membuat gerakan-gerakan teror tersebut dengan tujuan memojokkan salah satu agama atau kelompok tertentu. Kecurigaan bahwa pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tidak dapat dihilangkan begitu saja. Beberapa tokoh muslim menafsirkannya dalam perspektif yang berbeda. Ada analisa yang mengatakan bahwa latar belakang dibali pembongkaran suatu persekongkolan anti pemerintah yang dinamakan Komando Jihad pada awal tahun 1977, selain bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksanaan pemilu 1977, tetapi juga, lebih luas lagi hal tersebut tampaknya untuk mengingatkan kalangan muslim politik tentang pandangan Angkatan Bersenjata terhadap mereka sebagai pendukung fanatik Negara Islam. 78 Pemuka muslim garis keras berbendapat bahwa peristiwa radikalisme itu dilihat secara kritis lebih sebagai Proyek Operasi Khusus Opsus, sebagai lembaga illegal atau tidak resmi yang memiliki kewenangan sangat luas, Opsus ini di bawah kendali Ali Moertopo. Natsir juga berpandangan bahwa orang-orang yang terlibat dalam beberapa kejadian teror tersebut merupakan bekas aktivis DITII yang direkrut dan dibina oleh Ali Moertopo, termasuk didalamnya Haji Ismail Pranoto yang terlibat peristiwa Komando Jihad. Isu yang dipakai agen-agen Ali Moertopo diantaranya adalah bahwa kaum komunis akan come back dan oleh karena itu para tokoh dan bekas tokoh DITII ditawari persenjataan untuk melawan kaum komunis tersebut. 79 Jenderal Soemitro, yang ketika itu sebagai mantan Pangkopkamtib dan merupakan rival politik Ali Moertopo pada tahun 1970-an, menjelaskan secara lebih gamblang adanya keterkaitan Ali Moertopo dengan para bekas anggota DITII. Ali berhasil meyakinkan kelompok Islam radikal dengan memberikan janji-janji manis bahwa apabila dirinya berhasil menang, maka pintu untuk mendirikan sebuah Negara Islam akan dibuka lebar. Dinyatakan oleh Soemitro bahwa: Ali Moertopo telah lama menjalin kerja sama dengan sejumlah bekas tokoh DITII. Garis kebijakan Ali Moertopo untuk mendekati para bekas DITII itulah yang menimbulkan permasalahan di dalam tubuh bakin, setelah ikut Opsus, para bekas DI 78 Panji Masyarakat, No. 323, 1981, hal. 11., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 76. 79 David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 Ithaca: Cornell Modern Project, 1984, hal. 57. biasanya mendapat suplai keuangan secara rutin dari Opsus, maklum mereka umumnya hidup miskin. Opsus rupanya selalu memelihara ilusi mengenai kemungkinan mendirikan Negara Islam. Di mata para bekas DI, bila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan Negara Islam. Tokoh-tokoh DI percaya betul atas “ucapan” Ali Moertopo tersebut. 80 Akhirnya Ali Moertopo dengan janji-janjinya berhasil memikat para eksponen bekas anggota DITII sehingga bersedia memberikan dukungan penuh kepada Opsus. Katika itu santer diisukan bahwa Ali Moertopo berambisi kuat untuk menduduki jabatan Wakil Presiden dan selanjutnya merebut jabatan puncak sebagai Presiden. Dalam pengadilan Haji Ismail Pranoto di Surabaya terungkap bahwa Ali Moertopo yang memberikan perintah, mensuplai dana, dan berbagai fasilitas lain kepada Hispran untuk membentuk Front Pancasila anti Komunis. Ali Moertopo dengan Opsusnya sengaja merancang strategi untuk menjebak Hispran dan para bekas DITII lainnya. Menurut Jenkins dalam bukunya Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics, menyatakan bahwa, petinggi Militer menyatakan pendapat yang sama tentang Ali Moertopo tersebut, demikian halnya Jendral Soemitro memiliki kecurugaan yang serupa. Ia menjelaskan bahwa taktik seperti ini dalam dunia intelijen lazim dinamakan sebagai taktik “pancing dan jarring”. Unsur permainan intelijen, menurut Soemitro juga kental sekali terlihat pada kasus pembajakan 80 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, Jakarta: Sinar Harapan, 1998, hal. 195. pesawat terbang DC-9 Woyla yang dilakukan oleh Jemaah Imran tahun 1981. Dikatakan oleh Soemitro: Saya dapat informasi bahwa Woyla adalah rekayasa Opsus, lagi-lagi melalui teori “pancing dan jarring” memakai tokoh Imran yang aslinya bernama Amran. Imran ini selama lima tahun dibiayai ke Libya untuk mempelajari ilmu terorisme dan tentang agama. Kemudian ia tiba-tiba muncul sebagai tokoh NII. Waktu tertangkap dari mulut Imran meluncur misi apa yang dibawanya. 81 Mesipun berbagai analisis yang bermunculan kebanyakan mengarah kepada “operasi intelijen” sebagai penggerak semua peristiwa tersebut, namun tidak berarti bahwa fenomena pemikiran dan keinginan beberapa gerakan Islam untuk menawarkan alternatif dasar Negara lain, yakni Islam, hanya sekedar isapan jempol belaka. Salah satu alasannya adalah bahwa dalam masa dimana operasi intelijen kurang popular, ternyata beberapa aksi yang hampir serupa meskipun dalam skala relatif kecil juga bermunculan pada saat yang bersamaan. Penjelasan konspirasional dalam peristiwa Komando Jihad dan beberapa gerakan ekstrem keagamaan lain kiranya lebih tepat untuk dijadikan dasar pemahaman bahwa kasus-kasus tersebut memiliki dimensi yang kompleks. Dengan kata lain kemunculan gerakan ini tidak semata-mata didasari oleh motivasi ideologis keagamaan.

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad

81 Heru Cahyono, Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, hal. 299. Secara garis besar kebijakan ideologis dan politis yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru pada awal kekuasaannya adalah menghancurkan kaum komunis, menekan kaum nasionalis, dan mencegah naiknya kekuatan Islam, karena ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden, ia dihadapkan pada kondisi ideologi Nasakom hasil binaan rezim lama yang masih kuat dan masih dianggap sebagai sebuah ancaman besar bagi kekuasaannya. Untuk melaksanakan kebijakan ini, Orde Baru mengerahkan kekuatan Inteijen sebagai motor utama. Setelah berhasil menuntaskan kebijakan terhadap kaum komunis dan nasionalis, maka target selanjutnya diarahkan pada kelompok Islam. Kebijakan terhadap kelompok Islam terbilang unik dibandingkan dengan kebijakan terhadap kelompok komunis dan nasionalis. Walaupun tergabung dalam Nasakom tapi kelompok Islam memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno selain karena kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam. Karena itu pemerintah memilih jalan yang lebih hati-hati untuk menghadapi kekuatan islam ini. Untuk mencegah naiknya kekuatan Islam yang dari dulu sangat mencita- citakan tegaknya ideologi dan syariat Islam maka pemerintah harus memiliki alasan dulu untuk menekannya sekaligus menghalanginya. Kemudian intelijen sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melaksanakan ini kemudian memilih untuk menggunakan tangan kaum radikal islam. Kelompok radikal walaupun memang berbahaya tapi justru membuatnya menjadi sangat mudah dikendalikan. Orde Baru mengawali usahanya dalam peredaman kelompok Islam dengan cara melakukan pemanggilan terhadap para bekas anggota DITII, beberapa pentolan