Perilaku Kolektif: Konteks Protes

barang dan dirinya. Contohnya adalah: deklarasi tertulis, pidato di depan kerumunan orang, protes lewat unjuk rasa dan aksi jalan, provokasi lewat kata-kata dan mengadakan kerumunan crowd baiting. Kedua adalah tingkat collective hostility yang tertuju pada hak milik pribadi dan cara-cara yang dapat menghambat penggunaanya, misalnya: penyitaan barang, boikot terhadap barang atau orang, pemogokan, penguasaan atau pengambilalihan tempat. Ketiga adalah tingkatan tertinggi tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan. Dengan ketiga gambaran ini dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan Komando Jihad termasuk kedalam kategori collective hostility tingkatan yang ketiga karena Komando Jihad merupakan gerakan yang berupa teror, pengeboman dan pembunuhan.

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis

Terdapat pemahaman yang berbeda dan berbagai definisi yang beragam di kalangan para ilmuwan tentang apa pengertian dan ruang lingkup fundamentalisme. Para ilmuwan telah menafsirkan fundamentalisme Islam dalam berbagai pengertian. Fundamentalisme sendiri merupakan faham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif terutama dalam masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang berpedoman dengan doktrin-doktrin keagamaan sebagai pijakan dalam segala urusan, baik keduniaan maupun keakhiratan. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini sebagai karakteristik dari “peradaban teks” hadlarat al-nash, sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks. 12 Dilihat dari cara penafsiran dan penghayatan terhadap teks, gerakan Islam fundamentalis dapat diklasifikasikan dalam tiga tipologi. Pertama, Fundamentalisme Literal, mereka yang tergolong dalam ketegori ini melihat doktrin keagamaan secara literal dan tekstual. Apa yang disampaikan teks dipahami dan diterima secara taken for granted, tanpa proses penghayatan secara sosiologis dan antropologis, ini kecenderungan umum dari gerakan Islam fundamentalis. Yang sangat menonjol dari gerakan mereka adalah penyatuan antara agama dan pemikiran keagamaan. Mereka meyakini bahwa pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Nashr Hamid Abu Zayd dan Abdul Karim Soroush melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran keislaman saat ini. Karena itu kedua pemikir tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara agama dan ilmu agama. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat profan. Kedua, fundamentalisme moderat, ini sering disebut sebagai lokus paradoks fundamentalisme. Pandangan bahwa fundamentalisme adalah perlawanan terhadap modernitas tidak selamanya benar, sebab kalangan fundamentalis justru dilakoni oleh mereka yang secara intens dengan modernitas. Agama menurut mereka adalah dogma yang bersifat praktis, agama tidak perlu didiskusikan dan diinterpretasikan, apa yang datang dari agamwan mesti diyakini sebagai kebenaran absolut. Bahwa 12 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Jakarta: LSIP dan Yayasan TIFA, 2004, hal. 106.