Menurut Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer mendalilkan bahwa semua gerakan massa, tak peduli apa sifatnya agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau
ekonomis, tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk
berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan
kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia,
yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.
8
Hoffer mengambil pengertian etimologis dari kata frustasi yang mendorong manusia melakuakan aksi gerakan massa, latin: frustration: kecewa, gagal. Orang
yang frustrasi, menurut Hoffer sedang mengalami kekecewaan terhadap diri sendiri karena kegagalan-kegagalan, merasa hidupnya sia-sia, rusak, tak tertolong, tidak ada
harapan lagi. Tipe orang inilah merupakan panen pertama dari gerakan massa yang mempu membangkitkan pada jiwa dari gerakan massa dengan cara mengutuk dan
melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk itu. Di lain pihak dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan
diri dan harapan.
9
8
Eric Hoffer, Gerakan Massa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal. VII.
9
Eric Hoffer, Gerakan Massa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal. IX.
C. Perilaku Kolektif: Konteks Protes
Dengan pengertian sederhana, protes diartikan sebagai sebuah aksi, kumpulan, peristiwa, atau bentuk perilaku kolektif kemunculannya didorong dan dihambat oleh
beragam konteks perilaku kolektif dan muncul karena disebabkan atau tidak muncul dihalangi oleh bentuk-bentuk perilaku kolektif lainnya. Menurut John Lofland aksi
protes selalu melekat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, berlangsung dalam situasi perilaku kolektif yang stabil, aman dan penuh dengan ketidakpastian terutama
yang mengandung unsur kekerasan. Eisinger juga menggambarkan bahwa protes secara implisit memiliki potensi ancaman dan merupakan bentuk sederhana dari
ancaman kekerasan.
10
Menurut para sosiolog, istilah perilaku kolektif secara harfiah dapat diartikan dan mengacu pada perilaku serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas atau emergent
yang tidak dilembagakan extra-institutional. Kalimat dan definisi ini digunakan untuk menyebut perilaku kolektif dan gerakan sosial, kepanikan, kekacauan, dan
kerumunan suka ria. Untuk menjelaskan fenomena gerakan Komando Jihad pada penulisan skripsi
ini, maka penulis perlu memaparkan teori collective hostility yang dikemukakan oleh John Lofland. Ia mengatakan bahwa ada tiga tingkatan collective hostility:
11
yang pertama dan yang terendah adalah simbolik symbolic. Pengelompokan ini
didasarkan kepada
cara bertindak
dan berbicara
seseorang dalam
mengkomunikasikan ketidaksenangannya terhadap orang yang berniat jahat terhadap
10
John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 30-31.
11
John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 58.
barang dan dirinya. Contohnya adalah: deklarasi tertulis, pidato di depan kerumunan orang, protes lewat unjuk rasa dan aksi jalan, provokasi lewat kata-kata dan
mengadakan kerumunan crowd baiting. Kedua adalah tingkat collective hostility yang tertuju pada hak milik pribadi
dan cara-cara yang dapat menghambat penggunaanya, misalnya: penyitaan barang, boikot terhadap barang atau orang, pemogokan, penguasaan atau pengambilalihan
tempat. Ketiga adalah tingkatan tertinggi tertuju pada bentuk perampasan dan
penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan. Dengan ketiga gambaran ini dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan Komando Jihad termasuk
kedalam kategori collective hostility tingkatan yang ketiga karena Komando Jihad merupakan gerakan yang berupa teror, pengeboman dan pembunuhan.
D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis
Terdapat pemahaman yang berbeda dan berbagai definisi yang beragam di kalangan para ilmuwan tentang apa pengertian dan ruang lingkup fundamentalisme.
Para ilmuwan telah menafsirkan fundamentalisme Islam dalam berbagai pengertian. Fundamentalisme sendiri merupakan faham dan gerakan yang menyejarah dan
bersifat massif terutama dalam masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang berpedoman dengan doktrin-doktrin keagamaan sebagai pijakan dalam segala urusan,
baik keduniaan maupun keakhiratan. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini