Haji Ismail Pranoto Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad

Hispran dimata beberapa kenalannya di Brebes adalah seorang aktifis dalam kegiatan dagang dan dakwah Islam. Ia memang cukup berpengaruh di sana, meskipun tidak begitu pandai berpidato. Bahkan tiga tahun menjelang Pemilu 1971, ia menjadi seorang pemimpin Golkar setempat, dan kemudian pada tahun berikutnya ia menjabat menjadi pemimpin GUPPI, sebuah organisasi Islam dalam keluarga Golkar. Dalam Pemilu 1971, Hispran sempat berkampanye untuk Golkar sampai akhirnya Golkar menang dalam Pemilu tersebut, tetapi meskipun demikian ia sendiri tidak sempat duduk sebagai anggota DPRD setempat ketika itu. Hispran tidak lagi aktif di Golkar pada pemilu 1977, ia memilih berdagang dan menghilang dari peredaran. 56 Dalam kegiatan perdagangan itulah ia akhirnya bertemu dan berhubungan kembali dengan rekannya Danu Muhammad Hasan. Pada bulan Ramadhan 1 November 1976, Pangdam VI Siliwangi Himawan Sutanto menyelanggarakan silaturahmi dengan seluruh bekas DITII Jawa Barat. Dalam pertemuan itu Himawan Sutanto menyatakan bahwa Hispran yang kembali menghilang harus disadarkan. Ternyata secara diam-diam, Hispran juga hadir pada pertemuan itu, belum selesai Panglima mengucapkan kalimat tersebut, seorang laki-laki tampak mengacungkan tangan di tengah para hadirin, “Saya Hispran, Pak,” kata laki-laki itu. Hal ini membuktikan bahwa kontak dan hubungan diantara mantan aktifis Darul Islam itu masih sangat erat. Setelah muncul dalam silaturahmi di Bandung itu, Hispran kembali tak nampak batang hidungnya hingga kemudian ia nampak bertamu di rumah beberapa 56 Tempo, 30 September 1978. orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, setelah itu kabarnya ia berangkat ke Lampung sampai akhirnya ia tertangkap di sebuah desa Bondoringgit, kabupaten Blitar. Hispran ditangkap pada tanggal 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar, Jawa Timur dan diadili di Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April 1978 dan akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup pada Selasa 19 September 1978. Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DITII dan mendirikan Negara Islam. 57 Menurut Majelis Hakim yang dipimpin oleh RM Soejono Koesoemosisworo, Hispran dituduh membentuk wadah bagi mantan DITII dengan nama “Jemaah Bela Diri” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena wadah bentukan Hispran ini dianggap subversif maka pengadilan pun menerapkan pasal-pasal subversive seperti tercamtum dalam UU No. 11PNPS1963. Tetapi ternyata mengherankan bahwa, Majelis Hakim sendiri menyatakan apa yang disebut Komando Jihad tidak ada di dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III Hukum DPR-RI akhir Juni 1977. Ketika itu ia menyatakan bahwa “Komando Jihad” sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim yang dipimpin oleh bekas-bekas DITII. Ali Said mengatakan bahwa gerakan ilegal yang terbentuk sejak 1970 itu bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja dan ditokohi oleh bekas DITII Jawa Barat. Ada beberapa macam-macam nama gerakan itu, misalkan: Gerakan Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah DKI, Jihad Fillah, dan Jihad Fisabilillah Jawa 57 Tempo, 30 September 1978. Barat, Pasukan Jihad Sumatera Utara, Barisan Sabilillah Jawa Timur. Tetapi menurut Ali Said seluruh gerakan tersebut belum terdapat tanda-tanda pergerakannya di bawah satu komando. 58 Menurut Ateng Djaelani ketika bersaksi dalam persidangan, di kalangan bekas DITII dikenal tiga orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng sendiri dan Hispran. Dalam sebuah pertemuan di Bandung ketiga sesepuh itu bersepakat kembali ke Maklumat Komandemen Negara Islam Indonesia No. 1 yaitu membentuk Komandemen Wilayah Propinsi dan Daerah Karesidenan. Tahun 1976 Hispran diangkat menjadi Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa- Madura. Hispran ditugaskan menghubungi beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam persidangan Hispran mengakui hal itu, pertengahan 1976 delapan orang dari Jawa Timur dilantik oleh Ateng sendiri di rumah Danu di Bandung dan selanjutnya mereka pulang kampung ke Jawa Timur untuk mencari dan mengumpulkan rekan-rekan yang lain. Dalam setiap pertemuan anggota ini mereka hanya menyebut-nyebut bahaya komunisme ketika itu, tetapi yang menjadi tujuan utama sebenarnya adalah menghidupkan kembali NII dan menggulingkan pemerintahan Soeharto ketika itu. Ateng memaparkan tujuan gerakan ini di pengadilan dan ia juga mengakui bahwa dialah yang juga membentuk Komandemen Wilayah dan beberapa Komandemen Daerah di Jawa Timur. 58 Tempo, 30 September 1978.

2. Abu Bakar Ba’asyir

Abu Bakar Ba‟asyir lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938, dari seorang ayah berdarah Yaman, Abud Ahmad Ba‟asyir, atau nama lainnya Abu Bakar Abud. Abu Bakar Ba‟asyir menjalani pendidikan keislamannya pertama-tama sebagai santri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo 1959-1963. Selanjutnya ia belajar di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan dakwah. Perjalanan karier Ba‟asyir dalam dunia gerakan Islam di mulai sejak tahun 1956 ketika ia menjabat ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII tingkat kecamatan, dan terpilih menjadi ketua GPII Pondok Pesantren Gontor. 59 Dalam dunia kemahasiswaan Abu Bakar Ba‟asyir adalah seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam HMI Cabang Surakarta, menjabat sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam LDMI Cabang Surakarta pada tahun 1966. Ba‟asyir kemudaian mendirikan Pesantren Al-Mukmin bersama rekannya Abdullah Sungkar di Ngruki, Surakarta. Dalam gerakan Islam radikal karier Ba‟asyir sangat menonjol bersama Abdullah Sungkar terutama di era tahun 1970-an, ia bersama Abdullah Sungkar telah muncul dalam barisan tokoh utama NII sejak periode 1976 di bawah komando tertinggi poros Adah Djaelani Tirtapraja. Konon Adah Djaelani sendiri yang membaiat Abu Bakar Ba‟asyir dan Sungkar untuk masuk ke lingkaran NII. Dalam serangkaian sapu bersih terhadap kelompok-kelompok radikal Islam yang dilancarkan pemerintah Orde Baru pada pertengahan 1970-an yang terkenal dengan nama peristiwa Komando Jihad, nama Ba‟asyir maupun Sungkar berada dalam daftar 59 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, hal. 210. mereka yang ditangkap oleh aparat keaamanan. Ba‟asyir dan Sungkar merupakan bagian dari sekitar 700 orang yang dianggap bagian dari kelompok Komando Jihad yang berhasil diringkus. Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar dikenai dakwaan telah melanggar UU No. 11PNPS1963, yakni dakwaan yang umumnya ditujukan pada mereka yang dituduh sebagai anggota komplotan Anggota Jihad KOMJI, yaitu menentang pemerintah dan ingin mengganti dasar Negara Pancasila. Persidangan itu mulai digelar setelah Ba‟asyir meringkuk di penjara selama kurang lebih empat tahun sejak 1978. Dari tuntutan 12 tahun yang diajukan, akhirnya Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar divonis 4 tahun lebih ringan, yakni 9 tahun penjara potong masa tahanan. Menjelang putusan dijatuhkan, majelis hakim menyatakan kesepakatannya dengan jaksa penuntut umum mengenai latar belakang kegiatan terdakwa Ba‟asyir dan Sungkar, yang menginginkan untuk membangun masyarakat yang berbeda dari yang telah digariskan dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu ingin membentuk Negara Islam Indonesia NII. Setelah naik banding, akhirnya vonis yang dijatuhkan menjadi lebih ringan, yakni 4 tahun penjara. 60 Selepas masa tah anan yang dijalaninya sejak 1978, Ba‟asyir tinggal di Malaysia. Ia ditahan dengan tuduhan terlibat Komando Jihad dan akan mendirikan Negara Islam Indonesia. April 1982, Pengadilan Negeri Sukoharjo menvonis Abu Bakar Ba‟asyir dengan hukuman Sembilan tahun penjara, ia naik banding, Majelis 60 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 212.