Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah

tilas semangat jihad Rasulullah SAW, di Indonesia, Darul Islam didirikan ulang oleh S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam Indonesia NII yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia TII atau Angkatan Perang Negara Islam Indonesia APNII. Kartosoewirjo memproklamasikan NII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat. 16 Konsep Negara Islam menurut Dr. M. Amien Rais berhubungan dengan istilah khilafah dan imamah. Khilafah menurut Amien Rais adalah suatu missi kaum muslimin yang harus ditegakkkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya Al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci tetapi dalam bentuk global saja. Kata imamah juga tidak terdapat secara tertulis dalam Al- Qur‟an. Tetapi kalau kata imamah dimaksudkan sebagai kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al- Qur‟an. Artinya Al-Qur‟an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang munafik dan kafir. 17 Istilah paling umum untuk menggambarkan gerakan radikal adalah “fundamentalisme”, guna menunjukkan sikap kalangan muslim yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. John L. Esposito melengkapi kategori ini dengan 16 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terj., Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987, hal. 84. 17 Panji Masyarakat, no. 3761982., sebagaimana dikutip dalam Laksmi Pamuntjak Djohan Agus Edy Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 2004, hal. XXIII. menyatakan bahwa fundementalisme dicirikan pada sifat “kembali kepada kepercayaan fundamental agama”. Dalam semua praktik kehidupan Muslim, mereka mendasarkan pada Al- Qur‟an dan Sunnah secara literal. Pada gilirannya fundamentalisme sering menunjuk pada kelompok yang mengacu pada literalis dan berharap kembali kepada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, fundamentalisme sering disamakan dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika. 18 Radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum: 19 Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons itu muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. 18 John L. Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality?, Oxford: Oxford University Press, 1992, hal. 7-8., sebagaimana dikutip dalam M Zaki mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 20. 19 Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1993, hal. Xvii-xviii.

B. Terbentuknya NII-DITII

Sebelum Indonesia merdeka terjadi pergulatan ideologi dan faham yang telah banyak mengahasilkan banyak gerakan-gerakan politik. Organisasi-organisasi yang aktif memperjuangkan kemerdekaan dapat dipetakan menjadi beberapa bagian. Corak organisasi pasca kemerdekaan ada yang bercirikan Islam dan ada yang bercirikan Sosialis. Kedua kelompok organisasi ini perlahan memperoleh pendukung yang semakin banyak. Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia DITII terbentuk dari Partai Sarikat Islam SI sebuah organisasi politik yang berasaskan Islam. Awal terbentuknya dimulai ketika Kartosoewirjo sebagai tokoh sentral dari DITII memasuki organisasi politik Sarikat Islam di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo, terutama cita-citanya mendirikan Negara Islam di Indonesia. Kartosoewirjo terpilih sebagai komisaris partai untuk wilayah Jawa Barat pada kongres akhir tahun 1929. Tepatnya ia bertugas di Malambong, desa perbatasan Garut dan Tasikmalaya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayat. Ia menikah dengan Dewi Siti Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera. Di Malangbong inilah Kartosoewirjo kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang Islam. 20 Kartosoewirjo terpilih menjadi sekertaris umum PSIHT Partai Sjarikat Islam Hindia Temoer pada kongres di Pekalongan bulan Desember 1927. Dalam rangka 20 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 19. melaksanakan disiplin partai, SI memberlakukan peraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Akhirnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI yang selanjutnya pada tahun 1930 SI mengganti nama menjadi PSII Partai Sarekat Islam Indonesia. Pada kongres berikutnya tahun 1931, Kartosoewirjo terpilih kembali untuk menduduki jabatan sekertaris umum partai. Keputusan ini memaksanya meniggalkan Malambong untuk kembali ke pusat. Perpecahan dalam tubuh PSII menyeruak, krisis yang tengah terjadi kian bertambah, ajang perebutan kekuasaan dalam tubuh partai meramaikan suasana PSII ketika H.O.S Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Pertentangan antara dua golongan kepemimpinan mewarnai gerak-gerik PSII: Dewan Eksekutif Ladjnah Tanfidzijah dibawah pimpinan adik H.O.S Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, berhadapan dengan Dewan Partai dibawah pimpinan H. Agus Salim. Keduanya tidak menemukan kesepakatan mengenai kebijakan politik non-kooperatif, kebijakan yang sekian lama menjadi basis perjuangan partai. 21 Sebagai solusi alternatif, pada tahun 1936 diadakanlah kongres partai ke-22 di Batavia yang bertujuan untuk memilih ketua partai. Akhirnya Abikoesno Tjokrosoejoso terpilih memangku jabatan tersebut dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Atas inisiatif Abikoesno muncullah kebijakan politik partai yang disebut “hijrah”, yang kemudian dikenal dengan politik hijrah PSII. Kemudian ia 21 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 20.