Di/Th pasca kartosoewirjo (studi kasus gerakan komando jihad 1976/1981)

(1)

DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO

(STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981)

Skipsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Achmad Hasan NIM: 206033204323

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang be{'udul DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS GERAKAN

KOMANDO

JIHAD TAHUN 1976-1981),

telah diujikan dalarl Sidang Munaqosyah Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Isian.r Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada Tanggal 13 Juni 2011. Skripsi

ini

telah diterinia sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial.

Jakarta,13 Juni 2011

Sidang Munaqosyah

Sekertaris Penguji

Anggota

Penguji I Penguji II

/a\ -\ t

\)all)

V'Z-\

Dr. Sirojudin Aly. MA. NrP. 9s406052001

I2I00t

1973092720051 1C08

NIP. 150253408

Pembimbing


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Mei 2011


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Achmad Hasan

Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 30 Maret 1985

Alamat : Ds. Cikupa, Rt: 004 / 02, Cikupa, Tangerang, Banten Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan :

1. TK Faqih Hasyim, Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur.

2. SDN Cikupa III, Cikupa, Tangerang, Banten. 3. SLTPM 12 Sendang Agung, Paciran,

Lamongan, Jawa Timur.

4. KMI Pondok Modern GONTOR Ponorogo, Jawa Timur.

5. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


(5)

ABSTRAK

Judul : DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO (STUDI KASUS

GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981)

Komando Jihad adalah salah satu gerakan radikal yang dilakukan oleh beberapa eksponen DI/TII Kartosoewirjo, kelompok Islam ini melakukan berbagai aksi teror di Indonesia sekitar tahun 1976-1981 atau pada masa pemerintahan Orde Baru. Aksi peledakan, pembajakan pesawat, pembunuhan dan berbagai aksi teror lainnya mewarnai masa kekuasaan Orde Baru ketika itu.

Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa Orde Baru yang mengatakan bahwa gerakan Komando Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1981 yang murni bertujuan untuk membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia.

Opsi kedua, kalangan tokoh Islam menganggap bahwa istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dengan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan. Sejumlah tokoh masyarakat menduga bahwa tujuan pengungkapan kasus ini tidak lain adalah pemojokan gerakan Islam politik dan perolehan suara dari umat Islam dalam pemilu 1977 yang akan dilaksanakan.

Untuk mengetahui tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, dapat dilihat dari beberapa fakta persidangan Haji Ismail Pranoto yang dikenal sebagai tokoh sentral gerakan KOMJI. Dari keputusan hakim dalam persidangan, bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan ini.

Dengan menemukan beberapa fakta persidangan dan melihat semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu 1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen DI/TII terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya dengan tujuan melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.


(6)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, hidayah dan karuniaya yang senantiasa dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO, STUDI KASUS GERAKAN KOMANDO JIHAD 1976-1981”.

Shalawat beriring salam penulis panjatkan kepada kekasih Allah, pemberi syafaat umat, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta orang-orang yang senantiasa menjalankan sunnahnya.

Penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sungguh pun begitu banyak rintangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis rampungkan dengan baik.

Dengan segala hormat dan bakti penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang berjasa dan memiliki peran besar dalam proses pembelajaran hidup dan mempunyai andil besar dalam proses pendidikan di almamater tercinta:

1. Kepada orang tua tercinta, ibunda Hj. Muidah, dengan kesabarannya menjalani hidup membesarkan putra-putrinya sendiri dan yang tak pernah berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang sehingga penulis mampu berdiri


(7)

tegar untuk menyelesaikan penulisan skripsi. Ayahanda H. Muhammad Rabin yang begitu peduli, perhatian dan tak henti-hentinya memompa semangat penulis agar secepat mungkin menyelesaikan kuliah. Adik-adikku; Ali, Neng Milah, Dede Musriah, terima kasih telah memberikan simfoni yang indah dalam hidup ini, adik-adikku yang telah memberikan hiburan di sela suntuk jenuhnya penulisan skripsi. Semoga simfoni itu akan tetap indah selamanya, terima kasih Tuhan telah menganugerahkan keluarga sebaik dan sesempurna mereka.

2. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bpk Prof. Dr. Bahtiar Efendi.

3. Kepada Ketua Jurusan Ilmu Politik Bpk. Dr. Ali Munhanif, Sekertaris Jurusan Ilmu Politik dan Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), khususnya Dosen Prodi Ilmu Politik yang telah memberikan pengajaran, pendidikan dengan berbagai ilmu selama masa kuliah penulis.

4. Kepada Dosen Pembimbing, Bpk M. Zaki Mubarak, M.Si yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

5. Kepada teman-teman sesama mahasiswa yang seperjuangan menuju titik pencerahan dan kesuksesan, Okki Tirto, Rizki Aceh, Bahaudin, Badri, Sadri, Huda, Waluyo dan semuanya, terimakasih sahabatku.


(8)

6. Kepada seseorang yang telah menjadi muara tempat energi cinta mengalir, terimakasih telah memberiku rasa sayang, sayang yang sederhana, memberi tanpa berharap tuk menerima.

Akhirnya penulis berharap semoga amal dan niat baik kalian dibalas dengan pahala yang berlimpah dan kebaikan dunia dan akhirat. Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya. Amin.

Jakarta, 25 Mei 2011


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN……… i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. ii

ABSTRAK……….. iii

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI………...……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…….…….……….. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………... 5

D. Kajian Pustaka……….. 5

E. Metode Penelitian……….. 7

F. Sistematika Penulisan………. 8

BAB II KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS: LANDASAN TEORI DAN KONSEP A. Konsep Gerakan Sosial………. 10

B. Gerakan Massa……….. 11

C. Perilaku kolektif: Konteks Protes……….. 13 D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis… 13


(10)

BAB III LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD: HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII

KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah……… 20 B. Terbentuknya NII-DI/TII………... 22 C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII….. 25 D. Penumpasan DI/TII……….... 33 E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan

Dinamika Politik Orde Baru……… 37 F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad………. . 41

1. Haji Ismail Pranoto………... 41

2. Abu Bakar Ba‟asyir……….. 44

3. Abdullah Sungkar………... 47 G. Kronologi Gerekan Komando Jihad Menentang

Pancasila Sebagai Asas Tunggal……… 51

BAB IV IDEOLOGI DAN GERAKAN KOMANDO JIHAD

A. Ideologi……….………. 58

B. Gerakan……….. 61

C. Respon Pemerintah Terhadap Komando Jihad……..…… 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….……….… 81


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Indonesia pada tahun 1949, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII, dengan Imamnya yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pemerintah Indonesia merespon gerakan ini dengan berbagai penangkapan terhadap para tokoh-tokoh penting DI/TII termasuk Kartosoewirjo yang dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia.

Sejak ditangkapnya para aktifis NII (DI/TII) dan dieksekusinya Imam Kartosoewirjo, lahirlah berbagai macam kelompok sempalan yang bertujuan untuk “mengislamkan” Negara Indonesia. Dengan berbagai motif dan latar belakang kelompok-kelompok ini bertujuan menjadikan Islam sebagai prinsip dasar kehidupan kenegaraan.

Dengan tidak adanya titik temu yang menghasilkan kesepakatan antara kelompok NII (DI/TII) dengan pemerintahan Indonesia pasca penangkapan aktifis-aktifisnya di era 1970an menghasilkan berbagai sempalan kelompok radikal yang bertujuan mendirikan Negara Islam. Bahkan timbul berbagai konfrontrasi antara Negara dengan kelompok Islam tersebut.


(12)

Pada dasarnya perkembangan yang berlangsung di dalam gerakan-gerakan keagamaan radikal semakin kompleks. Seiring dengan berjalannya waktu maka dinamika gerakan Islam radikal juga semakin bervariasi. Terdapat berbagai gerakan sempalan yang memiliki karakteristik pemikiran dan orientasi gerekan yang berbeda-beda. Selain basis sosialnya juga beragam, mulai yang berkembang di tengah masyarakat umum sampai yang tumbuh di lingkungan kaum terpelajar, terutama di perguruan tinggi.1

Salah satu pecahan dari NII (DI TII) Kartosoewirjo adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Komando Jihad. Kelompok pimpinan Haji Ismail Pranoto. Kelompok ini tercatat melakukan konfrontasi dengan pemerintah dengan berbagai aksi terror di Indonesia sekitar tahun 1976.

Pada tahun 1976 sampai 1981, gerakan Islam radikal di Indonesia telah terpecah menjadi berbagai macam corak dan menyebar di seluruh plosok Negeri. Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin mempertegas kembali hubungan agama dan Negara. Kalau ditelusuri kecenderungan dan gerakan Islam ini disebabkan oleh carut-marut permasalahan bangsa telah membangkkitkan semangat islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini memberikan jalan keluar dengan jargon “berlakunya syariat Islam secara kaffah”. Keyakinan ini adalah sebuah frustasi yang berkepanjangan terhadap problem bangsa, sehingga menimbulkan semangat kembali kepada Islam sebagai Idoelogi bangsa Indonesia.

1

M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 71.


(13)

Lahirnya gerakan Komando Jihad sebenarnya tidak lepas dari diproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia” oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Malambong, Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat. Gerakan yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Pimpinan Darul Islam ini adalah Kortosoewirjo adalah seorang pemimpin pergerakan umat islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama mencita-citakan berdirinya suatu Negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuan tidak secara ko-operatif dan tidak mau melalui parlemen atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) maupun Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).2

Komando Jihad adalah aksi teror yang dilakukan gerakan Haji Ismail Pranoto, yang sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera sekitar tahun 1976 dan aksi teror Warman yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah sepanjang tahun 1978, 1979, 1980, mendapatkan sebutan yang sama sebagai kelompok Komando Jihad.

Setelah ditelusuri, sebenarnya ada beberapa pernyataan yang bertentangan tentang munculnya gerakan Komando Jihad pada era 70-an, opsi pertama dari pihak pemerintah yang mengatakan bahwa munculnya berbagai gerakan radikalisme Islam baik Komando Jihad, Teror Warman ataupun kelompok Imron adalah murni merupakan kelompok yang memiliki tujuan politis untuk mendirikan Negara

2

Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 50.


(14)

berdasarkan Islam. Pemerintah Indonesia hususnya pada masa orde baru menampik isu-isu yang beredar di masyarakat umum bahwa kasus Komando Jihad merupakan sebuah rekayasa Militer untuk memojokkan gerakan Islam Politik pada saat itu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa, ada kecurigaan pemerintah ikut bermain dalam kemunculan berbagai gerakan radikal Islam tersebut. Beberapa politisi muslim menafsirkan dalam perspektif yang berbeda, dalam pandangan elite PPP, tindakan itu dimaksudkan untuk menangkap sejumlah politisi Islam yang tidak disukai menjelang pelaksaan pemilu 1977.3

Kasus Komando Jihad sebenarnya juga bertujuan untuk sebagai peringatan terhadap Islam politik tentang pandangan angkatan bersenjata terhadap dukungan fanatik Negara Islam. Dalam peristiwa ini adalah Ali Moertopo yang sangat berperan penting dalam proyek Operasi Khusus (OPSUS). Ali Moertopo merekrut beberapa bekas petinggi DI/TII untuk kemudian dia bina dalam melaksanakan proyek OPSUS ini. Dengan isu kembalinya faham Komunis di Indonesia, ia membina dan melatih mereka, bahkan ia sengaja mempersenjatai mereka untuk melawan Komunisme.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM. Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah pulau di Teluk Jakarta.

3

M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 80.


(15)

Perlu diketahui bahwa pembahasan tentang Gerakan Komando Jihad secara keseluruhan sangatlah luas, untuk itu penulis berinisiatif merumuskan permasalahan pada:

1. Apa latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad pada tahun 1976-1981?

2. Apa motifasi dan tujuan gerakan Komando Jihad pada tahun 1976-1981?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis skripsi ini mencoba menampilkan obyektifitas kepada pembaca tentang apa sebenarnya gerakan DI/TII khususnya pada kasus gerakan Komando Jihad.

2. Secara praktis, skripsi ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang gerakan DI/TII dan melihat sejauh mana Komando Jihad berperan dalam percaturan politik di Indonesia pada tahun 1976-1981an. 3. Tulisan ini diharapkan bisa memberikan tambahan wacana dan referensi bagi

kalangan akademisi untuk keperluan lebih lanjut tentang gerakan Komando Jihad dan hubungannya dengan gerakan radikal di Indonesia.

D. Kajian Pustaka

Sejauh ini ada beberapa tulisan tentang DI/TII (NII) dan kasus Gerakan Komando Jihad, diantaranya:

1. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi, buku terbitan LP3ES tahun 2008, yang ditulis oleh M. Zaki


(16)

Mubarak. Buku ini menelusuri akar pemikiran gerakan islam radikal di Indonesia. Dalam beberapa sub judulnya, penulis menerangkan latar belakang kemunculan serangkaian peristiwa teror yang terjadi pada tahun 1976-1981/ era orde baru.

2. Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia ditulis oleh Ken Conboy, buku ini menerangkan seluk beluk dunia intelijen Indonesia pada masa Orde Baru, dibahas pula bagaimana kronologi munculnya gerakan Komando Jihad yang tidak lepas dari unsur keterlibatan oknum intelijen di dalamnya.

3. Soeharto and His Generals: Indonesian Miitary Politics 1975-1983 sebuah karya David Jenkins, diterbitkan oleh Cornell Modern Project tahun 1984. Dalam buku ini dibahas bagaimana terjadinya konflik antara Jenderal-Jenderal dalam badan intelijen Indonesia khususnya di era Orde Baru, para Jenderal ini sengaja mengkoordinasi kekuatan militer dan intelijen untuk merekrut, membina para mantan DI/TII dalam rangka kegiatan Komando Jihad

Dalam skripsi ini penulis mencoba memaparkan fakta baru yang berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan cara menganalisa fenomena gerakan Islam radikal, khususnya kasus Komando Jihad tahun 1976-1981 dengan dasar teori-teori gerakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan massa: protes.

Skripsi ini juga mencoba memaparkan fakta-fakta persidangan dari tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan ini, seperti haji Ismail Pranoto, Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar. Dari fakta persidangan ini dapat diambil kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakan dan tujuan utama gerakan Komando Jihad ini.


(17)

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan metode kualitatif dengan berfokus kepada deskriftif-analisis, yaitu memberikan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif serta melakukan eksplorasi lebih jauh lagi menyangkut gerakan DI/TII khususnya Gerakan Komando Jihad di era 1970an.

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis tempuh adalah sebagai berikut:

1. Data Primer4

Data primer, adalah data yang penulis kumpulkan dari tulisan-tulisan mengenai gerakan Komando Jihad dari nara sumber pertama, baik yang sudah di bukukan, artikel yang masih tercecer dalam majalah, dan internet, maupun dengan wawancara langsung dengan pihak terkait.

2. Data Sekunder5

Data sekunder, adalah data yang penulis kumpulkan dari berbagai macam sumber, baik itu berupa buku, majalah, koran atau jurnal yang memiliki kaitan yang erat dengan petualangan politik gerakan Islam radikal di Indonesia khususnya tentang jejak politik gerakan Komando Jihad. Tulisan yang di maksud disini adalah karya-karya para akademisi, pengamat, dan data yang mengenai gerakan-gerakan tersebut.

4

Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009,

(Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009), hal. 466. 5

Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009,


(18)

Di samping itu penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh yang terkait dengan masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulis merasa perlu menggunakan sistematika pada penulisan skripsi ini dengan tujuan pengaturan susunan pembahasan pada karya ilmiah ini agar dalam pembahasannya menjadi terarah. Dalam sitematika penulisan ini, penulis membagi pembahasan-pembahasan pokok menjadi lima bab.

Adapun penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab berisi sub-sub bab, secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Tulisan didahulukan dengan bab I, merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan pembahasan dalam bab-bab selanjutnya, sekaligus merefleksikan isi skripsi secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Dalam bab II, akan di bahas tentang sejarah pergerakan NII (DI/TII) secara umum, Negara Islam dalam lintasan sejarah, bagaimana terbentuknya, siapa tokoh ideologi gerakan sampai bagaimana penumpasan gerakan oleh pemerintahan Orde Baru.

Dilanjutkan dengan bab III, yang berisi tentang pembahasan secara umum tentang gagasan awal munculnya gerakan Komando Jihad, dinamika politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada bab III penulis juga membahas tentang tokoh-tokoh penting Gerakan Komando Jihad seperti Haji Ismail Pranoto, Abu Bakar


(19)

Basyir, Abdullah Sungkar dan yang lainnya. Penulis juga membahas tentang kronologi Gerekan Komando Jihad dalam menentang Pancasila sebagai Asas Tunggal, kasus Gerakan Komando Jihad Haji Ismail Pranoto, teror Warman dan kasus Gerakan Imron.

Sementara pada bab IV, difokuskan pada pembahasan tentang ideologi dan Gerakan Komando Jihad dan juga bagaimana sikap dan respon perintah Indonesia terhadap gerakan ini.

Penulisan ini akan diakhiri bab V, dalam bab penutup ini, penulis akan memberikan kesimpulan-kesimpulan mengenai apa sebenarnya latar belakang munculnya gerakan radikal Komando Jihad, peran dalam perpolitikan Indonesia dan apa sebenarnya tujuan dari gerakan ini.


(20)

BAB II

KOMANDO JIHAD SEBAGAI GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS: LANDASAN TEORI DAN KONSEP

A. Konsep Gerakan Sosial

Gerakan Sosial tidak bisa dipisahkan dari proses kehidupan bernegara di Negara manapun juga. Hal ini terjadi sebagai efek dari perilaku kolektif dari sekelompok manusia yang bertujuan untuk menyampaikan opini-opini mereka terhadap individu atau sekelompok manusia lainnya.

Menurut John Lofland, ada lima komponen utama realitas publik yang banyak dijumpai saat melakukan studi tentang perilaku kolektif dan gerakan sosial. Komponen tersebut adalah:6

1. Kumpulan manusia, peristiwa berkumpulnya manusia secara fisik dalam jumlah besar.

2. Organisasi sipil, perkumpulan sipil di luar lembaga sentral.

3. Struktur makro, bentuk-bentuk perkumpulan ekonomi, demografi, politik, kedaerahan dan perkumpulan besar lainnya sebagai tempat sekaligus jawaban terhadap kelemahan organisasi dan aksi manusia.

4. Lembaga sentral, organisasi yang mengontrol tatanan publik dapat berupa pemerintahan, militer dan polisi.

5. Opini massa, sentimen publik secara umum.

6

John Lofland, Protes: Studi Tentang Prilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, (terj),


(21)

Berdasarkan kelima elemen arena publik tersebut, maka dapat dirumuskan definisi konsep gerakan sosial, yaitu: Gerakan sosial merupakan lahirnya organisasi kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, bertambahnya jumlah dan peserta aksi kekerasan dan atau protes terencana dan tak terencana, kebangkitan opini massa, semua yang ditunjukan kepada oknum lembaga sentral, sebagai bentuk usaha untuk melahirkan perubahan pada struktur makro dan atau mikro dari lembaga-lembaga sentral.7

Gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyaknya organisasi baru yang terbentuk, yang mana organisasi-oragnisasi ini ditandai dengan bertambahnya jumlah anggota dalam gerakan mereka, dan semakin banyak aksi kekerasan atau protes terencana dan tak terencana.

B. Gerakan Massa

Dewasa ini banyak Negara di dunia ini tidak luput dari gejala unjuk rasa kolektif, penuh luapan emosi, terkadang dibarengi dengan cara-cara terorisme. Kekuatan dan naluri yang telah keluar dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan manusia dari seluruh pelosok kota dari berbagai latar belakang, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, usia, lalu menyeret mereka dalam satu gerombolan, mengikat dan menyatukan mereka dalam satu semangat, bersatu jiwa, bersatu suara, bersatu bergerak berbondong-bondong mengikuti gerak-gerik dan pekikan, itulah mungkin gambaran suatu gerakan massa.

7


(22)

Menurut Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer mendalilkan bahwa semua gerakan massa, tak peduli apa sifatnya (agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.8

Hoffer mengambil pengertian etimologis dari kata frustasi yang mendorong manusia melakuakan aksi gerakan massa, (latin: frustration): kecewa, gagal). Orang yang frustrasi, menurut Hoffer sedang mengalami kekecewaan terhadap diri sendiri karena kegagalan-kegagalan, merasa hidupnya sia-sia, rusak, tak tertolong, tidak ada harapan lagi. Tipe orang inilah merupakan panen pertama dari gerakan massa yang mempu membangkitkan pada jiwa dari gerakan massa dengan cara mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk itu. Di lain pihak dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.9

8

Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. VII. 9


(23)

C. Perilaku Kolektif: Konteks Protes

Dengan pengertian sederhana, protes diartikan sebagai sebuah aksi, kumpulan, peristiwa, atau bentuk perilaku kolektif kemunculannya didorong dan dihambat oleh beragam konteks perilaku kolektif dan muncul karena (disebabkan) atau tidak muncul (dihalangi) oleh bentuk-bentuk perilaku kolektif lainnya. Menurut John Lofland aksi protes selalu melekat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, berlangsung dalam situasi perilaku kolektif yang stabil, aman dan penuh dengan ketidakpastian terutama yang mengandung unsur kekerasan. Eisinger juga menggambarkan bahwa protes secara implisit memiliki potensi ancaman dan merupakan bentuk sederhana dari ancaman kekerasan.10

Menurut para sosiolog, istilah perilaku kolektif secara harfiah dapat diartikan dan mengacu pada perilaku serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas atau emergent yang tidak dilembagakan (extra-institutional). Kalimat dan definisi ini digunakan untuk menyebut perilaku kolektif dan gerakan sosial, kepanikan, kekacauan, dan kerumunan suka ria.

Untuk menjelaskan fenomena gerakan Komando Jihad pada penulisan skripsi ini, maka penulis perlu memaparkan teori collective hostility yang dikemukakan oleh John Lofland. Ia mengatakan bahwa ada tiga tingkatan collective hostility:11 yang pertama dan yang terendah adalah simbolik (symbolic). Pengelompokan ini didasarkan kepada cara bertindak dan berbicara seseorang dalam mengkomunikasikan ketidaksenangannya terhadap orang yang berniat jahat terhadap

10

John Lofland, Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial, hal. 30-31. 11


(24)

barang dan dirinya. Contohnya adalah: deklarasi tertulis, pidato di depan kerumunan orang, protes lewat unjuk rasa dan aksi jalan, provokasi lewat kata-kata dan mengadakan kerumunan (crowd baiting).

Kedua adalah tingkat collective hostility yang tertuju pada hak milik pribadi dan cara-cara yang dapat menghambat penggunaanya, misalnya: penyitaan barang, boikot terhadap barang atau orang, pemogokan, penguasaan atau pengambilalihan tempat.

Ketiga adalah tingkatan tertinggi tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan. Dengan ketiga gambaran ini dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan Komando Jihad termasuk kedalam kategori collective hostility tingkatan yang ketiga karena Komando Jihad merupakan gerakan yang berupa teror, pengeboman dan pembunuhan.

D. Komando Jihad Sebagai Gerakan Islam Fundamentalis

Terdapat pemahaman yang berbeda dan berbagai definisi yang beragam di kalangan para ilmuwan tentang apa pengertian dan ruang lingkup fundamentalisme. Para ilmuwan telah menafsirkan fundamentalisme Islam dalam berbagai pengertian. Fundamentalisme sendiri merupakan faham dan gerakan yang menyejarah dan bersifat massif terutama dalam masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang berpedoman dengan doktrin-doktrin keagamaan sebagai pijakan dalam segala urusan, baik keduniaan maupun keakhiratan. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut fenomena ini


(25)

sebagai karakteristik dari “peradaban teks” (hadlarat al-nash), sehingga membentuk masyarakat yang sangat menghargai teks.12

Dilihat dari cara penafsiran dan penghayatan terhadap teks, gerakan Islam fundamentalis dapat diklasifikasikan dalam tiga tipologi. Pertama, Fundamentalisme Literal, mereka yang tergolong dalam ketegori ini melihat doktrin keagamaan secara literal dan tekstual. Apa yang disampaikan teks dipahami dan diterima secara taken for granted, tanpa proses penghayatan secara sosiologis dan antropologis, ini kecenderungan umum dari gerakan Islam fundamentalis.

Yang sangat menonjol dari gerakan mereka adalah penyatuan antara agama dan pemikiran keagamaan. Mereka meyakini bahwa pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Nashr Hamid Abu Zayd dan Abdul Karim Soroush melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran keislaman saat ini. Karena itu kedua pemikir tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara agama dan ilmu agama. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat profan.

Kedua, fundamentalisme moderat, ini sering disebut sebagai lokus paradoks fundamentalisme. Pandangan bahwa fundamentalisme adalah perlawanan terhadap modernitas tidak selamanya benar, sebab kalangan fundamentalis justru dilakoni oleh mereka yang secara intens dengan modernitas. Agama menurut mereka adalah dogma yang bersifat praktis, agama tidak perlu didiskusikan dan diinterpretasikan, apa yang datang dari agamwan mesti diyakini sebagai kebenaran absolut. Bahwa

12

Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSIP dan Yayasan TIFA, 2004), hal. 106.


(26)

keberagamaan seseorang diukur secara simbolik, yaitu selama seseorang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan melaksanakan ritual-ritualnya, maka keberagamaan orang tersebut dianggap benar dan sesuai dengan pakem, tatkala berhadapan dengan doktrin sikap yang muncul adalah ketundukan dan kepatuhan

(al-khudlu’ wa al-inqiyad).13

Ketiga, fundamentalisme radikal, kelompok ini merupakan golongan yang selama ini mendapatkan sorotan. Apabila kelompok pertama dan kedua cenderung agak lunak, namun kelompok ketiga ini cenderung menggunakan pemaksaan dan kekerasan sebagai alternatif untuk menggolkan pandangan mereka, oleh karena itu mereka lebih dikenal sebagai kelompok radikal.

Dalam melaksanakan misinya, kelompok radikal mempunyai kecenderungan menolak, mengganti sistem dan membenarkan kekerasan. Klaim mayoritas dijadikan landasan oleh mereka, yaitu bahwa mayoritas umat Islam di Tanah Air dijadikan landasan untuk mendesak pandangan mereka untuk menerapkan hukum Islam (syariat).

Klaim mayoritas dalam kognisi mereka mengakibatkan lahirnya imajinasi politik, bahwa untuk menegakkan hukum Islam diperlukan Negara. Karenanya bagi kalangan radikal, mendirikan Negara Islam adalah satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum Islam. Mereka mempunyai harapan besar untuk mendirikan pemerintahan Islam, tanpa sistem Negara Islam, pesan-pesan keagamaan tidak akan tegak. Yang terjadi sebenarnya tidak hanya romantisme masa lalu, melainkan juga romantisme pada Negara. Akibatnya keinginan untuk memformalisasikan syariat

13


(27)

begitu besar, bahkan harus sampai pada titik pemhabisan dengan menggunakan cara apapun.

Mohammed Arkoun memberikan pengertian yang berbeda tentang diefinisi fundamentalisme. Ia menyatakan bahwa fundamentalisme Islam sebenarnya bukanlah merupakan bagian dari Islam, tetapi merupakan fenomena sosial dan politik semata. Fundamentalisme tidak lebih merupakan hasil dari ideologisasi dan politisasi Islam.14 Demikian halnya keseluruhan faktor yang menggerakkan fundamentalisme Islam, baik oposisi, susunan ideologis, impian kolektif maupun halusinasi individual, tidaklah menuju kepada Islam sebagai agama dan tradisi pemikiran.

Adapun ciri-ciri dan karakteristik Islam fundamentalis dapat dilihat dari pendapat Nader Saidi, ia mengatakan bahwa gerakan Islam fundamentalis dapat ditandai dengan:

1. Mengajukan penafsiran yang bersifat absolut terhadap teks-teks Tuhan yaitu penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan.

2. Faham penyatuan antara agama dan Negara yang diwujudkan dalam ide sistem pemerintahan teokrasi.

3. Metode penafsiran yang bersifat literal-skriptural.

4. Penolakan atas dominasi atas simbol-simbol modern dan barat.

14

Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme (terj), (Surabaya: Alfikr, 1999), hal. 209.


(28)

5. Penolakan atas sosialisme dan kapitalisme yang merupakan konsekuensi dari keyakinan terhadap nilai kekhususan Islam. Islam memiliki konsepsi sendiri yang meliputi keseluruhan aspek.

6. Pan-Islamisme, pemeluk Islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah (ummat al-wahidah). Angan-angan mewujudkan satu kekhalifahan Islam adalah merupakan satu perwujudan dari ide ini.15

Melihat karakteristik gerakan Islam Fundamentalis secara umum, maka kecenderungan ini bisa dilihat pada aktivitas gerakan-gerakan Islam di Indonesia dan di dunia Islam pada umumnya. Seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunokasi Ahlu Sunah Waljamaah (FKSWJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslilm Indonesia (PPMI), Himpunan Mahasiswa Antar Kampus (Hammas Indonesia), Ikhwanul Muslimin (IM), dan Gerakan Tarbiyah. Terkadang kelompok-kelompok Islam begitu gencar mengampanyekan penerapan syariat. Mereka memandang bahwa Piagam Jakarta merupakan harta karun umat Islam yang tertunda.

Berbagai gerakan Islam pada kurun waktu 1976-1980 atau pada masa Orde Baru adalah termasuk dalam gerakan Islam fundamentalis, karakteristik fundamental dan radikal terdapat pada gerakan Komando Jihad Haji Ismail Pranoto, kasus Gerakan Imran dan juga pada gerakan Teror Warman. Semua

15Nader Saidi, “What is Islamic Fundamentalism” dalam Jeffrey K Hadden & Anson Shupe (eds.), Prophetic Religions and Politics: Religion and the Political order (New York: Paragon House, 1986), hal 182-189., sebagaimana dikutip dalam M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 19.


(29)

gerakan ini bertujuan sama yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia, faham penyatuan antara agama dan Negara diwujudkan dalam ide dan gerakan kelompok-kelompok ini. Dengan berbagai aksi teror, pembunuhan, pembajakan pesawat yang dilakukan, maka hal ini menyatakan bahwa gerakan mereka tergolong gerakan Islam fundamentalis radikal.


(30)

BAB III

LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN KOMANDO JIHAD: HUBUNGAN KOMJI DENGAN DI/TII KARTOSOEWIRJO

A. Negara Islam Dalam Lintasan Sejarah

Konsep Negara Islam (Darul Islam) adalah hasil penafsiran dari pemerintahan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dengan istilah madinah ketika itu. Menurut penafsiran ini mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu, untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para pengikut beliau.

Negara adalah bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan, hanya dengan kekuasaan yang berdasarkan Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang. Mengutip istilah Yusuf Qardhawy, tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali “kekuasaan syariat”. Banyak tokoh termasuk Al-Maududi menyebut kekuasaan berdasarkan syariat ini sebagai “theo-demokrasi” atau “demokrasi Islam”.

Di Indonesia, penafsiran ini dianut oleh S. M. Kartosoewirjo, secara tegas ia menyatakan bahwa bentuk kongkrit kekuasaan itu adalah Negara Jumhuriyah Al-Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.

Madinah sebagai bentuk Negara Islam ketika itu, dengan Nabi Muhammad sebagai komandan tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka. Dengan menapak


(31)

tilas semangat jihad Rasulullah SAW, di Indonesia, Darul Islam didirikan ulang oleh S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII). Kartosoewirjo memproklamasikan NII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.16

Konsep Negara Islam menurut Dr. M. Amien Rais berhubungan dengan istilah khilafah dan imamah. Khilafah menurut Amien Rais adalah suatu missi kaum muslimin yang harus ditegakkkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya Al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci tetapi dalam bentuk global saja. Kata imamah juga tidak terdapat secara tertulis dalam Al-Qur‟an. Tetapi kalau kata imamah dimaksudkan sebagai kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur‟an. Artinya Al-Qur‟an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang munafik dan kafir.17

Istilah paling umum untuk menggambarkan gerakan radikal adalah “fundamentalisme”, guna menunjukkan sikap kalangan muslim yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. John L. Esposito melengkapi kategori ini dengan

16

C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 84.

17

Panji Masyarakat, no. 376/1982., sebagaimana dikutip dalam Laksmi Pamuntjak & Djohan Agus Edy Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem,


(32)

menyatakan bahwa fundementalisme dicirikan pada sifat “kembali kepada kepercayaan fundamental agama”. Dalam semua praktik kehidupan Muslim, mereka mendasarkan pada Al-Qur‟an dan Sunnah secara literal. Pada gilirannya fundamentalisme sering menunjuk pada kelompok yang mengacu pada literalis dan berharap kembali kepada kehidupan masa lalu. Bahkan lebih jauh lagi, fundamentalisme sering disamakan dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika.18

Radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum:19 Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons itu muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti.

18

John L. Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality?, (Oxford: Oxford University Press, 1992), hal. 7-8., sebagaimana dikutip dalam M Zaki mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, hal. 20.

19

Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1993), hal. Xvii-xviii.


(33)

B. Terbentuknya NII-DI/TII

Sebelum Indonesia merdeka terjadi pergulatan ideologi dan faham yang telah banyak mengahasilkan banyak gerakan-gerakan politik. Organisasi-organisasi yang aktif memperjuangkan kemerdekaan dapat dipetakan menjadi beberapa bagian. Corak organisasi pasca kemerdekaan ada yang bercirikan Islam dan ada yang bercirikan Sosialis. Kedua kelompok organisasi ini perlahan memperoleh pendukung yang semakin banyak.

Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terbentuk dari Partai Sarikat Islam (SI) sebuah organisasi politik yang berasaskan Islam. Awal terbentuknya dimulai ketika Kartosoewirjo sebagai tokoh sentral dari DI/TII memasuki organisasi politik Sarikat Islam di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo, terutama cita-citanya mendirikan Negara Islam di Indonesia.

Kartosoewirjo terpilih sebagai komisaris partai untuk wilayah Jawa Barat pada kongres akhir tahun 1929. Tepatnya ia bertugas di Malambong, desa perbatasan Garut dan Tasikmalaya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayat. Ia menikah dengan Dewi Siti Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera. Di Malangbong inilah Kartosoewirjo kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang Islam.20

Kartosoewirjo terpilih menjadi sekertaris umum PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Temoer) pada kongres di Pekalongan bulan Desember 1927. Dalam rangka

20


(34)

melaksanakan disiplin partai, SI memberlakukan peraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Akhirnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI yang selanjutnya pada tahun 1930 SI mengganti nama menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Pada kongres berikutnya tahun 1931, Kartosoewirjo terpilih kembali untuk menduduki jabatan sekertaris umum partai. Keputusan ini memaksanya meniggalkan Malambong untuk kembali ke pusat.

Perpecahan dalam tubuh PSII menyeruak, krisis yang tengah terjadi kian bertambah, ajang perebutan kekuasaan dalam tubuh partai meramaikan suasana PSII ketika H.O.S Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Pertentangan antara dua golongan kepemimpinan mewarnai gerak-gerik PSII: Dewan Eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) dibawah pimpinan adik H.O.S Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, berhadapan dengan Dewan Partai dibawah pimpinan H. Agus Salim. Keduanya tidak menemukan kesepakatan mengenai kebijakan politik non-kooperatif, kebijakan yang sekian lama menjadi basis perjuangan partai.21

Sebagai solusi alternatif, pada tahun 1936 diadakanlah kongres partai ke-22 di Batavia yang bertujuan untuk memilih ketua partai. Akhirnya Abikoesno Tjokrosoejoso terpilih memangku jabatan tersebut dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Atas inisiatif Abikoesno muncullah kebijakan politik partai yang disebut “hijrah”, yang kemudian dikenal dengan politik hijrah PSII. Kemudian ia

21


(35)

menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun brosur lengkap tentang kebijakan tersebut.22

Situasi dalam partai pada tahun-tahun berikutnya banyak berubah. Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai pimpinan partai yang semula gencar meneriakka politik hijrah, membela semangat non-kooperatif partai kini berbalik berhadapan dan bertentangan dengan Kartosoewirjo. Abikoesno beserta Dewan pimpinan yang lain berharap Kartosoewirjo mau bergabung bersama satuan organisasi Islam GAPI (Gabungan Politik islam). Namun Kartosoewirjo menolaknya dan tetap pada prinsip awalnya yaitu politik hijrah.23

Kongres PSII ke-22 bulan Juli 1936 menetapkan Abikusno sebagai ketua partai, ia memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Kartosoewirjo menjabat sebagai wakil ketua partai sampai ia keluar pada tahun 1939.24 Kartosoewirjo terpaksa dikeluarkan dari partai dan disepakati dalam kongres partai ke-25 pada bulan Januari 1940 di Palembang, dengan 134 suara setuju dan 9 suara netral.

Karena meyakini bahwa partainya adalah satu-satunya partai PSII yang benar, Kartosoewirjo mengubah Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII) menjadi sebuah partai yang berdiri sendiri. Ia bekerja sama dengan Jusuf Taudjiri dan Kamran dalam membentuk anggaran dasar dan peraturan-peraturan partainya.25 Pada akhirnya

22

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,

(Darul Falah, Juni 1999), hal. 10. 23

Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 21.

24

Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoewirjo : Proklamator Negara Islam Indonesia (Yogyakarta: Wihdah Press, 1995), hal. 34.

25


(36)

Ia memutuskan untuk mengubah KPK PSII menjadi sebuah partai yang bermarkas di Malambong tetapi dengan tetap menggunakan haluan politik PSII.

Dengan berniat meneruskan cita-citanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang Islami, Kartosoewirjo memimpin pergerakan KPK PSIInya yang kelak kemudian dikenal dengan sebutan Darul Islam. Sebagaimana C. Van Dijk menegaskan bahwa “PSII kedua sendiri merupakan titik mula bagi perekrutan kader untuk Darul Islam”.26

C. Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DI/TII

Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh sentral DI/TII, ia adalah tokoh ideologi DI/TII sekaligus sebagai proklamator berdirinya NII (Negara Islam Indonesia). Ia lahir di Cepu sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.27 Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga cukup berada, hal ini membuatnya mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas di masanya. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda dalam menangani urusan distribusi perdagangan candu.

Saat berusia enam tahun Kartosoewirjo memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat, ia dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya. Pada jenjang berikutnya ia melanjutkan pendidikan di Hollandsch-Inlandsce School (Sekolah

26

C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan, hal. 28. 27

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,


(37)

Bumi Putera), ia meneruskan pendidikannya di Europesche Lagere School, keduanya termasuk sekolah elite bagi seorang putra pribumi pada saat itu.

Pada masa pendidikannya Islam politik adalah salah satu hal yang menarik dan cukup menjadi topik perhatian bagi Kartosoewirjo. Meskipun pada dasarnya Ia lahir di tengah-tengah keluarga priyayi Jawa, yang kurang mengenal tradisi, kultur dan pendidikan Islam dan bahkan latar belakang pendidikannya sarat dengan gaya pendidikan modern ala Belanda di masa itu.

Kartosoewirjo telah akrab dengan dunia aktifis dan politik praktis sejak masa mudanya. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena memiliki buku-buku yang berhubungan dengan sosialis dan komunisme, yang pada saat itu sangatlah tabu karena stigma negatif yang melekat pada dua ideologi tersebut.

Banyak tokoh yang mempengaruhi Kartosoewirjo dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang membawanya pada realistis politik di pentas nasional melalui Sarikat Islam (SI). Pengalaman-pengalamannya pun sangat mendukung untuk bisa menjadi seorang aktor intelektual di pentas pergerakan.

Satu hal yang menarik, Kartosoewiryo tidak hanya seorang aktifis yang berada di lapangan dan mengendalikan massa dan kondisi akan tetapi ia juga seorang wartawan, redaktur harian Fadjar Asia, ia juga berjuang dengan pena, menerbitkan artikel-artikel propaganda yang mengkritik dan menentang bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Seorang dengan kapasitas sebagai aktifis sekaligus organisatoris, menggunakan senjata lembaga dan pena untuk melawan penjajah Belanda pada waktu itu.


(38)

Pada tahun 1940 dengan semangat keislamannya Kartosoewiryo membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malambong. Lembaga ini adalah semacam pesantren tradsional yang disusun menurut sistem pesantren dan madrasah. Pola pengajarannya mengikuti dan meniru gaya dan metode pengajaran H.O.S Tjokroaminoto, para siswa disamping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga mendapatkan bimbingan politik. Lembaga ini menggunakan konsep yang terkenal dengan nama Daftar Usaha Hijrah. Siswa-siswa yang belajar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Jawa Barat, Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Kalimantan. Kartosoewirjo dan para siswa dari perguruan Suffah ini lah yang di kemudian hari bersama-sama mencoba mendirikan sebuah Negara Islam (Daulah Islamiyah).28

Karena dituduh menjadi mata-mata Jepang, Kartosoewirjo dihukum di penjara Purwakarta selama satu setengah bulan. Ditinggalkan olehnya, perguruan Suffah masih tetap berjalan semestinya pada massa pendudukan Jepang di Indonesia. Kemudian perguruan ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halaman masing-masing, sampai pada akhirnya dibuka kembali pada akhir pendudukan Jepang, ketika para pemuda Hizbullah latihan kemiliteran.29

Setelah vakum dalam kegiatan politiknya, Kartosoewirjo mulai masuk pada sebuah organisasi Islam MIAI (Madjlis Islam „Alaa Indonesia), sekaligus ia langsung menjadi sekretaris dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut di bawah

28

C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan, hal. 29 29


(39)

pimpinan Wondoamiseno pada tahun 1943,30 sampai pada akhirnya semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada rakyat Indonesia dalam waktu beberapa bulan kedepan. Hal ini telah disepakati oleh pejabat militer Jepang pada bulan Juli 1945.

Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata umat Islam mengalami kekalahan dalam percaturan politik di Indonesia, yaitu diterimanya Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara dan dihapusnya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Penghapusan ini membuat banyak kalangan tokoh Islam kecewa terhadap pemerintah Republik termasuk Kartosoewirjo yang akhirnya bertekad meneruskan cita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia.31

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1948 semua pemimpin Islam daerah Priangan termasuk Kartosoewirjo mengadakan konferensi di desa Pangwedusan distrik Cisayong.32 Pertemuan ini untuk membahas Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda yang dilakukan di atas sebuah kapal. Kartosoewirjo sepakat bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda. Juga perjuangan melawan anggota Sabilillah dan Hizbullah yang berhianat harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa.

Konfrensi di Cisayong tersebut menghasilkan keputusan penting dalam terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII), memberlakukan Masyumi di Jawa Barat

30

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,

hal. 55. 31

B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia : 1950-1970. Pent. Safroedin Bahar, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 95.

32

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,


(40)

dan semua cabangnya, membentuk pemerintah daerah di Jawa Barat oleh Umat Islam di daerah tersebut. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai ketua Masyumi daerah Periangan, Dahlan Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji‟ah sebagai ketua Poetri GPII, Abdullah Ridwan sebagai ketua Hizbullah untuk Periangan dan Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah daerah Periangan.33 Pertemuan ini adalah cikal bakal terbentuknya Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.

Cita-cita menuju tegaknya Negara Islam Indonesia semakin mantap setelah diadakannya pertemuan di Cisayong/Pangwedusan. Dalam pertemuan ini terbentuk suatu keputusan dan terlihat rencana yang telah tersusun rapih. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Van Dijk “Walaupun tidak diucapkan secara terang-terangan, cita-cita suatu Negara Islam Indonesia tidak pernah lenyap dari pikiran mereka. Struktur militer dan pemerintah yang disusun Kartosoewirjo dan Oni yang secara resmi terbatas pada Jawa Barat, jelas dimaksudkan sebagai pemerintah bayangan, yang akan berfungsi jika pemerintah Republik kalah dalam perang melawan Belanda…”34

Dalam keputusan ini terjadi kesepakatan untuk membagi daerah operasi gerakan dalam tiga bagian, D.I, D. II dan D. III. Hal ini memperjelas bahwa kemudian hak untuk membentuk Darul Islam telah tercapai dengan adanya pembagian wilayah tersebut.

33

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,

hal. 73. 34


(41)

Persiapan menuju Negara Islam semakin bertambah lengkap dengan diadakannya pertemuan kembali pada 1-5 Mei 1948 di Cijoho. Pertemuan ini membahas suatu rancangan konstitusi persiapan di Negara Islam yang kemudian konstitusi itu berhasil disusun pada 27 Agustus 1948 yang dinamakan Qonun Azasi, serta dibentuk suatu Dewan Imamah, Dewan Penasehat atau Dewan Fatwa. Kartosoewirjo sendiri ditunjuk sebagai Imam yang berarti menempati posisi di dalam Dewan Imamah.35

Langkah selanjutnya yang dilakukan Kartosoewirjo adalah memberikan kabar akan niatnya mendirikan Negara Islam di Indonesia kepada para politikus Indonesia yang ketika itu berada di Yogyakarta pada tanggal 8 Juli 1949, mengingat situasi dan kondisi Indonesia dalam masa yang kritis dan fatal, hal yang sangat mendasar perlu secepatnya dilakukan. Ketika itu Pemerintah Republik diungsikan keberadaannya ke Yogyakarta, menyusul dikosongkannya wilayah Jawa Barat sebagai wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh Belanda. Negara Islam Indonesia beserta kesatuan Tentara Islam-nya dibentuk sebagai solusi alternative yang keputusannya diambil dengan sangat mendesak oleh Kartosoewirjo beserta semua rekan-rekannya.

19 Desember 1948 meletuslah agresi militer Belanda ke-2 yang membuat bangsa dan Negara Republik Indonesia kian terpuruk. Pemerintah Republik yang telah jatuh ke tangan kekuasaan Belanda, menjadi alasan bagi tentara Republik atau TNI untuk membatalkan perjanjian Renville dan kembali menuju Jawa Barat guna melawan Belanda. Hal ini otomatis mempertemukan TNI dengan satuan-satuan

35

Untuk lebih jelasnya lihat Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, (Darul Falah, Juni 1999), hal. 75.


(42)

gerilya tentara Islam pimpinan Kartosoewirjo yang telah terbentuk di daerah Jawa Barat.

Tentara Islam Indonesia menyerukan kepada pihak TNI untuk bersatu dan sebaiknya menempatkan diri dibawah komando TII Jawa Barat. Tetapi pihak TNI tidak menggubris seruan ini dan menyatakan berhadapan dan berperang melawan pihak TII. Perang pun tak dapat dihindari lagi, peristiwa bentrokan ini terkenal dengan nama “peristiwa Antarlina” pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina dekat dengan Malambong. Ini adalah perang segi tiga pertama di Indonesia, karena ada tiga pasukan yang siap siaga: TII (Tentara Islam Indonesia), TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Pasukan Belanda.36

Perang Segi Tiga ini melahirkan perang-perang lain yang cukup panjang dan menjadikan keadaan Jawa Barat semakin rusuh dan kacau. Hingga pada saat terjalin perjanjian bersama antara pihak Belanda dan Republik, perjanjian yang dikenal dengan istilah “Perjanjian Roem-Van Royen” pada tanggal 7 Mei 1949. Dari perjanjian ini diperoleh kesepakatan untuk mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia.

Permusuhan antara Belanda dan Republik Indonesia terhenti untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kubu Darul Islam Kartosoewirjo. Ia dan DI/TII-nya harus berhadapan secara fisik dengan kedua belah pihak, Belanda dan Tentara Republik.

36

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 84.


(43)

Perjuangan senantiasa masih harus dilanjutkan, meski secara formal pihak Belanda telah mengakui kembali kedaulatan Pemerintah Republik, namun sebenarnya Belanda masih tetap sebagai musuh yang nyata selama berada di Bumi Indonesia. Kartosoewirjo melihat bahwa beberapa perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak antara Republik dengan Belanda adalah hanya siasat yang dilakukan Belanda untuk mengecoh pihak Republik.

Semua perjuangan ini harus mendapatkan perwujudan yang kongkrit, perjuangan ideologi menegakkan panji-panji Islam di Tanah Air masih terus berlanjut bahkan semenjak paska kemerdekaan 1945 dimana pihak penjajah kolonial menginjakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi.

Tentera Islam Indonesia menawarkan diri bekerja sama dengan pihak Republik untuk bergabung melawan penindasan Belanda. Akan tetapi tawaran ini disambut sebelah mata oleh pemerintah Republik, maka Kartosoewirjo beserta rekan-rekanya tidak mengulur-ngulur waktu lagi, saat yang ditunggu telah tiba, sehari setelah M. Hatta, sebagai wakit Presiden RI berangkat ke Den Haag untuk mengikuti sidang Konferensi Meja Bundar, Negara Islam Indonesia akhirnya diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat.37

Dua hal yang mengisyaratkan Kartosoewirjo mengambil keputusan untuk segera memproklamasikan Negara Islam Indonesia, yaitu pertama, kekecewaan terhadap pemerintah Republik dalam melayani setiap diplomasi yang menurutnya hanya menjadi akal-akalan musuh. Kedua, adanya kekosongan atau jatuhnya

37


(44)

pemerintahan daulat Republik Indonesia selama diplomasi yang memaksanya harus memproklamasikan NII dengan segera di Jawa Barat.

D. Penumpasan DI/TII

Negara Islam Indonesia berdiri, semenjak itu pula keaadaan wilayah di Indonesia, Jawa Barat khususnya dengan sendirinya menjadi tersibukkan dibanding sebelumnya, secara otomatis berarti bertambahnya satu urusan bagi Republik Indonesia dan bisa dikatakan sebagai masalah baru bagi kedaulatan Republik.

DI/TII yang sengaja memanfaatkan situasi kosong di wilayah Jawa Barat untuk kemudian dijadikan wilayah kekuasaan mereka, tetapi sebenarnya ada fenomena lain selain Darul Islam, yaitu kemunculan tegas dari pasukan-pasukan bersenjata lain, yakni pasukan-pasukan yang tersisa secara kesatuan disaat pelaksaan keputusan perjanjian Renville, pasukan-pasukan ini kemudian mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk tetap di wilayah Jawa Barat menentang serangan pihak kolonial Belanda.38

Pihak tentara Republik terus mengadakan operasi-operasinya di Jawa Barat hingga memasuki tahun 1950, dalam rangka membereskan situasi yang kacau tersebut. Dengan pertimbangan harus dengan cepat membersihkan wilayah dari gangguan-ganguan pasukan liar di luar TNI. Bahkan TNI menyebutkan di sekitar tahun 1950-1960 pasukan TII semakin besar jumlahnya, sampai mencapai 13.129 personil dengan kelengkapan senjata 3000 buah termasuk bren dan montir dan itu

38


(45)

berarti sangat merepotkan operasi yang dilakukan pihak TNI.39 Kartosoewirjo dan DI/TII-nya tetap dianggap sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DI/TII ternyata berhasil memberikan pengaruh gerakan ideologi Islam, ini terbukti dengan adanya perluasan gerakan dan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah yang berhasil pula memproklamasikan berdirinya Negara Islam di bawah komando Amir Fatah pada akhir April 1949, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah komandan Kahar Muzakkar, Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1954 juga menjadi bagian dari NII dengan tokohnya bernama Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam yang hingga kini masih menjunjung Ideologi Islamnya juga ikut bergabung sekitar tahun 1953 dengan dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. Bagi pemerintah Republik gerakan-gerakan ini tidaklah lebih dari perbuatan maker, represif dan kudeta terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan harus segera diadakan perlawanan demi pencegahan terhadapnya.40

Tidak ada kata lain dari Pemerintah dan Tentara Republik untuk mengadakan operasi demi operasi demi mewujudkan cita-cita pencegahan tersebut, meski harus berperang dengan pihak pasukan liar terutama Darul Islam yang sebenarnya adalah kawan sebangsa, setanah air bahkan pula seagama. Berbagai upaya dilakukan hingga pergantian cabinet demi tercapainya ketertiban kondisi dan situasi dari wilayah pemberontakan.

39

C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan,hal. 92. 40

Lihat keputusan sidang perkara terhadap Kartosoewirjo yang dikutip dalam Al-Chaidar,


(46)

Secara teknis terdapat kesulitan yang dirasakan dalam operasi karena rumit dan repotnya menjelajah lapangan tempat para gerilyawan pemberontak bermarkas dan bergerak, pada umumnya menggunakan sarana hutan, semak belukar maupun gunung dan perbukitan untuk dijadikan tempat persembunyian mereka kelak.41

Diantara sekian banyak upaya yang dilakukan ialah melalui perundingan dengan pihak TII, perundingan yang sempat dilakukan oleh pihak pemerintah adalah pada masa kabinet Natsir. Pemerintah memberikan maklumat kepada pihak gerilyawan agar segera menghentikan pergerakan pemberontakannya, dan segera akan diberikan amnesty atau semacam ganti rugi dari pemerintah kepada mereka yang mau menyerahkan diri dan bergabung kembali menjadi anggota bangsa Republik. Akan tetapi para gerilyawan tidak menghiraukan seruan itu sehingga hal yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan.42

Ketika perundingan demi perundingan yang diupayakan oleh pemerintah Republik mengalami kegagalan, maka dicari jalan lain di luar perundingan untuk segera membereskan masalah ini. Maka ditempuhlah jalan perang dengan cara militer yang sesungguhnya, dikenalah kebijakan doktrin “perang wilayah” dan Pangdam Siliwangi Ibrahin Adjie ditunjuk sebagai pelaksana dalam perang tersebut.43

Pada tanggal 1 April 1962, pihak TNI mengadakan operasinya kembali yang diberi nama “Operasi Brata Yudha”. Peperangan yang berlangsung sampai pada tanggal 24 April 1962 tercatat sebagai peperangan hebat yang terjadi di daerah

41

Lebih jelas lihat C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan.

42

C. Van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan, hal. 100. 43

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,


(47)

Bandung Selatan yang banyak meminta korban. Akhirnya pada bulan mei 1962 berapa rekan dekat seperjuangan Kartosoewirjo berhasil ditangkap dan menyerahkan diri, Toha Machfoed dan Moehamad Danoe. Mereka pun meminta kapada Kartosoewirjo dan rekan yang lain untuk segera menyerahkan diri kepada TNI.44 Keadaan ini membuat pasukan DI/TII-NII merasa terdesak dan menganggap tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.

Pasukan TNI di bawah pimpinan Suhanda berhasil menemukan markas persembunyian pasukan DI/TII-NII pada tanggal 4 Juni 1962. Tepatnya di sekitar wilayah gunung Geber, Cicalengka Selatan, Bandung. Akhirnya Kartosoewirjo dapat ditemukan bersama rekan-rekan yang lain, ia berhasil ditangkap di usianya 59 tahun, ia tertangkap bersama istri dan Kurnia, pengawal pribadinya.45

Setelah tertangkap Kartosoewirjo disidang selama tiga hari yang berakhir pada 16 Agustus 1962. Ia didakwa melakukan tindakan makar, pemberontakan dan diduga merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati oleh para regu tembak pemerintah Republik.46

E. Kemunculan Gerakan Komando Jihad (KOMJI) dan Dinamika Politik Orde Baru

44

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,

hal. 201-202. 45

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,

hal. 205. 46

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo,


(48)

Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru.

Di awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan Orde Baru adalah suatu rekayasa politik (politic enginering) untuk memperlemah potensi politik umat Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintah baru.47 Naiknya rezim Orde Baru di panggung kekuasaan pasca-Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan Orde Baru. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam ketika itu.

Sepeninggalan Kartosoewirjo terjadi perpecahan di tubuh Darul Islam, para penerus perjuangan Kartosoewirjo terlibat konflik internal yang mengakibatkan pecahnya Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). Pasca kematian Kartosoewirjo kepemimpinan DI/TII (NII) dipegang secara kolektif oleh Agus Abdullah, Kahar Sholihat dan Djaja Sujadi dan pada tahun 1976 kepemimpinan DI-NII diserahkan kepada Daud Baureuh yang menjabat selama kurang lebih 2 tahun.48

47

Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia,

(Jakarta: TERAJU, 2002), hal. 29. 48

Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya,


(49)

Dalam perkembangannya DI terpecah menjadi beberapa faksi, pada priode tahun 1979-1994 Djaja Sujadi yang tadinya menjadi wakil Imam disingkirkan oleh kelompok Adah Jaelani yang akhirnya membuat kelompok sendiri. Helmi Aminuddin bin Dani Muhammad Dahlan keluar dari Darul Islam dan membuat kelompok sendiri yang bernama tarbiyah pada tahun 1984. NII terpecah belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang saling mengklaim kebenaran kelompok-kelompoknya dan menyalahkan kelompok yang lain.

Setelah operasi penangkapan terhadap para anggota DI-TII yang jumlahnya cukup banyak, akhirnya pada Agustus 1962 pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada para aktifis DI yang jumlahnya mencapai ribuan, termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer. Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:

“Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.”49

Setelah ikrar bersama yang dilakukan oleh para petinggi DI, gerakan Islam Radikal mengalami kevakuman dan jarang terdengar lagi, tetapi ada diantara petinggi DI yang tidak mau melakukan ikrar dan mencoba bangkit kembali menperjuangkan

49Heri Setiawan, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”,

artikel diakses pada 18 Maret 2010 dari http://www.Komando Jihad.com/2010/1803/.


(50)

cita-cita semula namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Dalam mengamankan kekuasaannya, pemerintah Indonesia cenderung mengembangkan stigma-stigma negatif terhadap kelompok yang dianggap menentang dan berbahaya bagi kekuasaan. Orde Lama menyebut kelompok “kontra Revolusi” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah, Orde Baru menyebut dengan istilah “Anti-Pancasila”, “PKI” dan “Anti-Pembangunan”. Orde Baru meluncurkan stigmasisasi untuk membuat masyarakat ketakutan. “Komando Jihad” termasuk dianggap sebagai ekstrem kanan yang cenderung Islami dan Komunis dianggap sebagai ekstrem kiri.50

Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1976-1984 terjadi sejumlah aksi terror yang terkait dengan dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai “Gerakan Komando Jihad”, menurut penjelasan pemerintah, tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia.

Ali Said, Jaksa Agung masa Orde Baru sempat menjelaskan tentang Gerakan KOMJI pada acara dengar pendapat dengan Komisi III DPR akhir Juni 1977, “Komando Jihad semakin popular. Dalam kegiatan bawah tanahnya KOMJI terkadang bernama “Jihad Fisabilillah”, “Pasukan Jihad”, “Barisan Jihad Sabilillah”,

50

Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli,


(51)

dan sebagainya. Ali Said juga mengatakan bahwa otak, pencetus dan perencana gerakan KOMJI adalah para mantan anggota dan pimpinan DI/TII.”51

Ali Said juga menjelaskan bahwa sesepuh “Komando Jihad” berada di Jawa Barat. Dia menjadi Panglima Komando Wilayah Komandemen I, selain di Jawa Barat, sesepuh KOMJI juga ada di Jawa Tengah. Pada 1976, mereka menetapkan wakil Panglima Komando Wilayah Besar dan 20 Komando Wilayah karesidenan. Pada Maret 1977, mereka membentuk “Pasukan Jemaah Jihad”. Program jangka pendek mereka adalah menggagalkan Pemilu 1977, menumbuhkan keresahan sosial dan mengganggu umat beragama.52

Ada semacam kekhawatiran pemerintah Orde Baru terhadap kelompok yang dianggap akan mendongkel kekuasaaan penguasa, segala hal yang mengganggu stabilitas Orde Baru harus segera dimusnahkan karena stabilitas adalah titik pangkal untuk membangun Negara. Penguasa Orde Baru sengaja melindungi diri dari kemungkinan adanya ancaman, militer sebagai alat penguasa ketika itu sangat berperan dalam menemukan dan membasmi kelompok-kelompok yang menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan atau yang terkenal dengan istilah ATHG.

Militer dengan cepat mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan system Orde Baru, beberapa kelompok yang muncul dengan mengatasnamakan semangat keagamaan ada yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan system yang

51

Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli,

hal. 103. 52

Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli,


(52)

telah dibangun. Militer kemudian melindas Komando Jihad yang dianggap salah satu dari kelompok itu. Pelindasan ini menyangkut pembatasan ruang gerak atau penghilangan kemerdekaan kelompok tersebut.

Pengungkapan Komando Jihad menjelang Pemilu 1977 menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu. Ketika Sudomo menerangkan kepada tokoh-tokoh masyarakat tentang adanya kegiatan sekelompok orang yang ingin mengubah dasar Negara Indonesia pada 2 Februari 1977, sejumlah tokoh masyarakat langsung mempertanyakan kebenaran kelompok Komando Jihad.53

F. Tokoh-Tokoh Penting Gerakan Komando Jihad 1. Haji Ismail Pranoto

Ismail Pranoto lahir di Kampung Kedongo Desa Larangan, Brebes, Jawa Tengah.54 Haji Ismail Pranoto yang juga dikenal dengan nama Hispran tinggal dengan istri keduanya yang dinikahi menjelang Pemilu 1977, ia tinggal bersama empat anaknya Kampung Kauman, Brebes Jawa Tengah.55

Di awal Revolusi ia berjuang di Jawa Tengah dan bergabung dengan gerakan S. M. Kartoesoewirjo pada tahun 1948. Tetapi beberapa saat setelah “Imam Darul Islam” itu tertangkap, ia menyerahkan diri dan akhirnya mendapat amnesti dari pemerintah.

53

Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli,

hal. 113. 54

Irfan Suryahardi, Perjalanan Hukum di Indonesia, Sebuah Gugatan, (Yogyakarta: Ar-Risalah, 1982), hal. 26.

55


(53)

Hispran dimata beberapa kenalannya di Brebes adalah seorang aktifis dalam kegiatan dagang dan dakwah Islam. Ia memang cukup berpengaruh di sana, meskipun tidak begitu pandai berpidato. Bahkan tiga tahun menjelang Pemilu 1971, ia menjadi seorang pemimpin Golkar setempat, dan kemudian pada tahun berikutnya ia menjabat menjadi pemimpin GUPPI, sebuah organisasi Islam dalam keluarga Golkar.

Dalam Pemilu 1971, Hispran sempat berkampanye untuk Golkar sampai akhirnya Golkar menang dalam Pemilu tersebut, tetapi meskipun demikian ia sendiri tidak sempat duduk sebagai anggota DPRD setempat ketika itu. Hispran tidak lagi aktif di Golkar pada pemilu 1977, ia memilih berdagang dan menghilang dari peredaran.56

Dalam kegiatan perdagangan itulah ia akhirnya bertemu dan berhubungan kembali dengan rekannya Danu Muhammad Hasan. Pada bulan Ramadhan 1 November 1976, Pangdam VI (Siliwangi) Himawan Sutanto menyelanggarakan silaturahmi dengan seluruh bekas DI/TII Jawa Barat. Dalam pertemuan itu Himawan Sutanto menyatakan bahwa Hispran yang kembali menghilang harus disadarkan. Ternyata secara diam-diam, Hispran juga hadir pada pertemuan itu, belum selesai Panglima mengucapkan kalimat tersebut, seorang laki-laki tampak mengacungkan tangan di tengah para hadirin, “Saya Hispran, Pak,” kata laki-laki itu. Hal ini membuktikan bahwa kontak dan hubungan diantara mantan aktifis Darul Islam itu masih sangat erat.

Setelah muncul dalam silaturahmi di Bandung itu, Hispran kembali tak nampak batang hidungnya hingga kemudian ia nampak bertamu di rumah beberapa

56


(54)

orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, setelah itu kabarnya ia berangkat ke Lampung sampai akhirnya ia tertangkap di sebuah desa Bondoringgit, kabupaten Blitar.

Hispran ditangkap pada tanggal 8 Januari 1977 di desa Bendoringgit, Blitar, Jawa Timur dan diadili di Pengadilan Negeri Surabaya sejak 5 April 1978 dan akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup pada Selasa 19 September 1978. Mula-mula ia dituduh mengorganisir gerakan Komando Jihad untuk menghidupkan kembali DI/TII dan mendirikan Negara Islam.57

Menurut Majelis Hakim yang dipimpin oleh RM Soejono Koesoemosisworo, Hispran dituduh membentuk wadah bagi mantan DI/TII dengan nama “Jemaah Bela Diri” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena wadah bentukan Hispran ini dianggap subversif maka pengadilan pun menerapkan pasal-pasal subversive seperti tercamtum dalam UU No. 11/PNPS/1963.

Tetapi ternyata mengherankan bahwa, Majelis Hakim sendiri menyatakan apa yang disebut Komando Jihad tidak ada di dalam gerakan terhukum. Ini cocok dengan keterangan Jaksa Agung Ali Said di depan Raker Komisi III (Hukum) DPR-RI akhir Juni 1977. Ketika itu ia menyatakan bahwa “Komando Jihad” sebenarnya sebutan untuk bermacam-macam gerakan ekstrim yang dipimpin oleh bekas-bekas DI/TII.

Ali Said mengatakan bahwa gerakan ilegal yang terbentuk sejak 1970 itu bergerak terbatas di Jawa dan Sumatera saja dan ditokohi oleh bekas DI/TII Jawa Barat. Ada beberapa macam-macam nama gerakan itu, misalkan: Gerakan Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah (DKI), Jihad Fillah, dan Jihad Fisabilillah (Jawa

57


(1)

Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain Komando Jihad dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai “Dewan Revolusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Cara-cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan Islam yang meragukan kelompok ini.

Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan Pos Polisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla, mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.88

Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta-Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara


(2)

terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan mendarat di Don Muang, Bangkok, Thailand.

Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus Komando Jihad juga harus dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan. Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.

Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.89

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu 1976 sampai 1984 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar


(3)

itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia.


(4)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, maka penulis secara umum menyimpulkan bahwa:

Latar belakang kemunculan gerakan Komando Jihad, dimulai dengan situasi dan kondisi politik pada masa itu dengan bagaimana melihat hubungan antara pihak penguasa Orde Baru dengan gerakan-gerakan Islam. Secara garis besar penguasa Orde Baru pada awal kekuasaan rezimnya mempunyai cara tersendiri dalam memerankan kekuasaannya khususnya pada panggung politik yang bersinggungan langsung dengan gerakan Islam. Rezim Orde Baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni dengan cara: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam mengahadapi rezim Orde Baru ketika itu.

Kekuatan militer dan inteligen yang dimiliki penguasa Orde Baru sangat berpengaruh kepada gerakan-gerakan Islam yang muncul pada waktu itu. Perekrutan dan pembinaan beberapa tokoh eksponen DI/TII adalah upaya deradikalisasi gerakan-gerakan Islam. Proses akomodasi berbagai gerakan-gerakan ini mempunyai tujuan besar yaitu demi mengamankan kekuasaan itu sendiri.

Ada dua opsi untuk mengambarkan kronologis kemunculan istilah “Komando Jihad”. Pertama, pendapat dari pihak penguasa mengatakan bahwa gerakan Komando Jihad adalah sejumlah aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam semenjak tahun 1967-1984, dan tujuan kelompok ini adalah membentuk “Dewan Revolusi


(5)

Islam Indonesia”, menentang Pancasila dan UUD 1945 dan berkeinginan membentuk negara Islam Indonesia. Situasi ini mengarah kepada teori yang dikemukakan oleh Eric Hoffer tentang gerakan massa yang bersifat teror, bahwa tak peduli apa sifatnya (agama, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis), tak peduli juga apa misi sucinya, memiliki sekelompok ciri-ciri tertentu yang sama: semua mampu membangkitkan pada diri pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi.

Opsi kedua, istilah Komando Jihad adalah rekayasa politik penguasa Orde Baru, tujuan pengungkapan kasus ini menimbulkan dugaan adanya kaitan erat antara maksud pengungkapan dan Pemilu tahun 1977 yang akan diselenggarakan.

Untuk mengetahui motifasi dan tujuan utama dari gerakan Komando Jihad, penulis melihat dari teori collective hostility tingkat yang tertinggi yang dikemukakan oleh John Lofland, yaitu merupakan gerakan yang tertuju pada bentuk perampasan dan penyerangan, contohnya: penyiksaan, pemukulan dan pembunuhan, mengutuk dan melempar jauh masa kini dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang, penuh kepuasan diri dan harapan.

Setelah mengumpulkan data-data mengenai fenomena kemunculan gerakan radikal Komando Jihad, melihat kronologis gerakan dan beberapa fakta persidangan dari tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan gerakan radikal ini, penulis


(6)

menemukan dimensi yang unik seputar kemunculan doktrin-doktrin radikal dalam diri gerakan-gerakan Islam pada masa Orde Baru, jalinan interaksi intelijen dengan eksponen bekas anggota DI/TII yang sangat mempengaruhi ideologi Gerakan Komando Jihad ketika itu.

Dari semua fenomena teror dan gerakan Islam radikal selama kurun waktu 1976 sampai 1981 khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, penulis menyimpulkan terdapat sekenario yang sengaja disusun oleh penguasa dengan kekuatan militer dan intelijennya di balik idealisme gerakan dan para tokoh eksponen DI/TII dengan agenda besar kelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi di luar itu semua terdapat pula perjuangan murni gerakan Islam yang benar-benar mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sampai sekarang pun masih banyak kelompok-kelompok Islam yang beranggapan bahwa Piagam Jakarta adalah harta karun yang tertunda bagi umat Islam Indonesia. Terima kasih.