Kronologi Gerakan Komando Jihad Menentang Pancasila Sebagai Asas
pengadilan menerapkan pasal-pasal subversi yang termuat dalam UU No. 11PNPS1963. Persidangan terhadap Hispran ini dipimpin oleh Majelis Hakim yang
diketuai oleh R.M. Soejono Koesoemosisworo. Tetapi ada sebuah keganjilan dalam acara persidangan, ternyata Majelis Hakim membuat kesimpulan akhir bahwa Haji
Ismail Pranoto tidak terlibat dalam gerakan Komando Jihad. Dari keputusan hakim tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kasus KOMJI
Jawa Timur belum terungkap, karena Hispran sendiri yang pada awalnya dituduh sebagai penggerak utama gerakan akhirnya tidak terbukti terkait dengan gerakan.
Walaupun demikian, selama persidangan Hispran yang berlangsung 25 kali, terungkap berbagai hal yang berhubungan dengan Kasus KOMJI. Salah satu yang
menarik adalah kesaksian dari Ateng Djaelani, 55 tahun, tokoh mantan anggota DITII asal Garut. Menurut Ateng dikalangan mantan tokoh anggota DITII dikenal 3
orang sesepuh, yaitu Danu Muhammad Hasan, Ateng Djaelani, dan H. Ismail Pranoto Hispran. Dalam satu pertemuan mereka bertiga sepakat kembali ke “Maklumat
Komendemen Negara Islam Indonesi a” No. 1, yakni membentuk Komandemen
Wilayah Propinsi dan Daerah Karesidenan. Kemudian pada 1976, Hispran diangkat sebagai Komandan Komandemen Pertempuran Wilayah Besar Jawa-
Madura.
65
Ateng Djaelani dalam kesaksiannya mengatakan bahwa tujuan utama dari gerakan mereka adalah menghidupkan kembali gerakan “Negara Islam Indonesia”
NII dan ada upaya penggulingan terhadap kekuasaan Orde-Baru yang dipimpin Soeharto. H. Ismail Pranoto sendiri ketika itu ditugaskan untuk menghubungi
65
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 108.
beberapa orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Ateng melantik delapan orang dari Jawa Timur untuk masuk sebagai anggota kelompok ini yang bertempat di rumah
Danu di Bandung, Jawa Barat. Pada awalnya gerakan mereka hanya berupa jamaah dan belum mempunyai nama. Kesaksian Ateng ini membenarkan bahwa Hispran
adalah tokoh penting di balik gerakan Komando Jihad pada era Orde Baru. Akan tetapi ada bantahan yang dilontarkan oleh Hispran sendiri terhadap
kesaksian Ateng tersebut, Hispran menuduh Ateng sengaja mengarang kesaksiannya itu. Hispran juga berani mengatakan bahwa Danu dan Ateng sebenarnya adalah orang
pemerintah. “yang satu mendapat gaji dan mobil, yang satu menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat,” kata Hispran dalam sidang 8 Mei 1978.
66
Keterkaitan pihak penguasa dengan gerakan Komando Jihad diperjelas dengan pengakuan Haji Ismail Pranoto yang pernah berkunjung ke rumah Danu di
Senopati dan ia mengatakan Senopati adalah kantor Bakin tempat Danu bekerja. Ada skenario yang dibuat oleh pihak penguasa untuk menyudutkan kelompok Islam,
dalam hal ini Bakin sebagai alat penguasa Orde Baru ketika itu bertugas mengawasi gerakan atau kelompok-kelompok yang cenderung membahayakan Negara.
Kasus pengadilan Hispran penuh adegan yang menimbulkan kecurigaan bahwa Komando Jihad adalah suatu rekayasa politik penguasa Orde Baru dengan
alatnya Bakin. Posisi Ateng di persidangan juga sangat menimbulkan berbagai pertanyaan. Siapakah sebenarnya Ateng Djaelani tersebut?, Hispran sendiri juga
pernah merasa tertipu karena ia mengaku menjadi korban diplomasi dari Ateng.
66
Tempo, 30 September 1978.
Kasus Komando Jihad sedikit mereda setelah tokoh sentralnya Hispran yang akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Kemudian pada tahun 1980 kasus
Komando Jihad marak lagi dengan nama teror Warman. Kelompok Warman itu mulai terkuak sejak Pangkowilhan II, Letjen Widjojo Sujono memberi tahu ulama dan para
cendekiawan Islam Jawa Timur bahwa Pemerintah tidak akan lagi menggunakan istilah “Komando Jihad” untuk menyebut kelompok Warman. Istilah yang dipakai
pemerintah adalah “Kasus Teror Warman”. Hal ini menimbulkan kecurigaan kembali bahwa ada tujuan tertentu dalam penggunaan istilah “Komando Jihad”.
Warman adalah mantan anggota DITII Kartosoewirjo yang pindah ke Sumatra Selatan. Di tempat itu, antara 1976-1978, Warman melakukan 16 aksi
perampokan dan pembunuhan. Sejak 1979, ia mengalihkan operasinya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Operasi yang dilakukan Warman dan kelompoknya adalah
pembunuhan terhadap Parmanto, Pembantu Rektor I Universitas Negeri Sebelas Maret, 11 Januari 1979 dan pembunuhan mahasiswa IAIN Yogyakarta, Hasan Bauw.
Dengan nama samaran Musa, Warman dan dua anggota kelompoknya tertangkap di Malang 4 April 1979 setelah mereka gagal merampok gaji IKIP Malang.
67
Setelah mereka tertangkap, kelompok Warman jarang disebut dalam wacana publik. Tindakan secara hukum dengan memproses kelompok Warman ke pengadilan
tidak terjadi. Dua tahun kemudian, terjadi operasi penyergapan terhadap Warman, di Soreang Kolot, Bandung 23 Juli 1981. Dalam penyergapan itu Warman tewas
67
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110.
tertembak. Di tempat persembunyiannya ditemukan sebuah granat tangan, sepucuk pistol FN 45 kaliber 9 mm, dua masin, 97 butir peluru dan uang Rp. 18.500,00.
68
Sebelum penggerebekan di Soreang yang menewaskan Warman tersebut, kelompok itu pernah digerebek di desa Kadipaten, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya.
Pada waktu itu Warman berhasil meloloskan diri tetapi Ruch 55 tahun anak buahnya tertembak mati serta Djuh Sun tertangkap.
Dalam berbagai operasinya, aparat keamanan berhasil menangkap dan menahan anak buah Warman. Pada April 1981, 49 orang anggota Warman yang
ditahan aparat dibebaskan dalam suatu upacara yang dihadiri ketua MUI, K. H. E.Z. Muttaqien. Mereka yang dilepas ini kemudian memberikan informasi yang dapat
digunakan oleh aparat untuk melacak keberadaan Warman dan sampai akhirnya bisa ditemukan dan ditembak mati.
Kelompok lain yang dianggap ekstrim oleh penguasa Orde Baru selain KOMJI dan Gerakan Warman adalah “Kelompok Imran”. Pemimpinnya adalah
Imran bin Muahammad Zein, kelompok ini menamakan dirinya sebagai “Dewan Rev
olusi Islam Indonesia” dan bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Cara- cara yang digunakan kelompok ini cenderung tidak Islami karnanya banyak kalangan
Islam yang meragukan kelompok ini. Ulah kelompok Imran yang cukup mendapatkan publikasi adalah penyerangan
Pos Poisi 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, 11 Maret 1981 dan pembajakan pesawat Garuda, DC-9, Woyla, 28-31 Maret 1981. Bahkan pada kasus Woyla,
mereka mendapatkan publikasi internasional. Kelompok Imran menewaskan tiga
68
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 110.
Polisi ketika mereka menyerang Pos Polisi Cicendo. Dalam penyerangan mendadak di tengah malam buta itu, kelompok Imran berhasil membebaskan sejumlah tahanan
dan merampas beberapa pucuk senapan. Para penyerang kemudian berhasil ditangkap oleh pihak aparat keamanan.
69
Tidak lama setelah penyerangan itu, kelompok Imran membajak pesawat Garuda yang tengah dalam penerbangan domestik. Dalam penerbangan Jakarta-
Medan, pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak. Sesuai jadwal penerbangan Jakarta- Medan tersebut stop over di Palembang. Selepas tinggal landas dari bandara udara
Talangbetutu, Palembang, pesawat naas itu dibajak. Para pembajak meminta pilot langsung menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan itu tidak
dapat dipenuhi mengingat persediaan bahan bakar yang hanya cukup untuk penerbangan domestik. Pilot menawarkan untuk mendaratkan pesawat di bandara
terdekat di Singapura, tetepi pembajak menolaknya. Akhirnya disepakati pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat Woyla itu terbang lagi dan
mendarat di Don Muang, Bangkok, Thiland. Dalam pembajakan itu, kelompok Imran menuntut pemerintah untuk segera
membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat kasus penyerangan Pos Polisi Cicendo, teror Warman dan juga para tahanan kasus KOMJI juga harus
dibebaskan. Kemudian pemerintah Indonesia diminta untuk menerbangkan para tahanan itu ke daerah aman di luar wilayah Indonesia yang belum ditentukan.
Pembajak akan meledakkan pesawat beserta sandera yang ada di dalamnya apabila
69
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru, hal. 112.
tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka juga meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dolas AS.
Pihak militer Indonesia mengajak negosiasi kepada para pembajak yang berjumlah lima orang itu, dengan tujuan mengulur waktu untuk merencanakan sebuah
penyergapan dan pembebasan terhadap Sandera. Setelah berusaha mengulur waktu akhirnya militer berhasil melaksanakan Operasi penyergapan dibawah komando
Jenderal Purn. L.B. Moerdani tepatnya pada tanggal 31 Maret 1981.
70
70
Tim LIPI, Militer Politik Kekuasaan Orde Baru, hal.113.