The Wahid Institute dan gerakan kebebasan beragama di Indonesia: perpektif gerakan sosisal

(1)

The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:

Perspektif Gerakan Sosial

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Saepul Agna

NIM. 207032200624

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:

Perspektif Gerakan Sosial


(3)

Untuk nenek dari ibu–yang selalu terjaga dan berdoa pada sepertiga malam terakhir.

Untuk bapak–yang bekerja sangat keras. Untuk ibu–yang lugu dan murah hati.


(4)

(5)

(6)

(7)

iv

Ucapan Terima Kasih

Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Demi malam apabila menutupi cahaya siang.

Dan siang apabila terang benderang.

Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa."

Alquran 85:1. 92:1-2. 94:2. 112:1

Skripsi The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyelesaian studi penulis–yang semula Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat kemudian menjadi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik–menjadi mungkin karena kebaikan-kebaikan dari banyak pihak.

Untuk keperluan akademik dan administratif–dengan cara yang berbeda– mereka telah mengajarkan pengetahuan Sosiologi dan memberikan kenyamanan ketika menjalaninya. Untuk bimbingan, dorongan, pengertian, dan bantuan untuk kesulitan yang dihadapi penulis sampaikan ucapan terima kasih.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Profesor Bahtiar Effendi. Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Harun Rasyid M.A dan Ahmad Rifqi Muchtar M.A. Ketua dan Sekretaris


(8)

v Program Studi Sosiologi, Dr. Zulkifli Zul Harmi M.A dan Joharatul Jamilah M.Si yang kemudian berganti Iim Halimatusa’diyah M.Si.

Dosen-dosen, diantaranya, Profesor Zainun Kamaluddin Faqih, (almh) Profesor Musyrifah Sunanto, Profesor Zaini Muchtarom, Profesor Bambang Pranowo, Dr. Muhaimin M.A, Dr. Amin Nurdin M.A, Ida Rosyidah M.A, Joharatul Jamilah M.Si, Helmi Hidayat M.A, Saifuddin Asrori M.Si, Cucu Nurhayati M.Si, Mohammad Hasan Ansori Ph.D, Iim Halimatussadiyah M.Si, dan Ahmad Abrori M.Si.

Dewan Pertimbangan Skripsi, Dzuriyatun Toyibah M.Si dan Iim Halimatussadiyah M.Si yang kemudian berganti Zulkifli Zul Harmi Ph.D dan Ida Rosyidah M.A. Selanjutnya Ida Rosyidah M.A menjadi pembimbing skripsi penulis.

Juga pustakawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pustakawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kebersamaan dengan teman-teman membuat hari-hari penulis di Ciputat menjadi lebih dari sekedar rutinitas akademik tetapi juga memberikan sesuatu yang tak tergantikan dengan apapun. Kesan-kesan terbaik persahabatan yang hangat bahkan lebih seperti menemukan keluarga kedua–tempat berbagi banyak hal. Untuk segalanya penulis sampaikan terima kasih.

Teman-teman di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta–setahun sebelum studi Sosiologi penulis studi pada Program Studi Syariah Konsentrasi Perbankan Syariah–diantaranya, Suliadesi, Riza Wijayanti, Annisa


(9)

vi Haq, Andri, Eko Widiyanto. Muhammad Ikhsan, Syaiful Rohman, Muammar Khaddafi, Atika Purnamasari. (Alm) Nurzaman, Harisma Asadullah, Ibnu Zakwan, Saep Amrullah, Asep Hidayatullah, Aldina Ramdhani, Siti Muthmainah, Senny Rifki. Juga Indra Gunawan dan Andi Kurniawan.

Teman-teman di Non-Reguler Program Studi Sosiologi, Sandi Irawan dan Mukhlis. Di Reguler Program Studi Sosiologi Agama, diantaranya, Wardatul Jannah, Dara Nurzakiyah, Ati Atiyurrohmah, Andini Pratiwi, Dini Siva, Herlina Dwi Astuti, Jafar Shodiq, Mufti Abid, Charlie Muhammad Dzulfikar, Fadly Budi, Nurjaman, Matin Halim, Cecep Sopandi, Ferri Bastian, Muhammad Satria Wijaya, Adriansyah, Muhammad Sibli, Ahmad Satria Waris, Andri Prakarsa, Muhammad Erfan, Yandhi Deslatama, Rizkiyah Hasanah, Baarvah Kahfina, (alm) Budiman, dan Waheed Manan.

Dari fakultas-fakultas yang berbeda, diantaranya, Abdul Mu’id, Adnan Munawwir, Ratnawati, Ruslan Ghoni, Abdullah Said, Usman Usmana, Firdaus, Imamatul Azimah, Syahri Fajriyah, Nur Syabani, Amalia Nasuha, Nur Sakinah Nasution, Nurhidayati, Asminah, Ummi Saadah, Rina Hutari, Dimas Ridwan Hakim, dan Hendar Purnama.

Di tempat tinggal selama menjalani studi, diantaranya, Ahmad Hasan, Muhammad Rizki, Shohibul Hujjah, Rosidi, Saleman, Makmur Ismail Saleh, Muhammad Ahda Murtaqi, Ryenaldo Rio, Khairus Saleh, Miftahul Bari, dan Abdurrohman.

Teman-teman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Cirendeu dan Cabang Ciputat, dan Dewan Pimpinan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.


(10)

vii Achmad Husni Lamarobak, Andy Wiyanto, Himawan Sutanto, Taufiqurrahman, Gilang Pandu, Muhammad Syaifurrahman, Anto Tuntas Widi, Putut Dwi Wijayanti, Narizka Dyan Wulandari, Resti Indah Harini, Witri Zuama Qomarania, Saddam Asir, dan Dadan Hermawan. Juga Beni Azhar, A. Saiful Safikri, Saefuddin Zuhri, dan Komaruzzaman. Ristan Alfino, Muhammad Iklima, Nofyan Safri Lubis, dan Jufridin Daud.

Ucapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada mereka yang telah memberikan kasih sayang, doa, harapan, pengorbanan, dan pengertian yang berlimpah. Kakak penulis, Mas’ud Ramdhani–Diana Astri dan Rizki Mulyadi–Evi Nuraini serta kelahiran Ayeesha Salsabila, Sabrina Latifa, dan Nadeera Azzahra yang sangat membahagiakan kami. Adik penulis, Rizal Kamilah dan Santi Nurjannah. Nenek penulis, Jaja. Tentu saja, untuk mereka yang meyakini anak-anaknya adalah segalanya dalam hidup yang dijalani, ayah penulis, Lili Sukmana, dan ibu penulis, Ami Darminingsih.

Setelah semua yang dijalani, selesainya studi ini membuat penulis menjadi lebih bersyukur.[]


(11)

viii

Abstrak

Saepul Agna. The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial. 2012.

Penegasan konstitusi maupun ratifikasi kovenan internasional yang merupakan instrumen pokok hak asasi manusia terkait kebebasan beragama, tidak menjadikan implementasinya menjadi lebih mudah. Lebih dari satu dekade era reformasi bergulir, kebebasan beragama masih dengan beragam tantangan besar dalam implementasinya. Seperti ditunjukan laporan pemantauan yang dilakukan Setara Institute, ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai intensitas tinggi pelanggaran hak konstitusional ini oleh negara maupun warga negara terutama mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan sudut pandang negara maupun mainstream agama masyarakat.

Seiring dengan itu, The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute– menjalankan gerakan kebebasan beragama. Kemunculan dan perkembangan Wahid Institute tidak terlepas keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global. Peran besar Wahid juga menandai perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama pada dekade 1980-an dimana bagian kecilnya kemudian bergiat sejak kemunculan Wahid Institute termasuk relasinya dengan lembaga donor internasional terutama The Asia Foundation dan TIFA Foundation serta jaringan kerjanya dibeberapa wilayah dalam menjalankan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama.

Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan kebebasan beragama Wahid Institute menjalankan beragam usaha mengarah tiga level permasalahan kebebasan beragama, yaitu, regulasi dalam struktur negara termasuk relasi negara dengan Majelis Ulama Indonesia dan regulasi yang terbit konteks otonomi daerah pasca Orde Baru, kapasitas aparatur negara, dan intoleransi warga negara yang juga menandai implikasi anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal. Wahid Institute menjalankan beragam gerakan kebebasan beragama civil society melalui diskursus dan aksi kolektif mendesakan policy reform regulasi terkait, penguatan kapasitas aparatur negara maupun deradikalisasi agama. Wahid Institute juga menjalin relasi dalam kerangka penguatan kapasitas dengan Forum Kerukunan Umat Beragama yang merupakan representasi peran interventif pemerintah seiring usaha-usaha dialog antar umat beragama, penguatan kapasitas pemuka agama, dan penguatan kapasitas gerakan kebebasan beragama dibeberapa wilayah. Sejak kemunculannya, Wahid Institute mengarahkan gerakan kebebasan beragama pada penciptaan kehidupan beragama yang mengedepankan toleransi kebebasan beragama dalam keberagaman sebagai bagian penciptaan perdamaian.[]


(12)

ix

Daftar Isi

Lembar Penyataan Keaslian Karya ….…...…….………...………..…... Lembar Persetujuan Pembimbing ….………...…….…..…..………... Lembar Pengesahan Panitia Ujian ….…………..…………...….…....………... Ucapan Terima Kasih ……….……….…... Abstrak ………....…... Daftar Isi ……….…...….….……....…...………..…...

i ii iii iv viii ix

Bab I Pendahuluan ...

A. Latar Belakang Masalah ……….………...

B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….………….………...……...

C. Tujuan Penelitian ……….…………...………

D. Mamfaat Penelitian ……….………

E. Tinjauan Pustaka ……….………..………..

F. Metodologi Penelitian ………..…...……... G. Sistematika Penulisan ……….…….………...

1 1 9 10 10 11 16 18

Bab II Kerangka Teori ... A. Gerakan Sosial... B. Perspektif Gerakan Sosial ………... 1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure) ………. 2. Perspektif Sumber Daya Mobilisasi (Resource Mobilization Theory)………..…...

20 20 21 22 24


(13)

x

3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames) ...……...… 26

Bab III Profil The Wahid Institute ... A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute ……….

B. Visi dan Misi The Wahid Institute ……….………

C. Organisasi The Wahid Institute ………..

D. Program The Wahid Institute ……….

28 28 32 32 33

Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute ...…... A. Keterbukaan Ruang Publik Pasca Orde Baru dan Kemunculan The Wahid Institute … B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute ... C. The Wahid Institute: Negara, Warga Negara,

dan Pelanggaran Kebebasan Beragama ... D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society …... E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai

(Seeding Plural and Peaceful Islam) ………

37 37 46

51 57

71

Bab V Penutup ……….………..………...

A. Kesimpulan ………...……….………..

B. Rekomendasi ..……...………..………...

77 77 82


(14)

1

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E menegaskan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya serta jaminan perlindungan dari negara terhadap segala bentuk diskriminasi, yaitu:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Jaminan yang diberikan negara terhadap kebebasan beragama warganya ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29:

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

Selain penegasan Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan kembali kebebasan beragama dan menjalankan peribadatannya. Juga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang menjadikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis kepada kelompok yang didasarkan pada identitas agama tertentu dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.


(15)

2 Pada 2005 pemerintah meratifkasi instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama, yaitu, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.1 Kemudian penerimaan

1

Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjelaskan terminologi agama dalam perspektif yang dikonstruksikan secara luas. Pengertian agama atau keyakinan tidak hanya dibatasi pada agama tradisional atau pada institusi yang mempunyai karakteristik atau praktik yang analog dengan agama tradisional tersebut. Perspektif hak asasi manusia juga menyatakan ketika sebuah agama baru terbentuk dan agama minoritas berhak mendapat perlindungan dari komunitas keagamaan yang dominan. Perspektif hak asasi manusia juga menegaskan, baik penganut theistik, non-theistik, maupun yang menyatakan tidak mempunyai agama mempunyai hak dan harus mendapat perlindungan. Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) khususnya pasal 18, yang mencakup: (1) Kebebasan untuk menganut atau memilih agama atas kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya; (3) Kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan hanya apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; (4) Negara-negara pihak Konvenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur jaminan kebebasan beragama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 3 hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, beragama atau keyakinan harus mencakup, antara lain, kebebasan-kebebasan berikut: (1) Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu agama atau keyakinan, dan mendirikan serta mengelola tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini; (2) Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau kemanusiaan yang tepat; (3) Membuat,memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh memadai berbagai benda dan material yang diperlukan berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama atau keyakinan; (4) Menulis, mengemukakan dan menyebarluaskan berbagai penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini; (5) Mengajarkan suatu agama atau keyakinan di tempat-tempat yang cocok untuk maksud-maksud ini; (6) Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari perseorangan atau lembaga; (7) Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan persyaratanpersyaratan dan standar-standar agama atau keyakinan apapun; (8) Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari libur dan upacara; (9) Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama atau keyakinan pada tingkat nasional dan internasional upacara menurut ajaran-ajaran agama atau keyakinan seseorang. Penegasan epistemologi hak asasi manusia sebagaimana dipaparkan di atas juga semakin memperjelas perbedaan hukum hak asasi manusia dan hukum pidana internasional, yang meletakkan individu sebagai subyek hukum. Sebagai sebuah hukum perdata, jenis-jenis hukuman yang dikenal dalam hukum hak asasi manusia adalah sanksi internasional, kewajiban perubahan kebijakan dan denda yang diperuntukkan bagi korban yang haknya dilanggar dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Sedangkan dalam hukum pidana internasional (Statuta Roma), selain subyek hukumnya adalah individu, jenis hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya juga berbentuk hukuman pidana penjara.


(16)

3 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981.

Meski sifat dasar hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan, dalam diskursus dan impliementasi hak asasi manusia juga dikenal pembatasan hak asasi manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memuat prinsip siracusa yang menggarisbawahi pada situasi atau kondisi tertentu yang telah disepakati bahwa hak-hak asasi manusia yang dapat ditunda atau ditangguhkan dapat diberlakukan.2 Prinsip siracusa menjelaskan dua pembedaan implementasi hak asasi manusia, yaitu, prinsip hak-hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya (non-derogable rights) dan hak-hak yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights).3 Pembatasan hak asasi manusia diletakan dalam kerangka

2

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya pembatasan hak asasi manusia tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan, yaitu, pembatasan diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/order public), kesehatan umum (public health), moral umu (public moral), keamanan nasional (national security), keamanan umum (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights andfreedom of others) dan hak dan reputasi orang lain (rights and reputations of others), kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties), dan pembatasan terhadap pers dan pengadilan umum (restrictions onpublic trial).

3

Prinsip non-derogable rights menegaskan hak yang bersifat mutlak dan karenanya tidak dapat ditunda dalam situasi atau kondisi apapun. Hak-hak yang terkandung dalam prinsip ini mencakup hak hidup (tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya, diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak individu ataupun kelompok agama sebagai salah satu unsur non-derogable rights dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.


(17)

4 kebebasan internal atau kebebasan individu (forum internum) dan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forumexternum).4

Dalam konteks kebebasan beragama di Indonesia, pembatasan dalam implementasi kebebasan beragama ditandai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J Ayat 2 yang menegaskan:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Namun, pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute,5 dalam rentang waktu penelitiannya menunjukan intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama.6 Kerangka penulisan laporan pemantauan

4

Kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum)adalah kebebasan dimana tidak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak ini. Hak-hak dalam rumpun kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum) adalah: (1) Hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) Hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama. Sedangkan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) dimungkinkan dalam situasi khusus tertentu negara membatasi hak-hak ini, namun dengan prasyarat yang ketat berdasarkan prinsip siracusa. Hak yang termasuk dalam rumpun kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) adalah: (1) Kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) Kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) Kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) Kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) Kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) Hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) Hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) Hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) Hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan.

5

Pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute, yaitu, Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (2007), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2009), Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (2010), Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010 (2011).

6

Setara Institute menggunakan parameter hak asasi manusia, khususnya Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12/2005 dan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan yang dicetuskan melalui Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 36/55 pada 25 November 1981. Pemantauan berkala tesebut dilakukan di beberapa provinsi,


(18)

5 tersebut mengacu pada framework for communications yang dikembangkan oleh Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan beragama yang penyusunannya didasarkan atas pendekatan pelanggaran. Pendekatan demikian dipahami sebagai upaya untuk memantau sejauh mana negara menjalankan keharusannya menghormati, memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama.7 Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 185 tindakan

pengumpulan data pemantauan diperoleh melalui beberapa metodologi, yaitu, diskusi terfokus, data dari institusi keagamaan dan institusi pemerintah, dan wawancara dengan otoritas pemerintahan dan tokoh masyarakat yang relevan di tingkat daerah pemantauan serta pengamatan melalui media untuk daerah-daerah yang tidak menjadi fokus pemantauan.

7

Pelanggaran kebebasan beragama adalah bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama adalah tindakan penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak kebebasan beragama, yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission)maupun tindakan pembiaran (by comission).

Terminologi hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah intoleransi dan diskriminasi. UNESCO menjelaskan intoleransi sebagai turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi. Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan. Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan jender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya yang ditujukan untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan karena faktor

differentable. UNESCO melalui UNESCO: Tolerance: the threshold of peace. A teaching/ learning guide for education for peace, human rights anddemocracy beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya, yaitu, bahasa, membuat stereotype, menyindir, prasangka, pengkambinghitaman, diskriminasi, pengasingan (ostracism) pelecehan, penajisan dan penghapusan, gertakan (bullying), pengusiran, pengeluaran, segregasi, represi, penghancuran. Kejahatan intoleransi dan kebencian merupakan salah satu tindakan kriminal dengan obyek individu, yang berhubungan dengan kebebasan beragama. Untuk jenis kejahatan ini pertanggungjawaban dialamatkan pada individu-individu sebagai subyek hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab negara adalah melindungi setiap orang dari ancaman intoleransi dan memprosesnya secara hukum ketika sebuah kekerasan telah terjadi. Maka ada dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran, yaitu, dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission) dan dengan cara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain dan tindakan intoleransi.


(19)

6 pelanggaran, pada 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan pelanggaran, pada 2009 terjadi 200 peristiwa pelanggaran dengan 291 tindakan pelanggaran, dan pada 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran dengan 286 tindakan pelanggaran.8

Sepanjang rentang tersebut, terutama individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan berbeda dengan mainstream agama masyarakat dan sudut pandang negara, telah menjadi korban dan tetap berada dalam kereentanan pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar diberbagai wilayah dengan intensitas beragam. Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi menandai tindakan aktif negara yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama (by commission) dan negara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar, termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum (by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain dan tindakan intoleransi.9

8

Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 dari 185 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 92 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 188 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 139 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 103 tindakan pelanggaran. Sedangkan pelangaran oleh warga negara pada 2007, dari 185 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 93 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 179 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 152 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 183 tindakan pelanggaran. Dalam satu peristiwa pelanggaran bisa saja institusi-institusi melakukan sejumlah tindakan pelanggaran bersama-sama. Dan bisa saja beberapa organisasi masyarakat bersama-sama melakukan sejumlah tindakan. Demikian pula antara institusi negara dan organisasi masyarakat bisa saja bersama-sama melakukan beberapa tindakan pelanggaran dalam satu peristiwa pelanggaran.

9

Terhadap pelanggaran kategori by commission dan by omission kerangka hukum untuk mempersoalkannya adalah hukum hak asasimanusia yang terdapat dalam kovenan sipil dan politik


(20)

7 Diruang publik pasca Orde Baru yang terbuka, diskursus agama tidak hanya terkait diskursus relasi agama dan politik dialog teologis mengemuka salah satunya diskursus mengenai Ahmadiyah–misalnya terkait argumentasi kenabian pasca Nabi Muhammad juga kitab suci selain Alquran–yang kemudian mengarah pada penodaan agama atau penyimpangan agama yang dilakukan Ahmadiyah terhadap Islam.10 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meski tidak menjadi ketetapan hukum yang mengikat sering masyarakat jadikan sebagai legitimasi tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan. Bahkan aparat negara sering menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam mengambil tindakan terhadap kelompok yang telah dianggap menyimpang.11

Seiring dengan itu, keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global ruang publik menandai perkembangan gerakan Muslim. Ruang publik ditandai

dan yangterdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi hak asasi manusiayang sudah diratifikasi, konstitusi, dan hukum domestik yang mengatur kewajiban negara. Sedangkan untuk kategori tindakankriminal yang dilakukan oleh warga negara dan intoleransi, kerangka hukumyang bisa digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

10

10 kriteria tersebut, yaitu, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan Alquran dan Assunah, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam, menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang ditetapkan syariah, seperti pergi haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan sesama Muslim Karena bukan kelompoknya. Sebelumnya pada 2005, MUI memicu kontroversi di ruang publik ketika mengeluarkan yang berkaitan dengan masalah hak kebebasan berpikir, berekspresi, hak beragama. Musyawarah Nasional MUI ke VII Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang hampir seluruhnya menyangkut isu hak-hak asasi manusia seperti kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain-lain. MUI, misalnya, mengharamkan doa bersama antar agama, nikah beda agama, warisan beda agama, pluralisme, sekularisme dan liberalisme hingga salah satu yang sampai saat ini terus menuai polemik, fatwa kesesatan aliran Ahmadiyah dan larangan penyebarannya di Indonesia.

11

The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), h. 33.


(21)

8 kemunculan berlimpah gerakan Muslim setelah selama lebih dari tiga dekade rezim developmentalisme-represif Orde Baru yang membatasi perkembangannya yang identik dengan instabilitas politik Orde Lama. Konsolidasi dan kontestasi diskursus dan aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru dengan agenda yang berbeda serta intensitas dan ekspresi yang beragam diruang publik yang terbuka menandai kemunculan dan perkembangan The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute.

Dalam perkembangannya, seperti ditunjukan Mario Diani, selain memiliki bentuk gerakan yang tidak terorganisasi, gerakan sosial juga memiliki kecenderungan muncul dalam yang bentuk terorganisasi, berkelanjutan, dan tantangan kesadaran diri yang menunjukan bagian identitasdari para pelakunya.12 Sosiologi gerakan sosial tidak hanya mempelajari aksi-aksi kolektif yang tidak melembaga tetapi juga mengarah pada gerakan yang terorganisasi atau melembaga dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Seperti ditunjukan namanya, Wahid Institute didirikan Abdurrahman Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual Muslim terkemuka dan keterlibatannya dalam aktivisme civil society maupun politik praktis. Tetapi keterlibatan Wahid dalam aktivisme civil society maupun politik praktis dipandang tidak mereduksi intelektualismenya sebagai pemikir independen. Aktivisme civil society maupun politik praktis Wahid yang seringkali diiringi kontroversi ditandai capaian-capaian tinggiya–diantaranya memimpin Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia pada

12

Mario Diani, “The Concept of Social Movement”, dalam Kate Nash, editor, Readings in Contemporary Political Sociology (Malden-Massachutes: Blackwell Publishers,2000), hal. 157.


(22)

9 rentang 1984-2009 kemudian menjadi presiden pasca pemerintahan transisi BJ. Habibie.

Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan konstituensi kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan menguat. Dalam konteks penguatan kecenderungan penguatan gerakan konstituensi kebebasan beragama tersebut salah satunya menandai peran Wahid Institute. Beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan sosial yang secara konseptual dijelaskan Turner dan Killian sebagai suatu tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat itu.13

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penegasan konstitusi, perundangan-undangan dan ratifikasi kovenan internasional instrumen pokok yang mengatur kebebasan beragama tidak menjadikan implementasi kebebasan beragama menjadi lebih mudah. Seiring dengan itu, gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat. Penelitian ini membatasi permasalahan pada beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute sebagai bagian kecenderungan penguatan gerakan konstituensi kebebasan beragama di Indonesia.

Dari batasan masalah demikian, penelitian ini merumuskan tiga masalah yaitu:

13


(23)

10 1. Bagaimana struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan

Wahid Institute?

2. Bagaimana sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute?

3. Bagaimana pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute?

C. Tujuan Penelitian

Dengan demikian penelitian ini mengarah pada tiga tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan Wahid Institute.

2. Untuk menggambarkan sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid Institute.

3. Untuk memahami pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid Institute.

D. Mamfaat penelitian

Penelitian ini didorong untuk menjadi bagian pengayaan literatur studi-studi gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan secara praktis, penelitian ini didorong untuk dapat menjadi bagian dalam usaha mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini terutama bagi institusi dan aparatur negara yang terkait dengan implementasi kebebasan beragama maupun beragam civil society penggiat gerakan kebebasan beragama.


(24)

11 E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai kebebasan beragama telah cukup berlimpah. Penelitian mengenai kebebasan beragama diantaranya terfokus pada korban pelanggaran kebebasan beragama, pelaku pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya terfokus pada gerakan kebebasan beragama dan dialog antar umat beragama. Penelitian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaan literatur teoritis dan metodologis bagi penelitian ini.

Pada 2010 Setara Institute melakukan penelitian Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Kuningan. Penelitian Setara Institute ini seiring diskriminasi, intoleransi dan bahkan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah oleh beragam organisasi Islam radikal di wilayah tersebut. Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas. Kelompok Islam garis keras telah memilih isu penolakan berkelanjutan terhadap Ahmadiyah sebagai salah satu agenda politik untuk kepentingan organisasi ini. Penelitian ini dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di wilayah penelitian dengan melakukan riset lapangan, dan wawancara.

Setara institute menunjukan jamaah Ahmadiyah di wilayah penelitian mengalami persekusi, yaitu, tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Rangkaian peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah menunjukan keberulangan dan sistematis melibatkan organisasi Islam radikal, didukung oleh organisasi korporatis negara MUI, dan dilegitimasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui kebijakan yang diskriminitaif dan intoleran. Setara


(25)

12 Institute juga menunjukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat pada kenyataannya juga gagal melindungi kebebasan beragama jamaah Ahmadiyah.

Pada tahun yang sama Setara Institute melakukan penelitian lainnya, Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Penelitian Setara Institute ini seiring dinamika kebebasan beragama di Indonesia dalam rentang 2007-2009 yang ditandai relasi intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dengan perkembangan beragam organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat. Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan melakukan riset, wawancara dan focused group discussion dengan organisasi Islam radikal dan pegiat hak asasi manusia dan demokrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur dan pendekatan kuantitatif survey opini publik.

Setara Institute menunjukan implikasi anutan doktrin organisasi Islam radikal dalam sejumlah sikap dan perilaku intoleran dan diskriminasi. Perkembangan organisasi Islam radikal seiring kondisi sosial yang intoleran dan kegagalan negara dalam melakukan pencegahan untuk melindungi kelompok lain dan pembiarannya terhadap berbagai pelanggaran kebebasan beragama menjadi lapangan terbuka bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dukungan elite politik ditingkat nasional dan lokal terhadap organisasi Islam radikal dan


(26)

13 bangunan jejaring politik antar keduanya menjadikan organisasi ini semakin mendapat dukungan publik yang luas terlebih dalam kondisi intoleransi masyarakat yang terus mengalami radikalisasi pelanggaran kebebasan beragama berada dalam kerentanan untuk terulang.

Konsorsium untuk Kebebasan Sipil menulis Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis Atas Perda Syari`ah yang merupakan upaya mengkritisi berbagai peraturan daerah bernuansa syariah dan melakukan advokasi perubahannya. Penelitian ini terfokus pada gerakan yang dilakukan sejak November 2006 hingga Oktober 2008, Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, yang terdiri dari beberapa lembaga di Jakarta, yaitu, Freedom Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII), dan Jaringan Islam Liberal (JIL), dan individu-individu penggiat penegakan hak-hak sipil. Konsorsium ini menyelenggarakan sejumlah kegiatan mencakup studi kepustakaan, survei opini elite, wawancara radio, lokakarya dengan masyarakat sipil, dan dengar pendapat dengan para elite politik di daerah.

Gerakan ini dimulai dengan dua kali survei opini elite politik yang dilakukan pada Mei 2007 dan Juni-Juli 2008 di beberapa wilayah, yaitu, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang , Kota Bekasi, dan Kota Bogor. Sembilan daerah tersebut, kecuali Kota Bekasi dan Kota Bogor, menerbitkan peraturan daerah bernuansa syariah. Gerakan kemudian mengarah pada kegiatan advokasi melalui lokakarya dengan masyarakat sipil dan dengar-pendapat dengan elite politik yang daerahnya memberlakukan peraturan


(27)

14 daerah berdasarkan syariah. Survei opini elite politik dan advokasi kebebasan sipil ditambah dengan liputan media massa yang dijalankan Konsorsium untuk Kebebasan Sipil digerakan menjadi agen sosialisasi dan advokasi kebebasan sipil seiring terbitnya banyak peraturan daerah berdasarkan syariah.

Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yance Zadrak Rumahuru pada 2005 berjudul Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif Damai di Ambon 1999 – 2004. Tesis terfokus pada tema besar dialog dan perdamaian (peace and dialogue) dalam konteks komunitas-komunitas sosial (umat beragama) di Ambon. Penelitian ini dilakukan di Ambon, dengan mengambil fokus pada dua lokasi masing-masing, Negeri Batumerah (negeri Islam) di kecamatan Sirimau dan Negeri Passo (negeri Kristen) di kecamatan Teluk Ambon Baguala di kota Ambon yang merupakan salah satu tempat di mana terjadi pemusatan pertikaian di Ambon 1999-2002. Data yang diperoleh melalui kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dengan pilihan jawaban tertentu dan terbuka. Kedua, melakukan focus group discussion, dengan kelompok-kelompok masyarakat setempat. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan empat belas informan pada kedua negeri.

Penelitian dilakukan di Passo dan Batumerah yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, terutama dari latar belakang etnis tetapi secara kultural memiliki kesamaan budaya dan adat istiadat menemukan bahwa pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat sama-sama menggunakan pendekatan struktural dan kultural dalam upaya penghentian dan penyelesaian


(28)

15 pertikaian sebagai prasyarat untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi di Maluku. Namun demikian, terdapat penilaian oleh komunitas setempat bahwa pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan yang sifatnya stuktural. Berbeda dengan pemerintah, umumnya kelompok-kelompok masyarakat melakukan dialog dan inisiatif damai melalui pendekatan dari bawah dan menggunakan kearifan atau kebanggaan-kebanggaan lokal setempat yang dalam tesis ini disebut dengan pendekatan kultural.

Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Siti Sarah Muwahidah pada 2007 berjudul Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur merupakan riset lapangan di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip. Peneliti merujuk Swidler yang menjelaskan program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh kaum akademisi dan elite agama juga Knitter yang menjelaskan kerjasama antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman. Tesis ini meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok aktivis Katolik pada 1997 terhadap warga Banyu Urip yang mengalami tekanan secara ekonomi dan politik dan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah karena tradisi Kejawen telah dibatasi.

Temuan umum peneliti adalah dalam masyarakat yang miskin pengetahuan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog liberatif menjadi penting untuk mengatasi ketertekanan yang dialami warga dan


(29)

16 membentuk suatu forum yang dapat menjadi kontrol atas dusun dan kepentingan bersama serta memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Pemberdayaan antariman telah mendorong warga Banyu Urip memperoleh klaim kepemilikan tanah yang menjadi common ground warga Banyu Urip.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor, seperti dikutip Moleong, menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau ucapan dan tindakan yang diamati.14 Pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Dalam hal ini, tidak boleh mengisolasikan individu dan organisasi ke dalam variabel dan hipotesis tetapi harus dipandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Karakter penelitian kualitatif, seperti dijelaskan Moleong, yaitu: (1) Berlangsung dalam latar yang alamiah, (2) Peneliti sendiri merupakan instrumen atau alat pengumpulan data yang data, (3) Analisis datanya dilakukan secara induktif.15 Moleong menjelaskan beeberapa pertimbangan penggunaan pendekatan kualitatif, yaitu: (1) Pendekatan kualitatif lebih mudah menyesuaikan ketika berhadapan dengan kenyataan ganda, (2) Pendekatan kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan (3)

14

Ibid., h. 4. 15


(30)

17 Pendekatan kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.16

Sumber dan jenis data dalam penelitian kualitatif menurut Lofland, seperti dikutip Moleong ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen melalui catatan tertulis, atau melalui perekam video, pengambilan foto atau film.17 Kriteria data yang dikumpulkannya adalah data yang pasti. Moleong menjelakan data yang pasti adalah data yang terjadi sebagaimana adanya bukan sekedar data yang terlihat dan terucap tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut.18

Data sekunder yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan pihak lain penelitian ini didapatkan dengan survey dokumen catatan peristiwa dalam bentuk tulisan, gambar, dan aktivisme. Survey dokumen dilakukan di kantor Wahid Institute Matraman Jakarta yang sebagian diantaranya juga terdokumentasikan dalam website wahidinstitute.org. Data sekunder penelitian ini juga didapatkan dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan fokus penelitian yang dilakukan, antara lain, buku, jurnal, laporan lembaga, dan lainnya. Data sekunder yang terpencar yang diberbagai sumber kemudian direkonstruksi dan direinterpretasi sesuai dengan kerangka kerja.

Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama penelitian ini didapatkan melalui wawancara yang Moleong jelaskan sebagai sebuah percakapan

16

LJ Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 4. 17

Ibid., h. 157. 18


(31)

18 dengan maksud tertentu yang dilakukan dua pihak, yaitu, pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang memberikan jawaban pertanyaan tersebut.19 Tujuan wawancara dijelaskan Lincoln dan Guba, seperti dikutip Moleong, adalah untuk merekonstruksi menegnai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.20 Penelitian ini mengunakan wawancara untuk menghimpun berbagai informasi dari sejumlah informan kunci yang ditentukan berdasarkan relevansi dan kapasitas yang dimilikinya terkait gerakan kebebasan beragama yang dijalankan Wahid Institute. Wawancara dilakukan dengan direktur eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy dan dua staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi dan Alamsyah M. Djafar.

Data primer dan sekunder yang terhimpun dari berbagai sumber kemudian dikategorikan sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis sehingga didapatkan kecenderungan umum untuk memberikan gambaran realitas gerakan kebebasan beragama Wahid Institute.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu, latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan pustaka,metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kerangka Teori merupakan penjelasan mengenai istilah konseptual penelitian ini. Pembahasan dimulai dengan penjelasan istilah konseptual gerakan

19

Ibid., h. 137. 20


(32)

19 sosial. Pembahasan kemudian mengarah pada perspektif gerakan sosial, meliputi, struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames).

Bab III Profil The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual dan capaian keterlibatannya dalam aktivisme civil society dan politik praktis. Pembahasan selanjutnya mengarah pada visi dan misi Wahid Institute. Pembahasan kemudian mengarah pada organisasi Wahid Institute. Bab ini berakhir pada pembahsan program Wahid Institute.

Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan kemunculan Wahid Institute dalam konteks ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka. Pembahasan selanjutnya mengarah pada peran bagian kecil generasi muda Nahdlatul Ulama dalam perkembangan Wahid Institute termasuk jaringan kerjanya. Pembahasan kemudian mengarah pada relasi negara, warga negara, dan pelanggaran kebebasan beragama. Pembahasan selanjutnya mengarah strategi gerakan kebebasan beragama civil society Wahid Institute dan pluralisme Wahid Institute.

Bab V Penutup dimulai kesimpulan penelitian. Pembahasan kemudian mengarah pada beberapa rekomendasi gerakan kebebasan beragama di masa depan.[]


(33)

20

Bab II

Kerangka Teori

A. Gerakan Sosial

David A. Locher menjelaskan tiga pembedaan gerakan sosial dari bentuk perilaku kolektif lainnya, yaitu: (1) Organized, bahwa gerakan sosial dilakukan secara terorganisasi sedangkan sebagian besar perilaku kolektif tidak terorganisasi baik pemimpin, pengikut, maupun proses gerakannya; (2) Deliberate, bahwa gerakan sosial direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan, sedangkan perilaku kolektif sebaliknya tanpa perencanaan secara intensif; (3) Enduring, bahwa gerakan sosial berada dalam jangka waktu yang panjang hingga beberapa dekade, sementara perilaku kolektif terbatas pada periode yang singkat.21

Para teoritisi sosial memiliki penjelasan beragam mengenai gerakan sosial. Jenkins dan Form menghimpun beberapa penjelasan mengenai gerakan sosial, yaitu, Michael Useem yang menjelaskan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif terorganisasi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial. John McCarthy dan Mayer Zald merinci penjelasan gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara sosial. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya.

21


(34)

21 Tarrow lebih jauh menjelaskan gerakan sosial adalah bentuk paling modern dari politik perseteruan (contentious politics) yang terjadi ketika orang-orang biasa seringkali dalam kerjasama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok elite, pemegang otoritas, dan musuh-musuh politik.22

Pemaparan demikian menandai dua hal. Pertama, gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif yakni beragam usaha terorganisasi untuk melakukan perubahan didalam relasi-relasi kelembagaan. Kedua, corak politis yang inheren didalam gerakan sosial terutama terkait dengan tujuan yang ingin dicapai melalui gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi kekuasaan dan wewenang. Pemaparan demikian menunjukan beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan kebebasan beragama yang diarahkan pada terciptanya kehidupan beragama yang toleran seiring mengemukanya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama yang menandai keterlibatan negara dan warga negara.

B. Perspektif Gerakan Sosial

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, para teoritisi sosial semakin menyadari mendesaknya teori atau perspektif yang bersifat integral. Suatu perspektif yang menghimpun pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Dalam perspektif demikian, unit analisis dalam menggambarkan gerakan sosial tidak

22

Craig Jenkins, J dan William Form, “Social Movements and Social Change”, dalam The Handbook of Political Sociology, editor Thomas Janoski, Robert Alford, Alexander Hicks dan Mildred Schwartz (New York: Cambridge University Press, 2005), p. 1446-1528


(35)

22 hanya mengarah pada individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga kelompok dan organisasi. Partisipan gerakan sosial berada dalam konteks kultural dan struktural dari gerakan itu. Disinilah konteks struktural organisasi yang mewadahi dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumber daya dan struktur kesempatan politik yang melingkupinya berkaitan dengan motif individual, ideologi, nilai, dan pertimbangan rasional partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial.

Kemunculan dan perkembangan gerakan kebebasan beragama Wahid Institute yang kompleks menjadikan penjelasannya sulit tergambarkan dalam satu perspektif gerakan sosial tertentu. Untuk itu, penelitian ini menggunakan perspektif gerakan sosial secara integral untuk menjelaskan beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute dalam kerangka gerakan kebebasan beragama. Penjelasan lebih jauh mengenai perspektif gerakan sosial yang dijadikan dasar analisis penelitian ini adalah:

1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik

(Political Opportunity Structure)

McAdam menjelaskan struktur kesempatan politik adalah pola hubungan antara elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan semua ini dengan masyarakat sebagai konstituen.23 McAdam kemudian menghimpun empat dimensi struktur kesempatan politik, yaitu: (1) keterbukaan dan ketertutupan relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elit; (3)

23

Doug McAdam dan David A.Snow, Social Movemenst: Reading on Their Emergence, Mobilization, and Dynamics (United States: Roxbury Publishing Company, 1997), h. 154.


(36)

23 adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau kecenderungan negara untuk melakukan represi.24

Perspektif struktur kesempatan politik berupaya menjelaskan kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial terjadi karena dalam perubahan dalam struktur politik yang dimaknai sebagai kesempatan. Secara umum hambatan atau kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yaitu, pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial sebagai bagian dari relasi politik yang kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka kesempatan politik maka semakin membuka kesempatan bagi kemunculan dan pekembangan gerakan sosial. Sebaliknya, semakin tertutup kesempatan politik akan kesempatan bagi kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial.

Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan politik dan kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear tetapi kurvalinear. Eisinger menyatakan suatu gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik yang menandai adanya percampuran diantara keterbukaan dan ketertutupan struktur kesempatan politik. Karena inilah, menjadi tidak mudah untuk memberikan batasan derajat keterbukaan dalam struktur kesempatan politik yang memunculkan gerakan sosial ini.25

24

Ibid., h. 154.

25Peter Eisenger, “The Conditions of Protest Behavior in American Cities”, American Political


(37)

24

2. Perspektif Teori Sumber Daya Mobilisasi (Resourse Mobilization Theory)

Smelser, seperti dikutip Sanderson, menjelaskan beragam tindakan dalam gerakan sosial terjadi karena adanya mobilisasi atas dasar sistem keyakinan yang mengalami proses generalisasi yang terdiri dari hal-hal yang bersifat histeria, keinginan, norma, dan nilai.26 Perspektif sumber daya mobilisasi menunjukan beragam tindakan partisipan dalam gerakan sosial menjadi efektif ketika dijalankan oleh suatu organisasi gerakan sosial. McCarthy menjelaskan sumber daya mobilisasi sebagai sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.27

Tilly, dikutip Muhtadi, menyatakan bahwa salah satu sumber daya yang paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan individu-individu dengan organisasi gerakan sosial.28 Jaringan seperti dijelaskan Klandermans, juga dikutip Muhtadi, sebagai struktur sosial, yaitu serangkaian hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan kemungkinan partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Klandermans kemudian menjelaskan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya bagi para partisipan suatu gerakan sosial sedangkan Maguire membagi sumber daya ke dalam dua kategori, yaitu yang tangible yang mencakup uang, ruang,

26

Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terjemahan (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 60.

27

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam

Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), h. 141.

28

Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 9.


(38)

25 perlengkapan, dan seterusnya dan intangible yang mencakup kapasitas kepemimpinan, manajerial dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik dan semacamnya.29

McCarthy menjelaskan dua kategori yang membangun struktur mobilisasi, yaitu, struktur formal dan informal. Dalam struktur mobilisasi informal yang identik dengan gerakan lokal, jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi dasar bagi rekrutmen gerakan.30 Konsep struktur informal, kemudian berkembang menjadi lebih luas ketika dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Situmorang mengutip Woliver yang menekankan pentingnya faktor ingatan komunitas sedangkan Gamson dan Schmeidler mengidentifikasi beberapa faktor jaringan struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-kultur dan infrastruktur protes serta McAdam menjelaskan hubungan formal dan informal di antara masyarakat dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi.31

Tetapi McCarthy melihat gerakan sosial yang mempergunakan struktur informal sebagai dasar analisis, belum mampu memetakan struktur informal secara mendalam. Struktur sumber daya mobilisasi memasukan serangkaian posisi sosial dan lokasi dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi dalam suatu gerakan sosial. Kelompok atau organisasi formal memainkan peranan penting dalam

29

Ibid., h. 9. 30

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141. 31

Ahmad Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8.


(39)

26 membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut organisasi gerakan sosial.32

3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames)

Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjelaskam mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.33 Perspektif pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.

Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif gerakan sosial. Pertama, framing diagnostic, berupa identifikasi masalah dan penanggungjawab serta target kesalahan atau penyebabnya. Kedua, framing prognostic, berupa artikulasi solusi yang ditawarkan bagi permasalahan-permasalajan tersebut serta identifikasi strategi, taktik dan target gerakan sosial. Ketiga, pembingkaian motivasi yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.34

32

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141. 33

Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 4.

34

David A Snow dan Robert D Benford, “Ideology, Frame Resonance and Participant Mobilization”, International Social Movement Research 1 (1988), h. 197–217.


(40)

27 Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan perspektif psikologi gerakan sosial meliputi tiga hal, yaitu, perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan gerakan sosial sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan agensi.35 Keadaan demikian disebutnya deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsip dalam suatu masyarakat yang dilanggar atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang.

Namun demikian, penjelasan mengenai deprivasi relatif saja tidak cukup menjadikan seseorang partisipan gerakan sosial. Agensi menjadi krusial untuk memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan efikasi sebagai perasaan individu bahwa terlibat dalam gerakan bersama dengan anggota yang lain dapat merubah keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses.36[]

35

Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 5-6.

36


(41)

28

Bab III

Profil The Wahid Institute

A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute

Abdurrahman Wahid yang juga dikenal publik dengan nama Gus Dur terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Wahid adalah lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur pada 4 Desember 1940. Ayahnya, Wahid Hasjim merupakan Menteri Agama pertama yang juga putra Hasjim Asjari, pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia, dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Solichah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang, Bisri Syansuri.

Setelah ayahnya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di daerah antara Bandung dan Cimahi pada April 1953, pengasuhan Wahid sepenuhnya dilakukan ibunya. Setelah lulus sekolah dasar, Wahid melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Gowongan Yogyakata yang dikelola oleh Gereja Katolik Roma. Wahid juga menjalani pendidikan di pesantren Krapyak sampai kemudian berpindah untuk menetap bersama Junaidi, seorang pimpinan Muhammadiyah setempat. Di sekolah ini Wahid didorong guru-gurunya untuk menguasai bahasa Inggris dengan membaca karya-karya berbahasa Inggris, diantaranya, karya John Steinbach, Ernest Hemingway, William Faulkner, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, Karl Marx, Plato, Thales dan beberapa karya penulis


(42)

29 Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Mikhail Sholokov dan Dostoevsky dan aktif mendengarkan siaran Voice of America dan BBC London.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMEP Gowongan Yogyakarta, Wahid melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo Magelang dan berpindah ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Dua tahun kemudian Wahid berpindah ke Mesir untuk studi Universitas al-Azhar. Dari Mesir Wahid melanjutkan pendidikannya di Departement of Religion di Universitas Baghdad hingga 1970. Setelah dari Baghdad, Wahid melakukan visitasi dibeberapa universitas dan menetap di Belanda selama enam bulan. Wahid yang sebelumnya berkeinginan menjalani studi Islam di Mc Gill University Kanada akhirnya memutuskan untuk kembali Indonesia pada 1971.

Kembali ke tanah air, Wahid memulai beragam aktivitas keorganisasian. Pengalaman panjang berorganisasi Wahid sampai meninggal dunia pada 30 Desember 2009, yaitu, wakil ketua Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo-United Arab Republic (Mesir) (1965), dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang (1972-1974), sekretaris umum Pesantren Tebu Ireng (1974-1980), katib awwal PBNU (1980-1984), ketua umum Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985), juri Festival Film Indonesia (1986-1987), ketua dewan tanfidz Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-2000), ketua Majelis Ulama Indonesia (1987-1992), pendiri dan anggota Forum Demokrasi (1990), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (1989-1993), Presiden Republik Indonesia (1999-2001), mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2000-2009), Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur


(43)

30 (2002-2009), ketua dewan syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia (1998-2009), penasehat Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (2002), penasehat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (2003), pendiri The Wahid Institute (2004-2009).37

Wahid juga dikenal karena aktivitas Internasionalnya, yaitu, anggota dewan Juri The Aga Khan Award for Islamic Architecture (1980-1983), penasehat International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda (1994), Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat (1994-1998), pendiri dan anggota Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel (1994-2009), presiden Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat (2002), anggota Dewan Penasehat Internasional International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat (2002-2009), presiden kehormatan International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris (2003-2009), anggota dewan internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel (2003-2009), presiden Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan (2003-2009).38

Atas beragam aktivisme dan kontribusinya Wahid mendapat banyak penghargaan, diantaranya, Magsaysay Award, Manila, Filipina (1993), Islamic Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991), Tokoh 1990, Majalah Editor,

37

gusdur.net, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://www.gusdur.net/ Tentang_Kami

38


(44)

31 Indonesia (1990), Man of The Year, Majalah REM, Indonesia (1998), Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International (2000), Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat (2000), Public Service Award, Universitas Columbia , New York, Amerika Serikat (2001), Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia (2002), Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. (2002), Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia (2003), World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003), Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat (2003), The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia (2004), Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia (2004).39

Wahid juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari beberapa universitas, yaitu, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (1999), Pantheon Sorborne University, Paris, France (2000), Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000), Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2001), Soka Gakkai University, Tokyo, Japan (2002), Sun Moon University, Seoul, South Korea

39


(45)

32 (2003), Konkuk University, Seoul, South Korea (2003), Netanya University, Israel (2003).40

B. Visi dan Misi The Wahid Institute

Wahid Institute memiliki visi mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Wahid untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.41

Misi Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan Barat. Wahid Institute juga mengemban misi membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan Barat.42

C. Organisasi The Wahid Institute

Memusatkan kegiatan-kegiatan di Jalan Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, dua putri Wahid, Yenny Zannuba Wahid dan Anita Hayatunnufus, menjadi Direktur dan Wakil Direktur. Sedangkan Ahmad Suaedy menjadi Direktur Eksekutif.43

Staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Badrus Samsul Fata, Alamsyah M. Dja'far, Ahmad Farid, Nurun nisa',

40

Ibid.. 41

The Wahid Institute, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://wahidinstitute. org/Tentang_ Kami

42

Ibid.. 43


(46)

33 Ulum Zulvaton, Sri Handayani, Shinta Saraswati, Kharisma Pratiwi, Visna, Wiwit R. Fatkhurrahman, Muntaat, Ahmad Firdaus, Trisno. Outsourcer Wahid Institute, yaitu, Christopher Paul Holm (copy editor) Arif Hakim Budiawan (translator).44

Rekanan Wahid Institute, yaitu, Siane Indriani, Priya Sembada, KH. Husein Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno S. Susanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Hikmat Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.45

Beberapa figur terkemuka menjadi penasehat Wahid Institute, yaitu, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid (alm), K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar. Supervisors Wahid Institute, Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny.46

D. Program The Wahid Institute

Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Institute secara konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding

44

Ibid.. 45

Ibid.. 46


(1)

85 3. Lebih dari desakan policy reform regulasi kebebasan beragama dan

pengembangan aparatur negara, seiring terkikisnya keguyuban, saling menghormati, menghargai, gotong royong, dan lainnya oleh fakta kekinian praktik-praktik intoleran menandai urgensi penguatan kesadaran toleransi kebebasan beragama warga negara. Perbedaan pandangan atau keagamaan tidak seharusnya menjadi dorongan individu dan kelompok bersikap dan bertindak intoleran, diskriminasi maupun kekerasan terhadap individu maupun kelompok lain. Kesadaran terhadap realitas masyarakat yang tidak bersifat tunggal sedangkan hak kebebasan beragama berwatak universal dan tidak diskriminatif salah satunya melalui dorongan penguatan toleransi kebebasan beragama dalam struktur pendidikan nasional.

4. Kemungkinan warga negara yang cenderung intoleran lebih mudah untuk diradikalisasi menjadikan beragam usaha deradikalisasi agama tetap menjadi pilihan yang tidak dapat diabaikan untuk mengakhiri situasi konflik dan kekerasan. Lebih dari itu, gerakan kebebasan beragama kemudian harus mengarahkan desakan pada negara dalam usaha-usaha penciptaan keadilan sosial. Lebih jauh, gerakan kebebasan beragama harus menjadi bagian perluasan akses masyarakat bawah terhadap sumber-sumber daya strategis, terutama ekonomi, sosial, dan politik untuk mengurangi berbagai bentuk kesenjangan yang ada.[]


(2)

86

Kepustakaan

Buku, Jurnal, Makalah, Laporan:

Abegebriel, Agus Maftuh dkk., ed.. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Keindonesian dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKIS, 2010.

Ali, As’ad Said. Pergolakan di7 Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati. Jakarta: LP3ES, 2008.

Ali-Fauzi, Ihsan dan Saiful Mujani, ed.. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah. Jakarta: Nalar 2009.

Anwar, M. Syafii, ed.. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama dan Masyarakat Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Barton, Greg. Penerjemah: Lie Hua. Penyunting: Ahmad Suaedy. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2006.

Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.

Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2008.

Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2009. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2010.

Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2010. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2011.

Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2011.


(3)

87 Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, 2012.

Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Organisasi Nonpemerintah di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.

Diani, Mario. “The Concept of Social Movement”, dalam Kate Nash, editor, Readings in Contemporary Political Sociology. Malden-Massachutes: Blackwell Publishers,2000.

Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.

Effendy, Bahtiar. Penerjemah: Ihsan Ali-Fauzi. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Fealy, Greg dan Greg Barton, ed..Penerjemah: Ahmad Suaedy. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKIS, 1997.

Fealy, Greg. Penerjemah:Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKIS, 2007.

Feillard, Andree. Penerjemah: Lesmana. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: LKIS, 1999.

Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996.

Hikam, Muhammad AS. Penyunting: Faisol dan Singgih Agung. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2000.

Ida, Laode. Nadhlatul Ulama Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga, 2004.

Jenkins, Craig dan William Form, “Social Movements and Social Change”, dalam The Handbook of Political Sociology, editor Thomas Janoski, Robert Alford, Alexander Hicks dan Mildred Schwartz (New York: Cambridge University Press, 2005.

Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.


(4)

88 McAdam, Doug dan David A Snow. Social Movemenst: Reading on Their Emergence, Mobilization, and Dynamics. United States: Roxbury Publishing Company, 1997.

McCarthy, Jhon D. “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed.. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Moleong, LJ. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Mubarak, M. Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2007.

Muhtadi, Burhanuddin. Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru. Komunitas Salihara, Jakarta 26 Januari 2011.

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Muwahidah, Siti Sarah. “Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur”. Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2007.

Muzzaki, Akh.. “Importisasi dan Lokalisasi Islam: Ekspresi Islam Gerakan Islam Pinggiran Pasca-Soeharto.” Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 2, No. 4 (Juni 2007, Transmisi dan Variasi Ekspresi Keislaman): h. 8-28. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, ed.. Sosiologi: Teks Pengantar dan

Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Nashir, Haedar. “Gerakan Islam Syari‘at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.” Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 1, No. 02 (November 2006, Gerakan Islam Syariah): h. 25-119.

Rumahuru, Yance Zadrak. “Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif Damai di Ambon 1999–2004.” Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.

Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1995.


(5)

89 Setara Institute. Atas Nama Ketertiban dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di

Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Kuningan. Jakarta: Setara Institute, 2010.

Setara Institute. Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Setara Institute, 2009.

Setara Institute. Dimana Tempat Kami Beribadah?: Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah Januari-Juli 2010. Jakarta: Setara Institute, 2010.

Setara Institute. Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2010.

Setara Institute. Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2010. Jakarta: Setara Institute, 2011.

Setara Institute. Toleransi Dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda Terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas, dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Setara Institute, 2008.

Setara Institute. Toleransi Sosial Masyarakat Perkotaan: Survey Opini Publik di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Jakarta: Setara Institute, 2010.

Setara Institute. Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2007.

Setara Institute. Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Jakarta: Setara Institute, 2010.

Situmorang, Ahmad Wahib. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Suaedy, Ahmad. Kondisi Minoritas Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan. Seminar Nasional Hak Asasi Manusia: Kerukunan Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta 29 Juli 2010.

Sugiyono. Metode penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta, 2010.


(6)

90 Sztompka, Piotr. Penerjemah: Alimandan. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008.

The Wahid Institute. Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.

The Wahid Institute. Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010 The Wahid Institute. Jakarta: The Wahid Institute, 2010.

The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia: Menapaki Bangsa yang Kian Retak Jakarta: The Wahid Institute, 2008.

The Wahid Institute. Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 The Wahid Institute: Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta: The Wahid Institute, 2011.

The Wahid Institute. The Wahid Institute: Seeding Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2012.

Uhlin, Anders. Penerjemah: Rofik Suhud. Penyunting: Yuliani Liputo. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Berita-Berita Elektronik Dari Internet:

gusdur.net. “Tentang Kami”. Diakses pada pada 11 Agustus 2012 dari http:// www.gusdur.net/ Tentang_Kami

The Wahid Institute. “Tentang Kami”. Diakses pada 11 Agustus 2012 dari http:// www.wahidinstitute.org/Program/Tentang_Kami

The Wahid Institute. “Toleransi Yang Kian Rendah Meretakkan Bangsa”. Diakses pada 18 Agustus 2012 dari http://www.wahidinstitute.org/Program/Detail/ ?id=411/ hl=id/Toleransi_Yang_Kian_Rendah_Meretakkan_Bangsa

Wawancara:

Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute (26 Maret 2012). Alamsyah M. Djafar, Staf The Wahid Institute (19 September 2012). Rumadi Ahmad, Staf The Wahid Institute (26 Maret 2012).