Tokoh Ideologi dan Pola-Pola Perjuangan NII-DITII

Bumi Putera, ia meneruskan pendidikannya di Europesche Lagere School, keduanya termasuk sekolah elite bagi seorang putra pribumi pada saat itu. Pada masa pendidikannya Islam politik adalah salah satu hal yang menarik dan cukup menjadi topik perhatian bagi Kartosoewirjo. Meskipun pada dasarnya Ia lahir di tengah-tengah keluarga priyayi Jawa, yang kurang mengenal tradisi, kultur dan pendidikan Islam dan bahkan latar belakang pendidikannya sarat dengan gaya pendidikan modern ala Belanda di masa itu. Kartosoewirjo telah akrab dengan dunia aktifis dan politik praktis sejak masa mudanya. Ia pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena memiliki buku-buku yang berhubungan dengan sosialis dan komunisme, yang pada saat itu sangatlah tabu karena stigma negatif yang melekat pada dua ideologi tersebut. Banyak tokoh yang mempengaruhi Kartosoewirjo dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang membawanya pada realistis politik di pentas nasional melalui Sarikat Islam SI. Pengalaman- pengalamannya pun sangat mendukung untuk bisa menjadi seorang aktor intelektual di pentas pergerakan. Satu hal yang menarik, Kartosoewiryo tidak hanya seorang aktifis yang berada di lapangan dan mengendalikan massa dan kondisi akan tetapi ia juga seorang wartawan, redaktur harian Fadjar Asia, ia juga berjuang dengan pena, menerbitkan artikel-artikel propaganda yang mengkritik dan menentang bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Seorang dengan kapasitas sebagai aktifis sekaligus organisatoris, menggunakan senjata lembaga dan pena untuk melawan penjajah Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1940 dengan semangat keislamannya Kartosoewiryo membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malambong. Lembaga ini adalah semacam pesantren tradsional yang disusun menurut sistem pesantren dan madrasah. Pola pengajarannya mengikuti dan meniru gaya dan metode pengajaran H.O.S Tjokroaminoto, para siswa disamping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga mendapatkan bimbingan politik. Lembaga ini menggunakan konsep yang terkenal dengan nama Daftar Usaha Hijrah. Siswa-siswa yang belajar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Jawa Barat, Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Kalimantan. Kartosoewirjo dan para siswa dari perguruan Suffah ini lah yang di kemudian hari bersama-sama mencoba mendirikan sebuah Negara Islam Daulah Islamiyah. 28 Karena dituduh menjadi mata-mata Jepang, Kartosoewirjo dihukum di penjara Purwakarta selama satu setengah bulan. Ditinggalkan olehnya, perguruan Suffah masih tetap berjalan semestinya pada massa pendudukan Jepang di Indonesia. Kemudian perguruan ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halaman masing-masing, sampai pada akhirnya dibuka kembali pada akhir pendudukan Jepang, ketika para pemuda Hizbullah latihan kemiliteran. 29 Setelah vakum dalam kegiatan politiknya, Kartosoewirjo mulai masuk pada sebuah organisasi Islam MIAI Madjlis Islam „Alaa Indonesia, sekaligus ia langsung menjadi sekretaris dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut di bawah 28 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 29 29 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo : Angan-angan yang gagal, hal. 26. pimpinan Wondoamiseno pada tahun 1943, 30 sampai pada akhirnya semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada rakyat Indonesia dalam waktu beberapa bulan kedepan. Hal ini telah disepakati oleh pejabat militer Jepang pada bulan Juli 1945. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata umat Islam mengalami kekalahan dalam percaturan politik di Indonesia, yaitu diterimanya Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara dan dihapusnya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Penghapusan ini membuat banyak kalangan tokoh Islam kecewa terhadap pemerintah Republik termasuk Kartosoewirjo yang akhirnya bertekad meneruskan cita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia. 31 Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1948 semua pemimpin Islam daerah Priangan termasuk Kartosoewirjo mengadakan konferensi di desa Pangwedusan distrik Cisayong. 32 Pertemuan ini untuk membahas Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda yang dilakukan di atas sebuah kapal. Kartosoewirjo sepakat bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda. Juga perjuangan melawan anggota Sabilillah dan Hizbullah yang berhianat harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa. Konfrensi di Cisayong tersebut menghasilkan keputusan penting dalam terbentuknya Tentara Islam Indonesia TII, memberlakukan Masyumi di Jawa Barat 30 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 55. 31 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia : 1950-1970. Pent. Safroedin Bahar, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal. 95. 32 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 72. dan semua cabangnya, membentuk pemerintah daerah di Jawa Barat oleh Umat Islam di daerah tersebut. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai ketua Masyumi daerah Periangan, Dahlan Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji‟ah sebagai ketua Poetri GPII, Abdullah Ridwan sebagai ketua Hizbullah untuk Periangan dan Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah daerah Periangan. 33 Pertemuan ini adalah cikal bakal terbentuknya Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia. Cita-cita menuju tegaknya Negara Islam Indonesia semakin mantap setelah diadakannya pertemuan di CisayongPangwedusan. Dalam pertemuan ini terbentuk suatu keputusan dan terlihat rencana yang telah tersusun rapih. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Van Dijk “Walaupun tidak diucapkan secara terang-terangan, cita- cita suatu Negara Islam Indonesia tidak pernah lenyap dari pikiran mereka. Struktur militer dan pemerintah yang disusun Kartosoewirjo dan Oni yang secara resmi terbatas pada Jawa Barat, jelas dimaksudkan sebagai pemerintah bayangan, yang akan berfungsi jika pemerintah Republik kalah dalam perang melawan Belanda…” 34 Dalam keputusan ini terjadi kesepakatan untuk membagi daerah operasi gerakan dalam tiga bagian, D.I, D. II dan D. III. Hal ini memperjelas bahwa kemudian hak untuk membentuk Darul Islam telah tercapai dengan adanya pembagian wilayah tersebut. 33 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 73. 34 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 78. Persiapan menuju Negara Islam semakin bertambah lengkap dengan diadakannya pertemuan kembali pada 1-5 Mei 1948 di Cijoho. Pertemuan ini membahas suatu rancangan konstitusi persiapan di Negara Islam yang kemudian konstitusi itu berhasil disusun pada 27 Agustus 1948 yang dinamakan Qonun Azasi, serta dibentuk suatu Dewan Imamah, Dewan Penasehat atau Dewan Fatwa. Kartosoewirjo sendiri ditunjuk sebagai Imam yang berarti menempati posisi di dalam Dewan Imamah. 35 Langkah selanjutnya yang dilakukan Kartosoewirjo adalah memberikan kabar akan niatnya mendirikan Negara Islam di Indonesia kepada para politikus Indonesia yang ketika itu berada di Yogyakarta pada tanggal 8 Juli 1949, mengingat situasi dan kondisi Indonesia dalam masa yang kritis dan fatal, hal yang sangat mendasar perlu secepatnya dilakukan. Ketika itu Pemerintah Republik diungsikan keberadaannya ke Yogyakarta, menyusul dikosongkannya wilayah Jawa Barat sebagai wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh Belanda. Negara Islam Indonesia beserta kesatuan Tentara Islam-nya dibentuk sebagai solusi alternative yang keputusannya diambil dengan sangat mendesak oleh Kartosoewirjo beserta semua rekan-rekannya. 19 Desember 1948 meletuslah agresi militer Belanda ke-2 yang membuat bangsa dan Negara Republik Indonesia kian terpuruk. Pemerintah Republik yang telah jatuh ke tangan kekuasaan Belanda, menjadi alasan bagi tentara Republik atau TNI untuk membatalkan perjanjian Renville dan kembali menuju Jawa Barat guna melawan Belanda. Hal ini otomatis mempertemukan TNI dengan satuan-satuan 35 Untuk lebih jelasnya lihat Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, Darul Falah, Juni 1999, hal. 75. gerilya tentara Islam pimpinan Kartosoewirjo yang telah terbentuk di daerah Jawa Barat. Tentara Islam Indonesia menyerukan kepada pihak TNI untuk bersatu dan sebaiknya menempatkan diri dibawah komando TII Jawa Barat. Tetapi pihak TNI tidak menggubris seruan ini dan menyatakan berhadapan dan berperang melawan pihak TII. Perang pun tak dapat dihindari lagi, peristiwa bentrokan ini terkenal dengan nama “peristiwa Antarlina” pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina dekat dengan Malambong. Ini adalah perang segi tiga pertama di Indonesia, karena ada tiga pasukan yang siap siaga: TII Tentara Islam Indonesia, TNI Tentara Nasional Indonesia dan Pasukan Belanda. 36 Perang Segi Tiga ini melahirkan perang-perang lain yang cukup panjang dan menjadikan keadaan Jawa Barat semakin rusuh dan kacau. Hingga pada saat terjalin perjanjian bersama antara pihak Belanda dan Republik, perjanjian yang dikenal dengan istilah “Perjanjian Roem-Van Royen” pada tanggal 7 Mei 1949. Dari perjanjian ini diperoleh kesepakatan untuk mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia. Permusuhan antara Belanda dan Republik Indonesia terhenti untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kubu Darul Islam Kartosoewirjo. Ia dan DITII-nya harus berhadapan secara fisik dengan kedua belah pihak, Belanda dan Tentara Republik. 36 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 84. Perjuangan senantiasa masih harus dilanjutkan, meski secara formal pihak Belanda telah mengakui kembali kedaulatan Pemerintah Republik, namun sebenarnya Belanda masih tetap sebagai musuh yang nyata selama berada di Bumi Indonesia. Kartosoewirjo melihat bahwa beberapa perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak antara Republik dengan Belanda adalah hanya siasat yang dilakukan Belanda untuk mengecoh pihak Republik. Semua perjuangan ini harus mendapatkan perwujudan yang kongkrit, perjuangan ideologi menegakkan panji-panji Islam di Tanah Air masih terus berlanjut bahkan semenjak paska kemerdekaan 1945 dimana pihak penjajah kolonial menginjakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi. Tentera Islam Indonesia menawarkan diri bekerja sama dengan pihak Republik untuk bergabung melawan penindasan Belanda. Akan tetapi tawaran ini disambut sebelah mata oleh pemerintah Republik, maka Kartosoewirjo beserta rekan- rekanya tidak mengulur-ngulur waktu lagi, saat yang ditunggu telah tiba, sehari setelah M. Hatta, sebagai wakit Presiden RI berangkat ke Den Haag untuk mengikuti sidang Konferensi Meja Bundar, Negara Islam Indonesia akhirnya diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat. 37 Dua hal yang mengisyaratkan Kartosoewirjo mengambil keputusan untuk segera memproklamasikan Negara Islam Indonesia, yaitu pertama, kekecewaan terhadap pemerintah Republik dalam melayani setiap diplomasi yang menurutnya hanya menjadi akal-akalan musuh. Kedua, adanya kekosongan atau jatuhnya 37 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, hal. 84. pemerintahan daulat Republik Indonesia selama diplomasi yang memaksanya harus memproklamasikan NII dengan segera di Jawa Barat.

D. Penumpasan DITII

Negara Islam Indonesia berdiri, semenjak itu pula keaadaan wilayah di Indonesia, Jawa Barat khususnya dengan sendirinya menjadi tersibukkan dibanding sebelumnya, secara otomatis berarti bertambahnya satu urusan bagi Republik Indonesia dan bisa dikatakan sebagai masalah baru bagi kedaulatan Republik. DITII yang sengaja memanfaatkan situasi kosong di wilayah Jawa Barat untuk kemudian dijadikan wilayah kekuasaan mereka, tetapi sebenarnya ada fenomena lain selain Darul Islam, yaitu kemunculan tegas dari pasukan-pasukan bersenjata lain, yakni pasukan-pasukan yang tersisa secara kesatuan disaat pelaksaan keputusan perjanjian Renville, pasukan-pasukan ini kemudian mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk tetap di wilayah Jawa Barat menentang serangan pihak kolonial Belanda. 38 Pihak tentara Republik terus mengadakan operasi-operasinya di Jawa Barat hingga memasuki tahun 1950, dalam rangka membereskan situasi yang kacau tersebut. Dengan pertimbangan harus dengan cepat membersihkan wilayah dari gangguan-ganguan pasukan liar di luar TNI. Bahkan TNI menyebutkan di sekitar tahun 1950-1960 pasukan TII semakin besar jumlahnya, sampai mencapai 13.129 personil dengan kelengkapan senjata 3000 buah termasuk bren dan montir dan itu 38 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92-98. berarti sangat merepotkan operasi yang dilakukan pihak TNI. 39 Kartosoewirjo dan DITII-nya tetap dianggap sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. DITII ternyata berhasil memberikan pengaruh gerakan ideologi Islam, ini terbukti dengan adanya perluasan gerakan dan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah yang berhasil pula memproklamasikan berdirinya Negara Islam di bawah komando Amir Fatah pada akhir April 1949, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah komandan Kahar Muzakkar, Kalimantan Selatan pada akhir tahun 1954 juga menjadi bagian dari NII dengan tokohnya bernama Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam yang hingga kini masih menjunjung Ideologi Islamnya juga ikut bergabung sekitar tahun 1953 dengan dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. Bagi pemerintah Republik gerakan-gerakan ini tidaklah lebih dari perbuatan maker, represif dan kudeta terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan harus segera diadakan perlawanan demi pencegahan terhadapnya. 40 Tidak ada kata lain dari Pemerintah dan Tentara Republik untuk mengadakan operasi demi operasi demi mewujudkan cita-cita pencegahan tersebut, meski harus berperang dengan pihak pasukan liar terutama Darul Islam yang sebenarnya adalah kawan sebangsa, setanah air bahkan pula seagama. Berbagai upaya dilakukan hingga pergantian cabinet demi tercapainya ketertiban kondisi dan situasi dari wilayah pemberontakan. 39 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,hal. 92. 40 Lihat keputusan sidang perkara terhadap Kartosoewirjo yang dikutip dalam Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S. M. Kartosoewirjo, hal. 208.