Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja

baik yang mengarahkan maupun yang mengombang ambingkannya. Pada masa remaja “bekal” pegangan hidup dari orang tua sering dianggapnya sudah kadaluarsa. Dalam kekosongan ini remaja mudah terombang- ambing, tidak tahu tempatnya, tidak dapat menempatkan dirinya sehingga perlu melaksanakan tugas perkembangan selanjutnya 4. Menemukan model untuk identifikasi. Menurut E.H. Erikson, pada masa ini remaja harus menemukan identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri, yang bisa dikenal dan ajek walaupun mengalami berbagai macam perubahan. 5. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri. Dalam hal ini remaja perlu refleksi diri. Sehingga ia akan mengetahui sejauh mana jangkauan kesanggupannya bisa mencapai kemungkinan dan kesempatan yang diperolehnya secra nyata, dan menerima apa yang didapatkannya sebagai hasil refleksi. 6. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma. Skala nilai dan norma, baru bisa diperolehnya melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya, tokoh masyarakat yang dianggapnya berhasil dalam kehidupannya. Nilai yang mengarahkan dan membatasi perilaku, bisa diperolehnya dari ajaran di sekolah. Baik pelajaran bidang studi ilmu maupun agama dan pemimpin remaja di luar sekolah. Berlandaskan semua nilai dan norma yang telah diperolehnya akan dibentuknya suatu “falsafah hidup” sebagai pegangan dalam pengendalian gejolak dorongan dalam dirinya. 7. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan. Seorang remaja diharapkan bisa meninggalkan kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri. Sepanjang masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat dari sudut pandang orang lain. Belajar mengingkari kesenangan diri sendiri, menangguhkan hal-hal menyenangkan dan mendahulukan pelaksanaan tugas dan kewajiban

2.4. Kerangka Berfikir

Pemberian maaf adalah kesediaan untuk menanggalkanmenghilangkan apa yang telah terjadimemberikan kebebasanmengikhlaskan kekeliruan masa lalu, tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian sehingga dapat mencegah atau menepis keinginan berespon destruktif merusakmenyakiti terhadap diri sendiri ataupun orang lain yang kemudian dapat meningkatkan dorongan untuk berkonsiliasi dengan pihak yang telah disakiti. Seseorang yang memilik t ingkat pemberian maaf yang rendah cenderung t ingkat agresivit asnya t inggi. Hal ini sepert i yang dikemukakan oleh Wort hingt on Jr, pakar psikologi di Virginia Commonw ealt h Universit y, AS, dkk merangkum kait an ant ara memaafkan dan kesehat an. Dalam karya ilmiahnya, “ Forgiveness in Healt h Research and M edical Pract ice” M emaafkan dalam Penelit ian Kesehat an dan Prakt ek Kedokt eran,di jurnal Explore, M ei 2005, Vol.1, No.3, Wort hingt on dkk memaparkan dampak sikap memaafkan t erhadap kesehat an jiw a raga, dan penggunaan “ obat memaafkan” dalam penanganan pasien. Orang yang t idak memaafkan t erkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan t ubuh. M ereka yang t idak memaafkan memiliki akt ifit as ot ak yang sama dengan ot ak orang yang sedang st res, marah, dan melakukan penyerangan agresif. Penelitian tersebut mengemukan bahwa orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktifitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan agresif. Artinya, dengan memberikan maaf, sikap marah yang mungkin timbul dapat dicegah atau dapat diminimalisir. Sehingga hal-hal yang mengarah pada bentuk- bentuk penyerangan baik secara verbal ataupun non verbal cenderung lebih rendah. Dimana agresivitas itu sendiri menurut Chaplin dalam kamus psikologi adalah kecenderungan habitual yang dibiasakan untuk memamerkan permusuhan.pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri; pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi sosial, kekuasaan sosial,khususnya yang diterapkan secara ekstrim. Dan agar ke-2 hal tersebut dapat dilihat lebih jelas lagi pengaruhnya. Maka sesuai dengan penegrtian masing-masing variabel di atas, penelitipun mengembangkan ke-2 variabel itu menjadi masing-masing: variabel pemberian maaf dikembangkan dengan menambahkan 2 dimensi yang ada. Yaitu: reduction in revenge dan reduction in avoidance. Dan untuk variabel agresivitas dikembangkan dengan menambahkan empat dimensi yang ada menurut Buss dan Pery dalam Luthfi,dkk. Yaitu: agresi fisik, agresi verbal, rasa marah dan sikap permusuhan. Disamping itu, peneliti juga menambahkan beberapa lainnya. Yaitu berdasarkan pada hal lain yang dapat menjelaskan gambaran umum orang tersebut.seperti jenis kelamin, usia, sedang berkonfliktidak dan lamanya konflik itu terjadi. Dan berikut adalah skema dari krangka berpikir ini: