4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr
Sebagaimana  umumnya  kitab  klasik  atau  kitab  kuning,  Tafsir  Ibn  Katsîr termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya, memuat bukan hanya materi tafsir
al-Qur’ân,  namun  dapat  dikatakan  berisi  beberapa  cabang  ilmu  keislaman  lain, seperti:  hadis,  fiqh,  sejarah  kisah,  ilmu  qira’at,  dan  lain-lain.  Karena  tafsir
ma’tsur,  maka  hadis  yang  disampaikan  dilengkapi  dengan  ilmu  seluk  beluk  atau perangkat-perangkat  keilmuan  yang  berkaitan  dengan  hadis,  misalnya,  ilmu  jarh
wa  ta’dil,  kritik  hadis,  rijal  al-hadis  dan  lain-lain.  Keberadaan  ini  tidak  lepas dengan kedudukan Ibn Katsir sebagai ahli hadis al-muhaddis.
Untuk  pembahasan  fiqh,  Ibn  Katsîr  sering  kali  menguraikan  secara panjang  lebar.  Di  sini  kendati  dia  berpegang  pada  satu  madzhab,  yaitu  Syafi’î,
pendapat-pendapat  dari  madzhab  lain,  seperti  Hanafi,  Maliki,  Hanbali,  dan pendapat-pendapat  dari  imam  madzhab  yang  sudah  tidak  berkembang
disampaikan  di  antara  pendapat  madzhabnya.  Hal  ini  menunjukkan keterbukaannya  dan  membuka  keterbukaan  pembaca  kitabnya  untuk  melihat
terhadap  pendapat  madzhab  lain,  selain  madzhab  yang  dipegangi,  agar  tidak fanatik. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan dia dalam bidang fiqh.
Dalam sejarah atau kisah, Ibn Katsîr adalah ahlinya. Namun demikian dia tidak  berlebih-lebihan  dalam  menguraikan  kisah-kisah  orang  terdahulu  yang
disampaikan  teks  al-Qur’ân.  Justru  pengaruh  keahliannya  nampak  pada  daya kritisnya  dalam  menyampaikan  kisah  al-Qur’ân,  dengan  mengemukakan  kritik
sejarah  terhadap  para  pendahulunya  yang  dianggap  kurang  pas  dalam
menyampaikan kisah.
39
Pada bagian ini dia menambahkan kisah  yang bersumber dari  Isra’iliyyat  yang  tidak  bertentangan  dengan  ajaran  Islam.  Demikian  juga
bidang-bidang keislaman lain ia sampaikan secara proporsional. Adapun  karakteristik  Tafsir  Ibn  Katsîr secara  terperinci  diuraikan  berikut
ini: a.
Mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda Ibn Katsîr  selalu berusaha mengkompromikan  perbedaan pendapat yang
disampaikan  para  ulama’  sebelumnya.  Kalau  tidak  mungkin,  ia  akan  melakukan tarjîh. Ia begitu arif dalam menyampaikan  hasil pengkompromiannya  itu dengan
ungkapan  yang  menyejukkan.  Sebagai  contoh  dapat  dikemukakan,  ketika menghadapi perbedaan dalam penafsiran  shirat al-mustaqîm QS Al-Fatihah [1]:
6. Beberapa riwayat mengartikan,
Dengan  bijaksana  sebagai  hasil  pemahaman  yang  mendalam,  ia mengkompromikan ikhtilaf itu dalam tulisnya:
Seluruhnya  qaul  ini  adalah  benar.  Semuanya  tetap  bisa  dipakai  kuat. Karena sesungguhnya, barang siapa mengikuti Nabi Saw. Dan mengikuti 2
orang sahabat setelahnya,  yaitu Abu Bakar dan Umar, maka sesungguhnya ia  mengikuti  kebenaran.  Barang  siapa  mengikuti  kebenaran  ,  maka
sesungguhnya  ia  mengikuti  ajaran  agama  Islam.  Dan  barang  siapa mengikuti  ajaran  agama  Islam,  maka  sesungguhnya  ia  mengikuti  al-
Qur’ân. Sedang al-Qur’ân  merupakan Kitab Allah, tali  agama-Nya  yang kokoh,  dan  jalan-Nya  yang  lurus.  Semuanya  adalah  benar,  yang
membenarkan sebagian atas sebagian yang lain.”
40
Dalam  mengutip  berbagai  macam  pendapat,  terutama  yang  mengandung ikhtilaf, Ibn Katsîr berusaha bersikap netral, bebas dan kritis. Apabila mendukung
salah  satu  pendapat  yang  dikutipnya,  ia  akan  mengemukakan  argumen  yang menguatkan pendapat itu dari pendapat-pendapat yang lainnya.
b. Merangkum Tafsir Terdahulu
Ibnu Katsîr mengutip beberapa penafsiran dari para ulama’. Ia mengambil pendapat-pendapat  dari  para  ulama’  sebagai  salah  satu  sumber  tafsir.  Ulama’
tersebut  adakalanya  dari  kelompok  mutaqaddimûn,  namun  terkadang  dari
40
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, jilid I, h. 26-28.
muta’akhirûn. Mereka  semua  memiliki  kontribusi besar  dalam  mengangkat  nilai tafsirnya.
Pandangan  dari  banyak  ulama’  yang  beragam  latar  belakang  keahliannya tersebut, menjadikan tafsir ini punya  sudut pandang  yang kompleks. Rangkuman
pendapat di dalamnya sangat luas bidang cakupannya. Dalam mengutip pendapat tertentu  Ibn  Katsîr  hanya  menyebutkan  nama  kitabnya.  Tanpa  menyebut-nyebut
nama  kitab  yang  dikutip,  orang  sudah  dan  atau  mudah  tahu  karya  ulama’  yang dimaksud, karena ulama’ itu sudah terkenal dan terpercaya.
Ketika  Ibnu  Katsîr  menulis;  “Telah  berkata  az-Zamakhsyari...,”  maka orang  akan  tahu  bahwa  yang  dimaksud  tulisan  itu  adalah  dalam  Tafsir  al-
Kasysyâf,  bukan  karya-karyanya  yang  lain  dalam  sastra  atau  teologi.  Jika  yang disebut  ath-Thabari,  maka  orang  akan  paham  bahwa  sumber  qaul  itu dari  Tafsir
Jâmi’  al-Bayan  fî  Tafsir  al-Qur’ân,  bukan  kitab  tarikhnya.  Sebab,  ketika  Ibn Katsîr  dalam  keadaan  tertentu  mengutip  dari  karya  tarikh,  maka  dia  menulis:
”Telah berkata ath-Thabarî dalam tarikhnya:...,” demikian seterusnya. Terhadap periwayatan hadis, Ibn Katsîr menulis, “Telah berkata Ahmad di
dalam kitab Musnad-nya..., atau “Dan dalam Musnad Ahmad...,” dan seterusnya. Baik  dalam  bidang  tafsir,  hadis,  fiqh  dan  lain-lain,  Ibn  Katsîr  sering  menyebut
qaul ulama’ tanpa menyebutkan kitab yang menjadi sumber pengambilan. Namun dalam  keadaan  tertentu,  ia  menyebutkan  nama  kitab  yang  dimaksud  sehingga
memudahkan bagi orang yang hendak mengeceknya. c.
Tafsir yang Terpuji
Kritk Abduh yang menganggap kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya  tak  lebih  merupakan  intelectual  exercise,  yang  penyampainnya
terkesan  gersang  dan  kaku,
41
serta  kurang  bisa  membawa  pesan-hidayah  al- Qur’ân,  adalah  terarah  kepada  kitab-kitab  tafsir  yang  menempuh  metode  ijmâli,
misalnya Tafsir Jalâlain karya dua Jalâl; Jalâl ad-Dîn al-Mahallî dan Jalal ad-Dîn as-Suyûthî.  Kitab  ini  misalnya,  tak  ubahnya  sebagai  tafsir  mufradat.  Artinya,
dalam tafsir itu si mufassir hanya menyampaikan pada kata yang lebih mudah dan lebih  dikenal  dari  kata-kata  teks  al-Qur’ân,  dan  membatasi  menyampaikan
maksud  isi  al-Qur’ân.  Pembacanya  dipersilahkan  mengambil  pesan  al-Qur’ân dengan  perantara  pengertian-pengertian  kata.  Namun  demikian,  hal  di  atas
hanyalah  efek  negatif  dari  metode  ijmâli,  karena  terdapat  pengecualian  dari pandangan Abduh di atas mengenai tafsir dan penafsiran. Menurutnya, Tafsir az-
Zamakhsyarî  yang  sangat teliti dalam redaksional dan uraian  sastrawinya;  Tafsir ath-Thabarî,  Tafsir  al-Qurthubî  dan  Tafsir  Abu  Muslim  al-Asfahani  yang
pengarang-pengarangnya  telah  melepaskan  diri  dari  belenggu  taqlid  dan  tidak melibatkan diri dalam perbedaan paham, merupakan Tafsir yang sangat baik bagi
para penuntut ilmu.
42
Nah,  kendati  Abduh  secara  khusus  tidak  menyebut  Tafsir  Ibn  Katsîr, namun melihat “sifat” Tafsir  yang dikecualikan atau baik bagi penuntut ilmu itu
dipunyai  tafsir  ini,  maka ia  termasuk  Tafsir  yang  terkecualikan.  Hal  ini  semakin nyata  jika  diingat  dan  dihubungkan  bahwa  Rasyîd  Ridhâ  sebagai  pelanjut  dan
perealisir ide-ide Abduh, dalam penafsirannya sangat terpengaruh oleh Ibn Katsîr.
41
Muhammad ‘Abduh, Fatihat al-Kitab, Kairo: at-Tahrir, h. 13.
42
Abd  al-’Athi’  Muhammad  Ahmad,  al-Fikr  as-Siyasi  li  al-Imam  Muhammad  Abduh, Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitab, h. 117.
Kekaguman  itu  telah  mendorongnya  untuk  mencetak  Tafsir  Ibn  Katsîr  dan menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.
Karya Ibnu Katsîr tersebut menekankan penukilan riwayat penafsiran dari masa  Nabi  saw  hingga  masa  atba’  at-tabi’in.  Pendapat  ulama’-ulama’  pasca
riwayat  hanya  sekedar pelengkap. Pembahasan  nahwiyah kurang mendapat porsi yang  cukup.  Penukilan  penafsiran,  misalnya,  dari  az-Zamakhsyarî  tentang  i’rab,
kendati  pun  dinukil  namun  kadarnya  kecil  sekali.  Hal  ini  karena  memang  ciri penafsiran  masa  mutaqaddimûn,  masa  generalisasi  atsar, Tafsir  ditekankan  pada
pemahaman  murad  Allah  dalam  nash  al-Qur’ân.  Sehingga,  walaupun  Tafsir  Ibn Katsîr  ditulis  pada  masa  muta’akhirûn,  namun  karena  memakai  corak
mutaqaddimûn yaitu ma’tsûr, ia tidak begitu terpengaruh oleh corak-corak tafsir yang  tumbuh  setelah  berkembang  pesatnya  ilmu  pengetahuan,  termasuk  di
dalamnya ilmu tata bahasa. Titik tekan perhatiannya bukan pada ilmu-ilmu pengetahuan  yang  sedang
marak berkembang pada masa itu, namun lebih memfokuskan diri pada penelitian sanad. Sebab dengan kritik sanad itulah. Tafsir Ibn Katsîr menjadi tafsir ma’tsûr
yang  bersikap  Mahmûd  dipuji  dan  Jaiz  dibolehkan,  serta  menempati kedudukan  yang  tinggi  di  antara  tafsir-tafsir  ma’tsûr.  Jika  dalam  penafsiran,
ketika  itu,  Ibnu  Katsîr  tidak  mempedulikan  kritik  sanad  maka  tafsirnya  akan menjadi  tafsir  yang  disifati  madzmum  yang  dicela  atau  mamnû’  dilarang,
karena riwayat-riwayat tafsir yang dikutip tidak teruji otentisitas dan validitasnya, sehingga  bisa  kemasukan  riwayat-riwayat  palsu  maudhû’,  atau  minimal  yang
lemah  dha’if  dan  atau  Isra’îliyyât  dan  nashrâniyyat  yang  tidak  sesuai  standar
kualitasnya  sebagaimana  yang  disampaikan  dalam  muqaddimah,  yaitu  sesuai tidaknya dengan ajaran agama Islam.
Melihat data-data di atas, adalah beralasan  jika Subhi Shalih berpendapat bahwa  keistimewaan  Tafsir  Ibn  Katsîr  antara  lain  terletak  pada  ketelitian  dalam
masalah  sanad,  kesederhanaan  ungkapan  yang  digunakan  dan  kejelasan  ide pemikiran.
43
5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr