15
BAB II IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA
A. Biografi, Riwayat Pendidikan, dan Karyanya
Nama kecil Ibn Katsîr adalah Ismâ’îl. Nama lengkapnya adalah ‘Imâd ad- Dîn Abû al-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr ibn Zarâ’ al-Bushra al-Dimasyqî.
1
Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra Bashrah, tahun 700 H.1301 M. Oleh karena itu, ia mendapat predikat al-Bushrawi orang Bushra.
2
Ibn Katsîr berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang ulama’ terkemuka dimasanya, Syihâb ad-Dîn Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr ibn Dhaw’ ibn
Zarâ’ al-Qurasyî, pernah mendalami madzhab Hanafi, kendatipun menganut madzhab Syafî’î setelah menjadi khatib di Bushra.
3
Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsîr diboyong kakaknya Kamâl ad-Dîn ‘Abd al-Wahhâb dari desa kelahirannya ke Damaskus.
Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya.
4
Karena kepindahan ini, ia mendapat predikat ad-dimasyqî orang Damaskus.
Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsîr dalam pengembangan karir keilumannya, adalah kenyataan bahwa di masa-masa pemerintahan Dinasti
Mamluk
5
pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid
1
Ahmad Muhammad Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, Mesir: Dâr al- Ma’ârif, 1959, jilid I, h. 22.
2
‘Umar Ridha Kahhâlah, Mu’jam al-Mu’allifîn: Tarâjum Mushannifî al-Kutub al- ‘Arabiyyah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t., jilid II, h. 283.
3
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsîr Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dâr al-Fikr, jilid XIV, h. 32.
4
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.
5
Kata mamlûk berasal dari Bahasa Arab yang berarti budak belian. Mamluk merupakan sebutan kepada budak-budak yang berasal dari Kaukasus, daerah perbatasan Turki-Rusia. Dinasti
berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama’ ternama di
masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsîr menimba ilmu.
6
Selain di dunia keilmuan, Ibn Katsîr juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini seperti, pada akhir tahun 741 H.
Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya hulûl. Tahun 752 H, ia
berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah ‘Urus, masa Khalifah al- Mu’tadid. Bersama ulama’ lainnya, pada tahun 759 H, ia pernah diminta Amir
Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam memberantas korupsi, dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.
7
Para ahli melekatkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Katsîr, sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuan yang ia geluti,
yaitu: 1.
al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 hadis, matan maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan; mengetahui hadis sahih,
serta tahu istilah ilmu ini;
8
2. al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah,
dapat membedakan cacat dan sehat, mengambilnya dari imam-
Mamlûk berkuasa di Mesir tahun 1250-1517 M., dengan 47 sultan mamluk. Pendiri dinasti ini adalah Baybars dan Izz ad-Din Aibak, yang melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayubiyyah. Lihat:
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta:PT. Ichtiar van Hoeve, 1993, jilid III, h. 145-149.
6
Ulama’-ulama’ besar yang hidup masa Dinasti Mamlûk, karya dan wafatnya, selanjutnya lihat: Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIII, h. 46.
7
Ibnu katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.
8
Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîs, Beirut: Dâr al-Fikr, h. 448; Bandingkan dengan: Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981, h. 22.
imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya;
9
3. al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama’ yang ahli dalam ilmu hukum
Islam fiqh, namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid;
4. al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan;
5. al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai
perangkat-perangkatnya berupa ‘ulum al-Qur’ân dan memenuhi syarat- syarat mufassir.
Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Katsîr. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada
karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya. Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang. Misalnya,
dalam tafsirnya Ibn Katsîr seakan mendemonstrasikan keahlian-keahliannya untuk menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar
keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak disandang Ibn Katsîr merupakan suatu kelebihan.
Beberapa ulama’ yang memberikan penilaian kepada Ibn Katsîr yang diantaranya dikemukakan oleh al-Qaththan:
9
Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, h. 23. Dalam beberapa kesempatan para ulama’ menyamarkan atau mensejajarkan pengertian antara al-muhaddis dengan al-hafizh. Namun,
jumhur ulama’ muta’akhirun ahli hadis berpendapat antara keduanya berbeda dalam tingkatan dan jenjang keahliannya. Hal ini sesuai tingkatan jenjang yang mereka buat. Dinyatakan, gelar
terendah ulama’ hadis adalah al-musnid, al-hafizh, al-hakim, dan yang tertinggi: amir al-mu’minin fi al-hadis, Lihat: Jalal ad-Din as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
1966, jilid I, h. 43-52.
“......Ibn Katsîr adalah pakar Fiqh yang terpercaya, pakar hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang
paripurna.”
10
Muhammad Husain adz-Dzahabî juga mengatakan:
“ Ibn Katsîr telah menduduki posisi yang tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama’ menjadi saksi terhadap keluasan
ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, hadis, dan tarikh.”
11
Pernyataan di atas merupakan bukti kedalaman pengetahuan Ibn Katsîr dalam beberapa bidang keislaman, terutama hadis, fiqh, sejarah, dan studi al-
Quran. Bukti dan keahlian Ibn Katsîr dalam bidang tersebut dapat dilihat pada karya tulisnya. Dan rupanya popularitas karya-karya tulis Ibn Katsîr dalam bidang
sejarah dan tafsirlah yang memberikan andil terbesar dalam mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang terkenal.
12
Selama hidupnya Ibn Katsîr didampingi seorang istri yang dicintainya bernama Zainab, putri al-Mizzi yang masih sebagai gurunya.
13
Setelah menjalani dinamika kehidupan yang panjang, penuh dedikasi pada Tuhannya, agama, negara dan dunia keilmuan, 26 Sya’ban 774 H., bertetapan
dengan bulan Februari 1373 M., pada hari Kamis, Ibn Katsîr dipanggil ke rahmat Allah.
14
Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada Ibn Katsîr. Amin.
10
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîs, h. 386.
11
Muhammad Husain Adz-Dzahabî, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, jilid II, h. 243.
12
A. Malik Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, Makalah diskusi dosen tetap IAIN Sunan Kalijaga; di-diskusikan 23 Mei 1986, h. 86.
13
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 25.
14
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 34.
Pendidikannya
Sejak kepindahan Ibn Katsîr bersama kakaknya ke Damaskus, 707 H., ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam
mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab, sang kakak.
15
Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan ulama’ ternama di masanya.
Guru utama Ibn Katsîr adalah Burhân ad-Dîn al-Fazarî 660-729 H., seorang ulama’ pemuka dan penganut mazhab Syafi’î; dan Kamâl ad-Dîn ibn
Qâdhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh, dengan mengkaji kitab at- tanbîh karya asy-Syîrâzî, sebuah kitab furû’ syafî’iyyah, dan kitab Mukhtashâr Ibn
Hajib dalam bidang Ushûl al-Fiqh.
16
Berkat keduanya, Ibn Katsîr menjadi ahli Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalm persoalan-
persoalan hukum.
17
Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama’ Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya secara langsung dari huffâzh
terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dîn ibn al-Asqalânî dan Syihâb ad-Dîn al-Hajjâr w. 730 H. yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn al-Syahnah.
18
Kepada al-Hâfizh al-Mizzî w. 742 H., penulis kitab Tahdzîb al-Kamâl, ia belajar bidang Rijâl al-Hadis.
19
Beliau juga pernah berguru pada adz-Dzahabi Muhammad bin Muhammad; 1284-1348 M., yang menjadikannya dipercaya
15
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 46.
16
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 192.
17
Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, Yogyakarta: Menara Kudus, 2002, h. 39.
18
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 149-150.
19
Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, h. 245.
sebagai penggantinya 1348 M.., di Turba Umm Shalih Lembaga Pendidikan. Pada 756 H.1355 M. Ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah
Lembaga Pendidikan Hadis, setelah hakim Taqiy ad-Din ash-Subhi 683-756 H. meninggal dunia.
20
Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H., ditunjuk mengorganisir pengkajian kitab Shahih al-Bukhari.
21
Dalam bidang sejarah, peranan al-Hâfizh al-Birzali w.739 H., sejarawan dari kota Syam, cukup besar. Dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsîr
mendasarkan pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut.
22
Berkat al-Birzali dan Tarikhnya, Ibn Katsîr menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan
rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam. Pada usia 11 tahun menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dilanjutkan
memperdalam ilmu qira’at,
23
dari studi tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah 661-728 H.,
24
di samping ulama’ lain. Metode penafsiran Ibn Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir Ibn Katsîr.
25
Pada bulan Syawwal 767 H., Ibn Katsîr dianugerahi jabatan imam dan guru besar tafsir di masjid negara Masjid Umayyah Damaskus, oleh Gubernur
Mankali Bugha.
26
Gelar al-mufassir yang disandangkan kepada Ibn Katsîr tidaklah berlebihan, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri w. 945 H.:
20
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIV, h. 148-150.
21
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 294-295.
22
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 185.
23
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 312.
24
al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 365.
25
Taqiy ad-Din Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karim, h. 93-114.
26
Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 321.
“Ibn Katsîr merupakan ikutan para ulama dan hafizh, dan menjadi sandaran para ahli makna dan ahli lafazh”.
27
1. Badr ad-Din az-Zarkasyi w. 794 H., penulis kitab al-Burhan fi ‘ulum
al-Qur’ân, kitab standar dalam ilmu tafsir. 2.
Muhammad ibn al-Jazari w. 833 H., pengarang kitab an-Nasyr fial- Qira’at al-’Asyr, kitab standar dalam ilmu qira’at.
28
3. Al-Hafizh Abu al-Mahasin al-Husaini, penulis kitab Dzayl Tadzkirah
al-Huffazh, sebuah kitab penting dalam ilmu rijal al-hadis.
29
4. Syihab ad-Din ibn Hijji w. 816 H., seorang penulis buku penting
dalam bidang tarikh.
30
Demikianlah aktifitas dalam seluruh hayatnya, sehingga ia selalu dikenang keharuman namanya setelah tiada.
Karya-karyanya
Sebagai penulis, Ibn Katsîr tergolong produktif. Beberapa judul karya tulis yang ia persembahkan merupakan “juru bicara” betapa penguasaan dan
kedalaman ilmunya dalam beberapa bidang kajian. Dalam bidang fiqh antara lain :
1. Kitab al-Ijtihad fî Thalab al-Jihâd.
Ditulis tahun 1368-1369 M. untuk meng-gerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon-Syiria dari serbuan Raja Franks
27
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 28.
28
Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, h. 18.
29
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26.
30
Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26.
dari Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn Taimiyyah: al-Siyâsah al-Syar’iyyah.
2. Kitab Ahkâm. Kitab fiqh yang didasarkan pada al-Quran dan hadis.
3. Al-Ahkâm ‘alâ Ahwâb at-Tanbîh. Kitab ini merupakan komentar dari
kitab at-Tanbîh karya asy-Syîrâzî.
Dalam bidang hadis antara lain : 1.
Al-Takmil fî Ma’rifat ats-Tsiqat wa al-Dhu’afâ wa al-Majâhil 5 jilid. Merupakan perpaduan dari kitab Tahdzîb al-Kamâl karya al-Mizzî dan
Mîzân al-I’tidâl karya adz-Dzahabî w. 748 H., berisi riwayat perawi- perawi hadis.
2. Jamî’ al-Masânid wa as-Sunan 8 jilid. Berisi para sahabat yang
meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Al-Bazzâr dan Abû Ya’lâ serta Mu’jam al-
Kabîr. Disusun berdasar tertib huruf. 3.
Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah w. 642 H.1246 M.. Karya ini kemudian disyarah oleh
Ahmad Muhammad Syâkir dengan judul: al-Bâ‘ist al-Hadis fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis.
31
4. Takhrîj Ahâdis Adillah at-Tanbîh li ‘Ulûm al-Hadis atau dikenal
dengan al-Bâ‘its al-hadis merupakan takhrîj terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syîrâzî dalam kitabnya at-Tanbîh.
31
Ahmad Muhammad Syâkir, Syarh Alfiyyah al-Suyûthi fî‘ilm al-Hadis, Beirut: Dâr al- Fikr, h. 142.
5. Syarh Shahîh al-Bukhârî, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-
hadis Bukhârî. Kitab ini tidak selesai, tetapi dilanjutkan oleh Ibn Hajâr al-’Asqalânî 952 H.1449 M..
Dalam bidang sejarah antara lain : 1.
Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 14 jilid. Memaparkan pelbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
tahun 768 H. Sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad saw, dan kedua, sejarah Islam mulai dari periode da’wah Nabi saw di Mekkah sampai pertengahan
abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.
2. Al-Fushûl fî Sirat ar-Rasûl atau as-Sîrah al-Nabawiyyah.
3. Thabaqât asy-Syâfî’iyyah.
4. Manâqib al-Imâm asy-Syâfi’i.
Dalam bidang tafsir antara lain : 1.
Fadhâil al-Qur’ân, berisi ringkasan sejarah al-Quran. Pada beberapa terbitan, kitab ini ditempatkan pada halaman akhir Tafsîr Ibn Katsîr,
sebagai penyempurna.
2. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, lebih dikenal dengan nama Tafsîr Ibn
Katsîr. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342 H.1923 M. Di Kairo.
32
B. Mengenal Tafsir Ibn Katsîr