kualitasnya sebagaimana yang disampaikan dalam muqaddimah, yaitu sesuai tidaknya dengan ajaran agama Islam.
Melihat data-data di atas, adalah beralasan jika Subhi Shalih berpendapat bahwa keistimewaan Tafsir Ibn Katsîr antara lain terletak pada ketelitian dalam
masalah sanad, kesederhanaan ungkapan yang digunakan dan kejelasan ide pemikiran.
43
5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr
Sistematika yang ditempuh Ibnu Katsîr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’ân sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’ân, ayat demi
ayat dan surat demi surat; dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib mushhafi.
Patut disyukuri oleh penikmat tafsir bahwa Ibn Katsîr telah tuntas atau menyelesaikan sistematika di atas, dibanding mufassir lain seperti: al-Mahalli
781-864 H. dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha 1282-1354 H. yang tidak sempat menyelesaikan tafsirnya, sesuai sistematika tartib mushhafi.
44
Pada muqaddimah Ibn Katsîr menulis tentang cara penafsiran yang paling baik atau prinsip-prinsip penafsiran secara umum serta argumen-argumen yang
melatarbelakanginya, yang tempuh pada tafsirnya. Apa yang disampaikan di sini
43
Subhi ash Salih, Mabâhis fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, h. 291.
44
Jalal ad-Din al-Mahallî memulai tafsirnya dari awal surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nâs, kemudian al-Fâtihah. Tafsir ini kemudian dilanjutkan Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî 849-911
H., mulai surat al-Baqarah hingga al-Isrâ’, sehingga sempurna 30 juz al-Quran. Berkat dua penafsir tersebut, tafsir ini dikenal dengan Tafsîr al-Jalâlain, walaupun dalam terbitannya ditulis
dengan judul Tafsîr al-Quran al-’Azhim. Rasyîd Ridhâ di bawah koreksi Muhammad Abduh, mensarikan kuliah-kuliah tafsir gurunya itu dari surat al-Fâtihah sampai dengan surat an-Nisâ’ [4]
ayat 125. kemudian Ridhâ pribadi melanjutkan penafsiran hingga ayat 52 surat Yusuf [12]. Tafsir al-Manâr yang dinisbahkan kepadanya Ridhâ tidak sempat dirampungkan, karena dia lebih
dahulu dipanggil Allah.
sangat prinsipil dan lugas dalam kaitannya dengan tafsir ma’tsûr dan penafsiran secara umum. Karenanya, tidak heran kalau sering dirujuk pada penulis ‘ulûm al-
Qur’ân setelahnya. Mengawali penafsirannya, Ibnu Katsîr menyajikan sekelompok ayat yang
berurutan, yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema kecil. Cara ini tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya atau semasa dengan
Ibnu Katsîr, para mufassir kebanyakan menafsirkan kata per kata atau kalimat per kalimat.
Dalam Tafsir Ibnu Katsîr aspek arti kosakata dan penjelasan arti global, tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu.
Atau, kadang pada suatu ayat, suatu lafazh dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafazh yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung suatu term istilah,
bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada ayat-ayat lain nya. Misalnya, sewaktu menafsirkan kalimat
َﻦﯿِﻘﱠﺘُﻤْﻠِﻟ ىًﺪُھ
dalam surat al-Baqarah [2] ayat 2. Menurut Ibn Katsîr, bahwa huda di sini adalah sifat diri al-Qur’ân itu sendiri, yang dikhususkan bagi muttaqin dan
mu’minin yang berbuat baik. Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut, yaitu:
45
a. Fushshilat [41]: 44.
b. Al-Isra’ [17]: 82.
c. Yunus [10]: 57.
45
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, cet. Ke-3, jilid I, h. 39.
Aspek asbab an-nuzul, Ibnu Katsîr tergolong ulama’ yang tidak intensif menyampaikannya pada ayat-ayat atau surat-surat yang oleh beberapa mufassir
lain disampaikan. Terhadap dua riwayat asbab an-nuzul atas satu ayat yang sama Ibn Katsîr
menyatakan bahwa kedua-duanya sama-sama menjelaskan asbab an-nuzul, tapi berhubung jarak waktu terjadinya jauh, maka bentuk komprominya adalah ayat itu
diturunkan dua kali.
46
Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman pada adanya munâsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tartîb mushhafi. Dengan
begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’ân dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munâsabah antar ayat-
ayat al-Qur’ân, yang mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al- Qur’ân serta yang paling penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial
sepotong-potong yang bisa keluar dari maksud nash. Dari cara tersebut, menunjukkan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibn Katsîr dalam
memahami adanya munâsabah dalam urutan ayat, selain munâsabah antar ayat tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân yang telah banyak diakui kelebihannya oleh para
peneliti. Mufassir setelahnya, misalnya Rasyîd Ridhâ dalam Tafsir al-Manâr dan
Mushthafâ al-Marâghî dalam Tafsir al-Marâghî, juga mengawali penafsirannya dengan mengemukakan kelompok-kelompok ayat.
46
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, jilid III, h. 76.
37
BAB III TAFSIR AYAT SHALAT BERJAMA’AH MENURUT IBNU KATSÎR