Gugatan Rekonvensi RUANG LINGKUP MEDIASI DAN GUGATAN REKONVENSI SERTA

32 dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. 19

B. Gugatan Rekonvensi

1. Pengertian Gugatan Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan voluntair dan gugatan kontentieus. Dalam perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan pihak-pihak yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon, dan produk hukum yang dihasilkan dalam perkara permohonan yaitu berupa penetapan Beschikking. Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian Pengadilan. 20 Berbeda dengan permohonan, produk hukum yang dihasilkan dalam perkara gugatan yaitu berupa putusan atau vonis. Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja. 21 19 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.32 20 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 229 21 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafindo, 2006, h. 47 33 2. Pengertian Gugatan Rekonvensi Bertitik tolak dari kontruksi gugatan sederhana seperti sebelumnya, dalam proses peradilan dapat terjadi pula gugatan rekonvensi. Pemahamannya sederhana, pengertian gugatan utamanya disebut gugatan konvensi, sedangkan pihak tergugat dalam kerangka mempertahankan haknya diperkenankan oleh undang-undang untuk melakukan gugatan balik, yakni gugatan rekonvensi. 22 Rekonvensi latin, aslinya reconventio, berarti tuntutan balasan, tuntutan balik, tuntutan tergugat dalam rekonvensi. Tergugat dalam konvensi menjadi penggugat dalam rekonvensi. 23 Dalam kamus hukum istilah rekoventie diartikan gugatan kembali, gugatan balasan; dalam memberi jawaban terhadap tuntutan atau gugatan penggugat, jadi tergugat menggugat kembali rekonvensi. 24 Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. 25 Menurut Pasal 132 a ayat 1 HIR makna rekonvensi adalah “gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang 22 Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, Malang : Bayu Media, 2007, h. 31 23 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: CV Mandar Maju, 2008, h. 111. 24 J. C. T. Simorangkir, Dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, h. 144. 25 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002, h. 99. 34 diajukan penggugat kepadanya, dan gugatan rekonvensi itu diajukan tergugat kepada pengadilan pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat” dimana maknanya hampir sama dengan yang dirumuskan dalam pasal 244 Rv, yang mengatakan ”gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.” 26 M. Yahya Harahap mengatakan bahwa pada masa belakangan ini, baik praktek hukum dan yurisprudensi, lebih sering menggunakan istilah aslinya, yakni gugatan rekonvensi, dan istilah ini sudah lebih umum penggunaannya di kalangan praktisi hukum dan dirasakan sudah menjadi khazanah perbendaharaan hukum nasional. 27 3. Gugatan Rekonvensi dalam Perceraian Pasal 66 ayat 5 UU No. 71989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan” dan Pasal 86 ayat 1 menyatakan pula bahwa “gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama 26 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta:Sinar Grafindo, 2006, h. 468. 27 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama , Bandung : CV Mandar Maju. 2008, h. 112. 35 dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ketentuan tersebut pada dasarnya mengatur tentang kemungkinan penggabungan permohonan cerai talak atau cerai gugat dengan masalah sengketa penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama. Tujuan dari dibolehkannya penggabungan itu telah ditentukan sendiri oleh penjelasan Pasal 86 ayat 1, yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah demi tercapainya “prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. 28 Kebolehan penggabungan ini sebagai langkah maju dan disinilah letak kejelian UU No.71989 tentang Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan dibolehkannya oleh Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat1 UU No. 71989 tentang Peradilan Agama untuk menggabungkan cerai talak atau cerai gugat dengan pembagian harta bersama, maka berarti masalah pembagian harta bersama itu juga dapat diajukan gugatan rekonvensi berhadapan dengan gugatan konvensi perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai perkara pokok sangat erat jalinan kaitannya dengan gugat pembagian harta bersama. Soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah isteri. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No. 71989 tentang Peradilan Agama, 28 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, h. 121 36 perceraian itu dibedakan antara cerai talak diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72, dan cerai gugat diatur dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Dalam cerai talak, ketentuan yang mengatur soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah isteri, terdapat dalam Pasal 66 ayat 5 yang dapat dipahami bahwa andaikan dalam kasus cerai talak, dimana isteri berkeinginan untuk memelihara anaknya dan sekaligus pula hendak menuntut biaya hidup bagi anaknya itu dari suaminya, karena mungkin suami menguasai anaknya pada saat gugatan cerai diajukan, maka dalam hal ini isteri dapat mengajukan hal itu sebagai gugatan rekonvensi, demikian juga halnya dengan nafkah untuk dirinya, isteri dapat menempuh cara yang sama.

C. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian