Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perspektif Islam dalam masalah pernikahan adalah suatu ikatan lahir maupun batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai layaknya suami istri berdasarkan dengan tujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Adapun mengenai akad perkawinan dalam perspektif Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Sang Pencipta alam semesta Allah SWT. Pernikahan adalah fitrah yang dianugerahkan pada setiap manusia sejak zaman azzaly, yaitu ketika diciptakan Adam dan Hawa. Pernikahan bukan saja keinginan setiap manusia, namun juga naluri atau tabi’at bagi makhluk hidup lainnya, karena pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk kelurga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 1 yang berbunyi:                                   1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet ke-1 h. 7. 2 Artinya: “Wahai Manusia Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu Adam, dan Allah menciptakan pasangannya Hawa dari dirinya dan darikeduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah SWT dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan Peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. An-Nisa’ 4:1. Ayat di atas menunjukkan bahwa pernikahan adalah cara yang sah untuk melestarikan keturunan. Dengan pernikahan hubungan silaturrahmi yang terjalin akan semakin luas dan melalui pernikahan juga bisa terbentuk satu hubungan sosial yaitu dengan saling tolong-menolong serta menasihati di jalan kebaikan dan taqwa. Dengan demikian suatu dimensi ibadah dalam perkawinan harus dipelihara dengan baik dan dijaga dengan rasa tanggung jawab dan rasa penuh kasih sayang. Maka apabila tujuan perkawinan dalam Islam seperti itu akan terwujudnyalah keluarga sejahtera, kekal dan abadi dimata tuhan yang maha esa pencipta alam semesta. Pada hakikatnya, pernikahan merupakan penataan suatu fitrah yang tersimpan dalam diri manusia, sebagaimana fitrah itu ada pada jenis binatang ialah fitrah manusia lebih mulia dari pada binatang dimata Allah SWT disebabkan jelas manusia diberi kekuasaan di bumi dan ditundukkan seluruh alam kepadanya dan manusia mempunyai prinsip-prinsip hubungan yang lebih tinggi yang mana bisa mengangkat derajatnya dari lingkup sifat kebinatangannya. Adapun fitrah binatang ialah Allah hanya memberikan nafsu yang lebih dan tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia. Maka dari itulah Allah SWT Mengangkat derajat manusia lebih tinggi mulia dari pada binatang. Dengan demikian juga pernikahan dapat dilakukan dengan baik dan sempurna. Dalam saat 3 ini kondisi masyarakat mempunyai tingkatan berbeda-beda maka sepantasnya menempuh perkawinan sesuai ekonomi yang ada. Hendaklah memberikan mahar itu sesuai dengan kemampuannya, 2 dan hendak pula pihak calon istri untuk tidak menuntut mahar yang besar dari pihak calon suami, jika tidak demikian maka akan timbul kejanggalan dalam masyarakat. Dalam hukum adat masyarakat Jambi berlandaskan hukum syarah, berdasarkan hukum Syarah Kitabullah dan Sunnah Rasul adat itu tidak terpisahkan dengan hukum. Oleh karena itu, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi dari pada kesadaran hukum, khususnya pada masyarakat- masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana. 3 Hukum syariat termasuk mahar adat perkawinan, namun adat mentafsirkan tersebut dengan alat berburu berupa kujur tombak sebatang dan keris sebilah, sebagai Pegang Pakai adat Jambi. Dasar pertimbangan kujur tombak sebatang dan keris sebilah yang diambil sebagai pegang pakai dalam masyarakat adat jambi bertujuan untuk membangun rumah tangga yang utuh dan sejahtera bahagia lahir maupun bathin dan diberikan kepada wanita berupa kujur sebatang keris sebilah yang diartikan sebagai pengadilan apabila di dalam rumah tangga terjadi adanya broken home keributan di dalam rumah tangga. 2 Abdul Qodir Jaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, h. 120. 3 Soerjono Soekanto dan Soleman, Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1981, h. 364. 4 Hal-hal di atas yang melatar belakangi penulis untuk meneliti dan mencermati kembali masalah transformasi Pegang Pakai sesuatu yang dilaksanakan di dalam adat Jambi di desa Penegah Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun yang berkenaan dengan maksud arti alat berburu seperti kujur tombak sebatang dan keris sebilah atau lebih jelasnya yaitu: “TRANSFORMASI PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG MAHAR DALAM ADAT JAMBI” Studi kasus di Desa Penegah Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun. Menurut penulis hal-hal di atas masih sangat relevan untuk dibahas, Mengingat perkembangan dalam transformasi mahar dalam masyarakat yang begitu cepat berubah, sehingga terkadang orang yang berada di sekitar lingkungan kita khususnya adat Desa Penegah Kecamatan Pelawan lupa akan nilai-nilai suatu perkawinan, dikarenakan lebih mementingkan hal-hal yang sebenarnya bukan hukum.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah