Pengertian dan Kedudukan Mahar Adat Desa Penegah

hubungan yang erat sekali sebagaimana disebutkan dalam seloko adat sebagai berikut: 23 a. Adat bersendikan syarak pondasi, syarak bersendikan Kitabullah. b. Syarak mengato, adat memakai Adat itu pula mengatur bagaimana seharusnya pergaulan antara bujang dengan sigadis, dan bagaimana pula seharusnya mahar perkawinan itu dilangsungkan atau diberikan kepada istri. Dorongan jiwa remaja saat ini untuk bergaul dan berkelakar dipenuhi dengan semangat mengindahkan ketentuan-ketentuan Agama Islam dan norma-norma sopan-santun bermasyarakat. 24 Kata Mahar berasal dari bahasa Arab Almahru dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “Pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatannya sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah. 25 23 Khaidir, Lembaga Adat Melayu Jambi propinsi Jambi, cet Ke-1 Jambi, 2009,.h.1 24 Ibid,. h.2 25 Amir Syrifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Putra Grafika, 2006 Cet ke-1, h. 8. Mengenai mahar Ulama Fiqh memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda secara substansial. Di antaranya seperti yang dikemukakan ulama Hanafiah sebagai berikut: 26 ﻊ ﻀ ﺒ ﻟ ا ﺔ ﻠ ﺑ ﺎ ﻘ ﻣ ﻲ ﻓ ج و ﺰ ﻟ ا ﻰ ﻠ ﻋ ح ﺎ ﻜ ﻨ ﻟ ا ﺪ ﻘ ﻋ ﻲ ﻓ ﺐﺠﯾ ل ﺎ ﻤ ﻟ ا ﻮھ “Harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya”. Ibnu al-Humam, 316. Oleh karena itu, definisi yang tepat mengenai mahar dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah: “Pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah”. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwasannya pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesainya peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela diluar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan , tidak disebut mahar. 27

B. Sejarah Pemberlakuan Mahar Adat Desa Penegah

26 Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, edisi I, cet ke-3, h. 85. 27 Ibid,. h.86 Undang-undang No. 22 Tahun 1948 adalah dasar pertama terbentuk ya DPRD dan DPD pada setiap marga mendapo dan kampung, namun keberadaannya menjadi fakum karena terjadi agresi Belanda I dan II, demikian juga terhadap peraturan ketentuan hukum adat dalam mengatur desa yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yang bernama peraturan negeri otonom diluar Jawa dan Madura. Namun peraturan tersebut, belum dapat memberikan otonomi secara penuh kepada desa dan tidak selaras dengan adat istiadat masyarakat desa sehingga menyebabkan sering terjadinya reaksi. 28 Dari kenyataan yang terjhadi saat itu, pemerintah pusat mengambil kebijakan untuk mengeluarakan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Desa, namun UU tersebut belum menampung aspirasi adat desa, sehingga pada tanggal 3 Desember 1984, Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi mengeluarkan Peraturan Daerah Perda No. 11 Tahun 1991, tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat, dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri Tanggal 21 Nopember 1992. 29 Pendapat tokoh masyarakat tentang Mahar dalam Adat Jambi khusunya di Desa Penegah Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun kata Mahar dan itu di ambil dari kata Bahasa Arab yaitu Almahru dalam Adat itu disebut dengan soko Maskawin yang berupa uang, emas, Seperangkat Alat shalat, yang mana mahar 28 Kemas Arsyad Somad, Mengenal Adat Jambi dalam perspektif modern, cet Ke-1 Jambi 2002,.h.65 29 Ibid,.h.66