Pemahaman Tentang Mahar KARAKTERISTIK UMUM MASYARAKAT DESA PENEGAH
mengucapkan Sebaik- baiknya mahar itu adalah yang paling mudah perempuan agar tidak menuntut mahar yang tinggi kepada pihak laki-laki.
Mahar juga di tafsirkan dalam Undang-Undang keluarga Islam 1984 dengan definisi :’’Pembayaran Maskawin yang wajib dibayar di bawah Hukum Syara’ oleh
suami kepada Istri pada masa perkawinan dalam aqad nikah, sama halnya berupa uang yang sebenarnya di bayar atau diakui sebagai utang dengan atau tanpa uang
muka, atau berupa suatu yang menurut hukum syara’ dan dinilai dengan uang ‘’. Mahar di dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam ini adalah suatu pemberian
yang wajib dibayar mengikut Hukum Syara’ dan berpautan dengan Syariat Islam. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang harta kekayaan dan
boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berbentuk barang atau harta, di syaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi
suci. Sedangkan bila maharnya berbentuk jasa atau manfaat, maka di syaratkan harus dalam arti yang baik.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadist Nabi dari Abdullah bin Amir Menurut riwayat at-Tirmidzi yang bunyinya:
ﻦﯿﻠﻌﻧ ﻰﻠﻋ ةأﺮﻣا حﺎﻜﻧ زﺎﺟأ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نأ ي ﺬ ﻣ ﺮ ﺘ ﻟ ا ه ا و ر
Artinya: Nabi Muhammad SAW membolehkan menikahi perempuan dengan mahar sepasang sandal.riwayat at-Tirmidzi
Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar ulama memperbincangkannya, bahwasannya mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada
batas maksimal bagi sebuah mahar. Disisi lain, apabila istri memberikan sebagian
mahar yang sudah mejadi miliknya, tanpa paksaan, maka sang suami boleh menerimanya. Malah wajib diterima istri dan menjadi hak istri, bukan orang tua atau
saudaranya. Mahar adalah imbangan untuk menikmati tubuh istri dan sebagai tanda kerelaan untuk di gauli oleh suaminya.
5
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ayat 34 yang berbunyi:
ð
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
itu Allah SWT telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Qs 4, An-Nisa’:3,4”
Di samping itu mahar juga akan memperkokoh ikatan dan menimbulkan kasih sayang dari istri kepada suaminya sebagai teman hidup dan mengeratkan hubungan
kekeluargaan dan di mana hubungan keduannya itu diridhoi oleh Allah yang maha pencipta lagi Maha mengetahui atas segalanya.
Jumhur Ulama berpendapat sebelum istri menerima pendahuluan mahar yang di tetapkan ia boleh menolak memberikan hak-hak suami seperti bergaul dan
melakukan hubungan kelamin, karena mahar itu adalah haknya dan sebelum haknya
5
Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, Edisi 2, h. 130.
itu diterimanya ia boleh tidak menjalankan kewajibannya.
6
Dalam Tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh mahar itu meskipun wajib, namun
tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi
yang diberikan oleh ulama waktu itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, definisi tepat yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah:
“Pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari
berlangsungnya akad nikah”.
7
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela diluar
akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang
diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar.
8
6
Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, edisi I, cet ke-3, h. 95.
7
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs honogami barat, Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, cet ke-1, h. 85.
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, April 2006, cet ke- 1, h. 173.