Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia lahir dengan kepribadian yang berbeda-beda. Tidak ada satu pun manusia yang memiliki kepribadian yang sama persis walau mereka anak kembar sekalipun. Eysenck dalam Suryabrata, 2007 mendefinisikan kepribadian adalah jumlah total pola tingkah laku aktual dan potensial yang ditentukan oleh hereditas dan lingkungan; hal tersebut asli dan berkembang selama interaksi fungsional dengan tiga sektor utama dimana pola tingkah laku tersebut adalah sektor konatif karakter, sektor afektif temperamen, dan sektor somatik konstitusi. Jika kita mengacu pada pengertian kepribadian menurut Eysenck diatas dikatakan bahwa keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi kepribadian tersebut. Kepribadian sudah ada semenjak lahir yang kemudian berkembang sampai ia dewasa karena faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pada masa dewasa kepribadian tersebut akan relatif stabil menetap tidak berubah- ubah seperti pada masa kanak-kanak dan remaja. Kepribadian setiap orang terdiri atas trait-trait. Allport membedakan antara tipe dan trait, setiap orang dapat memiliki suatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki suatu tipe. Tipe merupakan konstruksi ideal seorang pengamat, dan seseorang dapat disesuaikan dengan tipe itu tetapi konsekuensinya trait-trait khas individunya diabaikan Suryabrata, 2007. Jadi tipe cenderung menyembunyikan trait asli dari individu tersebut, ia tidak dapat menjadi dirinya sendiri. Trait ditekan dalam dirinya sehingga yang tampak keluar adalah tipe ideal yang diinginkan oleh orang-orang sekelilingnya. Trait merupakan sifat sebenarnya individu tersebut. Jika trait individu tersebut diabaikan dan lebih mementingkan tipe ideal secara belebihan maka hal tersebut dapat membuat seseorang mengalami gangguan kepribadian. Dewasa ini banyak orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian tidak merasa cemas dengan perilaku maladaptifnya. Karena orang tersebut tidak secara rutin merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai gejalanya, mereka sering kali dianggap sebagai tidak termotivasi untuk pengobatan dan tidak mempan terhadap pemulihan Kaplan Saddock,1997. Menurut WHO dalam O’Connor Dyce, 2001 Gangguan kepribadian secara mendalam sudah melekat dan menjadi pola tingkah laku yang terus berlanjut, sebagai manifestasi mereka akan respon secara luas terhadap situasi sosial dan personal. Mereka menampilkan penyimpangan yang ekstrim atau signifikan dari individu pada umumnya dalam memberikan dan merasakan kebudayaan, fikiran, perasaan, dan khususnya, hubungan dengan orang lain. Pola tingkah laku cenderung stabil dan mencakup banyak bidang dari fungsi psikologis. Individu dengan gangguan kepribadian secara konsisten menampilkan pola tidak biasa dan terbatas dari pikiran, perasaan dan tingkah laku yang maladaptif. Gangguan kepribadian merupakan ”ego syntonic” karena individu merasa normal terhadap kondisi gangguan yang dialaminya. Kekakuan dan penyimpangan yang dimilikinya tampak pada orang lain tetapi sering tidak tampak pada dirinya sendiri O’Connor Dyce, 2001. Umumnya kemunculan gangguan kepribadian tersebut berawal dari kemunculan distress, yang dilanjutkan pada penekanan perasaan- perasaan tersebut dan berperilaku tertentu seperti orang mengalami distress pada umumnya. Rendahnya fungsi interaksi sosial di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja ikut memperburuk kondisi dan suasana emosi dengan cara mendramatisir, menyimpan erat, mengulang atau mengingat kembali suasana hati obsesif, dan antisosial. Salah satu gangguan kepribadian yang dapat muncul karena distress tersebut adalah obsesif kompulsif, Bagian terpenting dari gangguan kepribadian obsessif kompulsif adalah adanya preokupasi keterpakuan pada keteraturan, kesempurnaan serta kontrol mental dan interpersonal. Pola ini mulai ada pada masa dewasa awal dan terlihat dalam berbagai konteks DSM IV-TR. Yovel, Revelle dan Minneka dalam Halgin Whitbourne, 2007 mengemukakan bahwa perasaan mereka tentang self-worth tergantung kepada tingkah laku mereka untuk memenuhi hal abstrak yang ideal dari perfeksionis; jika mereka gagal untuk meraih hal ideal tersebut mereka merasa tidak berharga. Dalam pola kerja ini, gangguan kepribadian obsesif kompulsif tergantung kepada cara yang problematik bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Abidin 2008 mengatakan bahwa kebanyakan penderita gangguan ini berasal dari orang kulit putih, terpelajar, menikah, dan karyawan. Karyawan lebih rentan untuk terkena gangguan kepribadian obsesif kompulsif mungkin dikarenakan distress atau tekanan yang dialaminya dalam pekerjaannya. Mereka memiliki beban pekerjaan yang berat kemudian dituntut untuk melakukan hal-hal sesempurna dan seideal mungkin serta terlalu mementingkan detail yang berlebihan, sehingga tidak jarang akhirnya pekerjaan yang mereka lakukan tidak dapat selesai karena terbentur dengan ide ideal yang mereka inginkan untuk memenuhi harapan atasannya, sementara mereka tidak mampu mencapai ide tersebut. Kemudian karena perfeksionis yang berlebihan mereka terkadang sulit membedakan mana hal-hal yang penting untuk dikerjakan atau tidak sehingga umumnya orang dengan gangguan ini bekerja terlalu keras karena mereka merasa tidak puas dengan hasil pekerjaannya yang belum sempurna menurut mereka. Orang- orang dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif memiliki waktu senggang yang sedikit dan banyak menghabiskan waktu dikantor atau dirumah untuk menyelesaikan pekerjaannya dan mengakibatkan mereka umumnya memiliki hubungan sosial yang kurang intim dengan lingkungannya, disamping itu karena mereka juga kaku jadi tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Gangguan kepribadian ini dapat menghambat produktivitas karyawan tersebut, misalnya karena ingin terlalu sempurna dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia terus mengulang-ulang mengecek pekerjaannya dan akhirnya melewati batas waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dan akhirnya justru menghambatnya untuk melakukan pekerjaannya yang selanjutnya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mudrack 2004 menemukan bahwa perilaku gila kerja atau lebih dikenal dengan workaholic merupakan hasil kombinasi dari keterlibatan pada pekerjaan yang tinggi dan kepribadian obsesif kompulsif. Hasil ini menambah pemahaman tentang sikap keterlibatan kerja yang diberikan kaitannya dengan beberapa sifat obsesif-kompulsif, menyarankan relevansi kepribadian obsesif-kompulsif dalam setting non-klinis, dan menambah pemahaman fenomena workaholism sebagai kecenderungan perilaku. Salah satu teori untuk mengukur trait kepribadian adalah model lima faktor, yang mengelompokkan kepribadian individu diatur dalam lima dimensi yang luas atau faktor atau kepribadian. Widiger dan Costa mengemukakan dalam O’Conner Dyce, 2001 lima dimensi ini mendasari kepribadian normal maupun abnormal. Kepribadian abnormal dilihat sebagai varians maladaptif yang ekstrim dari lima faktor kepribadian dan gangguan kepribadian dapat dipahami dalam arti posisi mereka yang relatif terhadap lima dimensi utama. Faktor-faktor ini diistilahkan dengan Big five: neuroticsm, extraversion, openness to experience, agreebleness dan conscientiousness McCrae Costa, 1999. penelitian ini mengatakan bahwa lima dimensi tersebut dapat menangkap berbagai variasi kepribadian individu dan menemukan bahwa trait kepribadian individu secara kuat dipengaruhi oleh genetik Jang, McCrae, et al.,1998. Sejumlah meta-analisis telah mengkonfirmasi nilai prediksi big five di berbagai perilaku. Page dan Saulsman 2004 memeriksa hubungan antara dimensi kepribadian big five dan masing-masing dari 10 gangguan kepribadian yang ada dalam DSM-IV. Sepuluh gangguan tersebut antara lain adalah gangguan kepribadian paranoid, skizoid, skizotipal, antisosial, ambang, histrionik, narsistik, menghindar, dependen dan obsesif kompulsif. Peneliti menemukan bahwa setiap gangguan menunjukkan gambaran yang unik dan tak terduga dari model lima faktor ini. Kepribadian yang paling menonjol dan konsisten yang mendasari gangguan adalah hubungan positif dengan neuroticism dan hubungan yang negative dengan agreebleness. Peneliti yang menggunakan pendekatan dimensional model big-five untuk mengerti gangguan kepribadian obsesif kompulsif mencatat bahwa individu- individu yang mengalami gangguan kepribadian tersebut memiliki level yang tinggi pada conscientiousness Widiger et al., 2002, yang menunjukkan pada kesukaannya untuk bekerja secara ekstrim, perfeksionis, dan kontrol terhadap tingkah laku yang berlebihan McCann, 1999. Mereka juga memiliki skor yang tinggi pada assertif salah satu facet dalam dimensi extraversion dan rendah pada compliance salah satu facet pada dimensi agreebleness. . Dari fenomena dan penelitian-penelitian yang telah di paparkan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui trait-trait mana kah dari pendekatan big five yang berhubungan dengan kecenderungan gangguan kepribadian obsesif kompulsif pada sampel karyawan. Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul ”Hubungan trait kepribadian dengan Kecenderungan Gangguan Kepribadian Obsesif Kompulsif pada Karyawan”.

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah