Masa Hadhanah TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH

ﺖﹶﻟ ﹶﺎﻗ ﹰﺓﹶﺍﺮﻣ ﺍ ﱠﻥ ﹶﺍ ﻭﹴﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑِ ﷲﺍ ﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ : ﻲﹺﻳ ﺪﹶﺛ ﻭ ًﺀَﺂﻋﹺﻭ ﻪﹶﻟ ﻲﹺﻨﹾﻄﺑ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺍﹶﺬﻫ ﻲﹺﻨﺑﺍ ﱠﻥ ﹶﺍِ ﷲ ﺍ ﹶﻝ ﻮﺳﺭ ﺎﻳ ًﺀﺎﹶﻘﺳ ﻪﹶﻟ , ًﺀﺍﻮﺣ ﻪﹶﻟ ﻱﹺﺮﺨﺣﻭ , ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻲﻨﻣ ﻪﻋ ﹺﺰﺘﻨﻳ ﹾﻥﹶﺍ ﺩﺍﺭﹶﺍﻭ ﻰﹺﻨﹶﻘّﹶﻠﹶﻃ ﻩﹶﺎﺑﹶﺍ ﱠﻥﹺﺇﻭ ﺎﻬﹶﻟ ﻪﻴﹶﻠﻋُ ﷲﺍﺍ ﻰﻠﺻِ ﷲﺍﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻢﱠﻠﺳﻭ : ﻲﺤﻜﻨﺗ ﻢﹶﻟ ﺎﻣ ﻪﹺﺑ ﻖﺣﹶﺍ ﺖﻧﹶﺍ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﻭﺍﺭ 6 Artinya :“ Dari Abdullah bin Amr : Bahwa ada seseorang perempuan berkata : “ Ya Rasulullah Sesungguhnya anakku laki-laki ini perutkulah yang jadi bejananya, lambungku yang jadi pelindungnya dan susuku yang jadi minumannya. Tiba-tiba sekarang ayahnya mau mencabutnya dariku.” Maka Rasulullah saw lalu bersabda : “ Engakau lebih berhak tehadapnya, selama engkau belum kawin lagi “. HR Abu Dawud . 7. Medeka. Sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Sedangkan syarat untuk madhun atau hadhinah adalah sebagai berikut : 7 1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

D. Masa Hadhanah

6 Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud, Daarul Fikr, 1994 , h.525 7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia anatar Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta, Prenada Media,2006, h329 Tidak terdapat dalam al qur’an ayat-ayat atau hadits yang menyatakan secara tegas tentang masa hadhnah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat- ayat tersebut. Karena itu para ulama berijtihad dalam hal ini, sehingga dikalangan para ulama terdapat perbedaan tentang masa hadhanah itu sendiri, seperti 8 : 1. Imam Hanafi, berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki, dan sembilan tahun untuk wanita. 2. Imam Syafi’i, berpendapat tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya. 3. Imam Maliki, berpendapat masa asuhan anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. 4. Imam Hambali, berpendapat masa asuhan anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal berama ibunya atau dengan ayahnya. Lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam KHI tentang masa hadhanah atau pengasuhan anak apabila terjadi perceraian tidak terdapat pasal yang menjelaskan secara rinci atau jelas tentang hal itu, tetapi ada semangat dari ketidak adaaan pasal yang menjelaskan tentang masa hadhanah itu, 9 apabila kita lihat pada pasal 47 ayat 1 yaitu : 8 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab , Jakarta, Penerbit Lentera, 2001,h 417 9 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,Jakarta, Prenada Media Group, 2006cet ke II h 185 Pasal 47 “ anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 10 Sehingga dari pasal di atas dapat kita pahami bahwa masa hadhanah yang dininginkan Undang-Undang apabila terjadi perceraian harus menunggu setelah anak itu berumur 18 tahun, sehingga si anak bias memilih kepada siapa ia akan tinggal, apakah dengan ayah atau ibunya. Adapun Kompilasi Hukum Islam KHI tentang hal ini bisa kita lihat pada pasal 105 yaitu 11 : Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Ada perbedaan dari Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang batas usia anak dalam hal pemilihan kepada siapa ia akan diasuh, 10 R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta PT.Pradnya Paramita, h 551 11 Abdurrhman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta 1992, hal 138 Kompilasi Hukum Islam yang lebih condong terhadap pemahan fiqh berpendapat bahwa sang anak sudah bisa memilih pada umur 12 tahun pada saat ia sudah mumayiz. E.Pemberian Upah Hadhanah Upah atau pengganti kerja adalah yang wajib diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang telah memberikan jasa kepada orang lain, tak terkecuali pada permasalahan hadhanah. Upah wajib diberikan oleh ayah dari anak kecil yang diasuh kepada seseorang yang telah mengasuh, hal ini tidak berlaku terhadap ibu dari si anak yang diasuh apabila masih berada pada ikatan pernikahan atau masih masa iddah, karena apabila masih pada dua masa tersebut mengasuh anak adalah kewajiban yang dibebankan kepada si ibu itu, karena pada masa itu pula ayah biasanya memberikan kewajibannya memberikan nafkah baik seabagai suami jika masih berkeluarga atau tetap memberikan nafkah pada saat masa iddah. Hal ini tercermin jelas pada ayat Al- qur;an pada surat Al-Baqarah ayat 233 dan At-Tahalaq ayat 6, yang berbunyi : 12 Artinya :“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara maruf.” Q.S.Al-Baqarah ayat 233 12 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Bandung, PT Al-Ma’arif ,2002 h 185 Dan pada ayat lainnya dijelaskan : Artinya :“Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” Q.S. At- Thalaq ayat 6. Tentang upah ini, para fuqaha dalam hal ini imam madzhab berbeda pendapat tentang permasalahan upah, adapun perbedaan tersebut yaitu 13 : 1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat : wanita yang mengasuh berhak atas upah pengasuhan yang diberikannya, baik dia berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anak itu. Imam Syafi’I menegaskan bahwa, manakala anak yang diasuh itu mempunyai harta sendiri maka upah tersebut diambilkan dari hartanya, sedangkan bila tidak, upah itu merupakan tanggung jawab ayahnya atau orang yang berkewajiban menafkahkan kepada si anak. 2. Imam Maliki dan Imamiyah berpendapat : wanita pengasuh tidak berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikannya, tetapi imamiyah mengatakan bahwa si ibu berhak atas upah. Kalau nak yang disusui itu mempunyai harta, maka orang yang menyusuinya diberi upah yang diambilkan dari hartanya, tetapi kalau tidak punya, upah itu menjadi tanggungan ayahnya bila ayahnya orang mampu. 13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta, Penerbit Lentera, 2001, h 418 3. Imam Hanafi berpendapat : pengasuh wajib memperoleh upah manakala sudah tidak ada lagi iktan perkawinan antara ibu dan bapak si anak, dan tidak pula dalam masa iddah dan talak raj’i. demikian pula halnya bila ibunya berada dalam keadaan iddah dari talak bain atau fasakh nkah yang masih berhak atas nafkah dari ayah si anak. Upah bagi orang yang mengasuh wajib diambilkan dari harta si anak bila dia mempunyai harta, dan bila tidak, upah itu menjadi tanggungan orang yang berkewajiban memberikan nafkah kepadanya. Apabila kewajiban yang telah dibebankan kepada sang ayah ternyata tidak bisa dijalankan dan si anak tidak mempunyai harta sedangkan orang yang mengasuhnya tidak mau mengasuh apabila tidak dibayar dan ternyata ada saudara dari ayahnya yang mau merawat anak tersebut dengan sukarela tanpa dibayar, maka dalam situasi seperti ini ayahnya diperbolehkan memberikan hak asuh anaknya kepada saudara atau kerabatnya yang mau mengasuh dengan sukarela. 14 Seperti halnya wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, ayah anak tersebut juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika si ibu tidak mempunyai rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anaknya itu. 15 Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah diatur dengan jelas tentang siapa yang memberikan biaya penagsuhan anak tersebut, adapun pasal-pasalnya itu adalah : a Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 16 14 Abd.Rahman Ghazaly,Fiqh Munakahat, h 188 15 Sayydi Sabiq, Fiqh Sunnah, PT Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, h 245 Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilaman bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. b Kompilasi Hukum Islam KHI 17 Pasal 105 b. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Oleh karena itu, apabila kita melihat hal-hal tersebut di atas maka fungsi dari pemberian upah hadhanah adalah menjadi kewajiban apabila ayah dari anak tersebut mampu membayarnya, baik untuk istri atau ibu dari anak tersebut atau wanita lain yang mengasuh anak tersebut. Hal ini terjadi karena, apabila orang yang mengasuh tersebut diberikan upah, smaka anak tersebut akan dirawat dengan baik. 16 R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, h 549 17 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h 138

BAB IV PENCABUTAN HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA DEPOK