BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga  adalah  unit  terkecil  dalam  masyarakat  yang  terdiri  dari  suami  istri, atau  suami  istri  dan  anaknya,  atau  ayah  dan  anaknya,  atau  ibu  dan  anaknya,  atau
keluarga  sedarah  dalam  garis  lurus  ke  atas  atau  ke  bawah sampai  dengan  derajat ketiga.
1
Di  dalam  fungsinya  keluarga  adalah  untuk  melindungi  anak  agar  terjamin segala  hak-haknya  dalam  rangka  menumbuh  kembangkan  secara  optimal  sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan kriminal.
Dalam  hal  pendidikan  orang  tualah  yang  sangat  bertanggung  jawab  dalam  hal ini,  karena  Undang-undang  mengamanahkan  terhadap  orang  tua  berkewajiban  dan
bertanggung  jawab  terhadap  anak  sesuai  pasal 26  yaitu  :  mengasuh,  memelihara, mendidik dan melindungi anak.
2
Anak adalah titipan dari sang khalik yang diberikan kepada  kita  untuk  dapat  dijaga  dan  dirawat  dengan  baik.  Bagi  anak  yang  belum
mumayiz  yaitu  anak  yang  belum  mengerti  kemaslahatan  terhadap  dirinya  sendiri yang secara tidak langsung harus berada di bawah naungan ibunya.
1
Undang-Undang  No  23  Tahun  2002  Tentang  Perlindungan  Anak  Bandung,  Citra Umbara,,2003,h 4.
2
Ibid ., h. 13
Anak  adalah  seseorang  yang  belum  berusia  18  delapan  belas  tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam  KHI  anak  adalah  orang  yang  belum  genap  21  tahun  dan  belum pernah
menikah  dan  karenanya  belum  mampu  untuk  berdiri  sendiri
4
Dari  sisi  kehidupan berbangsa  dan bernegara anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-
cita  bangsa,  sehingga  setiap  anak  berhak  atas  kelangsungan  hidup,  tumbuh,  dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Dalam    Islam  hak  mengasuh  anak  adalah  menjadi  tanggung  jawab  yang  besar
yang  harus  dijalankan  oleh  pihak-pihak  yang  terkait  yaitu  baik  suami  sebagai  ayah atau istri sebagai ibu. Karena anak adalah titipan Sang khalik yang harus kita rawat,
apabila  kita  tidak  melaksanakan  semua  itu  dengan  baik  maka  kita  akan  dikenai hukum  oleh  Allah.  Adapun  dalil  yang  menegaskan  tentang  peranan  penting  dalam
menjaga keluarga adalah surat At-Tahriîm ayat  6 :
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api  neraka  yang  bahan  bakarnya  adalah  manusia  dan  batu;  penjaganya
malaikat-malaikat  yang  kasar,  keras,  dan  tidak  mendurhakai  Allah terhadap  apa  yang  diperintahkan-Nya  kepada  mereka  dan  selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” Q.S At-Tahrim ayat 6
3
Undang-Undang  No  23  Tahun  2002  Tentang  Perlindungan  Anak,   Bandung,  Citra  Umbara, 2003, h. 4.
4
Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997, h. 21
Dari dalil  di  atas  dapat  kita  ambil  kesimpulan,  bagaimana  pentingnya  kita menjaga anak atau keluarga kita dari hal-hal yang kurang baik, karena mereka semua
adalah sesuatu yang akan dimintai pertanggung jawaban nanti dihari akhir. Kehidupan berumah tangga tidak selamanya berjalan dengan baik, ada kalanya
keadaaan  itu  tidak  baik  dan  terlebih  lagi  bisa  kearah  pada  perceraian,  walaupun perceraian  sesuatu  yang  tidak  disenangi  oleh  Allah  tetapi  apabila  semua  cara  sudah
dilakukan  tetapi  ternyata  tidak  bisa  dipertahankan  maka  perceraian  adalah  jalan keluarnya.  Di dalam  terjadinya  perceraian  banyak  sekali  permasalahan  yang  akan
timbul  setelah  perceraian  itu  terjadi,  baik  permasalahan  harta  bersama  sampai permasalahan siapa yang lebih berhak mengasuh anaknya  hadhanah .
Memang  tidak  terdapat  dalam  Al-qur’an  ayat-ayat  yang  menyuruh  atau melarang eksisitensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq
terjadi. Di  dalam  hal  perceraian  dasar-dasar  perceraian  itu  dapat  kita  lihat  dari beberapa ayat Al-Quran atau hadis, seperti :
1. Al-Baqarah Ayat 232
Artinya  :“ Apabila  kamu  mentalak  isteri-isterimu,  lalu  habis  masa  iddahnya,  Maka janganlah  kamu  para  wali  menghalangi  mereka  kawin  lagi  dengan
bakal suaminya. “ Q.S.Al-Baqarah Ayat 232
2. At-Thalaq Ayat 1
Artinya :“  Hai  nabi,  apabila  kamu  menceraikan  Isteri-isterimu  Maka  hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya
yang wajar.”  Q.S. At-Thalaq Ayat 1
3. Hadits Abu Dawud dan Ibnu Majah
ﹶﻝﺎﹶﻗﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑ ﺍ ﹺﻦﻋ :
ﻕﹶﻼﱠﻄﻟﺍِ ﷲﺍﺍ ﻰﹶﻟﺍ ﹺﻝﹶﻼﹶﳊﹾﺍ ﺾﻐﺑﹶﺍ  ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋُ ﷲﺍﺍ ﻰﱠﻠﺻِ ﷲﺍﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ
ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ
5
Artinya :
“
Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq “  HR. Abu Daud
Apabila  ada  sepasang  suami  istri  bercerai  sedangkan  keduanya  mempunyai anak  yang  belum  mumayiz  maka  istrilah  yang  lebih  berhak  untuk  mendidik  dan
merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.
6
Kenapa hal ini bisa terjadi  karena suatu  saat  pernah  ada  seorang  perempuan  yang bertanya  kepada
Rasulullah SAW
ﺖﹶﻟ ﹶﺎﻗ ﹰﺓﹶﺍﺮﻣ ﺍ ﱠﻥ ﹶﺍ ﻭﹴﺮﻤﻋ ﹺﻦﺑِ ﷲﺍ ﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ :
ﻲﹺﻳ ﺪﹶﺛ ﻭ ًﺀَﺂﻋﹺﻭ ﻪﹶﻟ ﻲﹺﻨﹾﻄﺑ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺍﹶﺬﻫ ﻲﹺﻨﺑﺍ ﱠﻥ ﹶﺍِ ﷲ ﺍ ﹶﻝ ﻮﺳﺭ ﺎﻳ ًﺀﺎﹶﻘﺳ ﻪﹶﻟ
, ًﺀﺍﻮﺣ ﻪﹶﻟ ﻱﹺﺮﺨﺣﻭ
, ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻲﻨﻣ ﻪﻋ ﹺﺰﺘﻨﻳ ﹾﻥﹶﺍ ﺩﺍﺭﹶﺍﻭ ﻰﹺﻨﹶﻘّﹶﻠﹶﻃ ﻩﹶﺎﺑﹶﺍ ﱠﻥﹺﺇﻭ
ﺎﻬﹶﻟ ﻪﻴﹶﻠﻋُ ﷲﺍﺍ ﻰﻠﺻِ ﷲﺍﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ
ﻢﱠﻠﺳﻭ :
ﻲﺤﻜﻨﺗ ﻢﹶﻟ ﺎﻣ ﻪﹺﺑ ﻖﺣﹶﺍ ﺖﻧﹶﺍ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﻭﺍﺭ
7
5
Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud,  Daarul Fikr, 1994 , h.500
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3,  Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006 , h 426.
7
Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud, h.525
ِ◌ Artinya  :  “ Perempuan  itu  berkata  :  Ya  Rasulullah,  sesungguhnya  bagi  anak  laki- lakiku  ini  perutkulah  yang  menjadi  bejananya,  lambungku yang  menjadi
pelindungnya  dan  susuku  yang  menjadi  minumannya,  tetapi  tiba-tiba ayahnya  merasa  berhak  untuk  mengambilnya  dariku  “.  Lalu  beliau
menjawab  :  “  Engkaulah  yang  lebih  berhak  untuk  mendidik  anakmu selama engkau belum menikah dengan orang lain. “  HR Abu Dawud .
Dan  dari  perceraian yang  diambil  sebagai  jalan  keluarnya  maka  akan  timbul akibat  dari  perceraian  itu  sendiri.  Dalam  hal  ini Undang-Undang  Nomor  1  Tahun
1974 mengatur hal tersebut pada pasal-pasal-pasal berikut ini, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
8
:
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata  berdasarkan  kepentingan  anak;  bilamana  ada  perselisihan  mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak  yang  bertanggung  jawab  atas  semua  biaya  pemeliaharaan  dan  pendidikan yang  diperlakukan  anak  itu;  bilamana  bapak  dalam  kenyataan  tidak  dapat
memenuhi  kewajiban  tersebut  Pengadilan  dapat  menentukan  bahwa  ibu  ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan  dapat  mewajibkan  kepada  bekas  suami  untuk  memberikan  biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri;
8
R.Subekti dan R.Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Jakarta, Pradnya Paramita, 1992, cet ke 25 h 549
2. Kompilasi Hukum Islam KHI
9
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan  mut’ah  yang  layak  kepada  bekas  isterinya,  baik  berupa  uang  atau
benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al Dukhul; b. Memberi  nafkah,  maskan  dan  kiswah  kepada  bekas  isteri  selama  dalam  iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi  mahar  yang  masih  terutang  seluruhnya,  dan separoh  apabila  Qobla  al Dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun;
Dari ketentuan diatas dapat kita bisa lihat bahwa peranan istri sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian
dan    tanggung  jawab  yang  begitu  besar  yang  harus  dijalankan  kepada  semua  pihak. Adapun  siapa  yang  lebih  berhak  mengasuh  anak  yang  belum  mumayiz,  bila  kita
melihat  argumen  di  atas  maka  yang  berhak  mengasuh  anak  yang  belum  mumayiz adalah sang ibu.
Tetapi  hal  ini bisa  berbeda  bila  ditinjau  terhadap  putusan  perceraian  yang terjadi  di  pengadilan  agama  di  Indonesia,  karena ada  beberapa  kasus  hak asuh  anak
9
Abdurrahman, Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia,   Jakarta,  Akademika  Presindo,  2004, h.149
diberikan  kepada  pihak  ayah  dengan  melihat  hal-hal  yang  memungkinkan  hak  asuh anak  bisa  jatuh  kepada  ayah.,  tetapi  tidak  jarang  juga  para  hakim  memberikan  hak
asuh  kepada pihak istri terlebih lagi bila anak tersebut belum mumayiz. Salah satu contoh  di dalam putusan Pengadilan Agama Depok ada satu kasus
perceraian  yaitu  dengan  nomor  registrasi  889  Pdt.G2005PA-Dpk,  setelah  adanya kekuatan  hukum  yang  tetap    tentang  putusnya  perceraian  dan  terhadap  pihak  mana
yang  mendapatkan  pihak  asuh  anak  yaitu  dalam  hal  ini  adalah  pihak  ibu. Setelah putusan  itu  keluar  ternyata  timbul  permasalahan  baru,  dimana  hak  asuh  anak  yang
dahulu  diberikan  kepada pihak  istri  oleh  pihak  suami  digugat  kembali  dengan mengajukan  gugatan  di  Pengadilan,  setelah  diadakan  sidang  dan  ternyata  di  putus
bahwa  hak  asuh  anak  dicabut  dan  diberikan  kepada  pihak  suami. Hal  ini  yang kemudian  bagi  penulis  menjadi  bagian yang dikritisi,  kenapa  terjadinya  pencabutan
hak asuh anak. Dan penulis akan menuangkannya di dalam tugas akhir dalam rangka
memenuhi standar kelulusan Strata Satu S1 dengan judul “ Pencabutan Hak Asuh Anak  Dari  Ibu    Studi Analisis Putusan  Pengadilan  Agama  Depok  Nomor
430Pdt.G2006PA.Dpk.”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah