Status Drop Out Pasien TB Paru di BP4 Medan

tidak salah mengerti dalam waktu minum obat yang benar sehingga pengobatan yang dilakukan dengan strategi DOTS ini dapat lebih baik.

5.2.3 Status Drop Out Pasien TB Paru di BP4 Medan

Status drop out pasien sangat penting diperhatikan karena pengobatan akan sia-sia bila pasien tidak mengikuti pengobatan dengan adekuat dan berkesinambungan. Pasien di BP4 Medan yang menjawab pertanyaan di kuesioner dan cenderung untuk drop out adalah 21 orang 21.6 responden dan yang tidak drop out sebanyak 76 orang 78.4 [Tabel 5.25]. Status drop out ini menunjukkan bahwa pasien di BP4 Medan masih melakukan hal – hal yang tidak sesuai dengan strategi pengobatan. Seharusnya pasien mengetahui dan menyadari tentang fungsi keteraturan minum obat dan berkelanjutan, minimal pengobatan, tindakan pasien bila merasa bosan serta resiko bila tidak minum obat secara teratur. Dokter, petugas kesehatan serta PMO harus meningkatkan komunikasi dengan pasien dan melakukan pengawasan yang lebih ketat sehingga pasien tidak drop out dari pengobatan. Keadaan ini berhubungan erat dengan compliance dan adherensi dari proses pengobatan. Pasien tidak paham dengan proses pengobatan dan tindakan yang diberikan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Sihombing 2002 bahwa sikap pasien dalam minum obat teratur merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan dalam keberhasilan pengobatan. Bila pasien tidak minum obat teratur maka keberhasilan pengobatan akan sulit dicapai. Petugas kesehatan, dokter dan PMO harus menjelaskan dan mengawasi pasien dengan benar sehingga pasien tidak mngalami drop out selama pemgobatan. Dari jawaban responden dapat dilihat bahwa 79 orang 81.4 responden memilih teratur minum obat sesuai dengan dosis dan berkelanjutan sebagai hal yang paling penting dalam proses pengobatan TB paru dengan strategi DOTS [Tabel 5.20]. Dapat juga kita lihat masih banyak pasien TB paru di BP4 Medan yang tidak paham dan mengetahui lama minimal pengobatan TB paru. Sebanyak 22 orang 22.7 menyatakan bahwa pengobatan TB paru minimal adalah 2 bulan sedangkan 9 orang 9.3 lainnya tidak tahu sama sekali. Hanya Universitas Sumatera Utara 66 orang 68 yang mengetahui dengan pasti bahwa pengobatan minimal TB Paru adalah 6 bulan [Tabel 5.21]. Angka ini masih sangat rendah mengingat strategi DOTS memiliki kebijakan untuk menjelaskan secara terperinci mengenai minimal pengobatan tersebut. Hal ini harus dijelaskan dengan baik kepada pasien demi pengobatan yang tidak terputus dan pasien sembuh total. Hambatan yang berarti juga tampak pada masih banyaknya pasien yang akan berhenti minum obat bila batuk telah hilang dan berat badan telah naik yaitu sebanyak 23 orang 23.7. Padahal hal tersebut bukanlah suatu standar kesembuhan yang benar dan akan tampak pada akhir bulan ke-2 pengobatan. Sedangkan 72 orang 74.2 memilih jawaban yang benar yaitu pasien akan berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh total oleh dokter [Tabel 5.23]. Sebaiknya pasien dijelaskan dengan benar bahwa pasien boleh berhenti minum obat setelah pasien dinyatakan sembuh total oleh dokter sehabis pemeriksaan dan pengobatan lengkap. Pemahaman ini harus ditegaskan kepada pasien sehingga tidak ada lagi pasien yang berhenti berobat drop out selama pengobatan. Pengetahuan pasien mengenai resistensi obat yang bisa terjadi bila pasien tidak minum obat teratur juga masih sangat rendah. Dapat dilihat bahwa hanya 59 orang 60.8 responden yang mengetahui hal tersebut. 28 orang 28.9 tidak mengetahui sama sekali dan 10 orang 10.3 beranggapan tidak akan terjadi apa-apa dan pengobatan bias disambung lagi [Tabel 5.24]. Hal ini sangat berhubungan erat dengan status drop out pasien dan keadaan resistensi obat yang menghambat pengobatan dan pemberantasan TB paru di kalangan masyarakat. Maka tidaklah heran pada akhir – akhir ini kasus resistensi terus meningkat. Penanganan kasus-kasus drop out harus segera dilakukan dengan member penjelasan yang cukup dan benar serta mengawasi pasien TB paru selama menjalani pengobatan. 5.2.4 Komitmen PMO kepada Pasien TB Paru Komitmen PMO pada 97 orang responden dalam penelitian ini cukup baik tapi tidak menunjukkan angka maksimal. Hanya 70 orang 72.2 responden yang memiliki PMO yang baik dan berkomitmen untuk mengawasi dan memperhatikan pasien selama Universitas Sumatera Utara minum obat anti tuberkulosis. Pertanyaan yang diberikan kepada responden lebih mengarah ke komunikasi yang terjalin antara pasien dengan PMO-nya.. Dari hasil kuesioner juga dapat dilihat ada 27 orang 27.8 responden yang memiliki PMO dengan status komitmen PMO yang buruk [Tabel 5.31]. Pengawas minum obat PMO yang paling tepat adalah keluarga, masyarakat umum seperti keluarga, tetangga, teman dan lain-lain atau petugas kesehatan yang telah dilatih terlebih dahulu. 75 orang 77.3 telah menjawab benar dan tepat tetapi harus diperhatikan ada 19 orang 19.6 responden yang memiliki PMO dari keluarga yang tinggal serumah dan tidak mendapat pelatihan ataupun penjelasan sama sekali tentang TB Paru dan tugas-tugasnya. Sedangkan 3 orang 3.1 responden lainnya memilih teman yang tidak mengerti tentang TB untuk menjadi PMO-nya [Tabel 5.26]. Dalam strategi DOTS yang benar seharusnya pasien minum obat anti tuberkulosis karena disuruh oleh PMO yang bersangkutan. Dapat dilihat hanya 54 orang 55.7 responden saja yang minum obat anti tuberkulosis karena diperintah oleh PMO-nya. Sedangkan 36 orang 37.1 minum obat karena kesadaran sendiri dan 7 orang 7.2 lainnya memilih karena keluarga [Tabel 5.28]. Walaupun pasien minum dengan kesadaran sendiri tetapi PMO tetap berkewajiban mengingatkan dan menyuruh pasien untuk tetap minum obat teratur sesuai jadwal dan berkelanjutan. Tugas PMO yang paling penting adalah mengawasi pasien untuk minum obat secara teratur. PMO seharusnya terus melihat dan memperhatikan pasien sampai selesai saat pasien minum obat. Hasil penelitian menunjukkan ada 71 orang 73.2 yang memiliki PMO dan terus memperhatikan pasien sampai selesai minum obat. Sebanyak 21 orang 21.6 menyatakan bahwa PMO-nya sudah pergi saat pasien minum obat anti tuberkulosis dan 5 orang 5.2 lainnya hanya mencatat tindakan minum obat tanpa memperhatikan melihat pasien. Hal ini juga berfungsi untuk mengetahui sejauh mana PMO mengetahui, dekat dan mengerti pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang PMO juga harus mendengarkan keluhan pasien yang menjadi tanggung jawabnya dan memberikan solusi yang diketahuinya. PMO yang mendengarkan keluhan pasien dan Universitas Sumatera Utara memberi nasehat yang baik selama pengobatan ini hanya 65 orang 67. Jumlah ini sangat kecil dan minimal mengingat dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS yang menjadi kunci keberhasilannya adalah pengawas minum obat PMO. PMO yang sebenarnya harus terus mengawasi dan menjaga pasien tersebut agar tetap menjalankan pengobatan dengan teratur sesuai jadwal dan sampai tuntas 2007, Gerdunas-TB. 5.2.5 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Pengetahuan responden dikategorikan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik dan pengetahuan yang buruk. Proporsi pengetahuan responden tampak jauh berbeda anatara pengetahuan baik sebanyak 86 orang 88.7 dengan yang pengetahuan yang buruk sebanyak 11 orang 11,3. Pada kelompok pengobatan yang berhasil sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 79 orang 92,9 dan 6 orang 7,1 lainnya merupakan responden yang memiliki pengetahuan yang buruk. Secara statistik didapati bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh penelitian oleh Simamora 2004 bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik akan cenderung berobat teratur dan menyelesaikan pengobatan sampai berhasil. Dari hasil penelitian yang didapat sebelumnya tersebut dinyatakan juga bahwa terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengetahuan pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan yang bermakna yaitu p 0,0001. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat dari Notoatmodjo 2003, bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap masalah tersebut. Dalam hal ini, pemgetahuan yang dimiliki oleh penderita TB paru berhubungan dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Semakin tinggi pengetahuan penderita tentang penyakit TB paru dan DOTS maka akan semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pengobatan. Namun, keberhasilan pengobatan yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Sihombing 2002 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Walaupun Universitas Sumatera Utara pasien yang memiliki pengetahuan yang baik mempunyai peluang untuk sembuh tetapi pasien yang berpengetahuan kurang baik mempunyai peluang yang sama dengan taraf signifikan 0,284. Hal ini berarti tinggi atau rendahnya tingkat pengetahuan penderita tentang penyakit TB paru dan DOTS ternyata tidak mempengaruhi proses penyembuhannya. Pengetahuan responden adalah pengetahuan mengenai tuberkulosis paru yang diterima secara langsung dari dokter, petugas kesehatan sewaktu mendapat pengobatan, maupun melalui media lainnya sebelum dan sewaktu pengobatan, sehingga dapat merubah perilaku responden untuk berobat teratur dan mencapai keberhasilan pengobatan. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penyuluhan tuberkulosis bagi penderita, keluarga maupun masyarakat. Penyuluhan secara intensif, secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan dan pada akhirnya akan mendorong meningkatkan keberhasilan pengobatan. 5.2.6 Hubungan Pasien Berobat Teratur dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Kebiasaan pasien untuk berobat teratur sangan berpengaruh dengan keberhasilan pengobatan pasien itu sendiri. Pada tabulasi dapat dilihat bahwa dari 82 orang 84.5 yang berobat teratur hanya 3 orang yang pengobatannya tidak berhasil sedangkan 79 orang 92,9 pengobatan berhasil. p value 0,0001 yang didapat juga menjelaskan bahwa ada hubungan yang erat antara keadaan pasien berobat teratur dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Sikap keteraturan berobat ini dibatasi pada keteraturan melakukan pemeriksaan ulang, keteraturan mengambil obat dan meminumnya serta ketanggapan pasien dalam tindakan yang mendukung keberhasilan pengobatan selama menjalani pengobatan. Dari tabel dapat dilihat bahwa pasien yang tidak berobat teratur hanya 15 orang 15,5 dengan 6 orang 7,1 berhasil dalam pengobatan dan 9 orang 75 tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan berobat tidak teratur memliki peluang yang lebih besar untuk tidak sembuh daripada yang berobat teratur. Universitas Sumatera Utara Hal ini sesuai dengan penelitian Sihombing 2002 yang mendapati bahwa dari 22 orang 73,34 responden yang sembuh, kebanyakan bersikap baik dan berobat teratur, yaitu sebanyak 17 orang 56,67. Dari hasil perhitungan statistik didapati nilai 0,417 dengan taraf signifikan 0,001. Dapat disimpulkan bahwa bila sikap konsumen semakin baik maka peluang untuk sembuh semakin besar, sebaliknya bila sikap konsumen semakin buruk maka peluang untuk tidak sembuh yang semakin besar. Dalam Pedoman Nasional Penanggulangan TB Paru dikatakan bahwa kerjasama antara pasien penderita TB paru dan petugas kesehatan sangat mempengaruhi sembuh atau tidaknya pasien Gerdunas-TB, 2007, dimana ini berkaitan dengan pengetahuan dan sikap pasien dalam berobat teratur. Hal yang menjadi penyebab adanya pengaruh ini adalah keputusan pasien untuk sembuh tergantung pada pasien sendiri, sehingga keputusan tersebut akan mempengaruhi sikapnya. 5.2.7 Hubungan Status Drop Out Pasien dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Berdasarkan data dari profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 DinKes Sumut, 2008 tercatat dari 12.179 kasus TB paru yang diobati hanya 9.140 75,05 yang sembuh dan kasus drop out masih banyak terjadi. Berdasarkan rekam medik BP4 Medan tahun 2007 terdapat 31 orang penderita dan pada tahun 2008 sebanyak 24 penderita. Kasus-kasus tersebut masih menjadi masalah yang harus mendapat perhatian sehingga kasus drop out dapat dicegah dan keberhasilan pengobatan TB paru akan meningkat. Hubungan keadaan pasien drop out sangat berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Hal ini terlihat jelas pada tabel 5.36 yang menunjukkan bahwa pada 85 orang yang pengobatannya berhasil terdapat 75 orang 88,2 merupakan pasien yang tidak memiliki status drop out sedangkan 10 orang lainnya memiliki status drop out +. Pada uji statistic terdapat p value 0,0001 yang artinya terdapat hubungan antara status drop out pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Universitas Sumatera Utara Keadaan yang sama juga terlihat pada tabel dengan pengobatan yang tidak berhasil. Dari 12 pasien yang pengobatannya tidak berhasil, 11 orang 91,7 responden memiliki status drop out +. Dan hanya 1 orang yang memliki status drop out -. Hal ini sangat menentukan keadaan pasien selama menjalankan pengobatn TB paru dengan strategi DOTS. Seharusnya bila pasien mengikuti pengobatan dengan stretegi DOTS maka pasien akan diberi penjelasan, pengarahan, pengawasan yang menimbulkan keinginan pasien untuk tetap ikut dalam pengobatan secara teratur sesuai jadwal sampai tuntassembuh. Tetapi pada kenyataannya masih ada pasien yang tidak patuh dalam berobat ataupun minum obat sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Dokter, petugas kesehatan dan PMO harus lebih memahami keadaan pasien dan membantu dan mencegahnya drop out. Masih banyak kendala dalam pelaksanaan DOTS merupakan faktor terjadinya drop out . Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah rendahnya compliance dan pengetahuan penderita yaitu pasien TB paru tidak mengerti dan tidak sadar akan pentingnya pengobatan yang berkelanjutan dan teratur yang diberikan kepadanya sehingga pasien biasanya tidak begitu peduli patuh dalam mengikuti prosedur pengobatan Gitawati, 2002. 5.2.8 Hubungan Komitmen PMO dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan Pengawas Minum Obat PMO sangat erat hubungannya dengan keberhasilan pengobayan TB paru dengan strategi DOTS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70 orang 72,2 responden yang memiliki PMO dengan komitmen baik hanya 1 orang 8,3 responden yang pengobatannya tidak berhasil sedangkan 69 orang 81,2 responden mendapatkan hasil akhir yang baik yaitu keberhasilan pengobatan. Pada perhitungan statistik didapati hasil p value 0,0001 yang artinya ada hubungan antara komitmen PMO dengan tingkat keberhasilan pengobatan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Sawaluddin 2004 yang menunjukkan bahwa sebanyak 7 Puskesmas kelompok PMO 70 yang mendukung pasien mempunyai peluang keberhasilan pengobatan yang lebih baik sebesar 85,7 dan yang tidak berhasil Universitas Sumatera Utara 14,3. Hasil uji statistik didapat p value 0,033, pada derajat kepercayaan 95, berarti ada hubungan yang signifikan antara komitmen PMI dengan pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. PMO yang baik adalah PMO yang dekat dengan pasiennya, mengawasi pasiennya sepenuh hati dan berkomitmen menjalan semua tugas-tugasnya dengan baik demi kesembuhan pasien. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengatakan PMO-nya bekerja dengan baik yaitu 89,5. Ini karena yang menjadi PMO seluruhnya keluarga sehingga mereka lebih memperhatikan kesehatan responden dan selalu memberikan dorongan kepada responden untuk menjalani pengobatannya sampai tuntas Zuliana, 2009. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PDPI bahwa sebelum dilaksanakan pengobatan harus terlebih dahulu ditunjuk seorang PMO dan harus dihadirkan di poloklinik untuk diberikan pelatihan tentang pengobatan TB paru dan DOTS. Dukungan PMO sangat menunjang keberhasilan pengobatan penderita dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat dan memberikan pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa peran PMO sangat besar pengaruhnya dan merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan TB paru dengan DOTS karena PMO adalah orang yang seharusnya selalu mengawasi dan memberi nasehat- nasehat selama pasien menajalani pengobatan. Maka untuk itu, pihak-pihak terkait seperti BP4 Medan dan Dinas Kesehatan Sumatera Utara dan Medan sangat perlu untuk memberdayakan PMO dan diberikan pelatihan, pengetahuan dalam pelaksanaan pengobatan TB paru demi keberhasilan pengobatan dan pemberantasan TB di kalangan masyarakat. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Tingkat Keberhasilan Strategi DOTS pada Pasien Tuberkulosis Paru di BP4 Medan” serta seluruh pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:  Pengetahuan pasien tentang TB paru dan DOTS di BP4 Medan cukup baik tetapi belum maksimal. Dari 97 responden diperoleh 86 orang memliki pengetahuan yang baik dan 11 orang memiliki pengetahuan yang buruk. Dengan memakai strategi DOTS seharusnya seluruh pasien sudah mendapat penjelasan yang cukup dari dokter, petugas kesehatan dan PMO sehingga memiliki pengetahuan yang baik.  Keteraturan berobat pasien di BP4 Medan masih harus ditingkatkan karena pada penelitian disimpulkan bahwa 82 orang memiliki sikap untuk teratur berobat sedangkan 15 orang masih memiliki kecenderungan untuk berobat tidak teratur. Semua pasien harus memiliki sikap untuk menjalani pengobatan secara teratur dan sesuai jadwal sehingga keberhasilan pemberantasan dan penghentian penyebaran TB paru dapat mencapai keberhasilan 100.  Angka drop out + pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 21 orang responden dan yang tidak memiliki status drop out - adalah 76 orang responden. Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien di BP4 Medan masih melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana penanggulangan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS.  Hanya 70 orang responden yang memiliki PMO dengan komitmen dan 27 orang lainnya memiliki PMO dengan status komitmen PMO yang buruk. Hal ini Universitas Sumatera Utara