Studi terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, air tembus tajuk dan aliran batang serta leaching pada beberapa kerapatan tegakan pinus, Pinus merkusii, di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi
STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH,
DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN
ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA
KERAPATAN TEGAKAN PINUS (
Pinus merkusii
), DI BLOK
CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,
SUKABUMI
RISTANTO RAHARJO
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(2)
RINGKASAN
Ristanto Raharjo/E04400058. Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk Dan Aliran Batang Serta Leaching Pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii), Di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Di bawah bimbingan Ir.Omo Rusdiana, M.Sc.
PENDAHULUAN. Ukuran suatu kerapatan sangat perlu untuk diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan air tanah dan hara (van Dam, 2000) Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan unsur hara dapat diindikasikan oleh perbedaan produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kerapatan
tegakan Pinus sp terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air
tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya di blok Cimenyan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat
memberikan informasi tentang karakteristik tegakan Pinus sp pada kerapatan yang
berbeda, sehingga pengelolaan hutan di hutan tanaman Pinus khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dilakukan secara lestari.
BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 sampai bulan
November 2004, dengan lokasi penelitian pada tegakan Pinus sp di blok Cimenyan,
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah plastik transparan, bambu, paku, tali rafia, patok kayu, golok, kantong plastik ukuran 1 kg dan ¼ kg, kain kasa berdiameter 6.5 mm, timbangan, tabung film, lisimeter, selang, pisau, ember, form tabulasi data curah hujan, higrometer dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serasah (daun) dan air hujan yang tertampung dalam lisimeter, air hujan yang tertampung dari air tembus dan aliran batang
serta contoh tanah terusik dan tidak terusik pada tegakan Pinus sp dengan tiga kerapatan
berbeda. Parameter yang diukur antara lain produktivitas serasah, dekomposisi serasah, curah tajuk, aliran batang, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya.
HASIL DAN KESIMPULAN. Rata-rata produktivitas serasah tertinggi terjadi pada kerapatan rendah. Faktor suhu dan kelembaban udara mempengaruhi hasil produktivitas serasah. Berdasarkan analisa data, dapat diketahui bahwa kerapatan dan waktu pengamatan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95 % terhadap produktivitas serasah. Waktu pengamatan (mingguan) yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas serasah adalah minggu ke-10 dan minggu ke-9 pada saat nilai produktivitas serasah tertinggi di berbagai kerapatan dan dimana suhu paling rendah dan kelembaban udara paling tinggi. Rata-rata dekomposisi serasah tertinggi terjadi pada kerapatan tinggi. Analisis regresi menunjukkan bahwa semakin rendah suhu udara maka dekomposisi serasah (daun) akan semakin tinggi (berkorelasi negatif) sedangkan jika semakin tinggi kelembaban udara maka dekomposisi serasah (daun) akan semakin tinggi (berkorelasi positif). Unsur fosfor adalah sangat sukar dan lambat untuk disediakan bagi tanaman. Hasil analisis tanah pada kerapatan tinggi menunjukkan bahwa kandungan fosfor untuk zona perakaran (0-20 cm) lebih tinggi dibandingkan kerapatan sedang dan
(3)
Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan tinggi lebih mudah dan lebih cepat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman daripada kerapatan sedang dan rendah. Analisis tanah pada kerapatan sedang menunjukkan bahwa persentase partikel liat lebih tinggi daripada debu dan pasir dan menghasilkan bulk densitas yang tinggi dibandingkan kerapatan tinggi dan rendah. Hal ini berarti bahwa kadar air tanah pada daerah perakaran (0-20 cm) lebih rendah dibandingkan kerapatan tinggi dan rendah. Pengukuran lisimeter menunjukkan bahwa kerapatan sedang memiliki laju infiltrasi yang tinggi, diikuti juga dengan perkolasi (air hilang yang tertampung dalam lisimeter) yang tinggi pula. Tingginya air yang hilang pada zona perakaran di kerapatan sedang kemungkinan juga dipengaruhi oleh produktivitas serasah yang sangat rendah. Potensi tegakan Pinus yang terdapat di kerapatan tinggi, sedang dan rendah ditinjau dari segi iklim mikro dan analisis unsur hara tanah menghasilkan informasi yang diharapkan berguna bagi kelangsungan
(4)
STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH,
DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN
ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA
KERAPATAN TEGAKAN PINUS (
Pinus merkusii
), DI BLOK
CIMENYAN, HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,
SUKABUMI
RISTANTO RAHARJO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(5)
Judul Penelitian : Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang, serta Leaching pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi
Nama : Ristanto Raharjo
Nomor Pokok : E04400058
Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Budidaya Hutan
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Ir. Omo Rusdiana, M. Sc NIP : 131 849 393
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP : 131 430 799
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1982 di Boyolali, Jawa Tengah dari ayah bernama Aris Sadimin dan ibu Sunarni dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai di Taman Kanak-Kanak TK P.G Colomadu pada tahun 1986 sampai 1988. Pada tahun 1988 sampai tahun 1994, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 15 Surakarta. Tahun 1994, penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surakarta dan lulus pada tahun 1997. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Batik 1 Surakarta dan lulus pada tahun 2000.
Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih program studi Budidaya Hutan dengan Bidang Kekhususan Pengaruh Hutan pada tahun 2003.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Umum Pengenalan Hutan di Cilacap-Baturaden dan Praktek Pengelolaan Hutan di Getas pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.
Sebagai salah satu sayarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis menyusun karya ilmiah dengan judul “Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching di Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi” dibawah bimbingan Ir. Omo Rusdiana, M. Sc.
(7)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Seraya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang serta Leaching di Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii) di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi “ dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagai tugas akhir, penulis mengharapkan karya ini dapat menjadi sumbangan bagi pemikiran yang berarti khususnya dalam pengelolaan hutan di areal Hutan Pendidikan Gunung Walat dan kelestarian hutan Indonesia pada umumnya.
Pada lembar ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya karya ilmiah ini, diantaranya kepada : 1. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran
dan bimbingannya serta Ibu Omo atas motivasinya yang tiada henti.
2. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, terima kasih yang tak terhingga. Mas Fredy atas doa dan dukungan keuangannya, thanks a lot.
3. Selli Fidi Yani Wardani, S.Hut. U always be my sweety.
4. Keluarga di Bantarjati, Papa, Mama, Rina, Deri, Devi, terima kasih atas doa, dukungan dan perhatiannya.
5. Teman-teman di Lab. Pengaruh Hutan, Ibu Atikah, Setiyanto, S.Hut, terima kasih banyak atas perhatian dan motivasinya.
6. Pak Lilik beserta seluruh pihak di HPGW, terima kasih atas kopi dan keramahtamahannya.
7. My home sweet home Baristar beserta segala isinya yang lucu-lucu dan imut-imut. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis telah berupaya seoptimal mungkin untuk dapat menghasilkan karya yang sempurna. Menyadari akan segala keterbatasan yang dimiliki penulis, maka dengan segala kerendahan hati penulis akui bila dalam uraian maupun penyajian terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan tanggapan, kritik dan saran-saran perbaikan untuk menyempurnakan karya ini.
Amiin.
Bogor, Januari 2006
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan ... 2
C. Manfaat ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Pinus sp ... 3
1. Penyebaran ... 3
2. Persyaratan Tumbuh ... 3
3. Lukisan Pohon ... 3
4. Benih ... 3
B. Kerapatan Tegakan Hutan ... 3
C. Produktivitas Serasah ... 4
1. Pengertian Produktivitas Serasah ... 4
2. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan ... 5
3. Produktivitas Serasah ... 5
4. Produktivitas Serasah di Gunung Walat ... 7
D. Dekomposisi Serasah ... 8
1. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Serasah ... 8
2. Proses Dekomposisi ... 10
3. Laju Dekomposisi Serasah ... 11
4. Dekomposisi Serasah di Gunung Walat ... 13
E. Infiltrasi dan Perkolasi ... 13
F. Air Tembus dan Aliran Batang ... 13
1. Pengertian Air Tembus dan Aliran Batang ... 13
2. Air Tembus dan Aliran Batang pada Hutan Pinus ... 14
G. Pencucian Hara... 15
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Umum Hutan Walat ... 18
B. Potensi dan Obyek Rekreasi ... 18
IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21
B. Alat dan Bahan ... 21
C. Jenis Data ... 21
D. Metode Penelitian ... 22
1. Produktivitas Serasah ... 22
2. Dekomposisi Serasah ... 22
(9)
4. Pencucian Hara... 23
5. Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah ... 24
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 26
1. Produktivitas Serasah ... 26
2. Dekomposisi Serasah ... 28
3. Volume Air Lisimeter ... 30
4. Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang ... 32
5. Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah ... 34
B Pembahasan ... 37
1. Produktivitas Serasah ... 38
2. Dekomposisi Serasah ... 39
3. Volume Air Lisimeter ... 41
4. Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang ... 42
5. Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah ... 43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 45
B. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia
(Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003) ... 6 Tabel 2. Data Rata-rata Produktivitas Serasah di Hutan Pendidikan
Gunung Walat Tahun 1992 ... 7 Tabel 3. Hasil Proses Dekomposisi Bahan Organik Secara Aerobik dan
Anaerobik (Chanlett, 1979 dalam Sunarto, 2004) ... 9 Tabel 4. Laju Penghancuran serasah selama satu bulan pada Bulan
Maret 2000 ... 13 Tabel 5. Hasil Pengukuran Aliran Batang (Stemflow) dan Air Tembus
(Throughfall) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Mulyana, 2002
dalam Priyono, 2003). ... 14 Tabel 6. Data Hasil Pengukuran Produktivitas Serasah, Dekomposisi
Serasah, Stemflow, dan Throughfall di Berbagai Kerapatan
pada Plot yang Berbeda di HPGW ... 37 Tabel 7. Data Hasil Pengukuran Kadar Air, Bulk Density dan Volume
Air Lisimeter di Berbagai Kerapatan pada Plot yang Berbeda
(11)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Produktivitas Serasah pada Tegakan
Pinus merkusii, Schima wallichii dan Agathis loranthifolia
(Nilamsari, 2000). ... 7 Gambar 2. Grafik Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp
(gr/m2) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan,
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 26 Gambar 3. Grafik Prediksi Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun)
Pinus sp (gr/m2/minggu) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 27 Gambar 4. Grafik Hubungan Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun)
Pinus sp (gr/m2/minggu) dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 28 Gambar 5. Grafik Nilai Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan
pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. ... 29 Gambar 6. Grafik Persentase Dekomposisi Serasah (Daun) Pinus sp
Mingguan pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan,
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. ... 29
Gambar 7. Grafik Hubungan Rata-Rata Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 30 Gambar 8. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Aliran Batang (mm)
dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. ... 31 Gambar 9. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Tembus Tajuk
(mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 32 Gambar 10. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm)
dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 33 Gambar 11. Grafik Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm/hari) pada
Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. ... 34
(12)
Gambar 12. Grafik Analisis Tekstur Tanah (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi ... 36
Gambar 13. Grafik Rata-Rata Kadar Air Tanah (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Sukabumi ... 36
Gambar 14. Grafik Rata-Rata Bulk Density (g/cm3) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Sukabumi ... 37
Gambar 15. Grafik Rata-Rata Bulk Density (g/cm3) dengan Kadar Air Tanah (%)pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Produktivitas Serasah (Daun)/Litter Trap (gr/m2) selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah . Lampiran 2. Hasil Pengamatan Bobot Sisa Serasah (Daun) selama 16 Minggu
pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (gr).
Lampiran 3. Persentase Serasah (Daun) yang telah Terdekomposisi selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (%).
Lampiran 4. Selisih Persentase Serasah (Daun) yang telah Terdekomposisi selama 16 Minggu pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (%). Lampiran 5. Data Fisik Lingkungan (Suhu dan Kelembaban) Plot Pengamatan. Lampiran 6. Volume Air Lisimeter selama 15 kali kejadian Hujan pada
Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm).
Lampiran 7. Volume Air pada Aliran Batang dan Curah Hujan selama Sepuluh Kali Kejadian Hujan pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm).
Lampiran 8. Rata-Rata Volume Air pada Aliran Batang dan Curah Hujan Selama Sepuluh Kejadian Hujan pada Kerapatan Tinggi, Sedang dan Rendah (mm).
Lampiran 9. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan dan Waktu Pengamatan terhadap Produktivitas Serasah (Daun).
Lampiran 10. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan dan Waktu Pengamatan terhadap Produktivitas Serasah (Daun).
Lampiran 11. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun).
Lampiran 12. Analisis Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun).
Lampiran 13. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun).
Lampiran 14. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Rata-Rata Aliran Batang.
Lampiran 15. Tabel Regresi Hubungan antara Rata-Rata Aliran Batang dan Curah Hujan pada Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang dan Kerapatan Rendah.
Lampiran 16. Analisis Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Rata-Rata Curah Tajuk.
Lampiran 17. Tabel Regresi Hubungan antara Rata-Rata Curah Tajuk dan Curah Hujan pada Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang dan Kerapatan Rendah.
(14)
Lampiran 18. Uji Lanjut Pengaruh Kerapatan Tegakan terhadap Volume Air Lisimeter.
Lampiran 19. Analisis Regresi Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Produktivitas Serasah (Daun).
Lampiran 20. Analisis Regresi Pengaruh Fisik Lingkungan terhadap Bobot Sisa Serasah (Daun).
(15)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerapatan hutan mempengaruhi karakteristik suatu tegakan. Analisa mengenai pengaruh kerapatan terhadap karakteristik tegakan Pinus sp melalui pengukuran komponen-komponen tegakan seperti luas bidang dasar, volume dan jumlah pohon per hektarnya telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Adhiputra (2005) menyimpukan bahwa potensi tegakan Pinus merkusii berupa LBDS dan volume kayu berdiri dalam plot luasan 0,1 Ha mempunyai nilai yang berbeda pada kerapatan yang berbeda.
Ukuran suatu kerapatan sangat perlu untuk diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan air tanah dan hara (van Dam, 2000). Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan unsur hara dapat diindikasikan oleh perbedaan produktivitas serasah, dekomposisi serasah, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya.
Vegetasi hutan bersifat dinamis yang berarti akan berubah dari musim ke musim. Sebagai bagian dari proses yang bersifat dinamis, maka hutan tanaman Pinus akan mempunyai peran terhadap pengendalian daur air. Peran hutan tanaman Pinus pada proses siklus air dimulai dari peran tajuk menyimpan air melalui proses intersepsi. Peran kedua adalah melalui proses evapotranspirasi yang mempengaruhi besarnya cadangan air tanah dan peran ketiga adalah pengendalian hasil air (Balitbang-DAS, 2003). Keberadaan hutan Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat terbukti mampu menjawab permasalahan awal yang dahulu dikeluhkan masyarakat di sekitar Gunung Walat yaitu erosi dan kelangkaan air. Penting sekali dilakukan penggalian informasi-informasi yang berkaitan dengan pengaruh pengelolaan hutan Pinus terhadap tata air dan tanah.
(16)
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengelolaan hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kerapatan tegakan Pinus sp terhadap produktivitas serasah, dekomposisi serasah, masukan air dari air tembus tajuk dan aliran batang, kehilangan air tanah melalui perkolasi dan analisis tanah beserta watak analitiknya di blok Cimenyan Hutan Pendidikan Gunung Walat
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik tegakan Pinus sp pada kerapatan yang berbeda, sehingga pengelolaan hutan di hutan tanaman Pinus khususnya di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat dilakukan secara lestari.
(17)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Pinus sp 1. Penyebaran
Selain di Indonesia jenis ini terdapat di wilayah Bhurma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Philipina. Di Indonesia secara alami banyak dijumpai di Sumatera Utara dan Aceh (Departemen Kehutanan, 1995).
2. Persyaratan Tumbuh
Di Jawa pohon ini dapat tumbuh antara ketinggian 200-2000 m diatas permukaan laut dan tidak meminta persyaratan tumbuh yang tinggi. Walaupun demikian untuk tumbuh baik, dibutuhkan ketinggian tempat diatas 400 m diatas permukaan laut dengan curah hujan antara 1.500 mm sampai dengan 4000 mm/tahun (Departemen Kehutanan, 1995).
3. Lukisan Pohon
Pohion ini dapat mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter 100 cm. Batang dengan kulit berwarna kelabu tua, berjalur agak dalam, memanjang berserpih dalam lempeng bulat panjang 15-20 cm dan buahnya berbentuk kerucut (Departemen Kehutanan, 1995).
4. Benih
Berbuah hampir sepanjang tahun, terutama bulan Maret sampai dengan Juni. Jumlah benih sekitar 50.000-60.000/kg benih kering tanpa sayap atau 29.000/l (Departemen Kehutanan, 1995).
B. Kerapatan Tegakan Hutan
Pada umumnya hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per-ha, luas bidang dasar dan kriteria lainnya.
Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar dan jumlah batang per-ha, dapat diketahui melalui pengukuran (Departemen Kehutanan, 1992)
Untuk keperluan praktis kerapatan tajuk telah dibuat, yaitu (Departemen Kehutanan, 1992):
(18)
1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk 2. Cukup, bila terdapat 40-70 % penutupan tajuk
3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk
Hutan yang terlalu rapat pertumbuhannya akan lambat, karena persaingannya yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat hara mineral. Pertumbuhan akan terhambat, tetapi tidak berlangsung lama, karena persaingan antara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan yang kuat. Sebaiknya hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk yang besar dan bercabang banyak dengan batang yang pendek (Departemen Kehutanan, 1992).
Suatu hutan yang dikelola dengan baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara sampai tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar matahari, air dan zat hara mineral dalam tanah (Departemen Kehutanan, 1992).
Jelaslah bahwa hutan yang tajuknya kurang rapat, berfungsi kurang efisien, kecuali bila celah yang ada diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda (Departemen Kehutanan, 1992).
C. Produktivitas Serasah 1. Pengertian Produktivitas
Menurut Odum (1971), pengertian produktivitas ada dua, yaitu produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer didefinisikan sebagai laju energi pancaran yang disimpan oleh kegiatan fotosintesis atau khemosintesis organisme-organisme produsen (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer meliputi produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih.
Produktivitas primer kotor atau fotosintesis total atau asimilasi total adalah laju total dari fotosintesis, termasuk bahan organik yang habis digunakan di dalam respirasi. Sedangkan Produktivitas primer bersih atau apparent fotosintesis atau asimilasi bersih adalah laju penyimpanan bahan organik di dalam jaringan-jaringan tumbuhan (Odum, 1971).
(19)
Pada prakteknya, banyaknya respirasi biasanya ditambahkan pada pengukuran produktivitas primer bersih sebagai koreksi untuk memperoleh taksiran-taksiran produksi kotor. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof ( yakni, produktivitas primer bersih dikurangi penggunaan heterotrof) (Odum, 1971).
Laju penyimpanan pada tingkat konsumen disebut sebagai produktivitas sekunder. Karena konsumen-konsumen hanya menggunakan bahan-bahan pangan yang sudah dibuat. Produktivitas sekunder tidak dibagi menjadi produktivitas kotor dan produktivitas bersih(Odum, 1971).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan
Produktivitas merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2003).
Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas vegetasi di wilayah hutan hujan tropis adalah:
a. Suhu b. Curah hujan
c. Interaksi antara suhu dan curah hujan d. Produktivitas serasah
e. Tahap suksesi komunitas f. Edafik
g. Herbivora
h. Sistem konservasi hara yang sangat ketat 3. Produktivitas Serasah
Menurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan.
(20)
Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan oraganik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut dilapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah, dkk, 2005).
Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah yang tertinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain (Tabel 1). Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak.
Tabel 1. Laju Produktivitas Serasah di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia (Jordan, 1971 dalam Wiharto, 2003)
Ekosistem Lokasi Produktivitas
Serasah (g/m/tahun)
Hutan hujan tropis Thailand 2322
Hutan iklim sedang Di beberapa lokasi 1200
Savana kering Rusia 290
Hutan oak Rusia 350
Taiga Rusia 250-300
Hutan musim tropis Pantai Gading 440
Herba perennial Jepang 1484
Prairi Amerika Serikat 520
Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya ( Tabel 2). Menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2003), hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., (1987) dalam Wiharto (2003) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem
(21)
lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembaban udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.
4. Produktivitas Serasah di Gunung Walat
Penelitian yang dilakukan oleh Hilwan (1992) mengenai produktivitas serasah di Gunung Walat menunjukkan bahwa komponen serasah berupa daun yang berasal dari tegakan Pinus merkusii maupun Acacia mangium mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan komponen serasah lainnya (Tabel 2).
Tabel 2. Data Rata-rata Produktivitas Serasah di Hutan Pendidikan Gunung Walat Tahun 1992
Komponen
Acacia mangium Pinus merkusii
g/m2/minggu ton/ha/th % g/m2/minggu ton/ha/th %
Daun Bunga,buah Dahan, ranting Kulit, batang,dll Jumlah 12 1,54 2,28 1,06 16,88 6,24 0,8 1,18 0,55 8,77 71,17 9,13 13,4 6,29 99,99 6,8 2,51 1,44 0,42 11,17 3,54 1,31 0,75 0,22 5,82 60,88 22,47 12,89 3,76 100 Sumber : Hilwan, 1992
Penelitian yang dilakukan oleh Nilamsari (2000) menunjukkan bahwa tegakan Pinus merkusii memberikan nilai rataan produksi serasah yang tertinggi yaitu 25,248 g/m2/minggu atau sekitar 13,12 ton/ha/tahun, kemudian pada tegakan Agathis loranthifolia sebesar 18,085 g/m2/minggu atau 9,39 ton/ha/tahun dan terendah yaitu tegakan Schima wallichii sebesar 14,076 g/m2/minggu atau 7,31 ton/ha/tahun.
Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Produktivitas Serasah pada Tegakan Pinus merkusii, Schima wallichii dan Agathis loranthifolia (Nilamsari, 2000). 0 5 10 15 20 25 30
Pinus Puspa Agathis
Jenis Tegakan
(22)
D. Dekomposisi Serasah
1. Faktor Yang Mempengaruhi Dekomposisi Serasah
Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar, dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia. Yang kedua, biasanya sampai aktifitas organisme spesies kecil ini dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrad, lipid dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan dari sistem (Edward, 1977 dalam Golley, 1983)
Dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan baik kondisi kimia, fisika maupun biologi. Faktor-faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap dekomposisi antara lain oksigen, bahan organik dan bakteri sebagai agen utama dekomposisi (Sunarto, 2004).
a. Oksigen
Oksigen secara umum sangat diperlukan dalam proses dekomposisi terutama bagi dekomposer yang bersifat aerobik. Sebenarnya baik bakteri aerobik maupun anaerobik sama-sama membutuhkan oksigen dan sama-sama dapat melakukan proses dekomposisi (Moriber, 1974 dalam Sunarto, 2004).
b. Bakteri
Bakteri merupakan agen utama proses dekomposisi selain beberapa jenis jamur atau fungi. Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, kita mengenal dua jenis bakteri yaitu bakteri aerobik dan bakteri anaerobik (Sunarto, 2004).
Moriber (1974) dalam Sunarto (2004) menyatakan bahwa bakteri aerobik tumbuh pada kondisi tersedia oksigen bebas (molekul-molekul O2). Pada beberapa kasus, oksigen bebas bersifat toksik bagi jenis bakteri anaerob dan dapat hidup hanya pada lingkungan bebas oksigen, bakteri tersebut membutuhkan oksigen dalam bentuk selain oksigen bebas dan hal ini diperoleh melalui pemecahan senyawa-senyawa kimia yang mengandung oksigen.
(23)
Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerobik akan mendekompisisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul yang sedang dihancurkan. Hasil dari kegiatan bakteri anaerobik dapat membentuk Hidrogen Sulfida (H2S), gas yang berbau busuk dan berbahaya, serta beberapa produk lainnya (Tabel 3). Produk utama dari oksidasi aerobik adalah Karbon Dioksida (CO2) dan air yang dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen primer dalam melakukan fotosintesis (Sunarto, 2004).
Pada proses reproduksi bakteri terdapat mekanisme keseimbangan antara reproduksi bakteri dengan keberadaan oksigen dan bahan organik atau nutrisinya. Proses reproduksinya dengan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya secara eksponensial, dibatasi oleh kondisi oksigen dan bahan organik, sehingga lajunya pun terhambat atau bahkan terhenti (Sunarto, 2004).
Tabel 3. Hasil Proses Dekomposisi Bahan Organik Secara Aerobik dan Anaerobik (Chanlett, 1979 dalam Sunarto, 2004)
Melalui proses aerobik Melalui proses anaerobik
CO3= ← CO2 ← C → CH4 dan CO2
NO3- ← NO2- ← NH3 ← N → NH3
SO4= ← S → H2S
H2O ← H
PO4= ← P
c. Bahan Organik
Bahan organik merupakan faktor penting dalam proses dekomposisi. Sumber bahan organik bisa berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Bahan-bahan organik hadir dalam bentuk makluk hidup dan sisa-sisa organisme (bangkai, humus, debris, dan detritus) baik dalam ukuran partikel besar, kecil dan terlarut. Bahan organik dalam bentuk partikel biasanya dikenal dengan istilah POM (Particulate Organic
(24)
Matter). DOM adalah bahan organik terlarut yang sebagian merupakan produk proses dekomposisi dari POM. Secara operasional DOM didefinisikan sebagai bahan organik yang dapat melewati saringan yang memiliki pori yang sangat kecil yaitu 0.5 μm atau kurang dari itu (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004).
Bahan organik baik yang berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun yang disuplai dari ekosistem lain (allochthonous) akan mengalami dekomposisi oleh dekomposer seperti bakteri atau jamur. Hasil proses dekomposisi ini berupa nutrien anorganik yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dirubahnya kembali menjadi bahan organik sebagai produksi primer, melalui proses fotosintesis. Melalui proses jaring-jaring makanan bahan organik ini akan diubah kembali menjadi nutrien anorganik. Siklus ini berlangsung terus-menerus sepanjang tidak ada penghambatan terhadap proses-proses yang terjadi (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004).
2. Proses Dekomposisi
Ada beberapa definisi yang dikemukakan tentang dekomposisi antara lain dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika (Begon, 1990 dalam Sunarto, 2004).
Dekomposisi bahan organik dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik dengan berat molekul yang lebih tinggi menjadi komponen-komponen dengan berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik (Saunder 1980 dalam Sunarto, 2004). Sejalan dengan Begon (1990) dan Saunder (1980), Smith (1980) dalam Sunarto (2004) menyatakan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik.
Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-agen fisika. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik
(25)
mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Moriber, 1974; Saunder, 1980 dalam Sunarto, 2004).
3. Laju Dekomposisi Serasah
Sebagai suatu proses yang dinamis, dekomposisi memiliki dimensi kecepatan yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut umumnya adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dekomposer disamping faktor bahan yang akan didekomposisi. Laju dekomposisi umumnya diukur secara tidak langsung melalui pendugaan konsumsi oksigen atau perubahan karbondioksida (CO2) atau dapat pula diduga melalui kehilangan berat atau pengurangan konsentrasi tiap waktu seperti kehilangan karbon radioaktif (Saunder,1980 dalam Sunarto, 2004).
Godshalk dan Wetzel (1978) dalam dalam Sunarto (2004) membuat persamaan umum untuk laju dekomposisi sebagai berikut :
k = (T.O.N) / (R.S) k = Laju dekomposisi T = Temperatur O = Oksigen
N = Nutrien yang tersedia untuk proses pertumbuhan mikroorganisme R = Refractility yaitu kerentanan bahan organik untuk dihancurkan S = Ukuran atau jumlah bahan
(26)
Godshalk dan Wetzel (1978)dalam dalam Sunarto (2004) menentukan tiga fase utama penghancuran yaitu:
1. Setelah fase awal yang lambat muncul secara cepat DOM dan metabolisme bahan organik terlarut (DOM) hasil dekomposisi yang cepat
2. Laju berkurang secara gradual dan POM yang memiliki kerentanan rendah tertinggal
3. Akhirnya dekomposisi berhenti dan menyisakan bahan yang bergabung dalam sedimen secara permanen.
Persamaan diatas menunjukkan bahwa laju dekomposisi merupakan hal yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor lingkungan maupun kondisi bahan organiknya itu sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa dekomposisi merupakan fungsi dari faktor lingkungan dan bahan organik. Akan tetapi persamaan tersebut belum menggambarkan kecepatan suatu proses yang berupa suatu produk tertentu (dengan satuan tertentu) per satuan waktu. Persamaan tersebut juga tidak menjelaskan satuan dari masing-masing komponen sehingga tidak tergambar proses penghitungan kecepatannya atau kalaupun ada tetap tidak dapat menggambarkan suatu kecepatan proses. Indeks untuk nilai refractility juga sangat susah ditentukan, karena hal ini bisa bersifat kualitatif dan cenderung subyektif.
Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik.
Penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada kesetimbangan antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Beban bahan organik semakin berat seiring dengan terhambatnya kecepatan dekomposisi.
(27)
4. Dekomposisi Serasah di Gunung Walat
Penelitian Nilamsari (2000) mengenai penghancuran serasah selama satu
bulan di bulan Maret 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Laju Penghancuran serasah selama satu bulan pada Bulan Maret 2000
Jenis
Berat Awal (gram)
Brat Akhir (gram)
% Massa Hilang/bulan Plot
I II III Rata-rata
Pinus Merkusii 34,47 26,61 27,18 21,28 25,02 27,41 Schima wallichii 25,4 18,30 15,60 11,74 15,21 40,10 Agathis
loranthifolia
26,29 18,78 19,48 23,26 20,51 22,00
Sumber : Nilamsari (2000)
Besarnya penghancuran serasah di bawah tegakan Pinus adalah 27,41 %/bulan, rata-rata di bawah tegakan Agathis yaitu 22,00 %/bulan, dan Puspa sebesar 40,1 %/bulan.
E. Infiltrasi Dan Perkolasi
Menurut Arsyad (1989), infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti), melalui permukaan dan secara vertikal. Laju infiltrai adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah. Laju infiltrasi berkurang dengan lamanya (waktu) hujan berlangsung Perkolasi adalah peristiwa bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah. Infiltrasi dan perkolasi berhubungan erat sekali. Infiltrasi menyediakan air untuk perkolasi.
Perkolasi menurut Buckman and Brady dalam Soegiman (1982) diartikan sebagai kehilangan air tanah dalam bentuk cairan. Ada dua cara umum untuk mempelajari perkolasi dan pelindian (kehilangan garam larut) yaitu penggunaan sistem pipa saluran air khusus untuk keperluan ini dan penggunaan lisimeter. Cara lisimeter sering digunakan untuk menentukan kehilangan karena pelindian.
F. Air Tembus dan Aliran Batang
(28)
Peran hutan dalam siklus air dimulai dari intersepsi. Pada areal hutan, curah hujan yang jatuh tidak langsung menuju ke tanah tetapi dapat terserap oleh tajuk tanaman. Peristiwa ini disebut intersepsi. Disamping itu tetesan hujan juga mengalir lewat batang pohon, yang disebut stemflow. Air yang masuk ke tajuk tanaman akan dilepas lagi melalui proses air tembus yang disebut throughfall. Dengan demikian jumlah air yang sampai ke permukaan tanah tergantung kepada ketiga proses tersebut ( Priyono, 2003).
Air hujan yang jatuh melalui tumbuh-tumbuhan dibedakan menjadi dua komponen, yaitu air tembus (throughfall) dan air aliran batang (stemflow). Air tembus adalah air yang jatuh ke tanah dengan menetes melalui daun-daun dan ranting-ranting (Soerianegara, 1970 dalam Fermanto, 2000). Sedangkan menurut Finlayson (1998) dalam Fermanto (2000) air tembus merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke daratan melalui vegetasi dan mencapai tanah berupa butiran air yang berasal dari daun.
Aliran batang menurut Finlayson (1998) dalam Fermanto (2000) merupakan bagian dari hujan yang mengalir ke bawah melalui ranting dan cabang yang akhirnya mencapai tanah. Nilai aliran batang jauh lebih kecil dibandingkan dengan air tembus. Aliran batang juga didefinisikan sebagai air yang sampai ke tanah dengan mengalir melalui permukaan batang (Soerianegara, 1970 dalam Fermanto, 2000).
2. Air Tembus dan Aliran Batang pada Hutan Pinus
Penelitian Institut Pertanian Bogor di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 1999-2000 memperoleh informasi bahwa persentase curah hujan yang diintersepsikan oleh tajuk tegakan Pinus sebesar 15,7%, untuk tegakan Agathis 14,7% dan tegakan Puspa 13,7%. Sedangkan hasil pengukuran aliran batang dan air tembus pada ketiga jenis tegakan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Aliran Batang (Stemflow) dan Air Tembus (Throughfall) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Mulyana, 2002 dalam Priyono, 2003).
No Jenis Tanaman Aliran Batang (mm/bulan)
Air Tembus (mm/bulan)
(29)
2 Agathis loranthifolia 0,02-6,85 1,08-47,00
3 Schima wallichii 0,03-2,2 1,17-48,00
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fermanto (2000) kandungan Nitrogen yang terdapat pada ait tembus dan aliran batang di bawah tegakan Pinus merupakan unsur hara tertinggi dibandingkan unsur yang lain ( K, P, Ca dan Mg).
G. Pencucian Hara
Hutan hujan tropis memiliki karakteristik berupa besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas biomassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis. Pada kenyataannya menurut Weaver dan Clement (1980) dalam Wiharto (2004), kecuali produktivitas vegetasi yang sangat tinggi, tanah di daerah tropis tidaklah terlalu subur kecuali lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik. Sifat tanah hutan hujan tropis adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan yang sangat tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2004), produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat.
Sumber hara dalam suatu ekosistem dapat berasal dari biomassa ekosistem itu sendiri maupun berasal dari lingkungan fisik. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore (1986) dalam Wiharto (2004), mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) dalam Wiharto (2004), adalah K, Ca, dan Mg.
Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et al., (1986) dalam Wiharto (2004), curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) dalam Wiharto (2004), mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus
(30)
hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K.
Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986 dalam Firmansyah, 2004).
Pencucian terjadi menurut Brady (1974) dalam Wiharto (2004) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4+ akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya. Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992 dalam Wiharto, 2004).
Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah.
Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah.
(31)
Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al. dalam Wiharto, 2004).
(32)
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Hutan Gunung Walat
1. Sejarah
Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas lebih kurang 359 ha dilaksanakan oleh Institut Pertanian Bogor dengan status hak pakai berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 008/Kpts/DJ/I/73 sebagai hutan pendidikan dan secara struktural berada di bawah Unit Kebun Percobaan IPB.
Kawasan Gunung Walat mulai ditanami pada tahun 1951/1952 dengan jenis Damar (Agathis loranthifolia) dan tahun-tahun selanjutnya ditanami dengan jenis-jenis lain seperti Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima sp.) dan Mahoni (Swietenia sp.). Sampai sekarang hampir seluruh areal Hutan
Pendidikan Gunung Walat telah ditanami disamping masih banyaknya tumbuhan asli setempat.
2. Lokasi
Secara Administrasi Pemerintahan Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak dalam wilayah Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara Administrasi Kehutanan termasuk dalam wilayah BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Lokasi Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km.
Wilayah hutan seluas 359 Ha tersebut, terdiri dari tiga blok, yaitu blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha.
B. Potensi Dan Obyek Rekreasi 1. Topografi
Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 50-70 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama dibagian selatan, sedangkan ke bagian Utara mempunyai topografi yang semakin berat. Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (67 m dpl.) dan KN 2.213 (72 m dpl).
(33)
2. Iklim
Klasifikasi iklim Hutan Pendidikan Gunung Walat menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe hujan A dengan suhu udara maksimum 290 C dan minimum 190 C. Besarnya curah hujan adalah 827,7 mm dengan hari hujan rata-rata 13 hari per tahun. Hujan terbesar terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April.
3. Tanah
Tanah Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah kompleks dari Podsolik, Latosol dan Litisol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian Barat Daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping).
4. A i r
Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian Selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun.
5. Vegetasi
Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki tidak kurang dari 4 jenis pepohonan. Pohon yang dominan adalah jenis Damar (Agathis loranthifolia), Pinus (Pinus sp.), Puspa (Schima sp.), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Akasia (Acacia auriculiformis), Rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Selain pepohonan terdapat juga jenis paku-pakuan, epifit dan berbagai jenis rumput-rumputan.
6. Satwa
Jenis-jenis satwaliar yang ada di hutan Gunung Walat adalah Musang, Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelinci liar, Bajing, Babi hutan (Sus scrofa) dan tidak kurang dari 3 jenis burung. Disamping itu hutan Gunung Walat diperkaya dengan jenis rusa (Cervus timorensis dan C. unicolor).
7. Panorama Alam
Panorama alam merupakan obyek rekreasi yang dominan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, terutama karena arealnya terletak di daerah perbukitan yang memanjang dari ujung Barat ke Timur. Panorama alam yang
(34)
dapat dinikmati adalah perkampungan, persawahan, jalan raya Sukabumi dan jalur Kereta Api.
8. Gua Alam
Di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat terdapat gua alam yang terbentuk dari batuan Karst yang pada saat ini akan di kembangkan sebagai obyek rekreasi speleologi.
(35)
IV. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 sampai bulan November 2004, dengan lokasi penelitian pada tegakan Pinus sp di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
B. Alat dan Bahan 1. Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah plastik transparan, bambu, paku, tali rafia, patok kayu, golok, kantong plastik ukuran 1 kg dan ¼ kg, kain kasa berdiameter 6.5 mm, timbangan, tabung film, lisimeter, selang, pisau, ember, form tabulasi data curah hujan, higrometer dan alat tulis. 2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serasah (daun) dan air hujan yang tertampung dalam lisimeter serta air hujan yang tertampung dari air tembus dan aliran batang pada tegakan Pinus sp dengan tiga kerapatan berbeda yaitu kerapatan tinggi, sedang dan rendah di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
C. Jenis Data
Data yang digubakan pada penelitian ini terdiri dari dua data yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan, terdiri dari data data produktivitas serasah, data bobot sisa serasah, data unsur hara yang tercuci, data air tembus, data aliran batang dan data fisik lingkungan pada tegakan Pinus sp dengan tiga kerapatan berbeda yaitu kerapatan tinggi, sedang dan rendah di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa data curah hujan yang diperoleh dari Laboratorium Pengaruh Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
(36)
D. Metode Penelitian
Penempatan alat ukur dilakukan pada satu plot dengan luasan 0,1 Ha yang mewakili kerapatan tinggi, sedang dan rendah berdasarkan indeks Rieneke dengan jumlah pohon/Ha untuk plot kerapatan tinggi adalah 490/Ha, plot kerapatan sedang adalah 280/Ha dan plot kerapatan rendah 60/Ha.
1. Produktivitas Serasah
Produktivitas serasah (daun) diambil dengan menggunakan alat berupa litter trap, yang menampung serasah (daun) yang jatuh dari pohon. Tahapan pelaksanaan pengukuran produktivitas serasah adalah sebagai berikut :
a. Litter trap dibuat dari plastik berbentuk bujur sangkar berukuran 1 m x 1 m, yang direkatkan pada bambu dengan menggunakan paku. Litter trap dipasang pada ketinggian ± 50 cm dari tanah. Jumlah litter trap yang dipasang pada masing-masing kerapatan yang berbeda adalah 3 buah. b. Setiap minggunya dilakukan pengambilan serasah (daun) yang telah
tertampung pada litter trap untuk dikeringovenkan dengan suhu 103º ± 2º C selama 24 jam kemudian ditimbang dengan maksud untuk mengetahui potensi input hara berupa serasah pada tegakan. Pengambilan serasah (daun) dilakukan selama 16 minggu.
2. Dekomposisi Serasah
Dekomposisi serasah diduga dengan menghitung bobot sisa serasah pada tiap kerapatan yang berbeda setiap minggunya. Langkah pelaksanaan pengukurannya adalah :
a. Serasah (daun) yang akan diukur bobot sisanya diambil dibawah tegakan Pinus sp disetiap tiga kerapatan berbeda yaitu kerapatan tinggi, sedang dan rendah di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. b. Serasah (daun) dimasukan kedalam kantung dari kain kasa berdiameter 6,5
mm sebanyak 1 kg. Jumlah kantung serasah untuk setiap kerapatan yang berbeda adalah 16 buah.
c. Kantung serasah diikat dengan tali rafia kemudian diikatkan pada patok kayu dan disimpan di permukaan tanah pada 4 lokasi yang berbeda di masing-masing kerapatan yang berbeda.
(37)
d. Setiap minggu diambil satu kantung serasah dari tiap kerapatan yang berbeda untuk dikeringovenkan dengan suhu 103º ± 2º C selama 24 jam kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot sisa serasah. Pengambilan kantung sersah dilakukan selama 16 minggu.
e. Selisih berat antara berat kering awal dan berat kering akhir merupakan bagian serasah (daun) yang mengalami dekomposisi.
3. Air Tembus dan Aliran Batang
Air tembus dan aliran batang diukur dengan tujuan untuk mengetahui input hara yang berasal dari air hujan, karena hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Tahapan pelaksanaan pengukuran air tembus dan aliran batang adalah sebagai berikut :
a. Untuk pengukuran air tembus, plastik berbentuk bujur sangkar berukuran 1 m x 1 m, yang direkatkan pada bambu dengan menggunakan paku dipasang dibawah tajuk pohon Pinus sp disetiap tiga kerapatan berbeda yaitu kerapatan tinggi, sedang dan rendah di blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
b. Plastik tersebut diberi lubang ditengahnya dan dibawah lubang tersebut disimpan kantong plastik untuk menampung air hujan yang jatuh menembus tajuk pohon.
c. Untuk pengukuran aliran batang, selang plastik dibelah dan direkatkan dengan paku mengelilingi batang Pinus sp disetiap tiga kerapatan berbeda, diujung mulut bawah selang tersebut disimpan kantong plastik yang berfungsi untuk menampung air hujan yang melewati batang pohon.
4. Volume Air Lisimeter
Pengukuran volume air lisimeter dilakukan dengan menggunakan lisimeter yang diisi dengan tanah dari tiap kerapatan tegakan yang berbeda. Tahapan pelaksanaan pengukuran pencucian hara ini adalah :
a. Lisimeter diisi dengan tanah dari tiap kerapatan tegakan yang berbeda. Jumlah lisimeter untuk tiap kerapatan adalah 2 buah.
b. Lisimeter yang telah diisi tanah dibenamkan didalam tanah.
c. Pengambilan air hujan yang tertampung dalam lisimeter dilakukan setiap lisimeter penuh.
(38)
d. Dari air hujan yang tertampung tersebut dilakukan analisis statistik terhadap volume yang tertampung dalam lisimeter tersebut.
5. Kadar Air Tanah, Bulk Density dan Analisis Tanah
a. Pengambilan tanah dilakukan pada plot contoh di masing-masing kerapatan tinggi, sedang dan rendah menggunakan ring sampel untuk mengetahui kadar air tanah.
b. Pengambilan tanah melalui ring sampel dilakukan pada lapisan atas (kedalaman 0-20 cm) dan lapisan bawah (kedalaman 40 cm). Masing-masing kerapatan dilakukan tiga kali pengambilan contoh tanah untuk lapisan atas dan bawah, kemudian dioven selama 24 jam pada suhu 105 0C untuk mengetahui berat kering tanah. Kadar air tanah dapat diketahui
dengan menggunakan rumus: % kadar air tanah = x100% BK
BK BB−
BB : Berat tanah sebelum dioven dinyatakan sebagai berat basah tanah BK : Berat tanah setelah dioven dinyatakan sebagai berat kering tanah.
c. Dengan menghitung volume ring sampel (V = T 2 D2
× ×
π ) dapat diketahui nilai bulk density tanah di masing-masing kerapatan dengan rumus :
Bulk Density :
Vtabung BK
gram/cm3
d. Selain menggunakan ring sampel tanah untuk tanah tidak terusik, juga dilakukan pengambilan tanah untuk tanah yang terusik menggunakan bor tanah pada lapisan atas (0-20 cm) dan lapisan bawah (kedalaman 40 cm). e. Contoh tanah terusik tersebut dikeringudarakan hingga bobot contoh tanah
konstan, kemudian dilakukan analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB meliputi pH tanah, N total, C organik, P total, Ca, Mg, NO3-, NH4+, dan tekstur tanah.
(39)
E. Analisis Data
1. Produktivitas Serasah
Data hasil pengukuran produktivitas serasah diolah untuk mengetahui rata-rata input hara setiap per-meter persegi setiap minggunya dan dianalisis dengan menggunakan SPSS dan minitab untuk mengetahui pengaruh kerapatan tegakan serta waktu terhadap produktivitas serasah.
2. Dekomposisi Serasah
Dekomposisi serasah diduga dengan bobot sisa serasah yang diperoleh setiap minggunya. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS untuk mengetahui pengaruh kerapatan tegakan terhadap dekomposisi serasah. 3. Air Tembus dan Aliran Batang
Data hasil pengukuran unsur hara dari air tembus dan aliran batang diolah untuk mengetahui rata-rata input hara yang berasal dari air hujan dan dianalisis dengan menggunakan SPSS dan minitab untuk mengetahui hubungan antara curah hujan dengan unsur hara dari air tembus dan aliran batang dengan menggunakan pendekatan persamaan regresi linier, dengan SPSS.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Y = a + bx + εi
Keterangan : y = Nilai rata-rata air tembus tajuk atau aliran batang (mm) x = Besarnya curah hujan
4. Pencucian Hara (Leaching)
Analisis data dilakukan untuk menduga besarnya hara yang hilang oleh pencucian air hujan yang dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dengan menggunakan pendekatan persamaan regresi linier.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Y = a + bx + εi
Keterangan : y = Nilai rata-rata volume air lisimeter (mm) x = Besarnya curah hujan
(40)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Produktivitas Serasah
Berdasarkan hasil pengukuran produktivitas serasah (daun) Pinus sp selama 16 minggu pada tiga kerapatan yang berbeda, rata-rata produktivitas tertinggi terjadi pada minggu ke-9. Kerapatan tinggi menghasilkan rata-rata produktivitas serasah (daun) yang paling tinggi yaitu sebesar 28,7 g/m2 (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m2) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Sedangkan produktivitas serasah (daun) yang paling sedikit terjadi pada minggu ke-1, dimana kerapatan sedang merupakan kerapatan yang menghasilkan serasah (daun) paling sedikit yaitu sebesar 4,47 gr/m2 (Gambar 2).
Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diduga produktivitas rata-rata serasah (daun) yang dihasilkan setiap minggunya. Kerapatan rendah menghasilkan input hara dari jatuhan daun (produktivitas serasah daun) yang paling tinggi setiap minggunya, yaitu sebesar 14,26 gr/m2/minggu. Diikuti oleh kerapatan tinggi sebesar 12,26 gr/m2/minggu dan kerapatan sedang sebesar 7,63 gr/m2/minggu (Gambar 3).
0 5 10 15 20 25 30
Rata-Rata Produktivitas Serasah (gr/m2)
Minggu
Ke-Kerapatan Tinggi 6,9 7,3 6,33 5,9 7,8 7,43 9,87 16 28,7 17,1 16,6 13,3 14,8 14,4 10,6 13,1 Kerapatan Sedang 4,47 5,27 7 5,8 6,9 5,6 4,43 4,63 12,4 13,3 8,27 9,5 7,27 9,43 8,77 9 Kerapatan Rendah 10,5 11,4 9,97 10,9 11,6 13,1 12,3 8,63 20,6 20,8 17 16,3 15,4 16,1 15,8 17,8
(41)
Gambar 3. Grafik Prediksi Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m2/minggu) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Berdasarkan analisa data, dapat diketahui bahwa kerapatan dan waktu pengamatan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95 % terhadap produktivitas serasah, dengan nilai Fhitung untuk kerapatan tegakan adalah sebesar 78,552 dan nilai Fhitung untuk waktu (mingguan) adalah sebesar 18,209 (Lampiran 9).
Berdasarkan uji lanjut diketahui bahwa pengaruh kerapatan terhadap produktivitas serasah didapat bahwa masing-masing kerapatan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produktivitas serasah sedangkan untuk waktu (mingguan) yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas serasah adalah minggu ke-10 dan minggu ke-9 (Lampiran 10).
Hal ini berkorelasi dengan suhu dan kelembaban udara pada minggu ke 9, dimana pada minggu tersebut suhu udara tinggi (27ºC) dan kelembaban yang rendah (79 %) dibandingkan minggu-minggu lainnya, akan mengakibatkan daun mudah gugur (Gambar 4).
0 5 10 15 Rata-Rata Produ kti vi tas
Se rasah (gr/m2/mi nggu)
Ke rapatan
Ke rapatan Ti nggi 12,26
Ke rapatan S e dang 7,63
Ke rapatan Re ndah 14,26
(42)
Gambar 4. Grafik Hubungan Rata-Rata Produktivitas Serasah (Daun) Pinus sp (gr/m2/minggu) dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
2. Dekomposisi Serasah
Dekomposisi serasah diduga dengan bobot sisa serasah yang diperoleh setiap minggunya. Berdasarkan hasil pengukuran bobot sisa serasah (daun) Pinus sp selama 16 minggu pada tiga kerapatan yang berbeda, kerapatan tinggi telah terdekomposisi sebanyak 42,15875 %, kerapatan sedang telah terdekomposisi sebanyak 35,83 % sedangkan kerapatan rendah terdekomposisi paling sedikit yaitu sebanyak 33,66375 % (Gambar 5).
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Suhu Udara (0C) Kerapatan Tinggi 22 24 22 23 25 25 24 25 28 27 27 26 25 27 25 26 Suhu Udara (0C) Kerapatan Sedang 22 23 22 23 25 25 24 25 27 27 26 26 25 26 25 26 Suhu Udara (0C) Kerapatan Rendah 22 23 22 23 24 25 24 24 27 27 26 25 25 26 25 25 Kelembaban Udara (%) Kerapatan Tinggi 87 83 86 85 83 83 83 82 79 80 80 81 81 80 81 81 Kelembaban Udara (%) Kerapatan Sedang 87 83 86 85 82 83 83 82 79 80 80 80 81 80 81 81 Kelembaban Udara (%) Kerapatan Rendah 87 83 86 85 82 83 83 82 79 80 80 80 81 80 81 81 Produktivitas Serasah Kerapatan Tinggi 6,9 7,3 6,33 5,9 7,8 7,43 9,87 15,97 28,73 17,07 16,6 13,33 14,8 14,4 10,63 13,07 Produktivitas Serasah Kerapatan Sedang 4,47 5,27 7 5,8 6,9 5,6 4,43 4,63 12,43 13,33 8,27 9,5 7,27 9,43 8,77 9 Produktivitas Serasah Kerapatan Rendah 10,47 11,37 9,97 10,93 11,57 13,07 12,33 8,63 20,6 20,83 16,97 16,33 15,4 16,1 15,83 17,83
(43)
Gambar 5. Grafik Nilai Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Serasah (daun) yang terdapat pada lantai hutan tegakan Pinus sp kerapatan tinggi rata-rata dekomposisi serasahnya setiap minggu paling tinggi yaitu sebesar 3,736875 %. Diikuti oleh kerapatan sedang sebesar 3,311875 % dan kerapatan rendah sebesar 2,538125 % (Gambar 6).
Gambar 6. Grafik Persentase Dekomposisi Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Berdasarkan analisa data, dapat diketahui bahwa kerapatan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot sisa serasah (daun) pada selang kepercayaan 95 %, dengan nilai Fhitung sebesar 4,956 (Lampiran 11).
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 Minggu Ke-B o bo t Si s a S e ra s a h ( g r)
Kerapatan Tinggi 695 674 671 662 652 628 616 608 593 581 557 529 503 455 429 402 Kerapatan Sedang 758 732 715 714 696 673 670 650 644 627 623 614 607 589 487 470 Kerapatan Rendah 771 763 762 708 706 692 688 655 631 623 617 608 601 600 597 594
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
0 1 2 3 4 Pe rse ntase
Rata-Rata De komposisi
Se rasah (%/minggu)
Ke rapatan
Ke rapatan Tinggi 3,736875
Ke rapatan Se dang 3,311875
Ke rapatan Re ndah 2,538125
(44)
Pengaruh kerapatan ini diduga diakibatkan oleh kelembaban (Gambar 7), yang memang memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot sisa serasah pada selang kepercayaan 95 %, dengan nilai Fhitung sebesar 6,252 (Lampiran 12).
Berdasarkan uji lanjut pengaruh kerapatan terhadap dekomposisi serasah yang diduga dengan bobot sisa serasah didapat bahwa kerapatan tinggi merupakan kerapatan yang memberikan pengaruh yang paling berbeda (Lampiran 13).
Gambar 7. Grafik Hubungan Rata-Rata Bobot Sisa Serasah (Daun) Pinus sp Mingguan dengan Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
3. Volume Air Lisimeter
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata volume air lisimeter selama selama 19 kali kejadian hujan pada tiga kerapatan yang berbeda, curah hujan tertinggi terjadi pada pengukuran ke-15 yaitu sebesar 983 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada pengukuran ke-4 yaitu sebesar 43 mm.
Pada kerapatan sedang rata-rata volume air dalam lisimeter adalah yang paling banyak yaitu 410 mm. Hal ini sejalan dengan jumlah hujan tertingginya sebesar 983 mm. Begitu pula pada kerapatan tinggi dan rendah rata-rata volume air lisimeter yang terbanyak ditemukan pada pengukuran ke-15 (Gambar. 10).
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
Suhu Udara (0C) Kerapatan Tinggi 22 24 22 23 25 25 24 25 28 27 27 26 25 27 25 26
Suhu Udara (0C) Kerapatan Sedang 22 23 22 23 25 25 24 25 27 27 26 26 25 26 25 26
Suhu Udara (0C) Kerapatan Rendah 22 23 22 23 24 25 24 24 27 27 26 25 25 26 25 25
Kelembaban Udara (% ) Kerapatan Tinggi 87 83 86 85 83 83 83 82 79 80 80 81 81 80 81 81
Kelembaban Udara (% ) Kerapatan Sedang 87 83 86 85 82 83 83 82 79 80 80 80 81 80 81 81
Kelembaban Udara (% ) Kerapatan Rendah 87 83 86 85 82 83 83 82 79 80 80 80 81 80 81 81
B obot Sisa (gr) Kerapatan Tinggi 694,6 674,3 670,7 662,4 652 628,3 615,6 607,7 593,2 580,5 556,8 529,4 503 455,2 428,8 402,1
B obot Sisa (gr) Kerapatan Sedang 757,9 732,2 714,5 713,5 696,2 673,4 669,5 650 644,3 627,3 622,7 613,9 606,5 588,6 486,6 470,1
B obot Sisa (gr) Kerapatan Rendah 770,8 762,9 761,5 707,6 705,8 691,5 688,3 654,7 630,7 622,9 617,4 608,3 601 599,7 596,8 593,9
(45)
Gambar 10. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Hal ini sejalan dengan analisis data yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi curah hujan maka volume air lisimeter pun akan semakin banyak, artinya dapat diduga bahwa unsur hara yang tercuci oleh air hujan akan semakin banyak pula (Gambar 10).
Berdasarkan pada pengolahan data, kerapatan sedang menghasilkan rata-rata volume air lisimeter yang paling banyak, yaitu sebesar 219,74 mm/hari. Kerapatan tinggi menghasilkan rata-rata volume air lisimeter sebesar 88,87 mm/hari sedangkan kerapatan rendah menghasilkan rata-rata volume air lisimeter yang paling sedikit, yaitu sebesar 24,97 mm/hari (Gambar. 11). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pencucian akibat hujan paling sedikit terjadi pada kerapatan rendah.
0 200 400 600 800 1000 1200
Curah Hujan (mm) 83 103 83 43 221 270 403 306 100 308 166 210 105 330 983 608 502 305 202
Volume Air Lisimeter (mm) Tinggi 0,5 41,5 0,5 4 50 76,5 51,5 65 0 38 17,5 69 50 68 375 290 221 181 89,5
Volume Air Lisimeter (mm) Sedang 37,5 58 16,5 24 102,5 162,5 327,5 283,5 8,5 285 131 321 290 295 410 455 360 456,5 151
Volume Air Lisimeter (mm) Rendah 1 10 0 0 57,5 115 24,5 6 0 8 4 0,5 1 0,5 21 205 3,5 9 8
(46)
Analisis data dengan menggunakan SPSS menunjukan bahwa kerapatan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata volume air lisimeter (Lampiran 39). Dengan menggunakan uji lanjut diketahui bahwa kerapatan sedang merupakan kerapatan yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai rata-rata volume air lisimeter (Lampiran 18).
Gambar 11. Grafik Rata-Rata Volume Air Lisimeter (mm/hari) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
4. Air Tembus dan Aliran Batang
Berdasarkan hasil pengukuran aliran batang Pinus sp selama 10 kali pengambilan pada tiga kerapatan yang berbeda, nilai rata-rata aliran batang yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah dengan nilai 18049 mm yang terjadi pada pengambilan pertama. Begitu juga dengan nilai rata-rata aliran batang tertinggi untuk kerapatan tinggi dan kerapatan sedang nilai rata-rata aliran batang tertinggi terjadi pada pengambilan pertama dengan masing-masing nilainya adalah 14330 mm dan 17900 mm (Gambar 8).
Sedangkan nilai rata-rata aliran batang yang terendah terjadi pada kerapatan tinggi dengan nilai 123,67 mm, yang diperoleh pada pengukuran kelima. Sedangkan untuk kerapatan sedang nilai rata-rata aliran batang terendah terjadi pada pengambilan kelima dengan nilai 138,33 dan untuk kerapatan rendah, nilai rata-rata aliran batang terendah juga terjadi pada pengambilan kelima dengan nilai 320 mm (Gambar 8).
0 50 100 150 200 250 Rata-Rata
Volume Lisimeter (mm/hari)
Kerapatan Kerapatan Tinggi 88,87 Kerapatan Sedang 219,74 Kerapatan Rendah 24,97
(47)
Analisis data menunjukan bahwa kerapatan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata aliran batang (Lampiran 14).
Berdasarkan analisis regresi didapatkan bahwa nilai rata-rata aliran batang berbanding lurus dengan nilai curah hujannya. Untuk nilai curah hujan yang sama, berdasarkan analisis regresi diketahui bahwa nilai rata-rata aliran batang yang tertinggi terjadi pada kerapatan sedang. Diikuti oleh kerapatan rendah kemudian kerapatan tinggi (lampiran 15).
Gambar 8. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Aliran Batang (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Berdasarkan hasil pengukuran air tembus Pinus sp selama 10 kali pengambilan pada tiga kerapatan yang berbeda, nilai rata-rata air tembus yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah dengan nilai 21500 mm, nilai ini diperoleh pada pengukuran pertama. Begitu pula untuk kerapatan tinggi dan kerapatan sedang, nilai rata-rata air tembus tertinggi terjadi pada pengambilan pertama dengan masing-masing nilainya adalah 18590 mm dan 21171 mm (Gambar 9).
Analisis data dengan menggunakan SPSS menunjukan bahwa kerapatan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata air tembus (Lampiran 16).
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000
Rata-Rata Aliran Batang (mm)
Curah Hujan (mm) 608 502 305 202 166 95 567 355 175 1560
Rata-Rata Aliran Batang Kerapatan Tinggi
14330 1897,3 534 277,33 123,67 37,67 6843,3 9243,3 3835 16850
Rata-Rata Aliran Batang Kerapatan Sedang
17900 1668,3 1462,3 907 138,33 36,67 10710 4900 4050 14733
Rata-Rata Aliran Batang Kerapatan Rendah
18049 1801,7 3353 627,33 320 43,33 10283 5200 2233,3 17127
(48)
Sedangkan nilai rata-rata air tembus yang terendah terjadi pada kerapatan sedang dengan nilai 801 mm, yang diperoleh pada pengukuran keenam. Sedangkan untuk kerapatan tinggi nilai rata-rata air tembus terendah terjadi pada pengambilan keenam dengan nilai 841,3 mm dan untuk kerapatan rendah, nilai rata-rata air tembus terendah terjadi pada pengambilan kedua dengan nilai 978,3 mm (Gambar 9).
Berdasarkan analisis regresi didapatkan bahwa nilai rata-rata air tembus berbanding lurus dengan nilai curah hujannya. Untuk nilai curah hujan yang sama, berdasarkan analisis regresi diketahui bahwa nilai rata-rata air tembus yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah. Diikuti oleh kerapatan sedang kemudian kerapatan tinggi (lampiran 17).
Gambar 9. Grafik Hubungan Rata-Rata Volume Air Tembus Tajuk (mm) dengan Curah Hujan (mm) pada Kerapatan yang Berbeda di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
5. Analisis Tanah dan Kadar Air
Berdasarkan analisis contoh tanah di masing-masing kerapatan yang berbeda menunjukkan bahwa tekstur contoh tanah di lokasi penelitian bertekstur halus yaitu didominasi oleh kandungan liat dan debu untuk kedalaman 0-20 cm
0 5000 10000 15000 20000 25000
Rata-Rata Curah Tajuk (mm
)
Curah Hujan (mm) 608 502 305 202 166 95 567 355 175 1560
Rata-Rata Curah Tajuk Kerapatan Tinggi
18590 6773,3 12323 5151,7 5290,7 841,33 16537 9801,7 8416,7 20367
Rata-Rata Curah Tajuk Kerapatan Sedang
21171 5763,3 12000 4096,7 4781,3 801 13605 7800 8733,3 15567
Rata-Rata Curah Tajuk Kerapatan Rendah
21500 4250 10900 6163,3 5150 978,33 12133 9860 9783,3 17717
(1)
analisis tanah pada contoh tanah menunjukkan bahwa kandungan liat di kerapatan sedang lebih tinggi daripada kerapatan tinggi dan rendah. Kandungan liat yang tinggi menyebabkan pori tanah lebih banyak terisi oleh liat daripada air tanah. Gambar 15 menunjukkan grafik rata-rata bulk density dengan kadar air tanah dimana apabila bulk density tinggi maka kadar air tanah rendah, begitu juga sebaliknya.
Prosentase unsur nitrogen untuk kedalaman 0-20 cm pada kerapatan sedang sebesar 0,19 %. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan unsur nitrogen pada kerapatan rendah yaitu 0,22 %. Untuk kedalaman 40 cm, kandungan unsur nitrogen dalam tanah pada kerapatan rendah dan tinggi lebih tinggi dibandingkan kerapatan sedang. Angka ini menunjukkan bahwa unsur hara nitrogen yang tercuci dari lapisan atas pada kerapatan sedang lebih tinggi dibandingkan kerapatan rendah dan tinggi.
4. Air Tembus dan Aliran Batang
Berdasarkan hasil pengukuran aliran batang Pinus sp selama 10 kali pengambilan pada tiga kerapatan yang berbeda, nilai rata-rata aliran batang yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah dengan nilai 18049 mm sedangkan nilai rata-rata aliran batang yang terendah terjadi pada kerapatan tinggi dengan nilai 123,67 mm.
Untuk nilai rata-rata air tembus, nilai rata-rata air tembus yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah dengan nilai 21500 mm, sedangkan nilai rata-rata air tembus yang terendah terjadi pada kerapatan sedang dengan nilai 801 mm.
Penyimpangan terjadi pada pengambilan ketiga di kerapatan rendah untuk pengukuran aliran batang, nilai rata-rata volume aliran batang lebih tinggi dari pengambilan kedua padahal nilai curah hujan pada pengambilan ketiga lebih rendah dibandingkan nilai curah hujan pada pengambilan kedua.
Penyimpangan juga terjadi pada pengukuran rata-rata volume air tembus. Pada pengambilan ketiga, nilai rata-rata volume curah tajuk di seluruh kerapatan, baik tinggi, sedang maupun rendah, lebih tinggi daripada nilai rata-rata volume curah tajuk pada pengambilan kedua padahal nilai curah hujan pada pengambilan ketiga lebih rendah dari pengambilan kedua.
(2)
Berdasarkan analisis data dengan menggunakan SPSS menunjukan bahwa kerapatan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata aliran batang maupun nilai rata-rata air tembus tajuk (Lampiran 14 dan lampiran 16).
Namun secara keseluruhan, berdasarkan analisis regresi pada aliran batang dan air tembus menunjukkan suatu persamaan bahwa nilai rata-rata aliran batang dan air tembus pada ketiga kerapatan berbanding lurus dengan nilai curah hujannya, semakin tinggi nilai curah hujan maka semakin tinggi nilai rata-rata aliran batang ataupun air tembusnya. Untuk nilai curah hujan yang sama, berdasarkan analisis regresi diketahui bahwa nilai rata-rata aliran batang yang tertinggi terjadi pada kerapatan sedang. Diikuti oleh kerapatan rendah kemudian kerapatan tinggi.Untuk nilai curah hujan yang sama, berdasarkan analisis regresi diketahui bahwa nilai rata-rata air tembus yang tertinggi terjadi pada kerapatan rendah. Diikuti oleh kerapatan sedang kemudian kerapatan tinggi.
Jika membandingkan antara nilai rata aliran batang dengan nilai rata-rata air tembus, berdasarkan analisis regresi diperoleh bahwa pada nilai curah hujan yang sama, nilai rata-rata air tembus lebih besar dibandingkan nilai rata-rata aliran batang (Lampiran 15 dan Lampiran 17).
5. Analisis Tanah dan Kadar Air Tanah
Berdasarkan hasil analisis contoh tanah di masing-masing kerapatan menunjukkan bahwa di lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah halus didominasi oleh partikel liat dan debu. Prosentase partikel liat paling banyak terdapat pada kerapatan sedang yaitu sebesar 84,15 % untuk kedalaman tanah 0-20 cm. Kandungan pasir untuk kedalaman 0-0-20 cm paling banyak terdapat di kerapatan tinggi yaitu sebesar 18,91 %. Kandungan debu paling banyak terdapat pada kerapatan tinggi sebesar 21,55 %.
Hasil analisis tekstur tersebut menyatakan bahwa pada kerapatan sedang memiliki kandungan liat yang paling besar daripada di kerapatan tinggi maupun rendah.. Tanah bertekstur halus terdiri dari liat dan debu mempunyai sifat plastisitas yang tinggi, mempunyai daya jerap terhadap air, gas dan garam yang sangat tinggi. Analisis contoh tanah lapisan atas menunjukkan bahwa kerapatan sedang memiliki kandungan garam nitrat yang paling tinggi yaitu sebesar 3,2
(3)
ppm. Sifat tanah yang bertekstur liat tinggi menyebabkan pergerakan air dan udara menjadi lamban, menjadi lekat bila basah dan daya menahan air tanahnya sangat besar (Goeswono Soepardi, 1983).
Kandungan liat yang tinggi mengakibatkan bulk densitas (bobot isi tanah) di kerapatan sedang lebih tinggi dari kerapatan tinggi dan kerapatan rendah. Analisis bulk density tanah secara tidak langsung menunjukkan kepadatan tanahnya. Hubungan antara bulk density tanah dengan kadar air tanah adalah berbanding terbalik. Dari gambar grafik di bawah (gambar 14) dapat dijelaskan bahwa pada kerapatan sedang contoh tanah lapisan atas yang memiliki kandungan liat paling besar, mempunyai nilai rata-rata bulk density tertinggi yaitu 3,84 gram/cm3 dan sekaligus % kadar airnya bernilai paling rendah yaitu 30,83 %.
Penetapan pH dengan medium H2O berkisar antara 4,86-5,24, sedangkan penetapan pH tanah dengan medium KCL berkisar antara 4,08-4,47. Analisis pH tanah tersebut menunjukkan bahwa pada kerapatan tinggi, sedang dan rendah tanah bersifat masam (lampiran 21). pH tanah yang rendah ini dapat dipengaruhi oleh unsur pembentuk basa seperti Ca dan Mg yang rendah. Hasil analisis kimia tanah menunjukkan kandungan Ca dan Mg terbanyak dimiliki oleh kerapatan tinggi. Keadaan ini sesuai dengan hasil pengukuran pH tanah bahwa untuk medium H2O dan KCL, pH tertinggi dimiliki oleh tanah di kerapatan tinggi dengan nilai 5,24 dan 4,47.
(4)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Kerapatan tinggi menyediakan input hara yang cukup dari jatuhan serasah yang tinggi dan hara lebih cepat tersedia bagi tanaman melalui proses dekomposisi serasah yang lebih cepat daripada kerapatan sedang dan rendah. Selain itu, tajuk tegakan Pinus di kerapatan tinggi dengan jumlah pohon 490/ha mampu mengurangi leaching dan mempertahankan air tanah lebih baik daripada kerapatan sedang dan rendah akibat dari jatuhan curah hujan.
2. Unsur hara hasil dekomposisi cenderung membentuk sifat asam untuk semua kerapatan di bawah tegakan Pinus.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis kandungan unsur hara pada masing-masing peubah yang diukur di masing-masing kerapatan agar dapat mengetahui jumlah hara yang masuk dan keluar sehingga dapat menduga keseimbangan hara pada tegakan Pinus.
2. Pemanfaatan lahan akan lebih baik bila diimbangi dengan konservasi tanah dan air agar sumber daya tersebut mampu mendukung produksi setinggi-tingginya secara lestari
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air.IPB Press.
Darmanto, D. 2003. Produktivitas dan Model Pendugaan Dekomposisi Serasah pada Tegakan Agathis (Agathis lorantifolia Salisb.), Puspa (Schima wallichii (D.C. Korth.) dan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese.) di Sub Das Cipeureu Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
---. 1995. Manual Jenis-Jenis Tanaman Reboisasi. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.
Fakultas Kehutanan. 2004. Hutan Pendidikan Gunung Walat. http://www.fahutan.s5.com/Juli/profile.htm [6 September 2004]
Fermanto, I. 2000. Masukan Hara Melalui Curah Hujan, Air Tembus dan Aliran Batang pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii) dan Agathis (Agathis lorantifolia) dan di Das Cipeureu, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Firmansyah, A. 2004. Resiliensi Tanah Terdegradasi. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/m_anang_f.htm. [26 Agustus 2004]
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-Ilmu Pertanian Ilmu-Ilmu Teknik Biologi. CV. Armico. Bandung.
Golley, F. B. 1983. Tropical Rain Forest Ecosystem, Structure and Function. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. (Terjemahan).
Hairiah, dkk. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri. [7 Mei 2005]
Nasoetion, A. H. 1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Untuk Mahasiswa Baru. Institut Pertanian Bogor. Tahun Ajaran 2000/2001. Litera AntarNusa.
Priyono, C. N. S. 2003. Pengaruh Pinus terhadap Erosi dan Tata Air. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Pinus. http//www.balitbang-das. Or. Id. [17 Mei 2005]
Odum, E.P. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. (Terjemahan).
(6)
Sunarto. 2004. Peranan Dekomposisi dalam proses Produksi pada Ekosistem Laut. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/sunarto.htm. [26 Agustus 2004]
Widarti, A. 1993. Suatu Study Orientasi Pelepasan Beberapa Unsur Hara Mineral dalam Proses Dekomposisi Serasah Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala), Kaliandra (Caliandra callothyrsus) dan Gamal (Gliricidia maculata). Paper. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Wiharto, M. 2004. Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan Tropis. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/m_wiharto.htm. [26 Agustus 2004]