Pengembangan kebijakan asuransi lingkungan dalam menunjang pengelolaan pertambangan emas berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung

(1)

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN ASURANSI LINGKUNGAN DALAM MENUNJANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG

Oleh

TOTO GUNARTO P 062059364

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul

Pengembangan Kebijakan Asuransi Lingkungan Dalam Menunjang Pengelolaan Pertambangan Emas Berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2010

Toto Gunarto NRP. P 062059364


(4)

Pengembangan Kebijakan Asuransi Lingkungan Dalam Menunjang Pengelolaan Pertambangan Emas Berkelanjutan

di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung

Oleh

TOTO GUNARTO P 062059364

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

ABSTRACT

TOTO GUNARTO. Environmental Insurance Development to Support Sustainable Gold Mining in Tanggamus District Province of Lampung. Under supervision of DUDUNG DARUSMAN as promotor and SURJONO H. SUTJAHJO and HIKMAT RAMDAN as co promotor.

Environmental risks of gold mining can be occurred by tort, dereliction and negligence at uncertain time and has potential damages to the environment and community health. The estimate value of environmental risk at the reseacrh area during exploitation time (13 years) are Rp. 12.562.859.750,- which be equial to the total expectation loss with the pure premium value was Rp. 676.461.679 per year. If the asurance management cost was 30% of the pure premium value, then the premium value must be payed per year was Rp. 966.373.827,- Because of the value of premium is under the earned production value (Rp35.496.329.077.- per year), so the environmental insurance was feasible economically. By the environmenral insurance, the corporate will earn bigger benefits during it’s exploitation, because the liabiilty fund was provided by the third party namely the insurance company. In Indonesia, The Act which regulate the environmental protection and management, and the act of minerals and coal mining was good enough as law base in developing the environmental insurance. In addition, the environmental insurance as environmental economic instrument is expected to be more effective than the command and control policy instrument in supporting sustainable gold mining.


(6)

RINGKASAN

Kegiatan usaha pertambangan emas yang secara ekonomi menguntungkan di dalam proses produksinya memiliki resiko lingkungan yang merugikan secara ekonomi, ekologis, dan sosial. Resiko lingkungan yang terjadi dalam ketidakpastian (uncertainity) dan bersifat merugikan perlu dihindari. Upaya menghindari resiko dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu (a) menghindari kesalahan, kelalaian, dan kealpaan dalam proses pertambangan yang menyebabkan resiko lingkungan; atau (b) melimpahkan resiko kepada pihak lain di luar pelaku usaha melalui asuransi atau pertanggungan (liability) resiko. Pertanggungan resiko akibat kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi besar kepada lembaga asuransi merupakan pilihan yang rasional bagi pelaku usaha berskala besar seperti pertambangan emas. Asuransi lingkungan berperan untuk mengurangi resiko lingkungan dan meningkatkan keberlanjutan pembangunan.

Asuransi dapat meningkatkan alokasi efektif dari biaya kerusakan lingkungan dan menyediakan insentif untuk menghalangi perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan. Asuransi penting agar kegiatan ekonomi berjalan, dimana tanpa asuransi kegiatan bisnis dan individu umumnya tidak akan mau mengambil resiko dan melindungi aset-asetnya. Asuransi mendorong pelaku ekonomi untuk mendapatkan aset dan menginvestasikannya untuk masa depan, serta memungkinkan bagi korban terasuransi untuk mendapatkan perlindungan finansial apabila terjadi kecelakaan.

Asuransi lingkungan secara hukum merupakan salah satu instrumen ekonomi lingkungan yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang wajib dikembangkan dan diterapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Asuransi lingkungan dalam hal ini merupakan instrumen ekonomi lingkungan yang dikategorikan sebagai kebijakan insentif/disinsentif. Oleh karena itu, berkaitan dengan kegiatan pertambangan emas, asuransi lingkungan memiliki kontribusi yang signifikan untuk mendorong kegiatan pertambangan yang beresiko lingkungan tinggi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Implementasi asuransi lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan SDA khususnya pertambangan di Indonesia sampai saat ini belum ada, sehingga kebijakan asuransi lingkungan untuk mengurangi resiko lingkungan perlu diteliti kemungkinan pengembangannya. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) mengetahui nilai resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung; serta (b) mengetahui kebijakan yang terkait dengan penerapan asuransi lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan dalam mengendalikan kegiatan pertambangan emas. Penelitian ini dilakukan di kawasan pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan selama 8 (delapan) bulan, mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan April 2009. Kawasan pertambangan emas yang


(7)

dijadikan lokasi penelitian berada di Pekon Sidoharjo Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan emas memiliki resiko terhadap lingkungan, terutama pencemaran terhadap air permukaan dan gangguan kesehatan masyarakat. Kondisi Sungai Napal yang berada di hulu sungai dan langsung berbatasan dengan daerah tangkapan airnya, tetapi kualitas airnya masuk Air Golongan II menunjukkan bahwa air sungai tersebut mengalami pencemaran. Hasil analisis kualitas air di empat titik pengamatan menunjukkan bahwa air sungai yang berada di sekitar lokasi pertambangan emas PT NUP tercemar sedang. Estimasi nilai total resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan emas di kawasan PT NUP sebesar Rp. 12.562.859.750,- diasumsikan merupakan nilai kerugian harapan total. Apabila peluang terjadinya kerusakan terhadap sumber air yang sekaligus berdampak terhadap gangguan kesehatan masyarakat sebesar 70% sesuai hasil riset EPA (1995), maka nilai kerugian harapan yang mungkin terjadi sebesar Rp. 8.794.001.825,- selama 13 tahun jangka waktu kegiatan pertambangan. Dengan jumlah masyarakat tertanggung yang potensial terkena dampak 1921 jiwa orang, maka nilai premi murni adalah Rp. 676.461.679 /tahun. Apabila biaya manajemen asuransi oleh perusahaan asuransi mencapai 30% dari nilai premi murni, maka premi yang harus dibayarkan per tahun adalah Rp. 966.373.827,- per tahun.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur pertambangan mineral dan batubara, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sinergis mendorong berjalannya instrumen ekonomi lingkungan, termasuk asuransi lingkungan. Oleh karena itu asuransi lingkungan untuk mengendalikan resiko lingkungan akibat pertambangan cukup memiliki payung hukum dikembangkan dan diterapkan. Namun demikian di dalam tahap awal pengembangannya akan sangat dipengaruhi oleh adanya kebijakan dan kemauan politik (political will) pemerintah dan atau pemerintah daerah untuk memfasilitasinya. Dengan kebijakan dan kemauan politik yang kuat, maka asuransi lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan yang relatif baru dalam pengendalian resiko lingkungan hidup dapat dikembangkan dan diterapkan.

Asuransi lingkungan merupakan instrumen ekonomi lingkungan yang perlu dikembangkan dalam pengendalian lingkungan, khususnya pengendalian resiko lingkungan akibat pertambangan emas di Provinsi Lampung. Para pihak pemangku kepentingan merasa perlu adanya terobosan kebijakan dalam pengendalian lingkungan karena upaya pengendalian lingkungan yang selama ini bersifat command and control dianggap tidak efektif mengendalikan resiko lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan berupa asuransi lingkungan merupakan terobosan penting dalam pengendalian resiko lingkungan yang berbasis kebijakan insentif. Secara umum kelembagaan yang ada terkait pengendalian lingkungan di Provinsi Lampung cukup mendukung terselenggaranya asuransi lingkungan untuk mengendalikan resiko lingkungan akibat pertambangan (emas). Di samping itu, peraturan perundang-undangan


(8)

tentang wajibnya dilaksanakan instrumen ekonomi lingkungan telah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan payung hukum untuk menyelenggarakan asuransi lingkungan.

Pemerintah Provinsi Lampung perlu memfasilitasi terselenggaranya asuransi lingkungan untuk pengendalian resiko lingkungan akibat pertambangan (emas) melalui penetapan kebijakan daerah yang bersifat penetapan (besiking) dan pengaturan (regeling) berupa peraturan daerah tentang pedoman penerapan asuransi lingkungan. Pengaturan tersebut tampaknya akan didukung oleh para pihak pemangku kepentingan karena disadari bahwa pengendalian resiko lingkungan tidak cukup diatur dengan kebijakan yang bersifat command and control tetapi harus disertai dengan kebijakan yang bersifat insentif, yaitu berupa asuransi lingkungan. Penyelenggaraan asuransi lingkungan di Provinsi Lampung selain didukung oleh adanya kebijakan dan kehendak politik (political will) yang kuat, juga perlu didukung oleh aturan teknis penyelenggaraan asuransi lingkungan tersebut. Oleh karena itu penyusunan tentang pedoman asuransi lingkungan untuk pengendalian resiko lingkungan perlu disusun oleh pemerintah daerah, perusahaan asuransi, akademisi, pelaku usaha, pemerhati lingkungan, dan para pihak pemangku kepentingan lainnya.


(9)

Judul Disertasi : Pengembangan Kebijakan Asuransi Lingkungan Dalam Menunjang Pengelolaan Pertambangan Emas Berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung

Nama Mahasiswa

: Toto Gunarto

NRP : P 062059364

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir.Dudung Darusman, M.A. Ketua

Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si Anggota

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Anggota

Mengetahui, Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(10)

KATA PENGANTAR

Kegiatan pertambangan emas selain memberikan dampak positif terhadap pendapatan daerah dan nasional, juga memberikan resiko lingkungan yang merugikan secara ekonomi dan ekologis. Resiko lingkungan yang terjadi dalam ketidakpastian (uncertainty) dan bersifat merugikan perlu dihindari. Pertanggungan resiko akibat kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi besar kepada lembaga asuransi merupakan pilihan yang rasional bagi pelaku usaha berskala besar seperti pertambangan emas. Asuransi lingkungan berperan untuk mengurangi resiko lingkungan dan menunjang pertambangan emas berkelanjutan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji kemungkinan pengembangan asuransi lingkungan sebagai instrumen kebijakan ekonomi lingkungan untuk mengendalikan dampak negatif kegiatan pertambangan emas dan mendorong kegiatan pertambangan emas berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Implementasi asuransi lingkungan merupakan instrumen kebijakan ekonomi yang diharapkan dapat mengendalikan resiko lingkungan pertambangan emas dan mendorong meningkatnya kesadaran pelaku pertambangan untuk menerapkan sistem pertambangan berkelanjutan (sustainable mining). Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, yaitu : (a) artikel yang berjudul Prioritas Pengendalian Resiko Lingkungan dan Asuransi Lingkungan diterbitkan pada Jurnal Bisnis dan Manajemen, bulan Mei 2009,Volume 5 Nomor 3; serta (b) artikel yang berjudul Analisis Pengembangan Kelembagaan Asuransi Lingkungan diterbitkan pada Jurnal Bisnis dan Manajemen, bulan September 2009 Volume 6 Nomor 1.

Dengan selesainya disertasi ini, Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A selaku Ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga draf disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir.Etty Riani dan Dr.Ir. Wonny A Ridwan sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk perbaikan disertasi ini. Kepada Prof.Dr.Ir.Sugeng P. Harianto, M.S. dan


(11)

Dr.Ir.Faiz Syuaib sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka diucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji.

Ucapan terima kasih pun disampaikan kepada istri dan anakku atas segala dukungannya selama penulis menempuh pendidikan doktor di IPB. Seluruh keluarga besar, khususnya kanda Dr.Ir,Budihardjo dan istri Dr,Ir.Diah Manohara yang telah banyak membantu selama penulis berada di Bogor dalam menempuh dan menyelesaikan studi. Selain kepada mereka yang disebutkan, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini telah banyak membantu dalam penyelesaian studi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan disertasi ini masih terdapat kelemahan, sehingga saran dan koreksi yang konstruktif sangat diharapkan untuk kesempurnaan disertasi ini.

Bogor, April 2010


(12)

(13)

RIWAYAT HIDUP

Toto Gunarto. Dilahirkan di Telukbetung Bandarlampung pada tanggal 25 Maret 1956 sebagai anak keenam dari tiga belas bersaudara keluarga Sugiarto (alm) dan Karsiah (almh). Pendidikan yang ditempuh mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah Pertama di Yayasan Pendidikan Xaverius Teluk Betung dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ditempuh di SMA Negeri 2 Tanjungkarang. Pendidikan sarjana (S-1) ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Pada tahun 1990 menyelesaikan pendidikan tingkat Magister (S-2) pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pengembangan Pedesaan Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan biaya dari TMPD (Tim Manajemen Program Doktor). Pada tahun 2005 dengan biaya sendiri melanjutkan pendidikan tingkat doktor (S-3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Karir sebagai staf pengajar dimulai sejak diterima sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (Unila) pada tahun 1983. Pada tahun 1993 diberi kepercayaan sebagai Ketua Program Studi Diploma (D3) Koperasi pada Fakultas Ekonomi Unila. Pada tahun 1997 sampai dengan 2003 dipercaya sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ekonomi Unila. Selanjutnya sejak tahun 2004 hingga saat ini dipercaya menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Unila.

Penulis menikah dengan Rr.Erlina, SE, M.Si dan dikaruniai seorang puteri, yaitu Mutia Ulfah Gunarto yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Kelas 9 SMP Negeri 2 Tanjungkarang Bandarlampung.


(14)

Daftar Isi

Halaman

Daftar Isi... i

Daftar Tabel ... v

Daftar Gambar ...vii

Daftar Lampiran ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam... 12

2.2. Pertambangan Berkelanjutan... 16

2.3. Resiko dan Asuransi Lingkungan... 23

III. METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.2. Rancangan Penelitian ... 32

3.2.1. Analisis Nilai Resiko Lingkungan Pertambangan Emas ... 32

3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data... 32

3.2.1.2.Parameter yang Diamati ... 33

3.2.1.3.Metode Analisis Data ... 33

3.2.2. Analisis Kebijakan Asuransi Lingkungan ... 33


(15)

3.2.2.2.Parameter yang Diamati ... 34

3.2.2.3.Metode Analisis Data ... 34

3.2.3. Analisis Kelembagaan Pengembangan Asuransi Lingkungan ... 34

3.2.3.1.Metode Pengumpulan Data... 34

3.2.3.2.Parameter yang Diamati ... 35

3.2.3.3.Metode Analisis Data ... 35

3.2.4. Analisis Prioritas Kebijakan Asuransi Lingkungan... 36

3.2.4.1.Metode Pengumpulan Data... 36

3.2.4.2.Parameter yang Diamati ... 36

3.2.4.3.Metode Analisis Data ... 37

3.3. Definisi Operasional ... 37

IV. KEADAAN UMUM ... 40

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 40

4.2. Cadangan Emas Tertambang ... 41

4.3. Teknik Penambangan ... 41

V. ESTIMASI NILAI RESIKO LINGKUNGAN ... 46

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS... 46

5.1. Pendahuluan ... 46

5.2. Metode Analisis Resiko Lingkungan Pertambangan Emas ... 47

a. Metode Pengumpulan Data... 47

b. Analisis Data ... 48

1) Pengambilan Sampel Kualitas Air Sungai ... 48

2) Estimasi Nilai Gangguan Ekosistem dan Kesehatan... 48

3) Perhitungan Premi Asuransi Lingkungan ... 50

5.3. Hasil dan Pembahasan Resiko Lingkungan Pertambangan Emas... 50

5.3.1. Analisis Kualitas Air Permukaan... 50

5.3.2. Nilai Resiko Kerusakan Lingkungan... 53

5.3.3. Estimasi Premi Asuransi Lingkungan ... 62

5.3.3. Kesimpulan... 64

VI. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN ... 65

PERUNDANG-UNDANGAN ASURANSI LINGKUNGAN HIDUP ... 65

6.1. Pendahuluan ... 65

6.2. Metode Analisis Kebijakan Asuransi Lingkungan... 67

6.2.1. Metode Pengumpulan Data... 67

6.2.2. Analisis Data ... 67

6.3. Hasil dan Pembahasan Kebijakan dan Perundang-Undangan Asuransi Lingkungan... 67

6.4.Kesimpulan ... 75

VII. ANALISIS PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN ... 77

ASURANSI LINGKUNGAN ... 77

7.1. Pendahuluan ... 77

7.2. Metode Analisis Kelembagaan Asuransi Lingkungan ... 79

7.2.1. Metode Pengumpulan Data... 79

7.2.3.Analisis Data ... 79 7.3. Hasil dan Pembahasan Kelembagaan


(16)

Pengembangan Asuransi Lingkungan... 83

7.4. Kesimpulan ... 97

VIII. PRIORITAS PENGENDALIAN RESIKO LINGKUNGAN ... 99

DAN ASURANSI LINGKUNGAN ... 99

8.1. Pendahuluan ... 99

8.2. Metode Analisis Prioritas Kebijakan Asuransi Lingkungan... 100

8.2. 1.Metode Pengumpulan Data... 100

8.2.2. Analisis Data ... 101

8.3. Hasil dan Pembahasan Pengembangan Kebijakan Asuransi Lingkungan... 101

8.4. Kesimpulan ... 107

IX. PEMBAHASAN UMUM... 108

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN... 113

10.1. Kebijakan Umum... 113

10.2. Kebijakan Operasional ... 114

XI. KESIMPULAN DAN SARAN... 116

11.1. Kesimpulan ... 116

11.2. Saran... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118


(17)

Daftar Tabel

No Halaman

1. Frekuensi Terjadi Dampak Lingkungan

Akibat Pertambangan ... 18

2. Dampak Penting Kegiatan Penambangan (PT. NUP, 1996) ... 21

3. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993) ... 38

4. Rencana Produksi Penambangan Emas PT NUP... 42

5. Kualitas Air Sungai Napal... 52

6. Hasil Analisis Keberadaan Plankton di Sekitar Lokasi Pertambangan Emas PT NUP... 55

7. Hasil Analisis Keberadaan Benthos di Sekitar Lokasi Pertambangan Emas PT NUP... 57

8. Estimasi Nilai Resiko Lingkungan Akibat Pertambangan Emas ... 61

9. Estimasi Nilai Produksi dan Premi Asurani Lingkungan ... 63

10. Kerangka Dasar Pendekatan 4R... 81

11. Relationship Stakeholders dalam Pengendalian Lingkungan Pertambangan Emas ... 81

12. Hak dan Kewajiban (Rights) Parapihak dalam Pengendalian Resiko Lingkungan Pertambangan Emas... 87

13. Tanggung jawab (Responsibilities) Parapihak dalam Pengendalian Resiko Lingkungan Pertambangan Emas... 88


(18)

14. Manfaat (Revenues) Parapihak

dalam Pengendalian Resiko Lingkungan

Pertambangan Emas... 90 15. Tingkat Hubungan (Relationship) antar Parapihak

dalam Pengendalian Resiko Lingkungan

Pertambangan Emas... 90 16. Nilai Bobot Tingkat Pengaruh

dan Tingkat Kepentingan Stakeholders


(19)

Daftar Gambar

No Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 8

2. Perumusan Masalah Penelitian ... 10

3. Hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan... 13

4. Metodologi Asuransi Lingkungan (Shangraw et.al., 2003) ... 29

5. Hierarki Kebijakan Resiko Lingkungan ... 38

6. Lokasi Penelitian ... 40

7. Kesediaan Membayar Masyarakat Untuk Membuat Sumur... 58

8. Kesediaan Membayar Masyarakat Untuk Mencari Sumber Air Baru ... 59

9. Kesediaan Membayar Masyarakat Untuk Membeli Air ... 60

10. Penyakit yang timbul di sekitar pertambangan emas ... 61

11. Kerangka 4R untuk Mendefinisikan Peranan Stakeholders (Dubois, 1998). ... 80

12. Tingkat Pengaruh dan Tingkat Kepentingan Stakeholders dalam Pengembangan Kebijakan Asuransi Lingkungan ... 83

13. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan... 84

14. Tingkat Pengaruh dan Tingkat Kepentingan Pengembangan Asuransi Lingkungan untuk Pengelolaan Pertambangan Emas di Kabupaten Tanggamus... 94

15. Hierarki Resiko Lingkungan Akibat Pertambangan Emas ... 102

16. Tingkat Potensi Resiko Lingkungan Akibat Pertambangan Emas... 102

17. Prioritas Kebijakan Penanganan Resiko Lingkungan Akibat Pertambangan Emas ... 103

18. Alternatif Instrumen Ekonomi Lingkungan dalam Pengendalian Resiko Lingkungan Akibat Pertambangan Emas... 105

19. Usulan Mekanisme Penerapan Asuransi Lingkungan dalam Pengelolaan Pertambangan Emas di Provinsi Lampung. ... 112


(20)

Daftar Lampiran

No Halaman

1. Data Responden Perbandingan Antar Resiko Terhadap Fokus Resiko Lingkungan

Pertambangan Emas...122 2. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Resiko Terhadap Fokus Resiko

Lingkungan Pertambangan Emas. ...123 3. Data Responden Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Pencemaran Air...124 4. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Pencemaran Air...124 5. Data Responden Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Gangguan Kesehatan. ...124 6. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Gangguan Kesehatan. ...125 7. Data Responden Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Kerusakan Bentang Lahan...126 8. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Kerusakan Bentang Lahan...126 9. Data Responden Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Kerusakan Vegetasi

dan Habitat Satwa. ...127 10. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Kebijakan

Terhadap Resiko Kerusakan Vegetasi

dan Habitat Satwa. ...127 11. Data Responden Perbandingan Antar Alternatif

Terhadap Kebijakan

Penerapan Instrumen Ekonomi Lingkungan...128 12. Hasil Pengolahan HIPRE3+

Perbandingan Antar Alternatif Terhadap Kebijakan


(21)

13. Nilai (Bobot) Setiap Elemen dalam Hierarki Kebijakan Asuransi Lingkungan

Dalam Pengendalian Dampak Pertambangan Emas

di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung...130

14. Hasil Analisis HIPRE3+ Nilai (Bobot) Setiap Resiko Terhadap Fokus Resiko Lingkungan Pertambangan Emas...131

15. Hasil Analisis HIPRE3+ Nilai (Bobot) Setiap Kebijakan Terhadap Setiap Resiko ...132

16. Hasil Analisis HIPRE3+ Nilai (Bobot) Setiap Alternatif Terhadap Kebijakan Penerapan Instrumen Ekonomi Lingkungan...133

17. Hasil Analisis Udara di Lokasi Penelitian...134

18. Hasil Analisis Air Permukaan di Lokasi Penelitian...135


(22)

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam (SDA) merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan, baik dalam konteks negara, propinsi ataupun kabupaten. Berbagai SDA yang ada secara ekonomi dimanfaatkan untuk mendapatkan dana pembangunan. Pertambangan, kehutanan, pertanian, kelautan, dan pariwisata merupakan sektor-sektor pembangunan yang menjadi primadona investasi ekonomi di Indonesia dalam dekade terakhir (Simanjuntak, 2007). Kegiatan pertambangan di Indonesia terus berkembang, bahkan pada periode tahun 1990-1996 saat krisis ekonomi terjadi pertumbuhan sektor pertambangan mencapai 5,1% per tahun dengan nilai kontribusi finansialnya terhadap pendapatan negara diperkirakan mencapai US$ 5 milyar per tahun (McMahon et.al., 2000). Pertambangan di Indonesia berkembang sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan yang kemudian diganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kegiatan pertambangan merupakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang. Bahan galian merupakan modal warisan bagi manusia, sedangkan hasil budidaya adalah pendapatan manusia sehingga manusia boleh memanfaatkan modal warisannya dengan sangat hati-hati semata-mata demi upaya peningkatan pendapatan (Simanjuntak,2007).

Kegiatan pertambangan emas yang termasuk bahan galian golongan B atau vital telah diupayakan sejak lama sebagai sumber pendapatan negara dan daerah. Saat ini peraturan perundangan yang mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah telah menetapkan


(24)

bahwa 20% penerimaan dari masing-masing iuran tetap, iuran eksplorasi dan produksi diberikan kepada pusat dan 16% dari masing-masing iuran di atas kepada pemda propinsi terkait. Sisa 64% penerimaan dari iuran tetap, keseluruhannya menjadi hak pemda kabupaten/kota terkait. Sedangkan sisa 64% penerimaan dari masing-masing iuran eksplorasi dan produksi, dibagi dua. Setengah atau 32% dari masing-masing iuran eksplorasi dan produksi merupakan hak pemda kabupaten/kota terkait dan yang setengahnya lagi dibagikan rata kepada semua pemda kabupaten/kota yang terletak di propinsi terkait. Besarnya nilai manfaat ekonomi dari kegiatan pertambangan emas tersebut telah banyak menarik investasi di sektor tersebut, baik melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau penanaman modal asing (PMA). Pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah yang memiliki potensi tambang emas berupaya membuka peluang investasi bagi investor untuk menggali potensi tambang tersebut. Salah satu diantara lokasi pertambangan emas yang tengah berjalan berada di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung.

Kegiatan pertambangan emas di samping memberikan manfaat ekonomi dan sosial, juga diprakirakan memberikan eksternalitas negatif di dalam tahapan proses kegiatan penambangannya yang merugikan secara ekonomi dan ekologis. MacMohan et.al. (2000) menyebutkan bahwa biaya mitigasi lingkungan di Indonesia akibat pertambangan mencapai US$ 0.5 milyar per tahun. Estimasi biaya tersebut belum memasukkan dampak negatif jangka panjangnya dari deposisi batuan asam (acid rock deposition) terhadap sumberdaya hayati yang berada di daratan dan perairan (MacMohan et.al.,2000). Eksternalitas yang terjadi diprakirakan mulai dari tahap pra-kontruksi, tahap konstruksi, tahap operasi penambangan, dan tahap pasca tambang. Dampak-dampak yang timbul tersebut memiliki resiko lingkungan yang apabila tidak dikendalikan dengan baik akan menimbulkan bencana ekologis yang mengganggu atau merusak tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dampak terhadap lahan menyebabkan penurunan produktitifitas lahan akibat


(25)

hilangnya lapisan permukaan tanah (top soil) yang subur. Kerusakan terhadap tumbuhan, binatang, dan manusia terjadi akibat kerusakan dan pembukaan habitat dan kontaminasi lingkungan. Pertambangan terbuka merubah sepenuhnya bentang lahan dari penggunaan yang normal. Nilai keindahan alamiah terdegradasi sebagaimana berubahnya lahan pertanian, hutan, dan bentang lahan alami lainnya. Walaupun upaya reklamasi dilakukan, ekosistem alaminya telah rusak dan digantikan oleh habitat yang benar-benar berbeda. Eksternalitas yang bersifat merugikan tersebut dapat berupa resiko lingkungan yang terjadi dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) di luar yang diprediksikan, serta mengganggu keberlanjutan usaha pertambangan, merusak lingkungan hidup, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Resiko tersebut merupakan keadaan yang tidak dapat diramalkan sebelumnya dengan kondisi ketidakpastian, sehingga perlu dihindari untuk mencegah atau mengurangi kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang lebih besar (Hartono, 2001). Upaya menghindari resiko dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu (a) menghindari kesalahan, kelalaian, dan kealpaan dalam proses pertambangan yang menyebabkan resiko lingkungan; atau (b) melimpahkan resiko kepada pihak lain di luar pelaku usaha melalui asuransi atau pertanggungan (liability) resiko (Hartono, 2001; Boyer dan Porrini, 2008). Pertanggungan resiko akibat kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi besar kepada lembaga asuransi merupakan pilihan yang rasional bagi pelaku usaha berskala besar seperti pertambangan emas. Asuransi berperan dalam menjamin kelangsungan kegiatan ekonomi karena tanpa mengikuti asuransi, maka bisnis dan individu tidak dapat menghadapi resiko dan melindungi aset-asetnya (UNEP, 2007). Peningkatan resiko lingkungan akan berimplikasi terhadap peningkatan biaya resiko lingkungan akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Makin tinggi resiko lingkungan yang akan terjadi, maka makin besar tuntutan akan perlunya jaminan pertanggungan atas resiko tersebut.


(26)

Resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan perlu dikendalikan melalui sejumlah instrumen kebijakan, dimana kebijakan dibuat sebagai preskripsi atas masalah yang terjadi. Salah satu instrumen kebijakan ekonomi yang terkait dengan resiko lingkungan tambang emas adalah instrumen asuransi lingkungan (environmental insurance). Richardson (2002) menyebutkan bahwa asuransi lingkungan dapat meningkatkan promosi pembangunan berkelanjutan dan mendanai biaya kerusakan lingkungan. Dalam batas yuridiksi tertentu penjamin dapat meningkatkan perhatian terhadaap resiko pertanggungan pencemaran/polusi. Pasar asuransi secara teoritis dapat meningkatkan alokasi efektif dari biaya kerusakan lingkungan dan menyediakan insentif untuk menghalangi perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan (Boyer dan Porrini, 2008). Asuransi lingkungan mendorong pelaku ekonomi untuk melindungi asetnya dan menginvestasikannya untuk masa depan, serta memungkinkan bagi korban terasuransi untuk mendapatkan perlindungan finansial apabila terjadi kecelakaan. UNEP (2007) menegaskan bahwa asuransi lingkungan berperan untuk mengurangi resiko lingkungan dan meningkatkan keberlanjutan pembangunan (sustainability of development). Perusahaan asuransi hanya menjamin pertanggungan atas resiko lingkungan yang terjadi sepanjang peserta asuransi menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan usahanya secara berkelanjutan sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Asuransi hanya membayarkan klaim atas resiko lingkungan apabila sepanjang proses pemantauaannya prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang baik diterapkan dalam setiap proses pengusahaan tambang. Asuransi lingkungan apabila diterapkan akan meningkatkan kinerja pengelolaan pertambangan emas secara berkelanjutan, serta memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat di areal dampak apabila terjadi resiko lingkungan.

Asuransi lingkungan secara hukum merupakan salah satu instrumen ekonomi lingkungan yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang wajib dikembangkan dan diterapkan oleh pemerintah dan


(27)

pemerintah daerah. Asuransi lingkungan dalam hal ini merupakan instrumen ekonomi lingkungan yang dikategorikan sebagai kebijakan insentif/disinsentif. Oleh karena itu, berkaitan dengan kegiatan pertambangan emas, asuransi lingkungan memiliki kontribusi yang signifikan untuk mendorong kegiatan pertambangan yang beresiko lingkungan tinggi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Implementasi asuransi lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan SDA khususnya pertambangan di Indonesia sampai saat ini belum ada, sehingga kebijakan asuransi lingkungan untuk mengurangi resiko lingkungan perlu diteliti kemungkinan pengembangannya.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji kemungkinan pengembangan asuransi lingkungan sebagai instrumen kebijakan ekonomi lingkungan untuk mengendalikan resiko lingkungan kegiatan pertambangan emas dan mendorong kegiatan pertambangan emas berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan pembangunan memerlukan dukungan pendanaan yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan (ekstraksi) SDA yang ada di wilayahnya. Pemanfaatan SDA, khususnya pertambangan memberikan eksternalitas berupa dampak dan resiko. Dampak (impacts) berupa dampak positif dan dampak negatif yang kejadiannya relatif dapat diramalkan sebelumnya dengan kondisi yang pasti (certainty). Dampak positif pertambangan diantaranya sebagai sumber pendapatan daerah dalam membiayai kegiatan pembangunan daerah, serta dampak negatif berupa pencemaran lingkungan. Resiko (risks) merupakan eksternalitas bersifat merugikan yang terjadi dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) di luar dampak yang dapat diramalkan sebelumnya.

Eksternalitas negatif kegiatan pertambangan emas secara terbuka diprakirakan berdampak terhadap kerusakan bentang lahan, gangguan kesehatan masyarakat, dan kerusakan ragam hayati. Kerusakan bentang lahan berpotensi menurunkan produktivitas lahan, sedangkan kerusakan


(28)

ragam hayati terutama berkaitan dengan hilangnya potensi ekonomi ragam hayati sebagai sumber plasma nutfah. Gangguan kesehatan masyarakat akibat eksternalitas kegiatan pertambangan emas akan menurunkan produktivitas kerja dan meningkatkan biaya kesehatan. Resiko lingkungan dapat terjadi dalam keadaan yang tidak diramalkan sebelumnya akibat kesalahan, kealpaan, dan kelalaian proses produksi pertambangan di dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty).

Adanya resiko lingkungan akibat pertambangan emas membutuhkan upaya pengendalian resiko lingkungan. Pengendalian resiko lingkungan tersebut selain dengan rekayasa teknik lingkungan, juga melalui penerapan instrumen kebijakan jaminan pertanggungan resiko lingkungan dalam bentuk asuransi lingkungan. Resiko lingkungan akibat pertambangan yang nilai kerugiannya besar tidak dapat dijamin sendiri oleh perusahaan tambang, sehingga apabila terjadi resiko lingkungan akan mengganggu keberlangsungan (finansial) usahanya. Oleh karena itu untuk menghindari resiko lingkungan tersebut dapat ditempuh dengan melimpahkan resiko ke lembaga asuransi yang prinsip dasar pengembangan kegiatan usahanya difokuskan untuk menangani resiko yang terjadi (Hartono, 2001).

Asuransi lingkungan merupakan bagian dari instrumen ekonomi lingkungan yang bersifat insentif/disinsentif untuk menghindari atau mengurangi resiko lingkungan pertambangan emas, sehingga kegiatan pertambangan yang berkelanjutan dapat lebih terjamin. Penerapan asuransi lingkungan merupakan satu bentuk strategi manajemen resiko pertambangan. International Council on Mining and Metals (ICMM) (2003) menegaskan bahwa salah satu dari sepuluh prinsip pertambangan berkelanjutan adalah mengimplementasikan strategi manajemen resiko berdasarkan data yang valid dan ilmiah.

Penerapan asuransi lingkungan perlu didorong oleh pemegang kebijakan (policy holder). Pemerintah daerah selaku regulator kegiatan pertambangan di daerah perlu memberikan perhatian terhadap pentingnya asuransi lingkungan sebagai instrumen kebijakan (ekonomi) dalam


(29)

mengendalikan resiko lingkungan akibat aktifitas tambang. Resiko lingkungan akibat pertambangan emas memiliki sebaran dan besaran (magnitude) yang signifikan terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di sekitarnya. Adanya permasalahan tersebut menuntut dikembangkannya sebuah kebijakan (policy) yang mengatur jaminan pertanggungan akibat dampak penting dari kegiatan pertambangan emas. Oleh karena itu pengembangan kebijakan asuransi lingkungan dalam pengendalian dampak negatif kegiatan pertambangan emas perlu dikaji kemungkinan implementasinya. Adanya asuransi lingkungan tersebut diharapkan akan lebih menjamin keberlanjutan kegiatan pertambangan di dalam rangka mendukung pembangunan daerah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup secara seimbang. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ditampilkan pada Gambar 1.

1.3. Perumusan Masalah

Setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk pertambangan emas memiliki resiko terhadap lingkungan. Kegiatan pertambangan emas selain memberikan nilai manfaat (ekonomi) bagi pembangunan (B), juga memberikan dampak negatif yang bersifat resiko yang dapat terjadi dalam keadaan ketidakpastian (uncertainty) di luar kondisi yang diprediksikan sebelumnya yang bersifat negatif terhadap keberlanjutan usaha pertambangan. Resiko negatif terhadap lingkungan berupa degradasi lingkungan fisik-kimia dan degradasi lingkungan biologis yang dapat meningkatkan resiko lingkungan. Resiko lingkungan secara umum berupa (a) gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang meningkatkan pula biaya rehabilitasi kesehatan masyarakat, dan (b) degradasi sumberdaya alam yang meningkatkan nilai kerusakan lingkungan. Terjadinya resiko lingkungan secara ekonomi akan terakumulasi menjadi total biaya resiko lingkungan akibat pertambangan (T).


(30)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Apabila nilai total resiko lingkungan (T) lebih besar daripada nilai manfaat (B) yang diperoleh maka diperlukan jaminan pertanggungan resiko lingkungan, sedangkan apabila T<B maka perlu juga diantisipasi jaminan pertanggungan resiko lingkungannya. Perumusan penelitian disajikan pada Gambar 2.


(31)

Jaminan pertanggungan resiko lingkungan yang dikembangkan berupa asuransi lingkungan yang diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan dampak negatif kegiatan pertambangan emas, sekaligus mendorong terciptanya kegiatan pertambangan emas berkelanjutan. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa pertanyaan penelitian yang mengemuka adalah sebagai berikut.

a. Sejauhmana potensi resiko lingkungan akibat pertambangan emas mempengaruhi kualitas lingkungan di lokasi penelitian?

b. Berapa estimasi total biaya resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan emas di lokasi penelitian?

c. Bagaimana pengembangan kelembagaan asuransi lingkungan dapat diterapkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi lingkungan dalam menunjang pertambangan emas secara berkelanjutan di lokasi penelitian ?

d. Bagaimana prioritas kebijakan pengembangan asuransi lingkungan dalam menunjang pengelolaan pertambangan emas berkelanjutan ? 1.4. Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui nilai resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

2. Mengetahui kebijakan yang terkait dengan penerapan asuransi lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan dalam mengendalikan kegiatan pertambangan emas.

3. Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengembangan kebijakan asuransi lingkungan untuk pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

4. Menentukan prioritas kebijakan pengembangan asuransi lingkungan dalam menunjang pengelolaan pertambangan emas berkelanjutan.


(32)

Gambar 2. Perumusan Masalah Penelitian

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa masukan kepada pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan (policy holders) pengelolaan sumberdaya ala dalam menyusun kebijakan tentang asuransi lingkungan sebagai instrumen kebijakan untuk mengurangsi resiko lingkungan pertambangan emas, khususnya di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Selain itu, penelitian ini secara


(33)

akademik menjadi sumbangan penting dalam pengembangan asuransi lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan dalam menghindari atau mengurangi resiko lingkungan yang mungkin terjadi.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah digunakannya instrumen kebijakan asuransi lingkungan untuk menghindari atau mengurangi resiko lingkungan kegiatan pertambangan emas dalam menunjang pengelolaan pertambangan berkelanjutan. Dari sisi hasil, dicoba dihitung nilai premi asuransi lingkungan sehingga secara ekonomi layak untuk diterapkan.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kegiatan pembangunan membutuhkan dukungan sumberdaya alam (SDA) sebagai modal pembangunan selain sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya ilmu dan teknologi yang dikuasainya. Sumberdaya alam merupakan bagian dari lingkungan alam (tanah, air, hutan, mineral, dan sebagainya) yang dapat digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Owen, 1980). Sumberdaya alam secara umum terdiri dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (exhaustible resources atau stock resources) dan kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources atau flow resources). Stock resources diartikan sebagai SDA yang tersedia dalam jumlah dan kualitas yang tetap pada tempat dan waktu tertentu, sedangkan flow resources merupakan SDA yang selalu berubah jumlahnya (Owen, 1980; Ramdan

et.al,2003).

Sumberdaya alam secara ekonomi merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup. Adapun ditinjau dari sudut ekologi, SDA merupakan komponen ekosistem (biotik dan abiotik) yang berperan sebagai sistem pendukung kehidupan (life support system) manusia dan makhluk hidup lainnya. Berbagai SDA di dalam ekosistem saling berinteraksi satu sama lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu SDA akan menyebabkan terjadinya perubahan pada SDA lainnya. Keberadaan SDA di dalam perspektif ekonomi dan lingkungan (ekologis) saling berkaitan. Keberadaan SDA secara ekologis terutama berkaitan dengan fungsi konservasinya dalam menjaga keberlanjutan ekosistem, sedangkan secara ekonomi berkaitan dengan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi manusia. Keterkaitan sistem ekonomi dan ekologis dari SDA disajikan pada Gambar 3.


(35)

SISTEM EKONOMI

PERUSAHAAN RUMAH TANGGA Konsumsi Produksi

Output

Input

LIFE SUPPORT SYSTEM ALAMI

Tanah, Air, Udara, Flora, Fauna, Mikroorganisme, Mineral, Amenitas Assets

Limbah

Bahan Baku Matahari

Gambar 3. Hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan (Tietenberg, 1994)

Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi, yaitu: (1) konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan sumberdaya alam hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; (2) ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli; (3) kegiatan konservasi dan ekonomi, keduanya bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; (4) dengan pengetahuan konservasi, maka manusia akan lebih mampu memahami kompleksitas ekosistem alami sehingga menyadari, bahwa sumberdaya alam perlu dikelola secara hati-hati dan dengan hati nurani agar tetap lestari meskipun sumberdaya alam tersebut dimanfaatkan secara terus menerus; serta (5) dengan pengetahuan ekonomi, manusia akan mampu menentukan pilihan-pilihan aktifitas ekonomi yang paling rasional dalam menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan


(36)

secara berkelanjutan. Berdasarkan kelima prinsip tersebut, konservasi SDA memiliki peranan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi masyarakat sekaligus mempertahankan sistem penyangga kehidupan.

Pengelolaan sumberdaya alam berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pada hukum thermodinamika I dan hukum thermodinamika II. Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan sumberdaya alam tersebut perlu dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karakteristik sumberdaya alam yang bersifat spesifik. Beberapa prinsip dalam pengelolaan SDA adalah sebagai berikut (Owen,1980):

1. Tanggung jawab pribadi; tanggung jawab seorang warga negara ditandai dengan rasa tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesama manusia, dan SDA.

2. Peranan pemerintah; pemerintah (government) sebagai regulator dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menciptakan suatu sistem yang dapat menjamin pemanfaatan SDA secara tepat.

3. Penggunaan ganda suatu sumberdaya; ketersediaan SDA umumnya terbatas, untuk meningkatkan manfaat SDA dan menghindari konflik kepentingan, maka sedapat mungkin SDA dipergunakan secara ganda.

4. Inventarisasi dan proyeksi penggunaan sumberdaya; inventarisasi yang menyeluruh dan proyeksi penggunaan SDA dapat memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaannya.

5. Hubungan pertautan antar sumberdaya; antara SDA yang satu dengan SDA alam yang lain terjalin suatu keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan perubahan terhadap SDA lainnya.


(37)

Untuk menjamin adanya sumberdaya alam bagi pembangunan yang berkelanjutan, perlu diambil langkah-langkah strategis sebagai berikut (Suparmoko, 1995):

1. Meneliti kondisi serta masalah yang berkaitan dengan sumberdaya alam termasuk tingkat eksploitasi dan penggunaannya, kemudian memperkirakan kecenderungan dalam jangka panjang, dan menentukan tingkat jaminan tersedianya sumberdaya alam itu bagi pembangunan dalam jangka panjang dengan cara menciptakan kembali maupun meningkatkan ketersediaannya.

2. Mengubah teori dan praktek pemberian nilai terhadap setiap barang yang ada. Pemberian nilai yang tinggi terhadap hasil produksi akhir, dan nilai yang rendah terhadap bahan mentah, serta tanpa nilai bagi sumberdaya alam, harus segera diganti dengan cara memberi nilai yang tepat pada sumberdaya alam.

3. Membuat studi mengenai neraca sumberdaya alam dan aplikasinya dalam sistem neraca nasional, sehingga akan memperbaiki sistem neraca nasional yang hanya mencatat kenaikan produksi tanpa melihat berkurangnya atau bertambahnya persediaan sumberdaya alam.

4. Memperjelas hak pemilikan sumberdaya alam (property rights of natural resource) untuk menghindari pemborosan penggunaan sumberdaya alam dengan mempertimbangkan kondisi masa kini dan masa datang. 5. Mengadakan studi mengenai perlindungan sumberdaya alam dan

lingkungan dengan cara memanfaatkan sumberdaya alam secara rasional, sebab rusaknya lingkungan dan ekologi adalah akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang tidak bertanggungjawab.

6. Membuat studi mengenai bagaimana melindungi, mengembangkan, menyimpan serta memperbanyak persediaan sumberdaya alam melalui investasi sosial, seperti pendidikan dan latihan.

Untuk mengelola SDA agar secara ekonomi dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan diperlukan pemikiran dan tindakan yang arif, yaitu yang didasarkan pada karakteristik SDA dengan memperhatikan kaidah ekologi Dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah,


(38)

langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengenali potensi SDA-nya dan memproyeksikan penggunaan SDA tersebut seoptimal mungkin. Untuk ini diperlukan peran pemerintah dan partisipasi seluruh stakeholder yang didasari oleh tanggung jawab pribadi (self responsibility) yang tinggi (Ramdan et.al, 2003).

2.2. Pertambangan Berkelanjutan

Pertambangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Pertambangan dalam arti yang lebih luas termasuk tambang minyak, gas alam dan bahkan tambang air tanah. Kegiatan tambang merupakan usaha mengambil mineral berharga atau mineral berharga atau material geologi lainnya dari dalam bumi, diantaranya adalah bauksit, batu bara, tembaga, emas, perak, berlian, besi, timah, batu berharga, nikel, fosfat, uranium dan molybdenum (Wikipedia, 2010). Material yang tidak dapat dihasilkan dari proses agrikultural atau diciptakan secara artifisial dalam laboratorium atau pabrik, biasanya adalah hasil tambang. Wilayah Indonesia dikenal memiliki potensi tambang yang besar di dunia. Data pada akhir 2008 menunjukkan bahwa sumber daya batubara mencapai 104.760 juta ton, emas sebesar 4.250 ton, tembaga sebesar 68.960 ribu ton, timah sebesar 650.135 ton dan nikel sebesar 1.878 juta ton (ESDM, 2009).

Sektor pertambangan pun tetap menjadi primadona ekonomi nasional karena memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Penerimaan negara pada tahun 2009 tidak kurang dari Rp51 triliun telah disumbangkan sebagai penerimaan negara langsung dari subsektor pertambangan umum, yang terdiri atas penerimaan negara bukan pajak lebih kurang Rp15 triliun, dan sisanya merupakan


(39)

penerimaan negara pajak. Kontribusi kedua, tentang investasi, dimana selama tahun 2009, investasi pertambangan mencapai US$1,8 miliar atau naik sebesar 9,5% dari angka tahun sebelumnya sebesar US$1,6 miliar (ESDM, 2009).

Kegiatan pertambangan telah berjalan sejak lama dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Urusan pertambangan diambil alih dari komunitas dan organisasi kekuasaan lokal dilakukan untuk pertama kalinya oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1850 dengan dikeluarkannya Mijn Reglement 1850 (Maemunah, 2007). Instrumen hukum tersebut digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih, mengatur dan memanfaatkan bahan mineral bagi kepentingan ekonomi mereka. Atas dasar aturan hukum tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda berhak memberikan konsesi kepada pihak swasta. Pada tahun 1899 dikeluarkan Mijnwet 1899 yang dibuat Staten Generaal dengan Pemerintah di negeri Belanda. Mijwet 1899 ini lebih memperkuat posisi negara sebagai sentral pengurusan pertambangan di wilayah jajahannya terutama adanya aturan bagi siapapun yang akan menambang harus mendapatkan ijin pemerintah melalui pemberian konsesi (Maemunah, 2007). Aturan pengurusan pertambangan umum tersebut tidak berubah selama 61 tahun sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengusahaan pertambangan makin marak seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang memberikan peluang bagi investor asing menanamkan modalnya di berbagai bidang kecuali investasi di bidang pelabuhan-pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, dan mass media. Atas dasar undang-undang tentang PMA tersebut maka kegiatan investasi di sektor


(40)

pertambangan berkembang pesat, termasuk penandatanganan Kontrak Karya generasi pertama dengan PT Freeport Indonesia tahun 1967.

Kegiatan usaha pertambangan memiliki beberapa karakteristik, yaitu

non-renewable (tidak dapat diperbarui), mempunyai resiko relatif lebih tinggi, dan pengusahaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun sosial yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi ekonomi lain pada umumnya. Akibat dari karakteristiknya yang tidak dapat diperbaharui maka pengusaha pertambangan selalu mencari

proven reserves (cadangan terbukti) baru. Cadangan terbukti berkurang dengan produksi dan bertambah dengan adanya penemuan (Poerwanto, 2007; Simanjuntak, 2007). Lebih lanjut Poerwanto (2007) menyatakan bahwa ada beberapa macam risiko di bidang pertambangan yaitu resiko geologi (eksplorasi) yang berhubungan dengan ketidakpastian penemuan cadangan (produksi), resiko teknologi yang berhubungan dengan ketidakpastian biaya, resiko pasar yang berhubungan dengan perubahan harga, dan resiko kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan perubahan pajak dan harga domestik. Resiko-resiko tersebut berhubungan dengan besaran-besaran yang mempengaruhi keuntungan usaha yaitu produksi, harga, biaya dan pajak. Usaha yang mempunyai risiko lebih tinggi menuntut pengembalian keuntungan (rate of return) yang lebih tinggi. EPA (1995) menyebutkan bahwa frekuensi terjadinya dampak lingkungan akibat pertambangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Frekuensi Terjadi Dampak Lingkungan Akibat Pertambangan

Jenis Dampak Persen Kejadian (%)

Pencemaran air permukaan 70

Pencemaran air tanah 65

Pencemaran tanah 50

Kesehatan manusia 35

Kerusakan flora dan fauna 25

Pencemaran udara 20

Sumber : EPA (1995)

Kegiatan pertambangan emas memiliki sejumlah dampak penting bagi lingkungan. Rencana kegiatan penambangan dan pengolahan bijih


(41)

emas yang berkaitan langsung dengan dampak yang ditimbulkannya terdiri dari kegiatan-kegiatan tahan pra-konstruksi, operasi,produksi dan pasca tambang adalah sebagai berikut (PT Napal Umbar Picung, 1996) : A. Tahap Pra-konstruksi

1. Pembebasan lahan; 2. Eksplorasi :

i. Pembebasan lahan; ii. Eksplorasi cadangan 3. Penerimaan tenaga kerja B. Tahap Konstruksi

Dalam tahap konstruksi ini kegiatan yang akan dilakukan adalah : 1. Penebasan vegetasi dan pengupasan tanah penutup

i. Penebasan vegetasi

ii. Pengupasan tanah penutup

2. Pembangunan sarana dan prasarana persiapan penambangan i. Penggalian dan penimbunan limbah tambang

ii. Pembangunan lubang masuk yang melingkar dan cross cut

iii. Pembangunan lubang ventilasi Pembangunan lubang penggalian 3. Pembangunan emplasemen serta sarana dan prasarana penunjang

i. Pembangunan pabrik pengolahan ii. Pembangunan kolam limbah pabrik

iii. Pembangunan sarana dan prasana seperti jalan , bengkel, pembangkit listrik, perumahan karyawan, dan sebagainya

C. Tahap Operasi/Produksi

ï‚· Penambangan

Sistem penambangan yang diterapkan adalah tambang dalam dengan metode potong dan diisi yang dikembangkan menjadi metode Avoca dan jenjang dan diisi. Penambangan dimulai dari level dua dengan ketinggian 1.071,25 m dpl sebagai pintu masuk. Penambangan dilanjutkan ke level sepuluh dengan ketinggian 951,25m dpl hingga mencapai ingkapan tubuh batuan yang mengandung bijih dan tersingkap di permukaan tanah pada


(42)

ketinggian 1.100 m dpl. Pada sistem penambangan tersebut dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Peledakan,

2. Penggalian dan pengangkutan bijih maupun limbah tambang 3. Penirisan tambang.

ï‚· Pengolahan meliputi kegiatan-kegiatan 1. Pemecahan dan penghancuran bijih

2. Pelarutan dan pembuangan limbah pabrik meliputi 3. Peleburan dan pengoperasian gold

ï‚· Reklamasi lahan D. Tahap Pasca Tambang

Tahap pasca tambang akan meliputi : 1. Pemutusan Hubungan Kerja

2. Reklamasi Lahan

i. Reklamasi daerah yang dibuka

ii. Rehabilitasi lubang bekas tambang dalam dan daerah kola limbah pabrik

Komponen lingkungan yang langsung terkena dampak, didasarkan pada isu utama yang berkaitan dengan adanya rencana kegiatan penambangan dan pengolahan bijih emas. Dampak lingkungan rencana penambangan dan pengolahan bijih emas ditampilkan pada Tabel 2.

Potensi dampak dan resiko lingkungan pertambangan emas yang relatif tinggi pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat menuntut diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan pertambangan berkelanjutan. International Council on Mining and Metals

(2003) telah menyusun sepuluh prinsip pengelolaan pertambangan berkelanjutan (sustainable mining management) sebagai berikut :

1. Mengimpelemtasikan dan menjaga praktek bisnis yang beretika dan tata kelola perusahaan yang baik (implement and maintain ethical business practices and sound systems of corporate governance);


(43)

Tabel 2. Dampak Penting Kegiatan Penambangan (PT. NUP, 1996)

Komponen kegiatan Operasi/produksi Komponen lingkungan

Pra

konstruksi Konstruksi Penambangan Pengolahan

Pasca tambang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 A. Fisik Kimia

Udara

Iklim mikro - - - x - - - x Kualitas udara - - - x - - x x - - x - - - - 2. Bentang alam

Morfologi - x - x - X - x - - x - x - x 3. Tanah

Erosi tanah - x - x x X - - - x - x Kesuburan tanah - x - x x X - - - x - x 4. Hidrologi

Pola aliran permukaan

- - - x x X - - - x - x Debit air - - - x - - - x - - x - - - - 5. Kualitas air

Air pemukaan - - - x x X - x x - x x x - x Air tanah - - - x - - - - B. Biologi

1. Biologi darat a. Flora darat

Tipe vegetasi x x - x x X x- - - - x x x x x Keragaman x x - x x X - - - - x x x x x b. Fauna darat

Jumlah jenis x x - x x X x x - - x x x x x Habitat x x - x x X - - - - x x x x x 2. Biota perairan

Kelimpahan - - - x x X - x x - x x x - x Keragaman - - - x x X x x x x x x x x x C. Sosial Ekonomi

Budaya

Peluang kerja - x x x x X x - x x x x x x x Peluang ekonomi - - - x x X - x - - - - x x x Persepsimasyarakat x x x x - X - - - - x - x - x Migrasi x - x x - X - - - x - Tataguna lahan x - - - x - - - x Kesehatan

masyarakat

- - - x - - - x - - - -

Keterangan : - tidak ada dampak x ada dampak

1. pembebasan lahan 2. eksplorasi

3. penerimaan tenaga kerja

4. penebasan vegetasi dan pengupasan tanah tertutup

5. pembangunan sarana dan prasarana persiapan penambangan

6. pembangunan emplasemen dan sarana penunjang

7. peledakan

8. penggalian dan pengangkutan bijih 9. penirisan tambang

10. pemecahan dan penghancuran bijih

11. pelarutan dan pembuangan limbah pabrik 12. peleburan dan pengoooperasian goldroom 13. reklamasi lahan tahap operasi/produksi 14. pemutusan hubungan kerja


(44)

2. Mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan pembangunan berkelanjutan di dalam proses pengambilan keputusan perusahaan (integrate sustainable development considerations within the corporate decision-making process);

3. Menegakkan hak asasi manusia dan menghormati budaya, adat budaya dan nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerja dan pihak lainnya yang dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan (uphold fundamental human rights and respect cultures, customs and values in dealings with employees and others who are affected by our activities);

4. Menerapkan strategi manajemen resiko berdasarkan data yang valid dan ilmiah (implement risk management strategies based on valid data and sound science);

5. Terus meningkatkan kinerja kesehatan dan keselamatan (seek continual improvement of our health and safety performance);

6. Terus meningkatkan kinerja lingkungan (seek continual improvement of our environmental performance);

7. Berkontribusi terhadap konservasi biodiversitas dan pendekatan kegiatan yang terpadu dengan perencanaan tata ruang (contribute to conservation of biodiversity and integrated approaches to land use planning);

8. Memfasilitasi dan mendorong desain produksi, penggunaan, penggunaan kembali, daur ulang, dan pembuangan produk yang dihasilkan secara bertanggung-jawab (facilitate and encourage responsible product design, use, re-use, recycling and disposal of our products);

9. Berkontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat di lokasi operasi (contribute to the social, economic and institutional development of the communities in which we operate);

10. Mengimplementasikan keterlibatan secara efektif dan transparan, pengaturan dan pelaporan independen dengan para pemangku


(45)

kepentingan (implement effective and transparent engagement, communication and independently verified reporting arrangements with our stakeholders).

Salah satu prinsip dalam pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan sebagaimana tersebut sebelumnya adalah diterapkannya strategi manajemen resiko.) Resiko merupakan suatu ketidakpastian dari suatu peristiwa yang menciptakan kerugian sehingga menimbulkan rasa tidak aman Hartono (2001).

2.3. Resiko dan Asuransi Lingkungan

Resiko merupakan hal yang melekat pada setiap aktifitas manusia, baik secara personal maupun profesional, misalnya resiko kehilangan kehidupan, cedera, kesehatan, atau kepemilikan yang terkait dengan kejadian yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty), seperti terjadinya kehilangan kehidupan akibat bencana alam, kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup, dan sebagainya (Richardson, 2002; Hartono, 2001). Resiko yang terjadi bersifat negatif dan menimbulkan kerugian termasuk di dalamnya kerugian ekonomi, sehingga resiko harus dapat dihindari atau dikurangi. Upaya menghindari resiko dapat dilakukan secara sendiri atau melimpahkan resiko tersebut kepada pihak-pihak lain di luar individu, perusahaan atau institusi yang berhadapan dengan resiko (Hartono, 2001). Resiko yang besar tidak mungkin dapat ditangani sendiri, karena apabila terjadi resiko yang menimbulkan kerugian keuangan besar kelangsungan usahanya terganggu. Penggunaan teknologi dalam pengelolaan SDA yang makin kompleks meningkatkan resiko yang terjadi, sehingga bagi perusahaan pertambangan yang tergolong industri menengah dan besar akan lebih ekonomis apabila resiko yang mungkin terjadi dilimpahkan atau diambil alih oleh lembaga yang secara khusus menangani resiko (Boyer dan Porrini, 2008; Hartono, 2001; Freeman dan Kunreuther,1997).


(46)

Lembaga yang khusus dikembangkan untuk menangani resiko yang terjadi akibat suatu peristiwa dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) adalah asuransi (insurance). Asuransi secara prinsip merupakan upaya mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya kepada pihak lain yang bersedia mengambil resiko untuk mengganti kerugian sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Pasal 246 Undang-Undang Hukum Dagang memberikan batasan asuransi atau pertanggungan sebagai suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karenanya suatu peristiwa yang tidak tertentu. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa

asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Hartono (2001) menyebutkan bahwa fungsi dasar asuransi adalah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian khusus untuk kerugian-kerugian murni dan bukan kerugian yang bersifat spekulatif. Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya. Macam-macam usaha asuransi : (a).Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; (b).Usaha


(47)

asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan, dan (c). Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Dari pengertian tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa : (a) asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih; (b) pihak penanggung menerima sejumlah premi yang telah ditetapkan dalam polis; dan (c) pihak tertanggung akan menerima suatu ganti rugi atas kejadian yang menimpa objek asuransi dari penanggung. Dalam pelaksanaan operasinya, perusahaan asuransi terdiri dari tiga jenis bidang usaha pertanggungan, yaitu: usaha Asuransi Kerugian (non life insurance), Asuransi Jiwa (life insurance), dan Reasuransi (reinsurance). Asuransi lingkungan termasuk dalam asuransi kerugian.

Resiko lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan (emas) dapat terjadi tanpa sewaktu-waktu tanpa diramalkan sebelumnya karena kelalaian, kealpaan, atau kesalahan dalam produksi pertambangan. Boyer dan Porrini (2008) menyebutkan bahwa resiko lingkungan memiliki beberapa karakteristik unik, yaitu (a) resiko lingkungan lebih sulit diidentifikasi karena resiko tersebut bisa berasal dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya; serta (b) resiko lingkungan dapat terjadi akibat pencemaran bahan berbahaya dan beracun walaupun dalam jumlah kecil sehingga sulit diukur dan dideteksi. Asuransi lingkungan mengkonsentrasikan pada alat dan proses untuk menjamin perlindungan dari lingkungan alam. Banyak kegiatan yang membahayakan lingkungan, seperti fasilitas pengolahan limbah berbahaya, pabrik kimia dan farmasi, fasilitas pabrik, fasilitas penyimpanan bahan kimua dan minyak, laboratorium penelitian, pembangkit tenaga listrik fosil dan nuklir, serta fasilitas transportasi (Shangraw et.al., 2003). Dampak primer dari resiko lingkungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam skala kecil telah dipahami, namun dampaknya dalam skala besar belum dipahami dengan baik.


(48)

Dalam jangka waktu yang lebih lama dampak terhadap air tanah yang tercemar, udara, dan air, juga dampak sosial ekonominya tidak terdokumentasi dan terkuantifikasi secara baik. Konsekuensi jangka panjang dari dampak skala besar tersebut sangat merusak ekosistem dan ekonomi lokal dari periode waktu yang tertentu. Perangkat dan teknik asuransi lingkungan saat ini belum banyak diketahui dan tersedia dengan baik. Di Amerika Serikat penelitian tentang dampak lingkungan saat ini terfokus pada keluaran dari kecelakaan, sedangkan kejadian yang sifatnya non accidential belum dipertimbangkan (Shangraw et.al., 2003). Tipe dampak lingkungan yang dievaluasi oleh asuransi lingkungan meliputi : (a) Dampak yang bersifat Segera (immediate impacts), seperti kehilangan kehidupan dan kerusakan property secara cepat akibat kejadian luar biasa; (b) Dampak yang bersifat Pertengahan (intermediate impacts) yang menjadi fokus utama dari asuransi lingkungan, termasuk dampak terhadap kesehatan manusia, degradasi ekosistem, kehilangan nilai ekonomi dari SDA, dan hilangnya nilai rekreasi; dan (c) Dampak yang bersifat Jangka Panjang (long-term impacts), seperti pemanasan global, deplesi lapisan ozone, tidak dievaluasi dalam asuransi lingkungan. Lebih lanjut Shangraw et.al. (2003) menegaskan bahwa resiko lingkungan yang terjadi dan menjadi lingkup dalam pengembangan asuransi lingkungan adalah intermediate impacts.

Bagi kebanyakan negara berkembang, kerugian yang berhubungan dengan bencana alam melebihi kemampuan mereka untuk menanggung biaya ini (Ferranti dan Perry, 2000). Bencana akibat Badai Hurricane Mitch menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung di Honduras sama dengan $6 milyar, atau sama dengan produk domestik bruto selama satu tahun. Dengan populasi 6.2 juta dan 53% dari populasi hidup di bawah garis kemiskinan, biaya sebesar $1000 per orang melebihi kemampuan pemerintah untuk menanggungnya dengan menggantinya melalui perpajakan. Penggantian kerugian ini disediakan dalam bentuk dana ataupun pinjaman oleh pemerintah negara berkembang melalui institusi keuangan internasional seperti World Bank, bank pembangunaan


(49)

regional dan agen PBB. Adanya keterbatasan pemerintah berkaitan dengan terjadinya resiko lingkungan, maka instrumen asuransi lingkungan dapat menjadi solusi untuk meminimalkan resiko yang terjadi sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan. Upaya menerapkan asuransi lingkungan pernah diinisiasi oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Dewan Asuransi Lingkungan Indonesia pada tahun 1994 (Bapedal, 1994). Berikut ini ditampilkan fase-fase dalam pengembangan instrumen asuransi lingkungan menurut Shangraw et.al. (2003). Fase-fase dalam pengembangan asuransi lingkungan :

1. Fase Pertama : Prioritisasi dan Penilaian Target. Beberapa hal yang terkait dengan fase pertama ini adalah :

a. Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan target dan dampak potensial. Dalam tahapan ini diidentifikasi target yang akan dianalisis, misalnya kegiatan pertambangan, fasilitas pabrik, fasilitas transportasi, dan sebagainya. Untuk mengklasifikasikan target, data yang akan dianalisis meliputi : (a) jumlah dn lokasi fasilitas target; dan (b) kuantitas, toksisitas, dan mobilitas dari bahan-bahan dan praktek yang digunakan dan diprakirakan membahayakan dalam penggunaannya. b. Memprioritaskan area yang mengalami diprakirakan memiliki dampak

paling besar. Dalam hal ini makin tinggi konsekuensi dari suatu kejadian maka makin tinggi peluang terjadinya dampak. Konsekuensi yang terjadi ditentukan oleh toksisitas bahan pencemar, bentuk dispersi (penyebaran)yang mungkin, mobilitas bahan pencemar yang dilepaskan, dan potensial penerima dampak. Dengan mengestimasi konsekuensi dari pelepasan bahan dan nilai toksisitas bahan tersebut, fasilitas dan keluaran dapat diperingkat untuk mengilustrasikan jumlah dan keragaman target serta cakupan dan besaran keluaran yang terjadi. Target dan keluaran yang berkaitan dapat diprioritaskan untuk areal yang berdampak besar.

c. Menilai area yang terkena dampak besar untuk mengidentifikasi skenario yang masuk akal (plausible) dan untuk memahami konsekuensi primer dan sekunder secara lebih baik. Setelah penilaian


(50)

data pada target yang mungkin dan konsekuensi dampak potensialnya, maka bagian akhir dari fase ini adalah memilih skenario-skenario yang dapat dimodelkan lebih lanjut.

2. Fase Kedua : Penggunaan Perencanaan Skenario (Scenario Planning Exercise). Setelah fase pertama selesai, skenario-skenario individu dibangun untuk menguji perilaku dampak dalam skala besar dan responnya. Tujuan dari exercises ini untuk mempelajari dinamika dari bencana lingkungan yang mungkin terjadi, sehingga strategu mitigasi yang efektif dan rencana tanggap darurat (emergency plans) dapat dibangun oleh analisis. Dalam hal ini pemodelan dinamik diperlukan untuk melihat perilaku sistem tersebut. Penggunaan model dinamik digunakan untuk memodelkan mekanisme terjadinya pengeluaran bahan-bahan pencemar dan dampak lingkungan yang dihasilkan, sehingga dalam tahapan selanjutnya dapat menilai kerentanan lingkungan. Beberapa hal yang dilakukan dalam fase kedua ini adalah : a. Membangun model simulasi untuk perencanaan dengan

menggunakan model dinamik.

b. Mengevaluasi strategi mitigasi untuk skenario yang terpilih. c. Merekomendasikan strategi mitigasi.

Berdasarkan kedua fase tersebut, maka jaminan asuransi lingkungan dapat dikembangkan, terutama yang menyangkut pencegahan, persiapan, dan respon apabila terjadi resiko lingkungan akibat pemanfaatan SDA. Asuransi lingkungan bertujuan untuk meminimalkan ancaman terhadap kehidupan manusia, melindungi sumberdaya alam, dan menjamin keseimbangan dalam ekosistem. Tahapan asuransi lingkungan terkait dengan mitigasi resiko lingkungan ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa tidak semua resiko lingkungan dapat ditangani oleh asuransi, hanya jenis-jenis resiko lingkungan yang disepakati antara perusahaan asuransi dan peserta asuransi yang ditanggung oleh oleh asuransi. Resiko lingkungan yang menjadi target pertanggungan berikut wilayah dampaknya yang dievaluasi dan dinilai sebagai masukan dalam mendesain model pertanggungan


(51)

resiko dan upaya-upaya mitigasi untuk menghindari resiko lingkungan yang berpeluang terjadi.

Gambar 4. Metodologi Asuransi Lingkungan (Shangraw et.al., 2003)

Pengembangan asuransi lingkungan di Indonesia pernah diinisiasi oleh Bapedal dan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) tahun 1994 (Bapedal, 1994). Di dalam dokumen kerangka kerjasama tersebut, pengembangan asuransi lingkungan dilatarbelakangi oleh beberapa penataan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengendalian dampak lingkungan seperti (a) hasil Konvensi Rio de Janeiro 1992 tentang Agenda


(52)

21 yang memuat penerapan prinsip strict liability bagi pencemar dan perusak lingkungan, serta upaya untuk membentuk environmental liability trust fund bagi penerapan Polluter Pays Principle; dan (b) konvensi

Maritim Pollution tahun 1987 yang menerapkan Jasa Asuransi Lingkungan sebagai sumber dan pengelola environmental liability trust fund (Bapedal, 1994). Lebih lanjut Bapedal (1994) menyebutkan bahwa tiga tujuan pokok dalam upaya pembentukan, pembinaan, dan pengembangan kelembagaan jasa asuransi lingkungan adalah sebagai berikut:

a. Membentuk environmental liability trust fund melalui manajemen dan mekanisme asuransi, sehingga penerapan prinsip pencemaran menbayar dan tanggung jawab mutlak dapat ditaati oleh masyarakat; b. Membentuk perangkat pengawasan dan jaringan pemantauan

lingkungan, melalui proses kerja para petugas asuransi lingkungan; c. Terselenggaranya jaringan komunikasi dan informasi lingkungan dalam

rangka penataan lingkunga, sehingga melalui proses kerja lembaga asuransi lingkungan dapat dibina dan disususn sistem peringatan dini dan sistem tanggap darurat dalam pengendalian lingkungan.

Faktor-faktor yang harus dipenuhi dalam proses pengalihan jaminan pertanggungan resiko lingkungan yaitu (Sudarsono, 1998) :

a. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan (expose liability units) harus diketahui dalam jumlah yang cukup besar dan relatif memiliki sifat yang sama (homogenous) dalam sistem pengelolaannya;

b. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan merupakan resiko yang dapat timbul atas kejadian tertentu yang tidak disengaja dan atau terjadi karena suatu musibah (accidental risk) yang tidak dapat diduga sebelumnya;

c. Nilai resiko yang dipertanggungkan dapat ditentukan jumlahnya (quantity aspects) maupun bentuknya melalui kerja dalam mekanisme jasa pertanggungan secara obyektif;


(53)

d. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan tidak terlalu besar dan tidak bersifat meluas (catastrophic risk), sehingga nilai premi maupun pertanggungannya dapat ditetapkan secara ekonomis; e. Pengalihan pertanggunagan resiko lingkungan (transfer of

environmental risk liability) dilakukan secara obyektif dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan sosial berdasarkan asas subrogasi yang tidak harus menunggu keputusan proses peradilan hukumnya; serta

f. Jaminan pertanggungab atas resiko lingkungan yang disebabkan dari suatu peristiwa bencana alam dilakukan melalui mekanisme asuransi dalam bentuk penyertaan wajib (compulsory insurance). Nilai besaran pertanggungan atas setiap resiko lingkungan dihitung dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Sudarsono, 1998):

a. Memasukan berbagai kemungkinan terjadinya resiko lingkungan (probability risk acceptables);

b. Memperhatikan kondisi morak (moral hazrd) dari berbagai pihak yang terkait;

c. Mewaspadai berbagai kemungkinan kerugian yang sulit untuk diperhitungkanl

d. Mengadopsi berbagai ketidakpastian yang ditimbulkan oleh siklus ekologi alam dan aktifitas manusia.


(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan selama 8 (delapan) bulan, mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan April 2009. Kawasan pertambangan emas yang dijadikan lokasi penelitian berada di Pekon Sidoharjo Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

3.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu : (a) Menganalisis nilai resiko lingkungan akibat kegiatan pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung; (b) Menganalisis kebijakan yang terkait dengan penerapan asuransi lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan dalam mengendalikan kegiatan pertambangan emas; (c) Menganalisis peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengembangan kebijakan asuransi lingkungan untuk pertambangan emas di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung; serta (d) Menentukan alternatif kebijakan asuransi lingkungan dalam pengendalian pertambangan emas.

3.2.1. Analisis Nilai Resiko Lingkungan Pertambangan Emas 3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan adalah data kualitas air sungai yang berasal dari lokasi penambangan, data nilai manfaat lingkungan yang terganggu, serta data nilai gangguan kesehatan masyarakat sekitar lokasi penambangan. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terstruktur yang disertai dengan pengisian kuesioner oleh responden. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di sekitar lokasi


(55)

pertambangan dan langsung terkena dampak dari kegiatan penambangan yang dilakukan. Jumlah responden adalah 30 (tiga puluh) orang dengan pertimbangan bahwa karakteristik responden yang relatif homogen dengan populasi relatif kecil (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data sekunder yang diperlukan berupa data kependudukan sekitar lokasi penambangan dan peta wilayah pertambangan. Sumber data sekunder berasal dari perusahaan pertambangan serta data potensi desa tahun 2008 Badan Pusat Statistik (BPS).

3.2.1.2.Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini difokuskan pada parameter kualitas air, nilai manfaat jasa lingkungan yang terganggu akibat penambangan, serta biaya kesehatan masyarakat akibat terganggunya lingkungan. Selain itu dalam penelitian ini dikaji pula tentang estimasi nilai premi yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan berdasarkan pendekatan kerugian harapan, jumlah tertanggung dan peluang terjadinya resiko lingkungan akibat pertambangan emas.

3.2.1.3.Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis kualitas air sungai untuk menentukan tingkat pencemaran sungai akibat kegiatan pertambangan emas, melakukan estimasi nilai resiko lingkungan akibat pertambangan emas, dan mengestimasi nilai premi berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan. 3.2.2. Analisis Kebijakan Asuransi Lingkungan

3.2.2.1.Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan asuransi lingkungan dan kegiatan pertambangan emas. Sumber data sekunder berasal dari instansi/lembaga yang memiliki kaitan dengan upaya pengembangan asuransi lingkungan, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(1)

Lampiran 14. Hasil Analisis HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Resiko Terhadap Fokus Resiko Lingkungan Pertambangan Emas

Resiko Bobot

Pencemaran Air 0.360

Gangguan Kesehatan 0.413

Kerusakan Bentang Lahan 0.106

Kerusakan Vegetasi dan Habitat Satwa 0.120

0,360

0,413

0,106

0,120

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

0,300

0,350

0,400

0,450

Pencemaran Air Gangguan Kesehatan Kerusakan Bentang Lahan

Kerusakan Vegetasi dan Habitat Satwa RESIKO B O B O T


(2)

Lampiran 15. Hasil Analisis HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Kebijakan Terhadap Setiap Resiko

Kebijakan Bobot

Penerapan Kebijakan Command

and Control 0.336

Penerapan Instrumen Ekonomi

Lingkungan 0.664 0,336 0,664 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 Penerapan Kebijakan Command and Control

Penerapan Instrumen Ekonomi Lingkungan KEBIJAKAN B O B O T


(3)

Lampiran 16. Hasil Analisis HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Alternatif Terhadap Kebijakan Penerapan Instrumen Ekonomi Lingkungan 0.258 0.105 0.637 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Internalisasi Biaya Dampak Lingkungan

Dana Jaminan Reklamasi Lingkungan Tambang Asuransi Lingkungan B O B O T TUJUAN


(4)

(5)

(6)