Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

40

4.1.8. Peningkatan konsentrasi oksigen O

2 dan nitrat NO 3 -N dengan dilakukannya aerasi hipolimnion Pada penelitian ini diharapkan konsentrasi oksigen O 2 dan nitrat NO 3 -N mengalami peningkatan dengan dilakukannya aerasi hipolimnion Tabel 11. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen merupakan parameter yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik karena oksigen tidak hanya dimanfaatkan untuk respirasi, melainkan juga untuk proses perombakan bahan organik. Begitu pula dengan nitrat yang berperan sebagai nutrien bagi proses fotosintesis. Keberadaan nitrat sangat bergantung pada ketersediaan oksigen terlarut karena proses pembentukannya berlangsung aerob. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 11, aerasi selama 5 jam mampu meningkatkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 50. Peningkatan yang lebih besar terjadi ketika aerasi dilakukan selama 10 jam, yaitu sebesar 79,17 . Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama aerasi dilakukan, peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin besar. Peningkatan konsentrasi nitrat di perairan baru terlihat ketika aerasi dilakukan selama 10 jam dan pascaaerasi. Tabel 11. Peningkatan konsentrasi mgl oksigen terlarut dan nitrat Parameter Lama Aerasi Nilai rata-rata sebelum aerasi Nilai rata-rata saat aerasi Peningkatan Oksigen 5 jam 0,10 0,24 58,33 10 jam 0,10 0,48 79,17 Nitrat 5 jam 0,092 0,082 - 10 jam 0,092 0,094 2,10 Pascaaerasi 10 jam 0,094 0,119 21,06

4.2. Pembahasan

Keramba jaring apung KJA di Danau Lido telah ada sejak tahun 1978 Basmi 1991. Aktivitas budidaya ikan dalam KJA diduga telah menyebabkan penurunan kualitas perairan Simarmata 2007. Salah satu indikasi penurunan kualitas perairan adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan tingginya konsentrasi bahan toksik seperti amonia. Penurunan kualitas perairan Danau Lido telah teramati pada penelitian sebelumnya oleh Amalia 2010, yang menunjukkan bahwa kualitas perairan pada lokasi non KJA lebih baik dibanding lokasi KJA. Hal 41 ini dapat dilihat dari konsentrasi oksigen terlarut pada lokasi non KJA yang berkisar antara 5,51-7,94 mgl, sementara pada lokasi KJA berkisar antara 2,06-4,19 mgl. Konsentrasi oksigen terendah berada pada kedalaman kompensasi, namun pada lokasi non KJA konsentrasi oksigen terlarut masih lebih besar dari 3 mgl. Berbeda halnya dengan lokasi KJA, konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan permukaan masih lebih rendah dibanding pada lapisan kompensasi non KJA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen di lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Sebaran oksigen terlarut secara vertikal pada lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion kedalaman 4 m Danau Lido sangat kecil, yaitu 0,1 mgl. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen untuk mendekomposisikan bahan organik yang terakumulasi di lapisan hipolimnion. Sumber utama bahan organik di lokasi KJA berasal dari sisa pakan pelet budidaya yang dibuang setiap hari ke danau. Masukan bahan organik berlangsung terus menerus ke lapisan hipolimnion danau tanpa diimbangi pasokan oksigen terlarut yang memadai. Aktivitas fotosintesis yang menghasilkan oksigen hanya terpusat di lapisan epilimnion yang terdapat cahaya matahari. Pasokan oksigen yang terbatas ini menjadi semakin terbatas dikarenakan pakan ikan yang terbuang ke danau berkontribusi meningkatkan kekeruhan di perairan. Hal ini dapat menyebabkan sinar matahari dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan menjadi terbatas dan berpengaruh pada proses fotosintensis. Ketebalan lapisan oksik di perairan akan berkurang dan transfer oksigen ke lapisan hipolimnion akan semakin kecil. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion mengakibatkan terakumulasinya amonia di perairan. Proses amonifikasi perombakan nitrogen organik menjadi amonia di perairan dapat terjadi dalam kondisi aerob dan anaerob Wielgosz et al. 2010. Dalam kondisi anaerob, amonia yang terbentuk tidak dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga amonia akan terakumulasi di lapisan hipolimnion. Pada lokasi KJA, akumulasi amonia ini akan semakin bertambah dengan adanya amonia yang bersumber dari metabolisme organisme akuatik urine dan feses ikan budidaya Boyd 1989. Berdasarkan hasil penelitian Amalia 2010, 42 konsentrasi amonia di Danau Lido pada lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Konsentrasi amonia pada lokasi KJA berkisar antara 0,354-0,706 mgl, sementara pada lokasi non KJA berkisar antara 0,182-0,235 mgl. Konsentrasi amonia tertinggi berada pada lapisan kompensasi perairan. Sebaran amonia, nitrit, dan nitrat secara vertikal di lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi akumulasi amonia di perairan, salah satunya adalah dengan menerapkan aerasi hipolimnion. Proses aerasi hipolimnion memiliki dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa peningkatan konsentrasi oksigen. Dampak tidak langsung berupa penurunan konsentrasi amonia. Penurunan konsentrasi amonia termasuk ke dalam dampak tidak langsung karena keberadaan amonia di perairan mengikuti dinamika siklus nitrogen yang dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen terlarut. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi selama 10 jam yang dilakukan di lapisan hipolimnion Danau Lido menyebabkan penurunan konsentrasi amonia rata-rata sebesar 34,97. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 61 dan penurunan terkecil terjadi pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 13 Gambar 8. Pengamatan juga dilakukan saat aerasi baru berlangsung selama 5 jam. Penurunan konsentrasi amonia relatif kecil, yaitu sebesar 5,11 dan hanya terjadi pada lokasi dekat outlet aerasi 0 m dan 1,5 m. Penghilangan amonia di lapisan hipolimnion dapat terjadi secara fisika dan biologi. Proses fisika berupa penguapan volatilisasi diharapkan terjadi ketika air dari lapisan hipolimnion mengalami sirkulasi pada talang aerasi. Proses ini optimum pada pH 9 atau lebih Boyd 1998. Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi amonia secara fisika diduga sangat kecil terjadi. Hal ini disebabkan karena pH perairan yang teramati kurang dari 9, yaitu berkisar antara 6,81-7,10. Berdasarkan hasil penelitian Burgess et al. 2003, aerasi mampu menurunkan konsentrasi amonia hingga 80 pada saat pH sebesar 10. Saat pH 4 hingga 8, hanya terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 27 . Penurunan konsentrasi amonia secara biologi merupakan dampak turunan dari peningkatan konsentrasi oksigen terlarut yang diharapkan mampu memicu proses nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi yang dilakukan selama 10 jam mampu 43 meningkatan konsentrasi oksigen terlarut hingga 79,17, yaitu dari 0,1 mgl menjadi 1,0 mgl. Konsentrasi oksigen terlarut hasil aerasi masih tergolong kecil dan belum memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan 3 mgl. Berbeda halnya dengan alat aerasi Limnotek 3.1 yang diujicobakan pada Situ Bojongsari mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga lebih dari 4 mgl hingga 17 m dari titik outlet aerasi Hartoto 1993. Meskipun konsentrasi oksigen terlarut masih relatif kecil, akan tetapi peningkatannya yang lebih besar dari 50 mampu menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga 40,63. Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob di lapisan hipolimnion oleh mikroba dekomposer Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1991. Bahan organik nitrogen akan dirombak menjadi amonia melalui proses amonifikasi. Dalam kondisi aerob oksigen tersedia, proses amonifikasi akan dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hartoto 1995, penurunan kandungan bahan organik akibat aerasi menyebabkan penurunan jumlah bakteri amonifikasi. Hal ini disebabkan karena penurunan kandungan bahan organik yang berperan sebagai substrat bagi bakteri. Sama halnya dengan aerasi yang dilakukan pada air limbah Wielgosz et al. 2010, menunjukkan hasil bahwa jumlah bakteri amonifikasi lebih banyak pada air limbah yang tidak diaerasi. Nitrifikasi merupakan oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh mikroba nitrifikasi Novotny Olem 1994. Peristiwa ini dapat ditunjukkan dengan penurunan proporsi amonia diiringi dengan peningkatan proporsi nitrat. Meskipun pada saat aerasi 10 jam terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 34,97, namun peningkatan konsentrasi nitrat yang terjadi tidaklah besar, yaitu 2,10 dan terjadi lokasi yang dekat dengan outlet aerasi. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa nitrifikasi terjadi tidak seketika. Berdasarkan hasil penelitian Yusoff et al. 2003, amonia mengalami penurunan signifikan disertai dengan peningkatan nitrit dan nitrat setelah aerasi dilakukan selama 14 hari. Aerasi yang dilakukan pada Danau Black menyebabkan penurunan konsentrasi amonia setelah dilakukan aerasi selama 13 hari dan peningkatan konsentrasi nitrat sebesar 58,33 baru terjadi saat aerasi dilakukan selama 2 bulan Ashley 1981. Hal serupa juga terjadi pada aerasi yang dilakukan pada air limbah dengan sistem rawa buatan 44 yang dilengkapi aerasi. Sistem ini dapat menurunkan konsentrasi amonia pada air limbah hingga 93,3. Penurunan konsentrasi amonia diiringi dengan peningkatan konsentrasi nitrat terjadi setelah 13 hari aerasi Jamieson et al. 2003. Aerasi pada limbah domestik perkotaan menyebabkan penurunan konsentrasi amonia sebesar 98 selama 2 bulan aerasi Sotirakou et al. 1999. Peristiwa nitrifikasi tidak dapat terjadi seketika karena kelimpahan mikroba nitrifikasi umumnya lebih rendah dibandingkan mikroba dekomposer. Mikroba nitrifikasi bersifat aerob sedangkan mikroba dekomposer bersifat aerob dan anaerob. Hal ini menyebabkan ketika perairan mendapat pasokan oksigen dari proses aerasi, mikroba dekomposer akan bersaing dengan mikroba nitrifikasi sehingga amonia masih ditemukan dalam jumlah yang besar Rheinhamer 1985 in Sudaryanti 1990. Selain itu, pada tahap awal aerasi sebagian besar amonia dapat lepas ke atmosfer volatilisasi ketika mengalami sirkulasi di talang aerasi. Hanya sebagian kecil yang dikonversi menjadi nitrit dan nitrat Ashley 1981. Kasus yang sama juga ditemukan saat aerasi dilakukan di Danau Amisk dan Waduk Camanche, yaitu terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 58,33 Danau Amisk dan 85,71 Waduk Camanche tanpa disertai dengan peningkatan nitrat. Hal ini disebabkan karena aerasi menyebabkan penurunan kandungan nitrogen organik di lapisan hipolimnion Beutel 2006. Transformasi amonia menjadi nitrat dilalui secara bertahap, diawali dengan proses perubahan amonia menjadi nitrit dan dilanjutkan dengan perubahan nitrit menjadi nitrat. Berdasarkan hasil penelitian ini, aerasi menyebabkan penurunan konsentrasi nitrit hingga 41,86. Nitrit dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil di lapisan hipolimnion disebabkan karena laju oksidasi amonia menjadi nitrit lebih cepat dibanding laju oksidasi nitrit menjadi nitrat Novotny Olem 1994. Selain itu, proses aerasi ternyata mampu mempercepat proses pembentukan nitrit. Aerasi yang dilakukan di Situ Bojongsari dengan alat Limnotek 3.1 Hartoto 1995 menunjukkan bahwa nilai TRF-NO 2 Time Duration Required to Finish Nitrite Formation semakin kecil dengan semakin lamanya waktu aerasi. Setelah aerasi dihentikan, pasokan oksigen terlarut ke lapisan hipolimnion dari proses aerasi terhenti. Hal ini secara langsung menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Penghentian aerasi juga berdampak pada peningkatan 45 konsentrasi COD seperti kondisi awal sebelum aerasi bahkan lebih besar p0,05. Peningkatan COD secara simultan ini menyebabkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi semakin besar. Peningkatan konsentrasi COD bahan organik tanpa disertai peningkatan konsentrasi oksigen terlarut berdampak pada peningkatan konsentrasi amonia karena proses amonifikasi tidak dapat dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Pengamatan pascaaerasi dilakukan bertepatan dengan jadwal petani ikan memberikan pakan pelet pada ikan-ikan budidaya. Tidak semua pakan yang dibuang ke perairan akan dimakan oleh ikan, sebagian besar akan terbuang ke dasar perairan. Selain itu pakan ikan yang terbuang tersebut banyak mengandung nitrogen Ryding Rast 1989. Hal tersebut juga diduga berpotensi menyebabkan peningkatan konsentrasi amonia pascaaerasi dihentikan. Pengamatan yang dilakukan saat 5 jam pascaaerasi menunjukkan bahwa proporsi nitrat dan nitrit menurun signifikan. Nitrogen dominan berada dalam bentuk amonia. Pada saat ini diduga telah terjadi proses denitrifikasi, yaitu proses reduksi secara biologis nitrat NO 3 -N menjadi nitrit NO 2 -N dan amonia NH 3 -N oleh bakteri heterotrof fakultatif yang terjadi saat konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Proses denitrifikasi dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik terus berlanjut saat oksigen terlarut di perairan tidak tersedia Boyd 1998. Bakteri fakultatif akan memperoleh oksigen dengan cara mengambil oksigen yang terikat pada molekul nitrat NO 3 -N. Beberapa jenis bakteri anaerob fakultatif yaitu Psedudomonas, Achromobacter, Escherichia, Bacillus, dan Micrococcus Alexander 1961 in Wetzel 2001. Berdasarkan penelitian Wielgosz et al. 2010, diketahui bahwa pada air limbah yang tidak diaerasi terdapat bakteri denitrifikasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan air limbah yang diaerasi. Peristiwa denitrifikasi ternyata tidak hanya dapat terjadi pada kondisi anoksik. Berdasarkan penelitian Zhang et al. 2011, bakteri Pseudomonas stutzeri YZN-001 mampu melakukan denitrifikasi dan nitrifikasi pada kondisi aerob. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan konsentrasi nitrit dan nitrat disertai dengan penurunan konsentrasi amonia. Pengamatan yang dilakukan saat 10 jam pascaaerasi menunjukkan perubahan proporsi nitrogen di perairan akibat peningkatan konsentrasi nitrat hingga 21,06. Peningkatan konsentrasi nitrat dibarengi dengan penurunan konsentrasi amonia pada 46 lokasi dekat outlet aerasi. Pada saat ini diduga pada lokasi dekat outlet aerasi tengah terjadi proses nitrifikasi. Peningkatan konsentrasi nitrat pada saat ini lebih besar dibanding saat aerasi 10 jam disebabkan karena nitrifikasi pada air mengalir sulit untuk terjadi Tuffey, Hunter, Matulewich 1974 in Novotny Olem 1994. Saat aerasi, air didorong kuat sehingga tidak ada kesempatan bagi bakteri nitrifikasi untuk melakukan proses biologis ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nitrifikasi tidak dapat terjadi seketika. Peristiwa nitrifikasi yang terjadi pada saat ini merupakan dampak turunan dari aerasi yang dilakukan selama 10 jam yang berdampak langsung pada peningkatan konsentrasi oksigen terlarut. Proses nitrifikasi selain membutuhkan oksigen juga tergantung pada keberadaan bakteri nitrifikasi. Waktu yang dibutuhkan untuk generasi bakteri Nitrosomonas sekitar 7-24 jam, sedangkan bakteri Nitrobacter membutuhkan waktu sekitar 10-140 jam Bock et al. 1991 in Strauss 2000. Peningkatan konsentrasi oksigen yang terjadi saat aerasi 10 jam diduga memicu generasi bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter 10 jam kemudian. Selain itu menurut Tuffey, Hunter, Matulewich 1974 in Novotny Olem 1994, proses nitrifikasi pada air mengalir jarang sekali terjadi. Optimalisasi proses nitrifikasi dapat ditingkatkan dengan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dan keberadaan substrat tempat menempel bakteri nitrifikasi yang cenderung senang menempel ke sedimen atau permukaan keras Krenkel Novotny 1980 in Novotny Olem 1994. Meskipun setelah aerasi dihentikan konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan, namun dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa aerasi yang dilakukan di lapisan hipolimnion KJA Danau Lido mampu memperbaiki kualitas perairan dengan penurunan konsentrasi amonia. Sebelum diaerasi, lapisan hipolimnion Danau Lido berada dalam kondisi anoksik dan berpotensi mengalami proses biologis anaerob menyebabkan akumulasi bahan toksik seperti amonia. Konsentrasi amonia pada lapisan bawah perairan yang umumnya lebih besar dibanding lapisan di atasnya dapat membahayakan biota budidaya jika terjadi proses pencampuran sempurna holomictic Pratiwi 2009. Peristiwa ini dapat berpotensi membahayakan jika terjadi di Danau Lido karena water retention time danau waktu tinggal air relatif lama, yaitu 163 hari Tambunan 2010. Dalam kurun waktu 47 tersebut, bahan toksik akan terus terakumulasi di lapisan bawah danau. Pada perairan tropis holomictic dapat terjadi sesudah hujan lebat karena pada saat tersebut suhu di permukaan menjadi lebih rendah dibandingkan suhu dasar perairan. Kondisi tersebut mengakibatkan massa air yang ada di permukaan menjadi lebih berat dan akan turun ke dasar perairan. Massa air yang turun tersebut akan mendesak massa air yang ada di dasar danau untuk naik ke permukaan. Dengan demikian bahan organik dan anorganik serta gas-gas beracun akan terdistribusi ke permukaan perairan dan berdampak buruk bagi ikan budidaya yang dipelihara di KJA. Oleh karena itu, perbaikan kualitas perairan melalui aerasi hipolimnion dapat dijadikan alternatif untuk pencegahan terjadinya dampak negatif akibat proses holomictic di danau. Efektivitas penurunan konsentrasi amonia di lapisan hipolimnion sangat ditentukan oleh kemampuan sistem aerasi dalam meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion serta kemampuannya menyebar dari outlet alat aerasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh volume air hipolimnion yang diaerasi serta konsentrasi oksigen terlarut dari air yang diaerasi sebelum dikembalikan ke kedalaman hipolimnion. Dalam penelitian ini diketahui bahwa aerasi mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut cukup besar di talang aerasi, yaitu 5 mgl. Setelah dikembalikan ke lapisan hipolimnion, air tersebut akan bercampur dengan air danau yang memiliki konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Selain itu, penambahan oksigen ke lapisan hipolimnion memicu terjadinya proses dekomposisi dan nitrifikasi. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut yang teramati di lapisan hipolimnion selama aerasi masih cenderung kecil, yaitu 0,4-1 mgl hingga jarak 3 m dari outlet alat aerasi dan pada jarak 4,5-8 m tidak mengalami peningkatan konsentrasi oksigen terlarut. Pendugaan hubungan antara oksigen terlarut dan amonia menunjukkan bahwa jika ingin mencapai konsentrasi amonia yang memenuhi baku mutu 0,02 mgl, maka konsentrasi oksigen terlarut yang teramati di lapisan hipolimnion harus mencapai 2,7 mgl pada lokasi dekat outlet aerasi dan 0,35 mgl pada lokasi jauh dari outlet aerasi. Nilai tersebut hampir mendekati baku mutu konsentrasi oksigen terlarut untuk kegiatan perikanan, yaitu 3 mgl. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan lamanya waktu aerasi. Semakin lama aerasi dilakukan, maka 48 semakin banyak pula air yang akan mengalami penambahan oksigen akibat sirkulasi di talang aerasi. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut 3 m dari outlet aerasi dengan lamanya waktu aerasi dapat diduga dengan persamaan regresi linear sederhana, yaitu = 0,03 + 0,05 r = 0,86 dan R 2 = 75. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diduga lamanya waktu aerasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga mencapai 3,0 mgl pada jarak 3 m dari outlet aerasi, yaitu selama 98,33 jam aerasi dengan flow rate sebesar 24 litermenit. Dalam kurun waktu tersebut, diduga volume air yang telah diaerasi sudah mencapai 141.595 liter. Perhitungan pendugaan lamanya waktu aerasi disajikan pada Lampiran 13. Akan tetapi, pendugaan lamanya waktu aerasi ini belum dapat sepenuhnya dijadikan acuan bagi penerapan aerasi di Danau Lido karena dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pascaaerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut, COD, dan amonia akan kembali ke kondisi awal sebelum diaerasi. Hal ini menunjukkan bahwa beban bahan organik dan anorganik di lapisan hipolimnion Danau Lido cukup besar karena aktivitas budidaya ikan di KJA berlangsung sejak tahun 1978. Hal serupa juga terjadi pada Danau Hald dan Danau Vetdsed yang menerapkan oksigenasi lapisan hipolimnion selama 10 tahun dan 20 tahun. Ketika oksigenasi dihentikan, kualitas perairan kembali menurun seperti kondisi awal sebelum oksigenasi Liboriussen et al. 2009. Oleh karena itu, aerasi hipolimnion hendaknya dilakukan secara terus menerus 24 jamhari hingga akumulasi beban hipolimnion habis. Dalam kurun waktu 24 jam diduga konsentrasi oksigen terlarut pada jarak 3 m baru mencapai 0,77 mgl. Jika ingin mencapai konsentrasi oksigen 3 mgl, maka volume air yang diaerasi selama 24 jam harus sama dengan volume air yang diaerasi selama 98,33 jam, yaitu 141.595 liter. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan flow rate air yang diaerasi, yaitu 98,33 litermenit Lampiran 14. Peningkatan flow rate hingga 4 kali lipat ini diduga dapat meningkatkan jangkauan distribusi oksigen terlarut hingga radius lebih dari 3 m. Hal ini hanya dapat tercapai dengan melakukan modifikasi alat aerasi, karena alat aerasi yang digunakan dalam penelitian ini dirancang dengan flow rate air aerasi maksimum sebesar 30 litermenit. Biaya pembuatan dan 49 operasional alat aerasi hipolimnion yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan modifikasi alat aerasi Lampiran 15. Secara umum, teknologi aerasi hipolimnion yang diterapkan dalam penelitian ini dapat digunakan di KJA Danau Lido untuk memperbaiki kualitas perairan danau. Aerasi di lapisan hipolimnion juga diharapkan mampu memperluas habitat bagi biota akuatik di danau, khususnya ikan, sehingga tidak akan terjadi perebutan ruang dan relung ekologis yang dapat berdampak negatif pada kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan reproduksi dari ikan tersebut. Dampak positif dari penerapan teknologi aerasi hipolimnion dapat ditingkatkan dengan tidak menambah jumlah beban masukan bahan organik di perairan, yaitu dengan tidak melakukan penambahan unit KJA di Danau Lido dan pengendalian pemberian pakan sesuai dengan biomassa ikan yang dipelihara di unit KJA. 50

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Aerasi selama 10 jam mampu menurunkan konsentrasi amonia di lapisan hipolimnion Danau Lido rata-rata sebesar 34,97. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 m dari titik outlet aerasi 61, penurunan terkecil pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi 13. Setelah aerasi dihentikan, konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan.

5.2. Saran

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai konsentrasi oksigen terlarut dan amonia hingga memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan PP RI No.82 Tahun 2001 hingga jarak 3 m dari outlet aerasi adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion selama 98,33 jam dengan alat aerasi yang sama flow rate = 24 litermenit. Aerasi hipolimnion dapat pula dilakukan selama 24 jam, namun harus disertai peningkatan flow rate sebesar 98,33 litermenit. Peningkatan flow rate sebesar 4 kali lipat tersebut diduga mampu memperluas jangkauan aerasi hingga radius lebih dari 3 m. Untuk mempertahankan kualitas perairan agar sesuai dengan baku mutu, maka aerasi hipolimnion hendaknya dilakukan terus menerus.