Keberadaan Amonia Pascaaerasi Hipolimnion di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

(1)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegiatan budidaya ikan di Danau Lido menggunakan teknologi Keramba Jaring Apung (KJA). Budidaya ikan di KJA menghasilkan buangan bahan organik berupa sisa pakan dan feses ikan. Komposisi pakan ikan sebagian besar berupa nitrogen organik. Nitrogen organik di perairan akan mengalami proses penguraian (dekomposisi) menjadi nitrogen anorganik. Dekomposisi sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu oksigen terlarut (O2), bahan organik, dan dekomposer (organisme pengurai).

Amonia (NH3) merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik yang bersifat racun (toksik), hasil proses dekomposisi bahan organik dan ekskresi biota akuatik. Hasil dekomposisi sempurna di perairan dari suatu suatu senyawa yang mengandung nitrogen adalah nitrat (NO3-N) Nitrat terbentuk melalui nitrifikasi, yaitu proses oksidasi amonia (NH3) menjadi nitrit (NO2-N), dan nitrat (NO3-N). Proses ini membutuhkan peran bakteri aerobik untuk menguraikan amonia.

Lapisan hipolimnion (lapisan bawah) perairan umumnya memiliki konsentrasi oksigen yang rendah (Novotny & Olem 1994). Rendahnya konsentrasi oksigen terjadi karena tidak ada cahaya di lapisan ini, sehingga fotosintesis tidak dapat dilakukan. Oksigen di lapisan hipolimnion hanya bersumber dari transfer oksigen lapisan epilimnion (lapisan atas) yang produktif dalam menghasilkan oksigen hasil fotosintesis fitoplankton dan difusi udara.

Penumpukan bahan organik di lapisan hipolimnion tanpa disertai ketersediaan oksigen terlarut menyebabkan dekomposisi berlangsung secara anaerob. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi amonia di lapisan hipolimnion karena proses nitrifikasi (oksidasi amonia menjadi nitrat) hanya dapat terjadi saat perairan berada dalam kondisi aerob (oksigen tersedia).

Konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion dapat ditingkatkan dengan aerasi hipolimnion. Prinsip aerasi hipolimnion yang dilakukan adalah pemindahan massa air dari lapisan tertentu yang memiliki oksigen rendah ke permukaan perairan dan pemaparan massa air di ruang terbuka. Pemaparan dimaksudkan agar terjadi penambahan oksigen dalam massa air yang terangkat melalui proses difusi udara


(2)

dari atmosfer. Air yang telah mengalami kontak dengan udara dikembalikan ke lapisan hipolimnion. Peningkatan konsentrasi oksigen akibat aerasi diharapkan berdampak pada penurunan konsentrasi amonia karena mampu memicu berlangsungnya proses nitrifikasi. Amonia akan dioksidasi menjadi nitrat (NO3-N) yang dapat dimanfaatkan fitoplankton untuk fotosintesis.

1.2. Pendekatan Permasalahan

Kegiatan budidaya ikan di KJA Danau Lido menghasilkan buangan bahan organik seperti sisa buangan pakan dan feses ikan. Bahan organik tersebut berpotensi mengalami dekomposisi anaerob di lapisan hipolimnion. Defisit oksigen di lapisan hipolimnion memicu tingginya konsentrasi amonia. Aerasi hipolimnion dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion. Keberadaan amonia pascaaerasi hipolimnion penting untuk dipelajari karena adanya perubahan konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion. Peningkatan konsentrasi oksigen diharapkan mampu memicu proses nitrifikasi, sehingga amonia dapat dioksidasi menjadi nitrat (Gambar 1).


(3)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan amonia pascaaerasi hipolimnion di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

Teknologi aerasi hipolimnion yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh petani ikan di Danau Lido untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas perairan dalam menunjang kegiatan budidaya ikan pada lokasi KJA (Keramba Jaring Apung) Danau Lido.


(4)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Danau Lido

Danau Lido terletak pada koordinat 106°48’26”-106°48’50” BT dan 6°44”30”-6°44’58” LS, Desa Tugujaya, Kecamatan Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berbentuk tidak beraturan dengan luas 198.750 m2 dan panjang garis tepi sebesar 5.630 m (Tambunan 2010). Danau Lido mempunyai satu inlet dan dua outlet. Air Danau Lido berasal dari aliran sungai Ciletuk, air permukaan, dan air dalam tanah (ground water) (Amalia 2010).

Danau Lido dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, kepentingan rumah tangga, serta kegiatan perikanan berupa budidaya ikan di KJA (Keramba Jaring Apung). Lokasi penempatan KJA berada pada bagian barat Danau Lido dekat dengan kedua outlet Danau. Sekitar 5% dari luas permukaan Danau Lido digunakan untuk KJA, terdiri dari 14 KJA aktif milik petani dan satu KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Komoditas ikan yang dibudidayakan dalam KJA adalah ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan pakan berupa pelet untuk mempercepat pertumbuhan ikan. Selain terdapat KJA, pada bagian barat danau juga terdapat restoran terapung serta hotel dan wisma pada tepian danau (Amalia 2010).

2.2. Lapisan Hipolimnion Danau

Berdasarkan perbedaan nilai pada setiap kedalaman, stratifikasi suhu secara vertikal kolom air (thermal stratification) pada perairan tergenang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu epilimnion, metalimnion, dan hipolimnion. Menurut Birge (1897) in Cole (1983), lapisan hipolimnion merupakan lapisan di bawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Metalimnion merupakan lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar (lebih dari 1 °C/m) yang mengarah ke dasar danau/waduk. Akan tetapi, pada danau yang memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 10 m, umumnya tidak mempunyai perbedaan suhu yang nyata. Selain itu, lapisan hipolimnion umumnya relatif stagnan (tidak ada pergerakan), dan tidak dipengaruhi oleh angin (Wetzel 2001). Daerah tropis memiliki variasi suhu air yang kecil antara suhu permukaan dan suhu


(5)

dasar (Ruttner 1975 in Sudaryanti 1990). Radiasi cahaya di daerah tropis yang hampir sama sepanjang tahun dan dengan penurunan suhu yang kecil dapat menyebabkan pengadukan karena tipisnya metalimnion (Seller & Markland 1987 in

Sudaryanti 1990).

Kondisi anoksik pada lapisan hipolimnion dan deplesi oksigen pada dasar perairan danau merupakan fenomena umum yang sering dijumpai pada danau yang produktif (Beutel 2006). Lapisan hipolimnion beberapa perairan memiliki kisaran konsentrasi oksigen terlarut yang kecil, seperti pada Situ Bojongsari (0,08-0,13 mg/l) (Hartoto & Fakhrudin 1990 in Hartoto 1993), Danau Black (0,2 mg/l) (Ashley 1981), Waduk Ir. H. Juanda (0,06-1,06 mg/l) (Simarmata 2007).

Konsentrasi oksigen pada lapisan hipolimnion danau eutrofik (subur) berkurang sangat cepat oleh proses oksidasi biologis bahan organik. Meskipun tanaman dan hewan akuatik juga memanfaatkan oksigen untuk respirasi, namun konsumsi oksigen tersebut tidak sebesar kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik terlarut dan tersuspensi (Seto et al. 1982 in Wetzel 2001).

2.3. Bentuk dan Sumber Amonia (NH3-N) di Perairan

Amonia (NH3-N) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Terdapat dua bentuk amonia di perairan, yaitu amonium yang dapat terionisasi (NH4+) dan amonia bebas yang tidak dapat terionisasi (NH3). Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi (unionized) bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kesetimbangan reaksi kimia antara keduanya tergantung pada kondisi pH (keasaman dan alkalinitas) serta temperatur (Lloyd 1992).

NH4+ + OH-↔ NH3 + H2O

Amonia di perairan bersumber dari hasil metabolisme organisme akuatik dan dekomposisi bahan organik oleh bakteri (Boyd 1989). Selain itu, amonia dapat berasal dari nitrogen organik yang masuk ke perairan (urea), respirasi bakteri, organisme mati, dan sel yang pecah (Painter 1970 in Novotny & Olem 1994). Meskipun amonia bersumber dari hasil ekskresi hewan akuatik, namun proporsinya terhitung kecil jika dibandingkan dengan pembentukan amonia dari dekomposisi oleh bakteri (Wetzel 2001).


(6)

Pakan ikan yang terbuang ke perairan banyak mengandung nitrogen. Jumlah penambahan nutrien ke badan air dari keramba jaring apung tergantung pada densitas ikan dalam keramba (Ryding & Rast 1989). Hasil ekskresi ikan akan disebarkan ke kolom air oleh arus, sedangkan padatan (pakan yang tidak termakan dan feses) akan jatuh ke bawah atau dasar danau (Beveridge 1996). Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), konsentrasi amonia pada KJA di Danau Lido sebesar 0,354 mg/l pada lapisan permukaan dan 0,706 mg/l pada lapisan kompensasi (4,3-7,4 m).

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Amonia di Perairan 2.4.1.pH dan suhu

Komposisi amonia di perairan bergantung pada parameter pH dan suhu. Proporsi amonia yang tidak terionisasi (NH3) lebih besar dibandingkan dengan amonium (NH4+) saat pH meningkat (Boyd 1989). Peningkatan suhu perairan juga berperan serta meningkatkan proporsi NH3, tetapi pengaruhnya lebih rendah dibandingkan pengaruh pH (Llyod 1992).

2.4.2.Oksigen terlarut (O2)

Keberadaan oksigen terlarut juga mempengaruhi keberadaan amonia di perairan. Konsentrasi amonia lebih besar pada kedalaman perairan yang lebih dalam. Hal ini terjadi berkaitan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman, sehingga proses oksidasi amonia atau proses dekomposisi bahan organik akan terhambat dan mengakibatkan akumulasi amonia (Simarmata 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), lokasi KJA dan non KJA Danau Lido memiliki kesuburan eutrofik. Perairan yang memiliki kesuburan eutrofik ditandai dengan terjadinya penurunan kecerahan, meningkatnya tanaman air, dan munculnya kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah bahkan mencapai nol di daerah hipolimnion (Suryono et al. 2006 in Amalia 2010). Aerasi hipolimnion yang dilakukan oleh Nursandi (2011) di Danau Lido mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Akan tetapi, distribusinya tergantung dari jaraknya dari titik outlet aerasi. Semakin dekat dengan titik outlet aerasi, konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin tinggi.


(7)

2.4.3.Bahan organik

Jumlah bahan organik yang masuk ke perairan turut mempengaruhi keberadaan amonia. Peningkatan sisa pakan yang jatuh ke dasar danau, akan berpotensi meningkatkan konsentrasi amonia. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur nilai COD (Chemical Oxygen Demand), yaitu jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) (Boyd 1979).

Keberadaan bahan organik dapat diindikasikan melalui kekeruhan perairan. Kekeruhan di Danau Lido meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kekeruhan yang tinggi diakibatkan oleh partikel-partikel tersuspensi yang masuk ke dalam perairan. Partikel tersebut memiliki massa jenis yang lebih besar dari air, sehingga akan menuju kolom air yang lebih dalam dan mengendap di dasar perairan. Kekeruhan pada lokasi KJA Danau Lido di kedalaman kompensasi lebih besar dibanding lokasi non KJA (Amalia 2010). Hal ini mengindikasikan tingginya kandungan bahan organik di lapisan kompensasi KJA Danau Lido yang bersumber dari sisa pakan budidaya ikan.

Tingginya kandungan bahan organik di lapisan kompensasi tanpa disertai keberadaan oksigen terlarut mampu memicu proses dekomposisi bahan organik secara anaerob menghasilkan bahan toksik. Kandungan bahan organik di perairan dapat dikurangi dengan menerapkan aerasi pada lapisan hipolimnion seperti yang terjadi pada Situ Bojongsari (Hartoto 1995). Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob oleh mikroba dekomposer akibat peningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1991).

2.4.4.Nitrit (NO2-N)

Keberadaan nitrit di perairan sangat sedikit dibandingkan nitrat. Nitrit bersifat tidak stabil, berkaitan dengan keberadaan oksigen. Nitrit mudah dioksidasi menjadi nitrat saat kondisi aerob. Pada air limbah, konsentrasi nitrit jarang melebihi 1,0 mg/l dan pada perairan alami jarang melebihi 0,1 mg/l (Irfim et al. 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), konsentrasi nitrit pada KJA Danau Lido sebesar 0,032 mg/l pada lapisan permukaan dan 0,021 mg/l pada lapisan


(8)

kompensasi (4,3-7,4 m). Konsentrasi nitrit meningkat pada lapisan hipolimnion yang anaerob serta pada danau yang menerima beban pencemaran bahan organik berat (Brezonik & Lee 1968; Overbeck 1968 in Wetzel 2001). Konsentrasi nitrit umumnya rendah pada kondisi perairan yang teroksigenasi, maksimum sebesar 10 µg/L pada bagian atas hipolimnion (Mortonson & Brooks 1980 in Wetzel 2001). 2.4.5.Nitrat (NO3-N)

Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi fotosintesis oleh organisme autotrof di perairan. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Konsentrasi nitrat akan mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya kedalaman, karena tidak tersedianya oksigen terlarut di dasar perairan yang menyebabkan nitrifikasi tidak berjalan dengan baik (Simarmata 2007).

2.5. Proses Pembentukan Amonia di Perairan 2.5.1.Amonifikasi

Keberadaan amonia di perairan, selain bersumber dari ekskresi biota akuatik, juga terbentuk melalui proses amonifikasi. Amonifikasi merupakan proses pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur (Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1990). Reaksi perubahan nitrogen organik menjadi amonia anorganik dalam proses amonifikasi berlangsung sebagai berikut:

CH2NH2COOH

-2H + H2O

NH3 + CHOCOOH

glisin amonia asam glioxylat

Tidak semua organisme autotrof mampu memfiksasi nitrogen secara langsung, sehingga nitrogen harus dikonversi menjadi amonia. Pada perairan yang aerob


(9)

banyak ditemui nitrat dan pada lokasi anaerob akan dijumpai akumulasi amonia (Novotny & Olem 1994). Amonifikasi terjadi baik pada lingkungan yang anaerob maupun lingkungan aerob, hal ini dibuktikan dengan melimpahnya keberadaan bakteri amonifikasi pada air limbah yang tidak diaerasi (Wielgosz et al. 2010).

Aerasi yang dilakukan di Situ Bojongsari menyebabkan penurunan jumlah bakteri amonifikasi. Hal ini disebabkan karena ketiadaan bahan organik yang berperan sebagai substrat bagi bakteri (Hartoto et al. 1995).

2.5.2.Denitrifikasi

Amonia juga dapat terbentuk melalui proses denitrifikasi yang merupakan proses reduksi secara biologis nitrat menjadi gas nitrogen oleh bakteri heterotrof fakultatif. Pada kondisi tidak ada oksigen, beberapa mikroorganisme dapat menggunakan nitrat atau nitrogen oksida sebagai sumber oksigen dan juga sebagai elektron dan akseptor hidrogen pada respirasi. Hal ini menyebabkan dekomposisi bahan organik dapat berlanjut saat oksigen terlarut di perairan tidak tersedia (Boyd 1998). Bakteri fakultatif memperoleh oksigen dengan cara mengambil oksigen yang terikat pada molekul nitrat. Beberapa jenis bakteri anaerob fakultatif, yaitu

Psedudomonas, Achromobacter, Escherichia, Bacillus, dan Micrococcus (Alexander 1961 in Wetzel 2001).

Denitrifikasi umumnya terjadi pada perairan dengan konsentrasi oksigen rendah seperti di lapisan hipolimnion danau eutrofik, dengan sedimen bersifat anoksik akibat melimpahnya bahan organik (Wetzel 2001). Ketika di perairan terjadi deplesi oksigen, nitrat menjadi sumber oksigen utama bagi organisme. Proses ini berjalan baik di bawah kondisi anoksik, yaitu dengan konsentrasi oksigen terlarut yang kurang dari 0,5 mg/l. Aerasi yang dilakukan di Situ Bojongsari menyebabkan penurunan jumlah bakteri denitrifikasi. Hal ini disebabkan karena aerasi mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga lebih dari 4 mg/l (Hartoto et al. 1995).

Saat bakteri memutus ikatan nitrat untuk mendapatkan oksigen, nitrat akan direduksi menjadi dinitrogen oksida (N2O), hingga menjadi gas nitrogen. Gas nitrogen yang dihasilkan dari proses denitrifikasi akan menjadi sumber nitrogen di atmosfer (Gambar 2). Kondisi yang mempengaruhi efisiensi denitrifikasi adalah konsentrasi nitrat, kondisi anoksik, keberadaan bahan organik, pH, suhu, dan


(10)

alkalinitas. Nilai pH optimum bagi proses denitrifikasi berkisar antara 7,0-8,5. Pertumbuhan bakteri denitrifikasi semakin cepat pada suhu tinggi. Denitrifikasi dapat terjadi pada kisaran suhu 5-30 °C.

Gambar 2. Proses denitrifikasi (Boyd 1979) 2.5.3.Pelepasan dari sedimen

Amonia di perairan juga bersumber dari pelepasan NH4-N dari sedimen. Laju difusi NH4+ menyebar di perairan dapat meningkat beberapa kali lipat oleh aktivitas avertebrata bentik seperti larva chironomida, cacing tubificida, dan moluska bivalvia (Henriksen et al. 1983; Fukuhara & Sakamoto 1997; Fukuhara & Yasuda 1989; Svensson 1997 in Wetzel 2001). Peningkatan amonium juga diakibatkan oleh ekskresi dari empat spesies chironomida dan tubificida yang berkisar dari 0,33 hingga 2,87 µg N mg D/W/hari pada suhu 15 °C. Namun, jika cahaya mencapai sedimen pada jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan algae bentik, Cyanobacteria dapat mengasimilasi NH4-N dan mencegah aliran NH4-N dari sedimen ke perairan (Jansson 1980; Reuter et al. 1986; Risgaard-Petersen et al. 1994; Van Luijn et al. 1995 in Wetzel 2001).

2.6. Proses Penghilangan Amonia di Perairan 2.6.1.Volatilisasi (penguapan) dan pengendapan

Penghilangan amonia dapat terjadi secara fisika dan biologi. Secara fisika, amonia lepas dari sistem melalui proses volatilisasi (penguapan). Hal ini terjadi karena tekanan parsial gas amonia di perairan melebihi tekanan amonia di udara. Proses ini optimum pada pH 9 atau lebih. Amonia juga dapat lepas ke atmosfer dengan meningkatnya kecepatan angin dan suhu (Boyd 1998). Amonia (NH3) merupakan gas terbanyak yang menguap dari perairan (Novotny & Olem 1994).

NO3-

(Nitrat)

NO2-

(Nitrit)

NH3 (gas)

(Amonia)

N2O (gas)

(Nitrogen oksida)

N2 (gas)


(11)

Selain mengalami penguapan (volatilisasi), amonia juga berkurang karena sebagian hasil dekomposisi biota dan nitrogen organik dan anorganik mengendap permanen ke dalam sedimen (Wetzel 2001). Ion amonia memiliki afinitas (daya tarik) penyerapan pada partikel tanah (utamanya tanah liat dan fraksi organik) dan juga pada sedimen. Amonia yang terserap sedimen tidak termasuk sebagai nutrien utama dalam proses poduksi bahan organik dan sifatnya tidak toksik (Novotny & Olem 1994).

2.6.2.Nitrifikasi

Secara biologis amonia hilang akibat proses perubahan bentuk (imobilisasi) amonia ke dalam biomassa dan oksidasi amonia menjadi nitrat (Subagiyo et al.

2002). Dalam kondisi aerob (oksigen tersedia), proses amonifikasi akan dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Novotny & Olem 1994). Proses nitrifikasi ditunjukkan dalam persamaan reaksi:

NH4 ++3

2O2 NO2

+ 2H++ H

2O NO2−+1

2O2 NO3 −

Nitrifikasi merupakan proses penting dalam penghilangan amonia di perairan dan ini sangat menguntungkan bagi perikanan budidaya karena amonia berpotensi beracun. Proses ini tidak dapat dilepaskan dari peran mikroorganisme. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri dari genus Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri dari genus Nitrobacter. Laju oksidasi amonia menjadi nitrit lebih cepat dibanding laju oksidasi nitrit menjadi nitrat, sehingga nitrit berada dalam jumlah sedikit (Novotny & Olem 1994).

Beberapa faktor dapat mempengaruhi laju reaksi nitrifikasi (Krenkel & Novotny 1980 in Novotny & Olem 1994). Faktor tersebut adalah sebagai berikut. - Reaksi berlangsung secara aerob. Jika konsentrasi oksigen lebih rendah dari 2

mg/l, laju reaksi akan menurun dengan cepat. Menurut Ravera (1990) in

Sudaryanti (1990), peningkatan oksigen terlarut menyebabkan penurunan amonia dan peningkatan nitrat. Untuk oksidasi amonia menjadi nitrit batas minimum bakteri hidup pada konsentrasi oksigen 0,08 mg/l, sedangkan untuk


(12)

oksidasi nitrit menjadi nitrat batas minimum bakteri dapat hidup pada konsentrasi oksigen 2 mg/l (Rheinhamer 1985 in Sudaryanti 1990).

- pH optimum berkisar antara 8-9, sedangkan jika pH di bawah 6 reaksi akan seketika terhenti. Pada pH 7 oksidasi amonia menjadi nitrit meningkat, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat lebih cepat pada pH asam (Moll 1983

in Sudaryanti 1990).

- Bakteri nitrifikasi cenderung menempel ke sedimen atau permukaan keras. - Laju pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih rendah dibanding laju pertumbuhan

dekomposer heterotrof. Jika konsentrasi bahan organik mudah urai tinggi, bakteri heterotrof akan membatasi pertumbuhan bakteri nitrifikasi, sehingga nitrifikasi akan terhambat.

- Suhu optimum berkisar antara 20-25 °C. Laju pertumbuhan menurun jika suhu kurang atau lebih dari suhu optimum.

Faktor yang paling penting bagi proses nitrifikasi adalah keberadaan bahan organik dan amonia itu sendiri. Ketika pada suatu perairan rasio C : N besar, maka akan mengakibatkan persaingan antara bakteri heterotrof dengan bakteri nitrifikasi dalam merebutkan amonia. Hal ini dapat menurunkan laju nitrifikasi (Strauss 2000). Peristiwa nitrifikasi dicirikan dengan penghilangan secara simultan amonia dan meningkatnya konsentrasi nitrat. Namun, penurunan konsentrasi amonia saja tidak cukup menggambarkan proses nitrifikasi karena tidak semua amonia yang lepas oleh proses dekomposisi di sedimen akan dikembalikan ke badan air. Sebagian amonia akan terserap ke sedimen dan sebagian lagi akan dimanfaatkan kembali untuk pertumbuhan makrofita di perairan dangkal (cahaya melimpah) di lokasi yang sesuai bagi pertumbuhannya. Proses simultan nitrifikasi-denitrifikasi hanya dapat terjadi di permukaan sedimen air. Nitrifikasi pada air mengalir jarang sekali terjadi (Tuffey, Hunter, & Matulewich 1974 in Novotny & Olem 1994).

Bakteri nitrifikasi banyak ditemukan di lokasi yang tersedia konsentrasi oksigennya. Jumlah bakteri terbatas, tergantung dari laju pertumbuhan sel dan juga rasio BOD5/N. Jika rasio BOD5/N sebesar 3 maka persentase organisme berkisar kurang dari 0,083 sedangkan jika rasio BOD5/N sebesar 5-9 maka persentase organisme sebesar 0,029-0,054 (Metcalf & Eddy 1991 in Sotirakou 1998). Waktu yang dibutuhkan untuk generasi bakteri Nitrosomonas sekitar 7-24 jam, sedangkan


(13)

bakteri Nitrobacter membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 10-140 jam (Bock et al. 1991 in Strauss 2000). Amonia lepas pada kondisi anoksik karena kemampuan nitrifikasi di sedimen berkurang, sehingga asimilasi amonia oleh mikroorganisme anaerob berkurang (Beutel 2006).

2.7. Aerasi Hipolimnion

Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut sering dijumpai di lapisan hipolimnion. Menurut Novotny & Olem (1994), salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan aerasi lapisan hipolimnion secara langsung. Aerasi hipolimnion merupakan salah satu teknik restorasi untuk melancarkan aliran nutrien di danau. Aerasi ini mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion yang sering mengalami deplesi oksigen. Beberapa keuntungan dari aerasi hipolimnion di danau adalah mampu menurunkan konsentrasi racun seperti amonia, hidrogen sulfida, besi, dan mangan sehingga mampu mendukung kehidupan ikan di danau. Aerasi hipolimnion dapat mengurangi keberadaan nutrien dari dasar sedimen. Pengurangan nutrien di lapisan hipolimnion diyakini mampu mengurangi eutrofikasi di danau.

Restorasi perairan dengan sistem aerasi hipolimnion pertama kali dikembangkan di Switzerland pada akhir tahun 1940, di Jerman Barat pada tahun 1967, dan di Kanada pada tahun 1981. Pada tahun 1990, Puslitbang Limnologi LIPI telah melakukan aerasi hipolimnion dengan alat Limnotek 3.1 di Situ Bojongsari, Bogor (Sudaryanti 1990). Tujuan aerasi hipolimnion adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas perairan (Ashley & Hall 1990 in Sudaryanti 1990).

Areasi hipolimnion dapat digunakan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion tanpa merusak stratifikasi suhu di danau. Sebuah pipa digunakan untuk membawa air dari lapisan hipolimnion ke permukaan. Air tersebut melakukan kontak dengan udara luar sehingga gas-gas seperti metan, hidrogen sulfida, dan karbon dioksida yang terakumulasi saat kondisi anaerob lepas. Setelah itu, air dikembalikan ke lapisan hipolimnion. Aerator hipolimnion memerlukan lapisan hipolimnion yang luas untuk dapat bekerja dengan optimal dan umumnya tidak efektif di danau yang dangkal dan waduk (Novotny & Olem 1994).

Akumulasi amonia erat kaitannya dengan kondisi anoksik di perairan (p<0,05). Hasil penelitian Satoh et al. (2002) menunjukkan bahwa perbaikan


(14)

lapisan anoksik merupakan cara yang dinilai mampu mengontrol akumulasi amonia hipolimnetik. Oksigenasi yang dilakukan sebaiknya mampu memperbaiki konsentrasi oksigen pada permukaan sedimen air untuk memastikan bahwa oksigen dapat tembus ke sedimen dan selanjutnya menghambat akumulasi amonia di lapisan hipolimnion danau (Beutel 2006).

Aerasi hipolimnion yang dilakukan di beberapa perairan mampu meningkatkan konsentrasi oksigen dan berdampak pada penurunan konsentrasi amonia. Pada Tabel 1, dapat diketahui persentase penurunan konsentrasi amonia pada beberapa perairan setelah dilakukan aerasi hipolimnion (Beutel 2006).

Tabel 1. Penurunan konsentrasi amonia (mg/l) pada beberapa perairan setelah dilakukan aerasi hipolimnion

Perairan Lokasi Lama

Aerasi Sebelum Aerasi Setelah Aerasi Penurunan (%) Pustaka Black Lake British Columbia 1 tahun 1978-1979

3,9 0,054 98,61 Ashley (1981)

Amisk Lake

Kanada 3 tahun 1990-1993

0,12 0,050 58,33 Prepas et al. (1997) in

Beutel (2006) Camanche

Reservoir

California 4 Tahun 1993-1997

1,4 0,2 85,71 Jung et al. (1998)

in

Beutel (2006) Hald Lake Denmark 20 tahun

1985-2007 (kecuali 1998 dan

2006)

TD TD 88 Liboriussen et al. (2009)

Vedsted Lake

Denmark 10 tahun 1995-2007 (kecuali 2002 dan

2003)

TD TD 48 Liboriussen et al. (2009)

Viborg Nørresø

Lake

Denmark 11 tahun 1996-2007

TD TD 33 Liboriussen et al. (2009)

Torup Lake

Denmark 5 tahun 2002-2007

TD TD 42 Liboriussen et al. (2009)

Keterangan :


(15)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2011 di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido terletak pada koordinat posisi 106°48’26” -106°48’50” BT dan 6°44’30”-6°44’58” LS. Penelitian dibagi ke dalam dua tahap, yaitu kegiatan di lapangan dan kegiatan di laboratorium.

Kegiatan di lapangan meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama, berupa pengambilan contoh air. Kegiatan di laboratorium berupa analisis contoh air. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Pelaksanaan Penelitian 3.2.1.Penentuan stasiun

Penelitian dilakukan di bagian barat Danau Lido pada lokasi KJA (Keramba Jaring Apung). Hal ini disebabkan karena pada lokasi ini mengalami tekanan lebih besar dibanding lokasi lainnya dalam hal masukan bahan organik allochtonous

berupa pelet (pakan ikan). Tingginya masukan bahan organik menyebabkan lokasi ini terancam mengalami kondisi anoksik pada hipolimnion sehingga terjadi akumulasi amonia. Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), konsentrasi amonia di lokasi KJA Danau Lido lebih besar dibanding lokasi non KJA.

Terdapat 14 KJA aktif milik petani dan satu KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Penelitian ini hanya dilakukan di satu unit KJA, yaitu KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Lokasi penelitian di Danau Lido terletak pada koordinat 106°48’42,6” BT dan 6°44’30,3” LS dan dapat dilihat pada Gambar 3.


(16)

Kartografer:

Ayu Ervinia (C24070001)

Sumber Peta:

BAKOSURTANAL

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2011

(Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional)

Tahun 1996 dan 2003 Gambar 3. Peta lokasi penelitian di KJA Danau Lido 3.2.2.Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kedalaman perairan yang akan diaerasi, yaitu lapisan hipolimnion. Data hasil penelitian pendahuluan disajikan pada Lampiran 7. Lapisan hipolimnion ditentukan dengan melihat distribusi suhu perairan secara vertikal pada kedalaman 0-7 m, pada waktu pagi, siang, dan sore hari. Distribusi suhu secara vertikal hasil penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan pada Gambar 4, dapat disimpulkan bahwa lapisan hipolimnion Danau Lido dimulai dari kedalaman 4-7 m. Perbedaan suhu pada kedalaman tersebut relatif kecil, yaitu 0,1 °C pada pagi hari dan 0,4 °C pada


(17)

siang hari. Hal ini sesuai dengan Birge (1897) in Cole (1983), yang menyatakan bahwa lapisan hipolimnion merupakan lapisan di bawah metalimnion, lebih dingin, dengan perbedaan suhu secara vertikal yang relatif kecil.

Gambar 4. Distribusi vertikal suhu di lokasi KJA Danau Lido

Selain suhu, penentuan kedalaman aerasi juga mempertimbangkan lokasi dan waktu kritis dengan nilai konsentrasi oksigen terlarut di perairan sangat rendah. Untuk mendapatkan lokasi dan waktu kritis, dilakukan pengamatan konsentrasi oksigen terlarut selama 24 jam pada kedalaman 0-4,25 m. Distribusi vertikal oksigen terlarut disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Distribusi vertikal oksigen terlarut di lokasi KJA Danau Lido Berdasarkan pada Gambar 5, didapatkan informasi bahwa konsentrasi oksigen terlarut terendah pada kedalaman 4,25 m, yaitu sebesar 0,65-1,57 mg/l. Berbeda dengan lapisan di atasnya (0-1,6 m), memiliki kisaran konsentrasi oksigen terlarut


(18)

lebih besar, yaitu sebesar 3,84-7,67 mg/l. Lapisan oksik perairan (konsentrasi oksigen terlarut 3 mg/l) hanya sampai kedalaman kurang dari 3 m. Hal ini mengindikasikan pengaruh fotosintesis pada kedalaman lebih dari 3 m sangatlah kecil sehingga konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah.

Meskipun berdasarkan hasil penelitian pendahuluan konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 3 m sudah kurang dari 3 mg/l, namun aerasi tidak memungkingkan dilakukan di kedalaman tersebut. Hal ini disebabkan karena pemasangan jaring KJA dilakukan hingga kedalaman 3 m. Oleh karena itu, aerasi akan dilakukan pada kedalaman lebih dari 3 m agar proses aerasi yang dilakukan tidak mengganggu ikan budidaya serta memudahkan dalam proses pengambilan contoh air. Kedalaman yang dipilih adalah 4 m yang merupakan kedalaman hipolimnion dengan konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Selain itu, berdasarkan hasil uji F diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 4 m tidak berbeda nyata pada berbagai waktu pengamatan (p >0,05). Hal ini menunjukkan pada kedalaman 4 m pengaruh fotosintesis pada waktu siang hari sangat kecil bahkan tidak ada.

3.2.3.Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan dengan menerapkan aerasi hipolimnion pada kedalaman 4 m. Keberadaan amonia akan diamati pada 5 titik yang menyebar secara horizontal dari titik outlet aerasi, yaitu pada jarak 0 m, 1,5 m, 3 m, 4,5 m, dan 8 m dari titik outlet aerasi yang searah dengan arah arus danau (Gambar 6). Penentuan titik pengamatan secara horizontal didasarkan pada hasil penelitian Nursandi (2011), yang menunjukkan bahwa sebaran oksigen terlarut pengaruh aerasi pada kedalaman 4 m berkurang pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi. Untuk memudahkan dalam proses pengambilan contoh air, maka dipilih jarak pengamatan dengan selang 1,5 m. Sementara pengamatan pada jarak 8 m dilakukan untuk melihat keberadaan amonia yang tidak mendapat pengaruh areasi.

Respon keberadaan amonia terhadap proses aerasi, tidak hanya dilihat dalam kaitannya dengan sebaran jarak horizontal. Akan tetapi, juga dilihat dari segi waktu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan tiga sistem pengamatan, yaitu pengamatan sebelum dilakukan aerasi, pengamatan ketika alat aerasi beroperasi, dan pengamatan pascaaerasi hipolimnion (Tabel 2).


(19)

Gambar 6. Skema titik-titik pengamatan secara horizontal Tabel 2. Waktu pengamatan pada jarak horizontal

Waktu Pengamatan Pukul Pra aerasi 08.00 wib Mulai aerasi 09.00 wib 5 jam aerasi 14.00 wib 10 jam aerasi 19.00 wib 5 jam pascaaerasi 00.00 wib 10 jam pascaaerasi 05.00 wib 15 jam pascaaerasi 10.00 wib

3.2.4.Pengambilan contoh air

Prinsip aerasi hipolimnion yang dikembangkan oleh Nursandi (2011) adalah pemindahan massa air dari lapisan tertentu yang memiliki oksigen rendah ke permukaan perairan dan memaparkan massa air di ruang terbuka. Pemaparan dimaksudkan agar terjadi penambahan oksigen dalam massa air yang terangkat melalui proses difusi udara dari atmosfer. Air yang telah mengalami kontak dengan udara dikembalikan ke lapisan hipolimnion. Proses aerasi hipolimnion disajikan pada Lampiran 3. Efektivitas dari proses aerasi hipolimnion sangat tergantung pada laju aliran (flow rate) dan volume air yang diaerasi. Semakin banyak air yang diaerasi, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion. Dalam penelitian ini, volume air yang

KJA (3 m) Permukaan Perairan (0 m)

Aerasi (4 m) 150

Dasar Perairan 0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m


(20)

dialirkan ke talang aerasi adalah 120 liter selama 5 menit, sehingga didapatkan laju aliran (flow rate) air yang diaerasi sebesar 24 liter/menit. Nilai flow rate sangat tergantung pada ukuran talang dan kekuatan pompa. Spesifikasi alat aerasi hipolimnion disajikan pada Lampiran 4, dan perhitungan flow rate air yang diaerasi disajikan pada Lampiran 5.

Pengambilan contoh air pada titik pengamatan dilakukan dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler. Air contoh yang telah diambil selanjutnya dimasukkan ke dalam botol air contoh. Selanjutnya contoh air akan dianalisis di laboratorium. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 1.

3.2.5.Analisis contoh air

Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah amonia (NH3-N), nitrit (NO2-N), nitrat (NO3-N), serta oksigen (O2). Parameter pendukung yang berpengaruh terhadap parameter utama juga turut diamati, yaitu suhu, pH, dan COD (Chemical Oxygen Demand). Analisis parameter penelitian dilakukan secara in situ

dan ex situ sesuai dengan sifat parameter. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air parameter penelitian

Parameter Satuan Alat/Metode Penanganan

contoh Keterangan Fisika

Suhu °C Termometer Hg/Pemuaian In situ

Kimia

pH pH meter/Potensiometrik In situ

DO mg/l Titrasi/modifikasi metode Winkler

In situ*

COD mg/l Titrasi/Potassium dikromat Pendinginan Ex situ

Nitrat (NO3-N) mg/l Spektrofotometer/Brucine Pendinginan Ex situ*

Nitrit (NO2-N) mg/l Spektrofotometer/

Sulfanilamide

Pendinginan Ex situ

Amonia (NH3-N)

mg/l Spektrofotometer/Phenate Pendinginan Ex situ


(21)

3.3. Analisis Data 3.3.1.Uji t

Uji t berpasangan dilakukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi parameter akibat aerasi hipolimnion. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1993):

t =d −d0 sd/ n dengan: t = nilai t hitung,

d = rata-rata selisih nilai parameter (sebelum dan sesudah aerasi),

d0 = selisih nilai yang tidak diharapkan = 0, sd = simpangan baku selisih nilai parameter, dan n = jumlah pasangan anggota sampel.

Hipotesis H0: µD = d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi sama). H1: µD ≠ d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi berbeda). Hipotesis nol akan ditolak pada taraf nyata α bila t > tα/2 (n1) atau t <

-tα/2(n-1).

Nilai t hitung dan t tabel dapat diperoleh dengan menggunakan MS. Excel 2007 (Data Analysist test paired two samples for means).

3.3.2.Persentase perubahan nilai parameter kualitas air

Persentase perubahan konsentrasi parameter kualitas air dihitung untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi pada saat awal (sebelum dilakukan aerasi hipolimnion) dan saat sesudah dilakukan aerasi hipolimnion, dengan rumus sebagai berikut:

%Penurunan =a−b

a × 100% dan %Peningkatan = b−a

b × 100%

dengan: a = nilai parameter kualitas air sebelum dilakukan aerasi hipolimnion, b = nilai parameter kualitas air setelah dilakukan aerasi hipolimnion. 3.3.3.Rancangan acak kelompok (RAK)

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK). RAK digunakan untuk menganalisis pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap parameter penelitian. Pada penelitian ini waktu pengamatan menjadi perlakuan dan jarak horizontal dari titik outlet aerasi menjadi kelompok.


(22)

Rumus umum rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000):

Yij =μ+ i+ j +εij dengan:

Yij = Nilai respon pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j,

µ = Rataan umum populasi,

αi = Pengaruh perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i,

βj = Pengaruh kelompok jarak horizontal taraf ke-j, dan

ε

ij = Pengaruh acak pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i,

faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j.

Analisis data menggunakan RAK umumnya disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam (Tabel 4). Pengaruh perlakuan lamanya aerasi terhadap perubahan konsentrasi parameter penelitian yang terukur dapat diketahui dengan uji hipotesis antara lain:

Pengaruh perlakuan

H0: α1

=

α2

=

...

=

αi

=

0

(perlakuan waktu pengamatan tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan

H1: paling sedikit ada satu i dengan αi

0

(perlakuan waktu pengamatan berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air).

Pengaruh kelompok

H0: β1

=

β2

=

...

=

βi

=

0

(kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan

H1: paling sedikit ada satu i dengan βi

0

(kelompok jarak horizontal berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air).

Tabel 4. Tabel sidik ragam bagi RAK

Sumber Keragaman Derajat Bebas (dB) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT)

Fhitung F tabel

Perlakuan (waktu pengamatan)

i-1 JKP KTP KTP/KTS F (0,05;dBP;dBS)

Kelompok (jarak horizontal)

j-1 JKK KTK KTK/KTS F (0,05;dBK;dBS)

Sisa (i-1)(j-1) JKS KTS Total ij-1 JKT


(23)

Kesimpulan yang dapat diambil dari tabel sidik ragam di atas adalah sebagai berikut:

(1) Jika F hitung < F tabel maka gagal tolak H0, berarti perlakuan atau kelompok tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%.

(2) Jika F hitung > F tabel maka Tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan atau kelompok yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%.

Untuk melihat perlakuan dan kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

3.3.4.Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil)

Meskipun perbedaan dapat terlihat melalui hasil uji F, akan tetapi hal itu tidak dapat melihat perlakuan mana yang memberikan pengaruh terhadap parameter sehingga parameter memiliki karakteristik paling berbeda. Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui hal tersebut, yaitu dengan uji beda rerata pengaruh perlakuan (Boer 2001). Uji BNT hanya dapat digunakan jika nilai F yang diperoleh berdasarkan tabel sidik ragam nyata. Nilai BNT dinyatakan dengan rumus:

BNT = t /2(dbS ) 2 KTS n dengan: BNT = beda nyata terkecil,

tα/2 = nilai t tabel pada taraf nyata α/2 (α = 0,05), KTS = kuadrat tengah sisa,

dBS = derajat bebas sisa, dan n = jumlah ulangan. Kriterium uji BNT adalah = � .− � .

dengan: � . = rataan perlakuan ke-i, dan � . = rataan perlakuan ke-j.

Kriteria pengambilan keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan (d) lebih besar dari nilai BNT. Maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf nyata α (tolak H0).


(24)

3.3.5.Regresi linear sederhana

Regresi adalah hubungan dan pola hubungan antara dua macam peubah (acak) yaitu x sebagai peubah bebas (independent variable) dan y sebagai peubah tak bebas (dependent variable). Pada penelitian ini akan dilakukan pendugaan terhadap hubungan antara keberadaan amonia dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen, keberadaan amonia dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik (COD), penurunan konsentrasi amonia dipengaruhi oleh lamanya waktu aerasi, serta peningkatan konsentrasi oksigen dipengaruhi oleh lamanya waktu aerasi. Model dugaan regresi (Walpole 1993) dapat dinyatakan sebagai berikut:

y= a + bx

dengan: � = Nilai dugaan yang dihasilkan garis regresi,

a= intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak, dan b= Kemiringan/gradien.

Dalam regresi linear sederhana dikenal istilah koefisien korelasi Pearson (r) yang digunakan untuk mengukur derajat hubungan dari dua variabel. Kisaran nilai r yang menyatakan kekuatan hubungan antar variabel disajikan pada Tabel 5. Koefisien korelasi Pearson dirumuskan sebagai berikut:

r = n XY−( X)( Y)

[n X2 –( X)2][n Y2−( Y)2]

dengan: r = koefisien korelasi Pearson, X = variabel bebas,

Y = variabel terikat, dan n = jumlah pasangan data.

Tabel 5. Interval nilai koefisien korelasi (r) dan kekuatan hubungan

Interval Nilai Kekuatan Hubungan r = 0,0 Tidak ada

0,0 < r ≤ 0,2 Sangat rendah atau lemah sekali 0,2 < r ≤ 0,4 Rendah atau lemah tapi pasti 0,4 < r ≤ 0,7 Cukup berarti atau sedang 0,7 < r ≤ 0,9 Tinggi atau kuat

0,9 < r ≤ 1,0 Sangat tinggi atau kuat, dapat diandalkan r =1,0 Sempurna


(25)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1.Lapisan hipolimnion pada KJA Danau Lido

Danau Lido merupakan danau yang menjadi pelopor pelaksanaan kegiatan budidaya ikan dengan teknologi KJA (Keramba Jaring Apung) di Indonesia sejak tahun 1978. Saat ini komoditi ikan yang dibudidayakan di Danau Lido adalah ikan nila merah. Umumnya satu petak jaring apung yang digunakan oleh petani ikan berukuran 2 x 2 x 3 m3. Pada lokasi penelitian, kedalaman maksimum perairan sebesar 8 m dan kedalaman minimum sebesar 4,5 m (Gambar 7). Jarak horizontal 8 m memiliki kedalaman paling rendah (4,5 m) dikarenakan lokasinya dekat dengan outlet danau dan daratan sehingga berpotensi menjadi muara bagi endapan bahan-bahan organik dan anorganik.

Gambar 7. Kedalaman perairan pada lokasi pengambilan contoh

Selain bersumber dari kegiatan budidaya, tekanan lingkungan perairan Danau Lido juga berasal dari aktivitas masyarakat sekitar danau. Terdapat beberapa rumah makan terapung yang membuang limbahnya ke danau. Selain itu, sering dijumpai warga masyarakat yang melakukan aktivitas rumah tangga seperti mencuci pakaian di danau. Limbah yang masuk ke perairan tidak hanya berupa limbah mudah urai, tetapi juga limbah tidak mudah urai seperti deterjen. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas air Danau Lido. Gambaran mengenai kondisi Danau Lido dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kualitas lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam ekosistem perairan karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota


(26)

yang hidup dalam ekosistem tersebut. Kondisi lapisan hipolimnion Danau Lido pada kedalaman 4 m disajikan pada Tabel 6. Parameter dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu parameter yang memenuhi dan parameter yang tidak memenuhi baku mutu kualitas air bagi kegiatan perikanan (PP RI No. 82 Tahun 2001) (Lampiran 6). Parameter yang memenuhi baku mutu kualitas air adalah suhu, pH, dan nitrat. Suhu di lapisan hipolimnion relatif stabil. Nilai pH cenderung mendekati netral.

Sementara parameter yang tidak memenuhi baku mutu kualitas air adalah COD, oksigen, amonia, dan nitrit. Pada kelima lokasi pengamatan, konsentrasi oksigen terlarut sangat kecil, yaitu sebesar 0,1 mg/l. Konsentrasi COD yang besar menggambarkan banyaknya bahan organik yang berada di lapisan hipolimnion danau. Konsentrasi amonia dan nitrit yang tinggi menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik pada kondisi oksigen terlarut sangat rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas perairan adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion.

Tabel 6. Nilai parameter kualitas air pada lapisan hipolimnion Danau Lido

No Parameter Satuan Jarak Horizontal

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m 1 Suhu 0C 25,7 25,7 25,8 25,7 25,7 2 pH 6,89 6,93 6,93 6,93 6,96 3 Oksigen mg/l 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 4 COD mg/l 34,63 73,76 52,69 55,70 39,14 5 Amonia (NH3) mg/l 0,507 0,336 0,224 0,308 0,284

6 Nitrit (NO2-N) mg/l 0,039 0,043 0,043 0,039 0,043

7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,161 0,073 0,066 0,110 0,048

4.1.2.Distribusi amonia (NH3-N) pascaaerasi hipolimnion

Aerasi hipolimnion yang dilakukan diharapkan mampu menurunkan konsentrasi amonia di perairan. Data konsentrasi amonia (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 7. Sementara untuk pola distribusi amonia secara horizontal saat sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 8.

Berdasarkan pada data rata-rata konsentrasi amonia pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa konsentrasi amonia mengalami penurunan ketika aerasi dilakukan


(27)

selama 5 jam dan 10 jam. Ketika aerasi dihentikan, konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil uji t (Lampiran 8), aerasi selama 5 jam tidak berperan dalam menurunkan konsentrasi amonia (p>0,05). Konsentrasi amonia baru mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi selama 10 jam (p<0,05). Rata-rata konsentrasi amonia kembali meningkat 5 jam pascaaerasi dihentikan (p<0,05). Rata-rata konsentrasi amonia pascaaerasi cenderung lebih besar dibanding saat sebelum aerasi.

Tabel 7. Konsentrasi amonia (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion

Jarak Horizontal

Sebelum Aerasi

Aerasi Pascaaerasi

5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,507 0,323 0,365 0,494 0,286 0,377 1,5 m 0,336 0,208 0,131 0,380 0,298 0,427 3 m 0,224 0,356 0,173 0,333 0,437 0,242 4,5 m 0,308 0,354 0,164 0,197 0,445 0,368 8 m 0,284 0,334 0,247 0,264 0,472 0,414 Rata-rata 0,332 0,315 0,216 0,333 0,388 0,366

Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui perubahan konsentrasi amonia berbeda pada masing-masing jarak horizontal dari titik outlet aerasi. Jarak horizontal dapat dikategorikan dalam dua kelompok berdasarkan kesamaan pola penurunan konsentrasi amonia saat dilakukan aerasi hipolimnion. Kelompok ke-1 adalah jarak 0 m dan 1,5 m (dekat dengan titik outlet aerasi). Kelompok ke-2 adalah jarak 3 m, 4,5 m, dan 8 m (jauh dari titik outlet aerasi). Saat dilakukan aerasi selama 5 jam, penurunan konsentrasi amonia hanya terjadi hingga jarak horizontal 1,5 m. Konsentrasi amonia baru mengalami penurunan hingga jarak horizontal 8 m saat aerasi dilakukan selama 10 jam.

Kemampuan sistem aerasi dalam menurunkan konsentrasi amonia dapat diketahui melalui distribusi amonia setelah aerasi dihentikan (pascaaerasi). Ketika aerasi dihentikan diharapkan kandungan amonia tidak serta merta meningkat karena diasumsikan di perairan masih tersedia cadangan oksigen terlarut. Pengamatan 5 jam pascaaerasi menunjukkan hasil bahwa konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan hingga jarak horizontal 8 m. Peningkatan terbesar terjadi pada titik dekat outlet aerasi (0 m). Perbedaan dinamika perubahan konsentrasi amonia terlihat pada pengamatan 10 hingga 15 jam pascaaerasi antara lokasi dekat outlet aerasi dan


(28)

lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Pengamatan 10 jam pascaaerasi menunjukkan telah terjadi penurunan konsentrasi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi, sedangkan pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi terjadi peningkatan konsentrasi amonia. Hal sebaliknya terjadi saat 15 jam pascaaerasi, yaitu telah terjadi peningkatan konsentrasi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi dan penurunan konsentrasi amonia pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi.

Sebelum aerasi

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 5 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 10 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (5 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (10 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (15 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Jarak Horizontal (m)


(29)

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi amonia (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi amonia), aerasi 5 jam dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi amonia), aerasi 10 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi amonia) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi amonia (p>0,05).

4.1.3.Distribusi nitrit (NO2-N) pascaaerasi hipolimnion

Nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) (Novotny & Olem 1994). Data konsentrasi nitrit (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 8. Sementara untuk pola distribusi nitrit secara horizontal sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 9.

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui konsentrasi nitrit mengalami penurunan ketika dilakukan aerasi selama 5 jam dan 10 jam. Ketika aerasi dihentikan, konsentrasi nitrit terus mengalami penurunan khususnya pada lokasi yang dekat dengan titik outlet aerasi.

Berdasarkan hasil uji t (Lampiran 8), aerasi selama 5 jam tidak berperan dalam menurunkan konsentrasi nitrit (p>0,05). Konsentrasi nitrit baru mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi selama 10 jam (p<0,05). Konsentrasi nitrit tidak meningkat pascaaerasi dihentikan (p>0,05). Rata-rata konsentrasi nitrit saat pascaaerasi cenderung lebih kecil dibanding saat sebelum aerasi (p<0,05).

Tabel 8. Konsentrasi nitrit (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion

Jarak Horizontal

Sebelum Aerasi

Aerasi Pascaaerasi

5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,039 0,025 0,018 0,001 0,022 0,001 1,5 m 0,043 0,032 0,018 0,001 0,015 0,008 3 m 0,043 0,019 0,053 0,013 0,017 0,022 4,5 m 0,039 0,053 0,017 0,025 0,023 0,013 8 m 0,043 0,041 0,015 0,019 0,024 0,036 Rata-rata 0,041 0,034 0,024 0,012 0,020 0,016

Penyebaran nitrit secara horizontal pada Gambar 9 menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi nitrit berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sama. Pada


(30)

lokasi yang dekat outlet aerasi, penurunan nitrit berlangsung lebih cepat dibanding lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna yang lebih cepat pada lokasi dekat outlet aerasi.

Sebelum aerasi

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 5 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 10 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (5 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (10 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (15 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Jarak Horizontal (m)

Gambar 9. Pola distribusi nitrit secara horizontal

Pengamatan sebaran konsentrasi nitrit pascaaerasi hipolimnion secara umum menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi nitrit hingga jarak horizontal 8 m.


(31)

Penurunan konsentrasi nitrit terus berlanjut pada jarak horizontal 0 m dan 1,5 m (dekat outlet aerasi). Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, penurunan konsentrasi nitrit tidak terlalu nampak, bahkan terjadi peningkatan pada jarak 8 m.

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi nitrit (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi nitrit), sebelum aerasi dan pascaaerasi (penurunan konsentrasi nitrit), aerasi 5 jam dan pascaaerasi (penurunan konsentrasi nitrit) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrit (p>0,05).

4.1.4.Distribusi nitrat (NO3-N) pascaaerasi hipolimnion

Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi fotosintesis oleh organisme autotrof di perairan. Data konsentrasi nitrat (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 9. Sementara untuk pola distribusi nitrat secara horizontal sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan pada rata-rata konsentrasi nitrat pada Tabel 9 terlihat terjadi fluktuasi nitrat di perairan. Aerasi yang dilakukan selama 5 jam berdampak pada penurunan konsentrasi nitrat. Rata-rata konsentrasi nitrat mengalami peningkatan ketika aerasi dilakukan selama 10 jam. Penurunan konsentrasi signifikan terjadi saat 5 jam pascaaerasi. Peningkatan konsentrasi nitrat kembali terjadi saat 10 jam pascaaerasi.

Tabel 9. Konsentrasi nitrat (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion

Jarak Horizontal

Sebelum Aerasi

Aerasi Pascaaerasi

5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,161 0,065 0,164 0,001 0,127 0,053 1,5 m 0,073 0,069 0,075 0,001 0,087 0,085 3 m 0,066 0,031 0,078 0,065 0,112 0,123 4,5 m 0,110 0,118 0,063 0,030 0,127 0,105 8 m 0,048 0,129 0,088 0,061 0,139 0,098 Rata-rata 0,092 0,082 0,094 0,032 0,119 0,093

Penyebaran nitrat secara horizontal pada Gambar 10 menunjukkan bahwa aerasi selama 5 jam menyebabkan penurunan konsentrasi nitrat pada lokasi dekat outlet aerasi, sedangkan pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi terjadi peningkatan


(32)

konsentrasi nitrat. Peningkatan konsentrasi nitrat pada lokasi dekat dengan outlet aerasi baru terjadi saat aerasi dilakukan 10 jam. Akan tetapi sebarannya tidak jauh dan tidak lebih besar dari konsentrasi awal.

Sebelum aerasi

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 5 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 10 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (5 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (10 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (15 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Jarak Horizontal (m)

Gambar 10. Pola distribusi nitrat secara horizontal

Distribusi nitrat saat pascaaerasi dihentikan menunjukkan pola yang sama pada masing-masing lokasi. Konsentrasi nitrat mengalami penurunan signifikan saat


(33)

5 jam pascaaerasi, khususnya pada lokasi yang dekat dengan outlet aerasi. Peningkatan konsentrasi nitrat kembali terjadi saat 10 jam pascaaerasi. Secara umum diketahui bahwa konsentrasi nitrat cenderung meningkat pascaaerasi dan pada lokasi yang jauh dari titik outlet aerasi.

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi nitrat (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah penurunan konsentrasi nitrat (sebelum aerasi dan 5 jam pascaaerasi, aerasi 5 jam dan 5 jam pascaaerasi, aerasi 10 jam dan 5 jam pascaaerasi) dan peningkatan konsentrasi nitrat (5 jam pascaaerasi dan 10 jam pascaaerasi, 5 jam dan 15 jam pascaaerasi) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrat (p>0,05).

4.1.5.Komposisi nitrogen saat dilakukan aerasi hipolimnion

Menurut Novotny & Olem (1994), pada perairan yang aerob nitrogen banyak ditemui dalam bentuk nitrat dan pada lokasi anaerob akan dijumpai akumulasi amonia. Aerasi selama 10 jam diharapkan mampu mencegah akumulasi amonia di perairan. Pengaruh aerasi terhadap perubahan komposisi nitrogen di perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan komposisi nitrogen sebelum, sesaat, dan sesudah aerasi (Gambar 11).

Berdasarkan pada Gambar 11, diketahui bahwa proporsi amonia lebih besar dibanding nitrit dan nitrat. Aerasi selama 5 jam menyebabkan penurunan proposi amonia di lokasi dekat outlet aerasi dan diiringi dengan peningkatan proporsi nitrit. Aerasi selama 10 jam menyebabkan penurunan proporsi amonia hingga jarak horizontal 8 m. Pada lokasi dekat outlet aerasi, penurunan proporsi amonia diikuti dengan penurunan proporsi nitrit dan peningkatan proporsi nitrat. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, peningkatan proporsi nitrat tidak terlalu besar.

Pengamatan saat pascaaerasi dihentikan menunjukkan terjadi peningkatan proporsi amonia secara signifikan pada lokasi dekat outlet aerasi. Saat 5 jam pascaaerasi, nitrat dan nitrit nampak tereduksi sehingga nitrogen dominan berada dalam bentuk amonia. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, penurunan proporsi nitrat tidak terlalu besar. Pengamatan 10 jam pascaaerasi menunjukkan terjadinya penurunan proporsi amonia diikuti dengan peningkatan proporsi nitrat. Proporsi


(34)

amonia kembali meningkat pada pengamatan 15 jam pascaaerasi diikuti dengan penurunan proporsi nitrit dan nitrat.

Keterangan:

(a) Lokasi dekat dengan outlet aerasi (0 m dan 1,5 m) (b) Lokasi jauh dari outlet aerasi (3 m, 4,5 m, dan 8 m)

Gambar 11. Komposisi nitrogen saat dilakukan aerasi hipolimnion

4.1.6.Faktor yang mempengaruhi keberadaan amonia saat dilakukan aerasi hipolimnion

Penurunan konsentrasi amonia saat aerasi hipolimnion merupakan dampak turunan dari peningkatan kualitas parameter lainnya seperti peningkatan konsentrasi oksigen terlarut (Gambar 12), penurunan konsentrasi bahan organik (COD) (Gambar 14), serta parameter lain seperti suhu dan pH. Penelitian ini dilakukan pada kondisi suhu perairan yang relatif stabil dengan kisaran 25,5-26 °C. Nilai pH yang teramati selama penelitian berkisar antara 6,81-7,10.

Penyebaran oksigen terlarut secara horizontal pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pada lokasi dekat outlet aerasi memiliki konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dibanding lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Pada jarak horizontal 0 m dan 1,5 m peningkatan oksigen terlarut terjadi seketika saat dilakukan aerasi selama 5 jam dan 10 jam. Pada jarak 3 m, aerasi selama 5 jam belum cukup mampu meningkatkan konsentrasi oksigen. Konsentrasi oksigen baru meningkat setelah dilakukan aerasi selama 10 jam. Sementara pada jarak 4,5 m dan 8 m, tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan konsentrasi oksigen terlarut saat dilakukannya aerasi hipolimnion. Saat aerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan. Penurunan nampak terlihat pada lokasi dekat outlet aerasi. Meskipun


(35)

terjadi penurunan konsentrasi oksigen saat pascaaerasi, tetapi konsentrasinya cenderung lebih besar dibanding saat sebelum aerasi.

Sebelum aerasi

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 5 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 10 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (5 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (10 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (15 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Jarak Horizontal (m)

Gambar 12. Pola distribusi oksigen terlarut secara horizontal

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9), diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut di perairan (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam


(36)

(peningkatan konsentrasi oksigen terlarut) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut (p<0,05). Kelompok yang berpengaruh nyata adalah 0 m dan 3 m, 0 m dan 4,5 m, 0 m dan 8 m (uji BNT).

Keterkaitan antara ketersediaan oksigen terlarut dengan keberadaan amonia dapat disimulasikan pada Gambar 13. Pada kondisi awal sebelum aerasi, amonia berada dalam proporsi yang besar. Saat aerasi selama 5 jam, proporsi oksigen terlarut mengalami peningkatan diiringi dengan penurunan proporsi bagi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, tidak terlihat penurunan proporsi amonia. Aerasi selama 10 jam semakin meningkatkan proporsi oksigen terlarut diiringi dengan penurunan proporsi amonia. Akan tetapi, proporsi oksigen terlarut berangsur-angsur terus mengalami penurunan diiringi dengan peningkatan proporsi amonia pascaaerasi dihentikan.

Keterangan:

(a) Lokasi dekat dengan outlet aerasi (0 m dan 1,5 m) (b) Lokasi jauh dari outlet aerasi (3 m, 4,5 m, dan 8 m)

Gambar 13. Keberadaan amonia dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen terlarut Selain oksigen terlarut, faktor lain yang berperan penting dalam perubahan konsentrasi amonia selama dilakukannya aerasi hipolimnion adalah COD. Penyebaran COD secara horizontal pada Gambar 14 menunjukkan telah terjadi penurunan konsentrasi COD pada jarak horizontal 1,5 m, 3 m, dan 4,5 m (p<0,05) saat aerasi selama 5 jam. Aerasi selama 10 jam menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga jarak 8 m dari outlet aerasi (p<0,05). Setelah aerasi dihentikan (5 jam hingga 15 jam pascaaerasi), konsentrasi COD pada seluruh jarak horizontal terus mengalami peningkatan seperti kondisi awal sebelum aerasi (p<0,05) (Lampiran 8).


(37)

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) dapat diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi COD di perairan (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi COD), aerasi 5 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD), aerasi 10 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi bahan organik di perairan (p>0,05).

Sebelum aerasi

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 5 jam

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Aerasi 10 jam

0 m 1,5 m 4 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (5 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (10 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Pascaaerasi (15 jam)

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

Jarak Horizontal (m)


(38)

Mulai Aerasi Aerasi Dihentikan

Keberadaan amonia, COD, dan oksigen terlarut selama aerasi hipolimnion dapat terlihat pada Gambar 15. Peningkatan konsentrasi okigen terlarut mulai terlihat saat aerasi mulai dilakukan hingga 10 jam aerasi. Peningkatan oksigen terlarut diiringi dengan penurunan konsentrasi COD dan amonia. Hal sebaliknya terjadi pascaaerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan diiringi dengan peningkatan konsentrasi COD dan amonia.

Gambar 15. Keberadaan amonia, COD, dan oksigen selama aerasi hipolimnion Keberadaan amonia di perairan nampak jelas dipengaruhi oleh keberadaan oksigen terlarut dan dapat diduga dengan menggunakan persamaan regresi linear sederhana (Lampiran 10). Pada lokasi dekat outlet aerasi keberadaan amonia diduga dengan persamaan �3 = −0,179 + 0,505 (r = 0,85 dan R2 = 75,5%). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga konsentrasi oksigen terlarut yang teramati agar konsentrasi amonia memenuhi baku mutu kualitas perairan untuk kegiatan perikanan (0,02 mg/l), yaitu rata-rata sebesar 2,71 mg/l oksigen terlarut. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi keberadaan amonia diduga dengan persamaan yaitu �3 = −1,154 + 0,425 (r = 0,87 dan R2 = 75,6%). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga konsentrasi oksigen terlarut yang termati agar konsentrasi amonia memenuhi baku mutu kegiatan perikanan (0,02 mg/l), yaitu rata-rata sebesar 0,35 mg/l oksigen terlarut.

0 5 10 15 20 25 30

0 jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam 25 jam

K

onsent

ras

i

re

lat

if

(

%

)

Waktu Pengamatan (jam)


(39)

Selain itu, keberadaan amonia juga dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik. Hal ini dapat diduga dengan persamaan regresi linear sederhana (Lampiran 11), yaitu �3 = 0,004 + 0,101 (r = 0,87 dan R2 = 75,5%). Berdasarkan nilai b yang positif pada persamaan tersebut, dapat diduga bahwa peningkatan konsentrasi COD akan menyebabkan peningkatan konsentrasi amonia di perairan. 4.1.7.Penurunan konsentrasi amonia (NH3-N), nitrit (NO2-N), dan COD

dengan dilakukannya aerasi hipolimnion

Pada penelitian ini diharapkan konsentrasi amonia (NH3), nitrit (NO2-N), dan COD mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi hipolimnion. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan amonia dan nitrit di perairan dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik serta mengindikasikan bahwa perairan dalam kondisi anoksik (miskin O2). Begitu pula dengan COD yang menggambarkan jumlah bahan organik di perairan. Proses aerasi diharapkan mampu mempercepat proses dekomposisi secara aerob dan mencegah terjadinya akumulasi bahan organik di perairan. Penurunan konsentrasi parameter kualitas air disajikan pada Tabel 10.

Berdasarkan informasi yang tersaji pada Tabel 10, aerasi selama 5 jam mampu menurunkan konsentrasi amonia, nitrit, dan COD. Akan tetapi persentase penurunannya sangat kecil terutama untuk parameter amonia. Penurunan yang cukup besar terjadi ketika aerasi dilakukan selama 10 jam. Akan tetapi persentase penurunan tidak mencapai 50%. Penurunan konsentrasi amonia semakin berkurang dengan semakin bertambahnya jarak dari titik outlet aerasi. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 m dari outlet aerasi, yaitu sebesar 61%, sedangkan penurunan terkecil pada jarak 8 m dari outlet aerasi, yaitu sebesar 13%.

Tabel 10. Penurunan konsentrasi (mg/l) amonia, nitrit, dan COD

Parameter Lama Aerasi Nilai rata-rata sebelum aerasi

Nilai rata-rata

saat aerasi Penurunan (%) Amonia 5 jam 0,33 0,31 5,11

10 jam 0,33 0,22 34,97 Nitrit 5 jam 0,04 0,03 17,92 10 jam 0,04 0,02 41,86 COD 5 jam 32,00 22,60 29,38 10 jam 32,00 19,00 40,63


(40)

4.1.8.Peningkatan konsentrasi oksigen (O2) dan nitrat (NO3-N) dengan

dilakukannya aerasi hipolimnion

Pada penelitian ini diharapkan konsentrasi oksigen (O2) dan nitrat (NO3-N) mengalami peningkatan dengan dilakukannya aerasi hipolimnion (Tabel 11). Sebagaimana diketahui bahwa oksigen merupakan parameter yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik karena oksigen tidak hanya dimanfaatkan untuk respirasi, melainkan juga untuk proses perombakan bahan organik. Begitu pula dengan nitrat yang berperan sebagai nutrien bagi proses fotosintesis. Keberadaan nitrat sangat bergantung pada ketersediaan oksigen terlarut karena proses pembentukannya berlangsung aerob.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 11, aerasi selama 5 jam mampu meningkatkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 50%. Peningkatan yang lebih besar terjadi ketika aerasi dilakukan selama 10 jam, yaitu sebesar 79,17 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama aerasi dilakukan, peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin besar. Peningkatan konsentrasi nitrat di perairan baru terlihat ketika aerasi dilakukan selama 10 jam dan pascaaerasi.

Tabel 11. Peningkatan konsentrasi (mg/l) oksigen terlarut dan nitrat

Parameter Lama Aerasi Nilai rata-rata sebelum aerasi

Nilai rata-rata

saat aerasi Peningkatan (%) Oksigen 5 jam 0,10 0,24 58,33

10 jam 0,10 0,48 79,17 Nitrat 5 jam 0,092 0,082 -

10 jam 0,092 0,094 2,10 Pascaaerasi

(10 jam) 0,094 0,119 21,06

4.2. Pembahasan

Keramba jaring apung (KJA) di Danau Lido telah ada sejak tahun 1978 (Basmi 1991). Aktivitas budidaya ikan dalam KJA diduga telah menyebabkan penurunan kualitas perairan (Simarmata 2007). Salah satu indikasi penurunan kualitas perairan adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan tingginya konsentrasi bahan toksik seperti amonia. Penurunan kualitas perairan Danau Lido telah teramati pada penelitian sebelumnya oleh Amalia (2010), yang menunjukkan bahwa kualitas perairan pada lokasi non KJA lebih baik dibanding lokasi KJA. Hal


(41)

ini dapat dilihat dari konsentrasi oksigen terlarut pada lokasi non KJA yang berkisar antara 5,51-7,94 mg/l, sementara pada lokasi KJA berkisar antara 2,06-4,19 mg/l. Konsentrasi oksigen terendah berada pada kedalaman kompensasi, namun pada lokasi non KJA konsentrasi oksigen terlarut masih lebih besar dari 3 mg/l. Berbeda halnya dengan lokasi KJA, konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan permukaan masih lebih rendah dibanding pada lapisan kompensasi non KJA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen di lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Sebaran oksigen terlarut secara vertikal pada lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12.

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion (kedalaman 4 m) Danau Lido sangat kecil, yaitu 0,1 mg/l. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen untuk mendekomposisikan bahan organik yang terakumulasi di lapisan hipolimnion. Sumber utama bahan organik di lokasi KJA berasal dari sisa pakan (pelet) budidaya yang dibuang setiap hari ke danau.

Masukan bahan organik berlangsung terus menerus ke lapisan hipolimnion danau tanpa diimbangi pasokan oksigen terlarut yang memadai. Aktivitas fotosintesis yang menghasilkan oksigen hanya terpusat di lapisan epilimnion yang terdapat cahaya matahari. Pasokan oksigen yang terbatas ini menjadi semakin terbatas dikarenakan pakan ikan yang terbuang ke danau berkontribusi meningkatkan kekeruhan di perairan. Hal ini dapat menyebabkan sinar matahari dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan menjadi terbatas dan berpengaruh pada proses fotosintensis. Ketebalan lapisan oksik di perairan akan berkurang dan transfer oksigen ke lapisan hipolimnion akan semakin kecil.

Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion mengakibatkan terakumulasinya amonia di perairan. Proses amonifikasi (perombakan nitrogen organik menjadi amonia) di perairan dapat terjadi dalam kondisi aerob dan anaerob (Wielgosz et al. 2010). Dalam kondisi anaerob, amonia yang terbentuk tidak dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga amonia akan terakumulasi di lapisan hipolimnion. Pada lokasi KJA, akumulasi amonia ini akan semakin bertambah dengan adanya amonia yang bersumber dari metabolisme organisme akuatik (urine dan feses ikan budidaya) (Boyd 1989). Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010),


(42)

konsentrasi amonia di Danau Lido pada lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Konsentrasi amonia pada lokasi KJA berkisar antara 0,354-0,706 mg/l, sementara pada lokasi non KJA berkisar antara 0,182-0,235 mg/l. Konsentrasi amonia tertinggi berada pada lapisan kompensasi perairan. Sebaran amonia, nitrit, dan nitrat secara vertikal di lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi akumulasi amonia di perairan, salah satunya adalah dengan menerapkan aerasi hipolimnion. Proses aerasi hipolimnion memiliki dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa peningkatan konsentrasi oksigen. Dampak tidak langsung berupa penurunan konsentrasi amonia. Penurunan konsentrasi amonia termasuk ke dalam dampak tidak langsung karena keberadaan amonia di perairan mengikuti dinamika siklus nitrogen yang dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen terlarut. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi selama 10 jam yang dilakukan di lapisan hipolimnion Danau Lido menyebabkan penurunan konsentrasi amonia rata-rata sebesar 34,97%. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 61% dan penurunan terkecil terjadi pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 13% (Gambar 8). Pengamatan juga dilakukan saat aerasi baru berlangsung selama 5 jam. Penurunan konsentrasi amonia relatif kecil, yaitu sebesar 5,11% dan hanya terjadi pada lokasi dekat outlet aerasi (0 m dan 1,5 m).

Penghilangan amonia di lapisan hipolimnion dapat terjadi secara fisika dan biologi. Proses fisika berupa penguapan (volatilisasi) diharapkan terjadi ketika air dari lapisan hipolimnion mengalami sirkulasi pada talang aerasi. Proses ini optimum pada pH 9 atau lebih (Boyd 1998). Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi amonia secara fisika diduga sangat kecil terjadi. Hal ini disebabkan karena pH perairan yang teramati kurang dari 9, yaitu berkisar antara 6,81-7,10. Berdasarkan hasil penelitian Burgess et al. (2003), aerasi mampu menurunkan konsentrasi amonia hingga 80 % pada saat pH sebesar 10. Saat pH 4 hingga 8, hanya terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 27 %.

Penurunan konsentrasi amonia secara biologi merupakan dampak turunan dari peningkatan konsentrasi oksigen terlarut yang diharapkan mampu memicu proses nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi yang dilakukan selama 10 jam mampu


(43)

meningkatan konsentrasi oksigen terlarut hingga 79,17%, yaitu dari 0,1 mg/l menjadi 1,0 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut hasil aerasi masih tergolong kecil dan belum memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan (3 mg/l). Berbeda halnya dengan alat aerasi Limnotek 3.1 yang diujicobakan pada Situ Bojongsari mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga lebih dari 4 mg/l hingga 17 m dari titik outlet aerasi (Hartoto 1993).

Meskipun konsentrasi oksigen terlarut masih relatif kecil, akan tetapi peningkatannya yang lebih besar dari 50% mampu menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga 40,63%. Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob di lapisan hipolimnion oleh mikroba dekomposer (Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1991). Bahan organik nitrogen akan dirombak menjadi amonia melalui proses amonifikasi. Dalam kondisi aerob (oksigen tersedia), proses amonifikasi akan dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hartoto (1995), penurunan kandungan bahan organik akibat aerasi menyebabkan penurunan jumlah bakteri amonifikasi. Hal ini disebabkan karena penurunan kandungan bahan organik yang berperan sebagai substrat bagi bakteri. Sama halnya dengan aerasi yang dilakukan pada air limbah (Wielgosz et al. 2010), menunjukkan hasil bahwa jumlah bakteri amonifikasi lebih banyak pada air limbah yang tidak diaerasi.

Nitrifikasi merupakan oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh mikroba nitrifikasi (Novotny & Olem 1994). Peristiwa ini dapat ditunjukkan dengan penurunan proporsi amonia diiringi dengan peningkatan proporsi nitrat. Meskipun pada saat aerasi 10 jam terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 34,97%, namun peningkatan konsentrasi nitrat yang terjadi tidaklah besar, yaitu 2,10% dan terjadi lokasi yang dekat dengan outlet aerasi. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa nitrifikasi terjadi tidak seketika. Berdasarkan hasil penelitian Yusoff et al. (2003), amonia mengalami penurunan signifikan disertai dengan peningkatan nitrit dan nitrat setelah aerasi dilakukan selama 14 hari. Aerasi yang dilakukan pada Danau Black menyebabkan penurunan konsentrasi amonia setelah dilakukan aerasi selama 13 hari dan peningkatan konsentrasi nitrat sebesar 58,33% baru terjadi saat aerasi dilakukan selama 2 bulan (Ashley 1981). Hal serupa juga terjadi pada aerasi yang dilakukan pada air limbah dengan sistem rawa buatan


(1)

Lampiran 12. Data parameter kualitas perairan Danau Lido pada lokasi KJA dan non KJA (Amalia 2010)

Lapisan Kedalaman (m)

KJA non KJA

Permukaan (P) 0 0

Secchi disk (Sd) 1,59-2,75 1,8-2,2 Kompensasi (K) 4,3-7,44 4,87-5,95

Lapisan

Konsentrasi (mg/l)

Oksigen Amonia Nitrit Nitrat

Non

KJA KJA

Non

KJA KJA

Non

KJA KJA

Non

KJA KJA

P 7,94 4,19 0,182 0,354 0,025 0,032 0,423 0,317 Sd 6,7 4,37 0,189 0,325 0,018 0,037 0,37 0,305 K 5,51 2,06 0,235 0,706 0,031 0,021 0,438 0,155

0 1 2 3 4 5 6 7

0 2 4 6 8 10

Keda la m a n ( m )

Konsentrasi Oksigen Terlarut (mg/l)

Lokasi non KJA Lokasi KJA

0 1 2 3 4 5 6 7

0 0,2 0,4 0,6 0,8

Keda la m a n ( m )

Konsentrasi Amonia (mg/l)

Non KJA KJA

0 1 2 3 4 5 6 7

0 0,01 0,02 0,03 0,04

Keda la m a n ( m )

Konsentrasi Nitrit (mg/l)

Non KJA KJA

0 1 2 3 4 5 6 7

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

Keda la m a n ( m )

Konsentrasi Nitrat (mg/l)


(2)

77

Lampiran 13. Pendugaan lamanya waktu aerasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan oksigen terlarut 3 mg/l hingga jarak 3 m

Lamanya Aerasi (jam)

Oksigen (mg/l)

0 0,1

5 0,1

10 0,4

Berikut ini adalah diagram pencar dan garis dugaan regresi dari data di atas:

Contoh Perhitungan:

Untuk mencapai konsentrasi oksigen yang memenuhi baku mutu perairan untuk kegiatan perikanan, yaitu sebesar 3 mg/l akan dilakukan pendugaan terhadap lamanya aerasi yang paling ideal dalam meningkatkan konsentrasi oksigen.

= 0,03 + 0,05

0,03 = 3−0,05

=3−0,05

0,03 = 98,33

Dalam kurun waktu 98,33 jam, volume air yang diaerasi sebesar:

= ×

= 98,33 × 60 × 24

= 141.595

DO = 0,03 t-aerasi + 0,05 R² = 0,75

r = 0,86 0

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0 2 4 6 8 10 12

K

o

ns

ent

ra

si

O

k

sig

en

(m

g

/L

)


(3)

Lampiran 14. Pendugaan peningkatan flow rate saat aerasi diterapkan selama 24 jam

Jika perairan ingin diaerasi selama 24 jam, maka volume air yang diaerasi harus sama dengan volume air yang diaerasi selama 98,33 jam untuk mencapai konsentrasi oksigen terlarut 3 mg/l. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan flow rate air yang diaerasi sebesar:

=

= 141.595

(24 × 60 )


(4)

79

Lampiran 15. Biaya pembuatan dan operasional alat aerasi hipolimnion

Biaya pembuatan alat aerasi hipolimnion No Jenis Barang Jumlah Barang Harga

1 Pompa air Panasonic

GP-29 JXY 1 buah Rp 480.000

2 Pipa paralon ¾ inch 10 buah Rp 200.000

3 Talang air 5 buah Rp 20.000

4 Lem paralon 2 buah Rp 20.000

5 Selotip 2 buah Rp 10.000

6 Klep pompa 1 buah Rp 25.000

7 Ember cat 20 liter 1 buah Rp 30.000

8 Keni 20 buah Rp 50.000

9 Kayu reng 5 buah Rp 50.000

10 Lem aibon 2 buah Rp 20.000

11 Paku ¼ kg Rp 10.000

12 Tali rafia 1 gulung Rp 15.000

13 Tali karet 10 buah Rp 20.000

Total biaya pembuatan alat aerasi Rp 1.130.000

Biaya operasional alat aerasi hipolimnion

Biaya yang dibutuhkan dalam penerapan aerasi hipolimnion adalah biaya listrik untuk menjalankan pompa air. Dalam penelitian ini listrik yang digunakan bersumber dari generator system berbahan bakar bensin. Aerasi selama 10 jam membutuhkan bensin sebanyak 4 liter dengan harga bensin Rp 5.000,00/liter. Dengan demikian, biaya yang dibutuhkan adalah Rp 2.000,00/jam.


(5)

iii

Ayu Ervinia. C24070001. Keberadaan Amonia Pascaaerasi Hipolimnion di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Sigid Hariyadi dan Niken Tunjung Murti Pratiwi.

Amonia (NH3) merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik yang bersifat

racun (toksik) yang bersumber dari hasil dekomposisi bahan organik dan ekskresi biota akuatik. Penumpukan bahan organik di lapisan hipolimnion tanpa disertai ketersediaan oksigen terlarut menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik secara anaerob dan menghasilkan amonia. Amonia akan terakumulasi di lapisan hipolimnion karena proses nitrifikasi (oksidasi amonia menjadi nitrat) terjadi saat perairan berada dalam kondisi aerob (oksigen tersedia). Konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion dapat ditingkatkan dengan aerasi hipolimnion. Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut tersebut diharapkan dapat memicu penurunan konsentrasi amonia di perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan amonia pascaaerasi hipolimnion di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di lokasi kegiatan perikanan budidaya KJA (Keramba Jaring Apung), Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Prinsip aerasi hipolimnion yang dilakukan adalah pemindahan massa air dari lapisan tertentu yang memiliki oksigen rendah ke permukaan perairan dan pemaparan massa air di ruang terbuka. Pemaparan dimaksudkan agar terjadi penambahan oksigen dalam massa air yang terangkat melalui proses difusi udara dari atmosfer. Air yang telah mengalami kontak dengan udara dikembalikan ke lapisan hipolimnion. Pada penelitian ini, aerasi dilakukan pada kedalaman 4 m. Pengaruh aerasi hipolimnion terhadap penurunan konsentrasi amonia dapat diketahui dengan melakukan tiga periode pengamatan, yaitu pra aerasi, saat aerasi (5 jam dan 10 jam), dan pascaaerasi hipolimnion (5 jam, 10 jam, 15 jam). Pengaruh aerasi terhadap distribusi amonia dapat diketahui dengan melakukan pengamatan secara horizontal pada jarak 0 m, 1,5 m, 3 m, 4,5 m, dan 8 m dari titik outlet aerasi. Parameter kualitas air yang diamati terdiri dari parameter utama dan parameter pendukung. Parameter utama meliputi amonia (NH3-N), nitrit (NO2-N), nitrat (NO3-N), dan oksigen terlarut (O2),

sedangkan parameter pendukung meliputi suhu, pH, dan COD (Chemical Oxygen Demand).

Pengamatan parameter kualitas air sebelum aerasi menunjukkan hasil bahwa lapisan hipolimnion Danau Lido tidak layak bagi kegiatan perikanan berdasarkan PP RI No.82 Tahun 2001 dengan konsentrasi oksigen terlarut (0,1 mg/l), COD (34,63-73,76 mg/l), amonia (0,224-0,507 mg/l), dan nitrit (0,039-0,043 mg/l). Berdasarkan hasil penelitian, aerasi hipolimnion selama 10 jam berpengaruh signifikan terhadap penurunan konsentrasi amonia (α = 0,05). Aerasi selama 10 jam mampu menurunkan konsentrasi amonia rata-rata sebesar 34,97% (p<0,05) hingga jarak 8 m dari titik outlet aerasi. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 m dari titik outlet aerasi (61%), penurunan terkecil pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi (13%). Penurunan konsentrasi amonia merupakan dampak turunan dari peningkatan konsentrasi oksigen terlarut (79,17%) dan penurunan konsentrasi COD (40,63%). Penurunan konsentrasi amonia tersebut disertai dengan peningkatan proporsi nitrat di perairan. Hal ini menggambarkan telah terjadinya proses nitrifikasi akibat aerasi hipolimnion.


(6)

iv

Akan tetapi setelah aerasi dihentikan, rata-rata konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan seperti kondisi awal sebelum aerasi (p<0,05).