Bentuklahan yang terbentuk akibat pengaruh gelombang laut, arus sepanjang pantai, dan proses pasang-surut air laut. Contoh: laguna, teluk.
5. Bentuklahan asal proses fluvial F
Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas aliran air. Contoh: dataran banjir, kipas aluvial.
6. Bentuklahan asal proses gleitser G
Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas di puncak pegunungan atau es kontinental.
7. Bentuklahan asal proses aeolian A
Bentuklahan yang terjadi akibat hembusan angin yang mengikis batuan- batuan dan memindahkan hasil kikisannya ke tempat lain. Contoh: sand
dunes. 8.
Bentuklahan asal proses pelarutan atau karst K Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan oleh air
terhadap batuan yang mudah larut. Contoh: sinkhole, conical karst. 9.
Bentuklahan asal proses biologik B Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan aktivitas organisme.
Contoh: lahan gambut, koral.
2.3 PenutupanPenggunaan Lahan
Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada bidang lahan tersebut Lillesand dan Kiefer 1990. Informasi tentang penutupan lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada citra
penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh dapat didasarkan pada informasi penutupan lahannya Fakultas Geografi
UGM-Bakosurtanal 2000. Contoh penutupanpenggunaan lahan adalah hutan, semak belukar, persawahan, permukiman, dan lain sebagainya.
Klasifikasi penutupanpenggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan penutupanpenggunaan lahan melalui citra penginderaan jauh untuk disajikan
dalam bentuk spasial. Menurut Suharyadi 1996, secara teoritis klasifikasi penutupanpenggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa
kriteria, yaitu tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya.
2.4 Topographic Wetness Index TWI
Sorensen dan Seibert 2007 mengemukakan bahwa Topographic Wetness Index TWI pertama kali diperkenalkan oleh Beven dan Kirkby pada tahun 1979
sebagai bagian dari model runoff „TOPMODEL‟ dan mungkin merupakan indeks
topografi yang paling sering diterapkan. TWI diformulasikan sebagai ln αtan β,
dimana tan β adalah lereng dari dasar permukaan dan α disebut specific upslope area yang dihitung dengan rumus
α = AL, dimana A [m
2
] adalah upslope area dan L [m] adalah panjang lereng. Dengan demikian, suatu lokasi yang mempunyai
lereng yang curam akan mempunyai nilai indeks TWI yang rendah, sehingga mudah untuk meloloskan air dan potensinya rendah dalam menggenangkan air.
Sebaliknya, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang landai akan mempunyai nilai indeks TWI yang tinggi, sehingga berpotensi tinggi untuk menampung dan
menyimpan air atau potensinya untuk menggenangkan air. TWI menghitung tingkat akumulasi air dalam sebuah area tangkapan
DAS. Area tangkapan DAS menghitung area dari lahan tangkapan air ke suatu tempat dimana kemiringan lereng mengindikasikan kemampuan dari tempat itu
untuk menyimpanmenggenangkan air. Faktor lain yang mempengaruhi akumulasi air penggunaan lahan dan tanah di area tangkapan dan nilai simpanangenangan
air transmisivitas tanah, sehingga indeks ini hanya mengukur komponen topografi dari variasi spasial dalam kebasahan. Nilai-nilai TWI umumnya berkisar
mulai dari 5 pada bagian atas lereng sampai 20 pada bagian-bagian yang datarcekungan Yesilnacar and Suzen 2006.
TWI dapat dipahami sebagai pengukuran relatif kondisi hidrologis pada suatu tempat dari suatu bentanglahan. Nilai TWI didasarkan pada beberapa asumsi,
dimana lereng permukaan diasumsikan mewakili kemiringan muka air tanah, sementara konduktivitas hidrolik tanah dan presipitasi diasumsikan seragam
dalam suatu bentanglahan. Nilai indeks TWI yang kecil biasanya ditemukan di bagian atas lereng, sedangkan nilai indeks TWI yang besar biasanya terdapat di
daerah cekungan yang berasosiasi dengan tanah yang mempunyai konduktivitas hidrolik rendah.
Indeks topografi biasanya dihitung dari data grid elevasi dengan mempertimbangkan resolusi gridnya karena besarnya grid mempengaruhi hasil
nilai indeks yang dihitung. Wolock dan Prince 1994 menyatakan bahwa ketika dua resolusi dibandingkan, antara grid 30 m dan grid 90 m, maka rata-rata dari
upslope area terpengaruh. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran grid dan isi informasi dalam DEM. Zhang dan Montgomery 1994 berdasarkan hasil
penelitiannya menyatakan bahwa untuk bentanglahan dengan ukuran grid 10 m cukup baik untuk pemodelan hidrologi, namun demikian jika resolusi ditingkatkan
misalnya menjadi 2-4 m, maka ternyata hasilnya tidak memberikan informasi tambahan yang berarti.
2.5 Digital Elevation Model DEM