kegiatan penyaradan dan pemuatan. Alat angkut yang digunakan adalah logging truck. Pengangkutan juga bergantung pada cuaca.
5.2 Pohon Contoh 5.2.1 Kelompok Jenis Pohon Contoh
Penebangan pohon yang sedang berlangsung di PT. MAM dilakukan pada areal RKT 2012. Penelitian ini dilakukan di petak 37QQ Blok RKT 2012 dengan
fungsi hutan produksi terbatas HPT, sehingga penebangan pohon hanya dilakukan pada pohon dengan diameter
≥ 50 cm, sehat, bernilai komersil dan berlabel merah. Berdasarkan LHC petak tebang terpilih terdapat 1060 pohon layak
tebang dimana 40,8 merupakan pohon kelompok meranti dan 59,8 kelompok non meranti. Pohon contoh yang diamati terdiri atas kelompok meranti dan non
meranti. Pohon contoh yang diamati sebanyak 29 pohon yang terdiri atas 69 kelompok meranti dan 31 dari kelompok non meranti. Sebaran kelompok jenis
pohon contoh disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran kelompok jenis pohon contoh. 5.2.2 Diameter Pohon Contoh
Diameter rata-rata pohon – pohon contoh sebesar 87,7 cm dengan diameter terkecil 52,4 cm dan diameter terbesar 197 cm. Sementara berdasarkan kelompok
jenis, kelompok jenis meranti memiliki rata-rata diameter paling besar, yaitu 100,2 cm dan diameter rata-rata terkecil dari kelompok jenis meranti, yaitu 59,7
cm. Pohon berdiameter besar didominasi oleh jenis merbau dan mersawa. Gambar 5 menyajikan sebaran diameter pohon contoh.
69
31
20 40
60 80
Meranti Non Meranti
P e
rs en
ta se
Kelompok jenis kayu
Gambar 5 Sebaran diameter pohon contoh. Rata – rata tinggi total pohon contoh sebesar 31,58 meter dengan sebaran
25,2 meter – 39,26 meter, sementara rata – rata tinggi bebas cabang adalah 25,82 meter dengan sebaran 16,4 meter – 33,9 meter. Tinggi tajuk rata-rata sebesar 5,73
meter. Pohon tertinggi adalah jenis mersawa dengan tinggi 39,26 meter. Sebaran tinggi pohon contoh disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Persentase sebaran tinggi pohon contoh Tinggi bebas cabang,
Tinggi total.
5.3. Kuantifikasi Hasil Penebangan 5.3.1. Batang Komersial
Batang utama atau batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada
68.96
10.34 6.89
3.44 10.34
10 20
30 40
50 60
70 80
52 - 81 81 - 110
110 - 139 139 - 168
168 - 197 P
er se
n ta
se
Sebaran diameter cm
27.58 34.48
27.58
10.34 10.34
31.03 48.27
6.89 3.45
10 20
30 40
50 60
19-23 23-27
27-31 31-35
35-39 39-43
P e
rs e
n ta
se
Sebaran tinggi pohon meter
pengusahaan hutan alam. Dari total volume pohon yang diukur, yaitu 343,6 m
3
, kayu bulat yang dimanfaatkan sebesar 258,5 m
3
atau 75,2. Sisanya berupa limbah kayu bulat yang berasal dari tunggak, batang atas, cabang dan ranting, dan
potongan pendek. Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat
pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Dari kelompok jenis meranti, volume tebangan yang dimanfaatkan sebanyak
225,6 m
3
atau 76,5 dari total volume. Sementara untuk kelompok jenis non meranti hanya sebesar 32,8 m
3
atau 67,4 dari total volume. Besarnya tingkat pemanfaatan pohon yang diukur ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT. MAM
Jenis Komersial
Non Komersil Total
m
3
m
3
m
3
Semua Jenis 258,5
75,2 85,2
24,8 343,7
100 Meranti
225,6 76,5
69,3 23,5
294,9 100
Non meranti 32,8
67,4 15,9
32,6 48,7
100 Berdasarkan tabel di atas, dari total volume pohon yang diukur, sebesar
24,8 tidak dimanfaatkan dan berpotensi menjadi limbah pemanenan kayu, yaitu 23,5 dari kelompok meranti dan 32,6 dari kelompok non meranti.
5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu
Pengertian limbah pemanenan kayu dalam penelitian ini adalah bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan pada saat ini dan biasanya
dibiarkan ditinggalkan di dalam hutan. Bagian pohon tersebut tidak dimanfaatkan karena bukan menjadi target produksi PT. MAM. Limbah pemanenan ini berupa
tunggak, bagian dari batang utama, bagian dari batang atas, cabang dan ranting, atau potongan pendek. Dari 29 pohon contoh yang diukur, volume limbah paling
besar berupa potongan pendek sebesar 25,3 m
3
7,4 dan volume limbah terkecil berupa cabang dan ranting sebesar 16,4 m
3
4,7. Sisanya merupakan limbah dari batang atas sebesar 21,1 m
3
6,2 dan limbah tunggak sebesar 22,4 m
3
6,2. Volume limbah pemanenan berdasarkan bentuk sortimennya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Volume limbah pemanenan hutan di PT. MAM
Volume Sortimen Limbah
Jenis Papua
Jambi Semua
Jenis Meranti
Non meranti
Semua Jenis
Meranti Non
meranti Tunggak
m
3
22,4 18,8
3,6 36,9
15,4 21,4
6,5 6,4
7,5 6,7
7,1 5,1
Batang Atas m
3
21,1 15,9
5,2 67,5
28,5 39,0
6,1 5,4
10,6 12,2
13,0 2,3
Cabang dan Ranting
m
3
16,5 12,9
3,4 60,3
18,8 41,5
4,8 4,4
7,0 10,9
8,6 9,9
Potongan Pendek
m
3
25,3 21,7
3,7 54,7
28,0 26,7
7,4 7,3
7,5 9,9
12,8 21,6
Total m
3
85,2 69,3
15,9 219,4
90,7 128,6
24,8 23,5
32,6 39,5
41,6 39,0
Sumber : Budiaman 2000.
Jika dilihat dari jenis pohon yang ditebang, data yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari kelompok non meranti lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan kelompok jenis yang dominan adalah kelompok non meranti. Sementara itu, dilihat dari asal
limbah, limbah potongan pendek yang berasal dari kelompok jenis meranti dan non meranti relatif tidak berbeda jauh, yaitu berkisar dari 7,3 – 7,5. Perbedaan
cukup mencolok terlihat pada limbah yang berasal dari batang atas dan cabang dan ranting. Volume limbah batang atas dari kelompok jenis meranti mencapai
5,4, sementara dari kelompok jenis non meranti sebesar 10,6. Jika dibedakan berdasarkan jenisnya, limbah cabang dan ranting untuk kelompok jenis meranti
lebih kecil dibandingkan volume cabang dan ranting dari kelompok jenis meranti, begitu pula untuk limbah potongan pendek.
Budiaman 2000 melaporkan bahwa limbah terbesar berasal dari batang atas, yaitu sebesar 12,2 dan volume limbah terkecil berasal dari tunggak sebesar
6,7. Hasil ini berbeda dengan penelitian di PT. MAM dimana limbah terbesar merupakan limbah potongan pendek. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan
arsitektur tegakan, dimana tegakan di Jambi memiliki batang atas yang lebih panjang dibandingkan dengan di Papua yang hanya memiliki panjang rata-rata
batang atas sebesar 5,7 meter, sehingga pada penelitian di Jambi limbah terbesar berasal dari batang atas. Sementara itu, tegakan di Papua memiliki rata-rata
diameter yang cukup besar, yaitu 87,7 cm, sehingga semakin besar diameter akan menghasilkan volume yang besar. Pada PT. MAM, dilakukan pemotongan batang
pada bagian pangkal pohon dengan rata-rata diameter yang cukup besar, sehingga berpengaruh pada volume limbah potongan pendek yang besar pula.
Limbah potongan pendek merupakan bagian dari batang utama yang sengaja ditinggalkan di dalam hutan atau tidak dimanfaatkan. Limbah potongan
pendek banyak ditemukan di petak tebang karena adanya pemotongan batang pada bagian pangkal dan ujung. Potongan-potongan pendek terjadi pada saat
penebang memotong batang baik pada bagian pangkal maupun ujung yang disebabkan adanya cacat alami maupun cacat mekanis pada saat penebangan
untuk mendapatkan kayu gelondongan dengan kualitas tinggi. Potongan pendek pada pangkal dihitung dari batas potongan tunggak sampai batas potongan
pangkal dan potongan pendek pada bagian ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke cabang pertama.
Limbah potongan pendek terjadi karena adanya kebijakan pemotongan batang yang dilakukan di petak tebang. Pada PT. MAM tidak dilakukan
pembagian batang melainkan hanya pemotongan batang trimming pada bagian pangkal dan ujung batang. Besarnya limbah potongan pendek juga menunjukkan
kurang terampilnya penebang dalam menentukan arah rebah pohon. Dalam menentukan arah rebah pohon perlu diperhatikan kondisi sekitar pohon, sehingga
saat pohon rebah tidak terjadi cacat mekanis yang begitu besar pada batang seperti pecah atau belah. Trimming yang dilakukan pada bagian pangkal maupun ujung
pohon untuk mengurangi cacat ini akan menghasilkan limbah potongan pendek dalam jumlah besar.
Selain penentuan arah rebah, kurang terampilnya penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas menjadi salah satu penyebab besarnya
jumlah limbah potongan pendek. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menyebabkan kerusakan pada bagian pangkal seperti pecah
dan retak. Hal ini tentu akan mengurangi nilai komersial batang yang dapat dimanfaatkan karena dilakukannya trimming pada bagian tersebut. Pada penelitian
ini tidak ditemukan adanya kayu gelondongan utuh yang menjadi limbah dikarenakan jatuh ke jurang atau mengalami cacat alami.
Limbah terkecil terdapat pada cabang dan ranting. Cabang dan ranting yang diukur dalam penelitian ini berdiameter sampai 10 cm tanpa batasan
panjang. Cabang dan ranting yang ditemukan dalam penelitian rata – rata dalam keadaan hancur. Sementara limbah batang atas di areal penelitian memiliki
diameter di atas 40 cm dengan panjang rata – rata mencapai 5,7 meter. Limbah tunggak yang ditemukan di areal penelitian memiliki tinggi rata –
rata 0,98 meter. Tinggi tunggak – tunggak ini lebih tinggi dari batas yang diberikan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah sehingga akan
menimbulkan limbah pemanenan kayu. Menurut Elias 1999, untuk mencapai pemanenan dengan sistem reduced impact logging RIL, pemotongan tunggak
harus dilakukan serendah mungkin untuk menghindari kerugian kayu, sehingga batas ketinggian maksimum yang paling optimal adalah 50 cm. Kelebihan
tunggak ini disebabkan penebang memilih membuat takik balas yang lebih tinggi untuk memudahkan pada saat menebang, selain itu juga penebang enggan
menebang dengan takik balas lebih rendah dikarenakan besarnya premi yang didapatkan tidak terlalu besar. Berikut dapat dilihat batas ketinggian maksimum
pemotongan tunggak untuk pemanenan RIL menurut Elias 1999.
Gambar 7 Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sitem RIL.
5.4. Karakteristik Limbah Kayu
Limbah pemanenan pada petak tebang berada dalam kondisi rusak atau cacat dan ada pula yang dalam kondisi baik. Cacat kayu adalah suatu kelainan
yang terdapat pada kayu yang dapat mempengaruhi mutu kayu SNI 1999. Dari total volume sortimen kayu bulat sebesar 258,5 m
3
, sebanyak 28,3 m
3
atau 10,9
merupakan batang yang mengandung cacat seperti pecah, belah, mata kayu dan gerowong. Untuk batang atas, sebesar 13,3 m
3
atau 39,3 mengandung cacat berupa pecah batang dan sebesar 12,7 m
3
atau 77,6 dari volume total cabang dan ranting mengalami pecah, hancur dan mata kayu. Sebaran kondisi kayu
berdasarkan sortimen kayu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu di PT. MAM
Jenis Sortimen
Kondisi Kayu
Kuantifikasi Kayu Bulat PT. MAM
IUPHHK Jambi Volume
m
3
Persentase Volume
m
3
Persentase Batang
Komersial Bebas cacat
258,5 90,1
335,6 93,8
Cacat 28,3
10,9 22,1
6,2 Total
286,7 100,0
357,7 100,0
Batang Atas Bebas cacat
7,8 60,7
40,5 60,0
Cacat 13,3
39,3 63,0
40,0 Total
21,1 100,0
67,5 100,0
Cabang dan ranting
Bebas cacat 3,7
22,4 15,3
25,3 Cacat
12,7 77,6
45,0 74,7
Total 16,4
100,0 60,3
100,0
Sumber : Budiaman 2001.
Cacat yang terjadi pada batang dapat berupa cacat alami maupun cacat mekanis. Cacat alami merupakan cacat atau kerusakan yang berasal dari keadaan
pohon yang ditebang seperti mata kayu, busuk hati, gerowong dan sebagainya. Sedangkan cacat mekanis merupakan bentuk kerusakan pada kayu yang
disebabkan kesalahan teknis pada saat penebangan, penyaradan maupun pemuatan. Cacat mekanis dapat berupa belah, pecah dan hancur. Limbah
pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami defect yang terjadi secara alami tidak
memenuhi persyaratan yang diinginkan Matangaran et al. 2000. Sementara menurut Budiaman 2001, cacat kayu dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu
cacat yang mengurangi ketahanan kayu seperti busuk dan pecah, dan cacat yang mengurangi kekuatan penampakan dan membatasi penggunaan kayu seperti mata
kayu dan jamur. Besarnya volume limbah berdasarkan jenis cacat kayu ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Volume limbah di petak tebang berdasarkan jenis cacat kayu
Kondisi Limbah Volume total m
3
Volume rata – rata m
3
plot
1. Cacat alami Gerowong
Mata Kayu 1,03
7,34 0,04
0,25 2.
Cacat mekanis Pecah
Belah Hancur
46,10 10,70
1,69 1,58
0,37 0,06
3. Baik
43,67 1,51
Jenis cacat alami yang ditemukan berupa mata kayu dan gerowong. Dalam menduga suatu batang mengalami gerowong atau tidak, biasanya penebang akan
mengetukkan atau memukul pohon dengan parang. Jika pohon diduga memiliki gerowong yang cukup besar maka penebang akan membuat takik balas lebih
tinggi dari perkiraan gerowong kayu, tetapi apabila gerowong diduga tidak begitu besar maka penebang akan menebang pohon seperti biasa dan kemudian akan
memisahkan bagian gerowong dengan batang komersial pada saat pohon telah rebah. Bila ukuran gerowong melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh
standar pemanfaatan dari perusahaan, maka pohon tersebut tidak perlu ditebang. Limbah yang terjadi sebagian besar karena cacat mekanis yang terjadi
akibat kesalahan teknis pada saat penebangan. Limbah terbesar terjadi dalam keadaan pecah yaitu 1,58 m
3
plot atau 41,71. Limbah pecah ini berasal dari kegiatan trimming berupa potongan pangkal batang dan potongan ujung batang.
Limbah pecah ini menunjukkan masih kurangnya keterampilan penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang
kurang tepat dapat menimbulkan kerusakan pada bagian pangkal berupa pecah pada pangkal dan akan timbul serabut pada pangkal barber chair sehingga harus
dilakukan pemotongan pada bagian tersebut.
Selain itu juga limbah pecah dipengaruhi oleh kurangnya keterampilan penebang pada saat menentukan arah rebah. Penentuan arah rebah sangat penting
dalam penebangan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan atau cacat pada kayu seperti pecah sehingga diperoleh kayu – kayu dengan nilai yang tinggi dan
juga untuk memudahkan dalam pengerjaan batang – batang pohon selanjutnya, bahkan sampai penghelaannya Prastowo 1980. Perebahan pohon sebaiknya
memperhatikan kondisi lapang di sekitar pohon, kondisi pohon, cacat fisik alami pohon, keadaan banir dan kondisi cuaca pada saat penebangan.
Limbah terkecil adalah limbah dalam keadaan hancur yaitu sebesar 1,69 m
3
plot atau 1,53. Limbah hancur ini berasal dari bagian cabang dan ranting yang berada di bagian bawah dan ujung pada saat pohon rebah. Cabang dan
ranting mengalami hancur karena pada saat pohon rebah, cabang dan ranting pada bagian sisi bawah ketika pohon rebah akan menahan pohon dan menyentuh tanah.
Sedangkan cabang dan ranting pada bagian ujung pohon biasanya pada saat pohon rebah akan menimpa batang pohon lain dan kemudian menyentuh tanah sehingga
akan hancur. Persentase limbah berdasarkan kondisinya dapat dilihat pada Gambar 8. Disajikan pula persentase limbah pemanenan dari hasil penelitian
Partiani 2010 di PT Salaki Suma Sejahtera S3, Sumatera Barat.
Gambar 8 Persentase limbah berdasarkan jenis cacat kayu PT. MAM,
PT S3 Dalam penelitian ini, limbah dalam keadaan baik berupa limbah batang
bebas cabang, batang atas serta limbah cabang dan ranting dalam keadaan baik dan memenuhi syarat kualita dengan diameter
≥ 30 cm dan panjang ≥ 4 meter
0.9 6.6
41.7
9.7 1.5
39.5
1.1 46.7
13.2 0.62
36.2
10 20
30 40
50
Gerowong Mata kayu
Pecah Belah
Hancur Bebas cacat
P e
rs en
ta se
L im
b a
h
Jenis Cacat kayu
tetapi tidak dimanfaatkan atau ditinggal di dalam hutan. Volume limbah dalam kondisi baik sebesar 39,51 atau 1,51 m
3
plot dari total limbah yang terjadi. Banyaknya limbah dalam kondisi baik disebabkan belum adanya pemanfaatan
dari batang berdiameter kecil terutama dari batang bagian atas serta cabang dan ranting. Untuk itu perlu dicari alternatif dalam memanfaatkan limbah baik ini
guna meningkatkan nilai tambah kayu dan upaya penekanan meminimalkan limbah pemanenan kayu. Di PT. MAM, pemanfaatan limbah selama ini hanya
dilakukan pada limbah tunggak yang berasal dari pohon merbau. Tunggak merbau ini diekspor ke Jepang dan Malaysia sebagai bahan baku molding dan flooring.
Limbah kayu bulat berdiameter kecil merupakan sumber kayu bulat yang cukup potensial. Dari berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata lebih
dari 13 kayu yang ditebang di negara tropis dibiarkan di hutan dan tidak dimanfaatkan. Hasil penelitian di hutan tropis Malaysia menunjukkan bahwa
bagian kayu bulat yang ditinggalkan di hutan besarnya sekitar 2 kali lipat dari volume kayu yang dikeluarkan dari hutan Danced Project 1999, sedangkan di
Indonesia volume kayu ini diperkirakan sebesar 40 - 50 dari volume kayu potensial Budiaman 2000. Pemanfaatan limbah kayu bulat berdiameter kecil
masih kurang mendapat perhatian dari pemegang kebijakan dan industri yang menggunakan kayu bulat sebagai bahan utama. Hal ini disebabkan pemanfaatan
kayu bulat kecil memerlukan biaya penanganan yang lebih besar dan pengetahuan tentang teknologi pemanfaatan kayu bulat kecil yang masih sangat terbatas.
Indonesia saat ini mengalami kekurangan pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri. Semakin lama pasokan kayu bulat tidak akan mampu lagi
memenuhi kebutuhan industri perkayuan. Kelangkaan kayu bulat besar yang berlebihan menuntut adanya pergeseran pola pemanfaatan dan teknologi dari
pemanfaatan kayu bulat berdimater besar ke arah kayu bulat berdiameter kecil, baik kayu kecil dari hutan tanaman maupun kayu bulat berdiameter kecil dari
limbah pemanenan sehingga pemanfaatan kayu dapat lebih efisien dan dapat menjadi alternatif dalam menanggulangi kekurangan pasokan bahan baku kayu
bulat. Budiaman 2000 menyatakan bahwa 43 dari limbah pemanenan di hutan alam dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk lanjutan dan 44 diantaranya
digunakan sebagai bahan baku kayu gergajian, core veneer, dan chip, dan 42 dari limbah batang layak dikeluarkan sebagai log.
Widarmana 1973 mengemukakan bahwa kayu limbah tebangan berdiameter 10 cm ke atas masih dapat dimanfaatkan. Selain itu Dardiyanto
1988 mengemukakan bahwa kayu – kayu limbah tebangan yang berdiameter 30 cm ke atas dapat digunakan untuk industri sawmill. Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan 1990, menyatakan bahwa limbah pemanenan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku finir veneer, kayu gergajian sawn timber,
papan blok block board, papan partikel partikel board dan peti pengemas.
5.5. Faktor Eksploitasi