kegiatan  penyaradan  dan  pemuatan.  Alat  angkut  yang  digunakan  adalah  logging truck. Pengangkutan juga bergantung pada cuaca.
5.2  Pohon Contoh 5.2.1  Kelompok Jenis Pohon Contoh
Penebangan pohon yang sedang berlangsung di PT. MAM dilakukan pada areal RKT 2012. Penelitian ini dilakukan di petak 37QQ Blok RKT 2012 dengan
fungsi  hutan  produksi  terbatas  HPT,  sehingga  penebangan  pohon  hanya dilakukan  pada  pohon  dengan  diameter
≥  50  cm,  sehat,  bernilai  komersil  dan berlabel merah. Berdasarkan LHC petak tebang terpilih terdapat 1060 pohon layak
tebang dimana 40,8 merupakan pohon kelompok meranti  dan 59,8 kelompok non  meranti.  Pohon  contoh  yang  diamati  terdiri  atas  kelompok  meranti  dan  non
meranti.  Pohon  contoh  yang  diamati  sebanyak  29  pohon  yang  terdiri  atas  69 kelompok meranti dan 31 dari kelompok non meranti. Sebaran  kelompok jenis
pohon contoh disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4  Sebaran kelompok jenis pohon contoh. 5.2.2  Diameter Pohon Contoh
Diameter rata-rata pohon – pohon contoh sebesar 87,7 cm dengan diameter terkecil 52,4 cm dan diameter terbesar 197 cm. Sementara berdasarkan  kelompok
jenis,  kelompok  jenis  meranti  memiliki  rata-rata  diameter  paling  besar,  yaitu 100,2  cm  dan  diameter  rata-rata  terkecil  dari  kelompok jenis  meranti,  yaitu  59,7
cm. Pohon berdiameter besar didominasi oleh jenis merbau dan mersawa. Gambar 5 menyajikan sebaran diameter pohon contoh.
69
31
20 40
60 80
Meranti Non Meranti
P e
rs en
ta se
Kelompok jenis kayu
Gambar 5  Sebaran diameter pohon contoh. Rata – rata tinggi total pohon contoh  sebesar 31,58 meter dengan sebaran
25,2 meter – 39,26 meter, sementara rata – rata tinggi bebas cabang adalah 25,82 meter dengan sebaran 16,4 meter – 33,9 meter. Tinggi tajuk rata-rata sebesar 5,73
meter.  Pohon  tertinggi  adalah  jenis  mersawa  dengan  tinggi  39,26  meter.  Sebaran tinggi pohon contoh disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6  Persentase sebaran tinggi pohon contoh Tinggi bebas cabang,
Tinggi total.
5.3. Kuantifikasi Hasil Penebangan 5.3.1. Batang Komersial
Batang utama atau batang  komersial adalah batang dari atas banir  sampai cabang  pertama  atau  batang  yang  selama  ini  dikeluarkan  oleh  perusahaan  pada
68.96
10.34 6.89
3.44 10.34
10 20
30 40
50 60
70 80
52 - 81 81 - 110
110 - 139 139 - 168
168 - 197 P
er se
n ta
se
Sebaran diameter cm
27.58 34.48
27.58
10.34 10.34
31.03 48.27
6.89 3.45
10 20
30 40
50 60
19-23 23-27
27-31 31-35
35-39 39-43
P e
rs e
n ta
se
Sebaran tinggi pohon meter
pengusahaan  hutan  alam.  Dari  total  volume  pohon  yang  diukur,  yaitu  343,6  m
3
, kayu  bulat  yang  dimanfaatkan    sebesar  258,5  m
3
atau  75,2.  Sisanya  berupa limbah kayu bulat yang berasal dari tunggak, batang atas, cabang dan ranting, dan
potongan pendek. Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat
pemanfaatan  yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Dari  kelompok  jenis  meranti,  volume  tebangan  yang  dimanfaatkan  sebanyak
225,6  m
3
atau  76,5  dari  total  volume.  Sementara  untuk  kelompok  jenis  non meranti  hanya  sebesar  32,8  m
3
atau  67,4  dari  total  volume.  Besarnya  tingkat pemanfaatan pohon yang diukur ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4  Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT. MAM
Jenis Komersial
Non Komersil Total
m
3
m
3
m
3
Semua Jenis 258,5
75,2 85,2
24,8 343,7
100 Meranti
225,6 76,5
69,3 23,5
294,9 100
Non meranti 32,8
67,4 15,9
32,6 48,7
100 Berdasarkan  tabel  di  atas,  dari  total  volume  pohon  yang  diukur,  sebesar
24,8 tidak dimanfaatkan dan berpotensi menjadi limbah pemanenan kayu, yaitu 23,5 dari kelompok meranti dan 32,6 dari kelompok non meranti.
5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu
Pengertian  limbah  pemanenan  kayu  dalam  penelitian  ini  adalah  bagian pohon  yang  tidak  dimanfaatkan  oleh  perusahaan  pada  saat  ini  dan  biasanya
dibiarkan ditinggalkan di dalam hutan. Bagian pohon tersebut tidak dimanfaatkan karena  bukan  menjadi  target  produksi  PT.  MAM.  Limbah  pemanenan  ini  berupa
tunggak,  bagian  dari  batang  utama,  bagian  dari  batang  atas,  cabang  dan  ranting, atau potongan pendek. Dari 29 pohon contoh  yang diukur, volume limbah paling
besar berupa potongan pendek sebesar 25,3 m
3
7,4 dan volume limbah terkecil berupa  cabang  dan  ranting  sebesar  16,4  m
3
4,7.  Sisanya  merupakan  limbah dari  batang  atas  sebesar  21,1  m
3
6,2  dan  limbah  tunggak  sebesar  22,4  m
3
6,2.  Volume  limbah  pemanenan  berdasarkan  bentuk  sortimennya  disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5  Volume limbah pemanenan hutan di PT. MAM
Volume Sortimen Limbah
Jenis Papua
Jambi Semua
Jenis Meranti
Non meranti
Semua Jenis
Meranti Non
meranti Tunggak
m
3
22,4 18,8
3,6 36,9
15,4 21,4
6,5 6,4
7,5 6,7
7,1 5,1
Batang Atas m
3
21,1 15,9
5,2 67,5
28,5 39,0
6,1 5,4
10,6 12,2
13,0 2,3
Cabang dan Ranting
m
3
16,5 12,9
3,4 60,3
18,8 41,5
4,8 4,4
7,0 10,9
8,6 9,9
Potongan Pendek
m
3
25,3 21,7
3,7 54,7
28,0 26,7
7,4 7,3
7,5 9,9
12,8 21,6
Total m
3
85,2 69,3
15,9 219,4
90,7 128,6
24,8 23,5
32,6 39,5
41,6 39,0
Sumber : Budiaman 2000.
Jika  dilihat  dari  jenis  pohon  yang  ditebang,  data  yang  diperoleh menunjukkan bahwa  limbah  yang  berasal dari  kelompok non meranti  lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan kelompok jenis yang  dominan  adalah  kelompok  non  meranti.  Sementara  itu,  dilihat  dari  asal
limbah,  limbah  potongan  pendek  yang  berasal  dari  kelompok  jenis  meranti  dan non meranti relatif tidak berbeda jauh, yaitu berkisar dari 7,3 – 7,5. Perbedaan
cukup  mencolok  terlihat  pada  limbah  yang  berasal  dari  batang  atas  dan  cabang dan  ranting.  Volume  limbah  batang  atas  dari  kelompok  jenis  meranti  mencapai
5,4, sementara dari  kelompok jenis  non meranti sebesar 10,6. Jika dibedakan berdasarkan  jenisnya,  limbah  cabang  dan  ranting  untuk  kelompok  jenis  meranti
lebih kecil dibandingkan volume cabang dan ranting dari kelompok jenis meranti, begitu pula untuk limbah potongan pendek.
Budiaman  2000  melaporkan  bahwa  limbah  terbesar  berasal  dari  batang atas, yaitu sebesar 12,2 dan volume limbah terkecil berasal dari tunggak sebesar
6,7.  Hasil  ini  berbeda  dengan  penelitian  di  PT.  MAM  dimana  limbah  terbesar merupakan  limbah  potongan  pendek.  Hal  ini  dikarenakan  terdapat  perbedaan
arsitektur  tegakan,  dimana  tegakan  di  Jambi  memiliki  batang  atas  yang  lebih panjang  dibandingkan  dengan  di  Papua  yang  hanya  memiliki  panjang  rata-rata
batang  atas  sebesar  5,7  meter,  sehingga  pada penelitian  di  Jambi  limbah  terbesar berasal  dari  batang  atas.  Sementara  itu,  tegakan  di  Papua  memiliki  rata-rata
diameter yang cukup besar, yaitu 87,7 cm, sehingga semakin besar diameter akan menghasilkan volume yang besar. Pada PT. MAM, dilakukan pemotongan batang
pada bagian pangkal pohon dengan rata-rata diameter yang cukup besar, sehingga berpengaruh pada volume limbah potongan pendek yang besar pula.
Limbah  potongan  pendek  merupakan  bagian  dari  batang  utama  yang sengaja  ditinggalkan  di  dalam  hutan  atau  tidak  dimanfaatkan.  Limbah  potongan
pendek  banyak  ditemukan  di  petak  tebang  karena  adanya  pemotongan  batang pada  bagian  pangkal  dan  ujung.  Potongan-potongan  pendek  terjadi  pada  saat
penebang  memotong  batang  baik  pada  bagian  pangkal  maupun  ujung  yang disebabkan  adanya  cacat  alami  maupun  cacat  mekanis  pada  saat  penebangan
untuk  mendapatkan  kayu  gelondongan  dengan  kualitas  tinggi.  Potongan  pendek pada  pangkal  dihitung  dari  batas  potongan  tunggak  sampai  batas  potongan
pangkal  dan  potongan  pendek  pada  bagian  ujung  batang  dihitung  dari  batas potongan sampai ke cabang pertama.
Limbah  potongan  pendek  terjadi  karena  adanya  kebijakan  pemotongan batang  yang  dilakukan  di  petak  tebang.  Pada  PT.  MAM  tidak  dilakukan
pembagian  batang  melainkan  hanya  pemotongan  batang  trimming  pada  bagian pangkal  dan  ujung  batang.  Besarnya  limbah  potongan  pendek  juga  menunjukkan
kurang  terampilnya  penebang  dalam  menentukan  arah  rebah  pohon.  Dalam menentukan arah rebah pohon perlu diperhatikan kondisi sekitar pohon, sehingga
saat pohon rebah tidak terjadi cacat mekanis yang begitu besar pada batang seperti pecah  atau  belah.  Trimming  yang  dilakukan  pada  bagian  pangkal  maupun  ujung
pohon  untuk  mengurangi  cacat  ini  akan  menghasilkan  limbah  potongan  pendek dalam jumlah besar.
Selain  penentuan  arah  rebah,  kurang  terampilnya  penebang  dalam membuat  takik  rebah  dan  takik  balas  menjadi  salah  satu  penyebab  besarnya
jumlah  limbah  potongan  pendek.  Pembuatan  takik  rebah  dan  takik  balas  yang kurang  tepat  dapat  menyebabkan  kerusakan  pada  bagian  pangkal  seperti  pecah
dan  retak.  Hal  ini  tentu  akan  mengurangi  nilai  komersial  batang  yang  dapat dimanfaatkan karena dilakukannya trimming pada bagian tersebut. Pada penelitian
ini  tidak  ditemukan  adanya  kayu  gelondongan  utuh  yang  menjadi  limbah dikarenakan jatuh ke jurang atau mengalami cacat alami.
Limbah  terkecil  terdapat  pada  cabang  dan  ranting.  Cabang  dan  ranting yang  diukur  dalam  penelitian  ini  berdiameter  sampai  10  cm  tanpa  batasan
panjang.  Cabang  dan  ranting  yang  ditemukan  dalam penelitian  rata  –  rata  dalam keadaan  hancur.  Sementara  limbah  batang  atas  di  areal  penelitian  memiliki
diameter di atas 40 cm dengan panjang rata – rata mencapai 5,7 meter. Limbah tunggak  yang ditemukan di areal penelitian memiliki tinggi rata –
rata  0,98  meter.  Tinggi  tunggak  –  tunggak  ini  lebih  tinggi  dari  batas  yang diberikan  untuk  hutan  alam  yaitu  50  cm  di  atas  permukaan  tanah  sehingga  akan
menimbulkan  limbah  pemanenan  kayu.  Menurut  Elias  1999,  untuk  mencapai pemanenan  dengan  sistem  reduced  impact  logging  RIL,  pemotongan  tunggak
harus  dilakukan  serendah  mungkin  untuk  menghindari  kerugian  kayu,  sehingga batas  ketinggian  maksimum  yang  paling  optimal  adalah  50  cm.  Kelebihan
tunggak ini disebabkan penebang memilih membuat takik balas  yang lebih tinggi untuk  memudahkan  pada  saat  menebang,  selain  itu  juga  penebang  enggan
menebang  dengan  takik  balas  lebih  rendah  dikarenakan  besarnya  premi  yang didapatkan  tidak  terlalu  besar.  Berikut  dapat  dilihat  batas  ketinggian  maksimum
pemotongan tunggak untuk pemanenan RIL menurut Elias 1999.
Gambar 7  Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sitem RIL.
5.4. Karakteristik Limbah Kayu
Limbah  pemanenan  pada  petak  tebang  berada  dalam  kondisi  rusak  atau cacat  dan  ada  pula  yang  dalam  kondisi  baik.  Cacat  kayu  adalah  suatu  kelainan
yang  terdapat pada  kayu  yang  dapat mempengaruhi  mutu  kayu  SNI  1999.  Dari total volume sortimen kayu bulat sebesar 258,5 m
3
, sebanyak 28,3 m
3
atau 10,9
merupakan  batang  yang  mengandung  cacat  seperti  pecah,  belah,  mata  kayu  dan gerowong.  Untuk  batang  atas,  sebesar  13,3  m
3
atau  39,3  mengandung  cacat berupa pecah batang dan sebesar 12,7 m
3
atau 77,6 dari volume total cabang dan ranting  mengalami  pecah,  hancur  dan  mata  kayu.  Sebaran  kondisi  kayu
berdasarkan sortimen kayu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6  Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu di PT. MAM
Jenis Sortimen
Kondisi Kayu
Kuantifikasi Kayu Bulat PT. MAM
IUPHHK Jambi Volume
m
3
Persentase Volume
m
3
Persentase Batang
Komersial Bebas cacat
258,5 90,1
335,6 93,8
Cacat 28,3
10,9 22,1
6,2 Total
286,7 100,0
357,7 100,0
Batang Atas Bebas cacat
7,8 60,7
40,5 60,0
Cacat 13,3
39,3 63,0
40,0 Total
21,1 100,0
67,5 100,0
Cabang dan ranting
Bebas cacat 3,7
22,4 15,3
25,3 Cacat
12,7 77,6
45,0 74,7
Total 16,4
100,0 60,3
100,0
Sumber : Budiaman 2001.
Cacat  yang  terjadi  pada  batang  dapat  berupa  cacat  alami  maupun  cacat mekanis. Cacat alami merupakan cacat atau kerusakan  yang berasal dari keadaan
pohon  yang  ditebang  seperti  mata  kayu,  busuk  hati,  gerowong  dan  sebagainya. Sedangkan  cacat  mekanis  merupakan  bentuk  kerusakan  pada  kayu  yang
disebabkan  kesalahan  teknis  pada  saat  penebangan,  penyaradan  maupun pemuatan.  Cacat  mekanis  dapat  berupa  belah,  pecah  dan  hancur.  Limbah
pemanenan  merupakan  limbah  mekanis  yang  terjadi  akibat  kegiatan  pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami defect yang terjadi secara alami tidak
memenuhi  persyaratan  yang  diinginkan  Matangaran  et  al.  2000.  Sementara menurut Budiaman 2001, cacat kayu dapat dibedakan dalam dua kategori  yaitu
cacat  yang  mengurangi  ketahanan  kayu  seperti  busuk  dan  pecah,  dan  cacat  yang mengurangi kekuatan penampakan dan membatasi penggunaan kayu seperti mata
kayu  dan  jamur.  Besarnya  volume  limbah  berdasarkan  jenis  cacat  kayu ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7  Volume limbah di petak tebang berdasarkan jenis cacat kayu
Kondisi Limbah Volume total m
3
Volume rata – rata m
3
plot
1. Cacat alami Gerowong
Mata Kayu 1,03
7,34 0,04
0,25 2.
Cacat mekanis Pecah
Belah Hancur
46,10 10,70
1,69 1,58
0,37 0,06
3. Baik
43,67 1,51
Jenis cacat alami yang ditemukan berupa mata kayu dan gerowong. Dalam menduga  suatu batang  mengalami  gerowong  atau  tidak,  biasanya  penebang  akan
mengetukkan  atau  memukul  pohon  dengan  parang.  Jika  pohon  diduga  memiliki gerowong  yang  cukup  besar  maka  penebang  akan  membuat  takik  balas  lebih
tinggi dari perkiraan gerowong kayu, tetapi apabila gerowong diduga tidak begitu besar  maka  penebang  akan  menebang  pohon  seperti  biasa  dan  kemudian  akan
memisahkan  bagian  gerowong  dengan  batang  komersial  pada  saat  pohon  telah rebah.  Bila  ukuran  gerowong  melebihi  batas  toleransi  yang  ditentukan  oleh
standar pemanfaatan dari perusahaan, maka pohon tersebut tidak perlu ditebang. Limbah  yang  terjadi  sebagian  besar  karena  cacat  mekanis  yang  terjadi
akibat  kesalahan  teknis  pada  saat  penebangan.  Limbah  terbesar  terjadi  dalam keadaan  pecah  yaitu  1,58  m
3
plot  atau  41,71.  Limbah  pecah  ini  berasal  dari kegiatan  trimming  berupa  potongan  pangkal  batang  dan  potongan  ujung  batang.
Limbah  pecah  ini  menunjukkan  masih  kurangnya  keterampilan  penebang  dalam membuat takik rebah dan takik balas. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang
kurang  tepat  dapat  menimbulkan  kerusakan  pada  bagian  pangkal  berupa  pecah pada pangkal dan akan timbul serabut pada pangkal barber chair sehingga harus
dilakukan pemotongan pada bagian tersebut.
Selain  itu  juga  limbah  pecah  dipengaruhi  oleh  kurangnya  keterampilan penebang pada saat menentukan arah rebah. Penentuan arah rebah sangat penting
dalam penebangan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan atau cacat pada kayu  seperti  pecah  sehingga  diperoleh  kayu  –  kayu  dengan  nilai  yang  tinggi  dan
juga  untuk  memudahkan  dalam  pengerjaan  batang  –  batang  pohon  selanjutnya, bahkan  sampai  penghelaannya  Prastowo  1980.  Perebahan  pohon  sebaiknya
memperhatikan  kondisi  lapang  di  sekitar  pohon, kondisi  pohon,  cacat  fisik  alami pohon, keadaan banir dan kondisi cuaca pada saat penebangan.
Limbah  terkecil  adalah  limbah  dalam  keadaan  hancur  yaitu  sebesar  1,69 m
3
plot  atau  1,53.  Limbah  hancur  ini  berasal  dari  bagian  cabang  dan  ranting yang  berada  di  bagian  bawah  dan  ujung  pada  saat  pohon  rebah.  Cabang  dan
ranting mengalami hancur karena pada saat pohon rebah, cabang dan ranting pada bagian sisi bawah ketika pohon rebah akan menahan pohon dan menyentuh tanah.
Sedangkan cabang dan ranting pada bagian ujung pohon biasanya pada saat pohon rebah akan menimpa batang pohon lain dan  kemudian menyentuh tanah sehingga
akan  hancur.  Persentase  limbah  berdasarkan  kondisinya  dapat  dilihat  pada Gambar  8.  Disajikan  pula  persentase  limbah  pemanenan  dari  hasil  penelitian
Partiani 2010 di PT Salaki Suma Sejahtera S3, Sumatera Barat.
Gambar 8  Persentase limbah berdasarkan jenis cacat kayu PT. MAM,
PT S3 Dalam  penelitian  ini,  limbah  dalam  keadaan  baik  berupa  limbah  batang
bebas  cabang,  batang  atas  serta  limbah  cabang  dan  ranting  dalam  keadaan  baik dan  memenuhi  syarat  kualita  dengan  diameter
≥  30  cm  dan  panjang  ≥  4  meter
0.9 6.6
41.7
9.7 1.5
39.5
1.1 46.7
13.2 0.62
36.2
10 20
30 40
50
Gerowong Mata kayu
Pecah Belah
Hancur Bebas cacat
P e
rs en
ta se
L im
b a
h
Jenis Cacat kayu
tetapi  tidak  dimanfaatkan  atau  ditinggal  di  dalam  hutan.  Volume  limbah  dalam kondisi  baik  sebesar  39,51    atau  1,51  m
3
plot  dari  total  limbah  yang  terjadi. Banyaknya  limbah  dalam  kondisi  baik  disebabkan  belum  adanya  pemanfaatan
dari  batang  berdiameter  kecil  terutama  dari  batang  bagian  atas  serta  cabang  dan ranting.  Untuk  itu  perlu  dicari  alternatif  dalam  memanfaatkan  limbah  baik  ini
guna  meningkatkan  nilai  tambah  kayu  dan  upaya  penekanan  meminimalkan limbah  pemanenan  kayu.  Di  PT.  MAM,  pemanfaatan  limbah  selama  ini  hanya
dilakukan pada limbah tunggak yang berasal dari pohon merbau. Tunggak merbau ini diekspor ke Jepang dan Malaysia sebagai bahan baku molding dan flooring.
Limbah  kayu  bulat  berdiameter  kecil  merupakan  sumber  kayu  bulat  yang cukup  potensial.  Dari  berbagai  hasil  penelitian  diperoleh  bahwa  rata-rata  lebih
dari  13  kayu  yang  ditebang  di  negara  tropis  dibiarkan  di  hutan  dan  tidak dimanfaatkan.  Hasil  penelitian  di  hutan  tropis  Malaysia  menunjukkan  bahwa
bagian  kayu  bulat  yang  ditinggalkan  di  hutan  besarnya  sekitar  2  kali  lipat  dari volume  kayu  yang  dikeluarkan  dari  hutan  Danced  Project  1999,  sedangkan  di
Indonesia  volume  kayu  ini  diperkirakan  sebesar  40  -  50  dari  volume  kayu potensial  Budiaman  2000.  Pemanfaatan  limbah  kayu  bulat  berdiameter  kecil
masih  kurang  mendapat  perhatian  dari  pemegang  kebijakan  dan  industri  yang menggunakan  kayu  bulat  sebagai  bahan  utama.  Hal  ini  disebabkan  pemanfaatan
kayu bulat kecil memerlukan biaya penanganan yang lebih besar dan pengetahuan tentang teknologi pemanfaatan kayu bulat kecil yang masih sangat terbatas.
Indonesia  saat  ini  mengalami  kekurangan  pasokan  kayu  bulat  sebagai bahan  baku  industri.  Semakin  lama  pasokan  kayu  bulat  tidak  akan  mampu  lagi
memenuhi  kebutuhan  industri  perkayuan.  Kelangkaan  kayu  bulat  besar  yang berlebihan  menuntut  adanya  pergeseran  pola  pemanfaatan  dan  teknologi  dari
pemanfaatan  kayu  bulat  berdimater  besar  ke  arah  kayu  bulat  berdiameter  kecil, baik  kayu  kecil  dari  hutan  tanaman  maupun  kayu  bulat  berdiameter  kecil  dari
limbah  pemanenan  sehingga  pemanfaatan  kayu  dapat  lebih  efisien  dan  dapat menjadi  alternatif  dalam  menanggulangi  kekurangan  pasokan  bahan  baku  kayu
bulat. Budiaman 2000 menyatakan bahwa 43 dari limbah pemanenan di hutan alam dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk lanjutan dan 44 diantaranya
digunakan  sebagai  bahan  baku  kayu  gergajian,  core  veneer,  dan  chip,  dan  42 dari limbah batang layak dikeluarkan sebagai log.
Widarmana  1973  mengemukakan  bahwa  kayu  limbah  tebangan berdiameter  10  cm  ke  atas  masih  dapat  dimanfaatkan.  Selain  itu  Dardiyanto
1988 mengemukakan bahwa kayu – kayu limbah tebangan  yang berdiameter 30 cm  ke  atas  dapat  digunakan  untuk  industri  sawmill.  Direktorat  Jenderal
Pengusahaan  Hutan  1990,  menyatakan  bahwa  limbah  pemanenan  dapat dimanfaatkan  sebagai  bahan  baku  finir  veneer,  kayu  gergajian  sawn  timber,
papan blok block board, papan partikel partikel board dan peti pengemas.
5.5. Faktor Eksploitasi