diperkirakan limbah pemanenan mencapai lebih dari 50 dari kayu bulat yang dikeluarkan.
Wahyudi 2000 menyatakan bahwa biomassa sisa pohon tebang yang berasal dari hutan alam yang belum dimanfaatkan adalah sebesar 43,5, yang
terdiri atas tunggak, bagian atas bebas cabang, cabang dan ranting serta bontos kayu. Limbah pembalakan yang terjadi dari pohon yang ditebang berupa kayu
sampai dengan diameter 15 cm adalah sebesar 57 sehingga log yang dapat dimanfaatkan dari pohon tersebut adalah 43 Dulsalam et al. 2000. Lim 1992
menyebutkan bahwa limbah dapat ditentukan berdasarkan volume total kayu yang dipanen dan berdasarkan volume total limbah pemanenan kayu. Limbah
berdasarkan total kayu yang dipanen sebesar 41,31, sedangkan limbah berdasarkan total limbah yang terjadi, yaitu limbah berupa tunggak sebesar
6,74, limbah berupa batang atas sebesar 15,52 dan limbah dahan sebsar 16,34.
Sasmita 2003 melaporkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu yang terjadi di hutan alam di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya mencapai 26,28
m
3
ha. Besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36 dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri atas limbah
yang terjadi di petak tebang adalah 33,15, limbah yang terjadi TPn 2,68 dan limbah terjadi di TPK sebesar 0,98.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari 2009 menunjukkan bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan di hutan alam mencapai 6,64
m
3
pohon, limbah terbesar berasal dari limbah cabang dan ranting sebesar 41,3 m
3
pohon atau 62,2 dari total limbah yang terjadi. Limbah lainnya berasal dari
tunggak sebesar 1,09 m
3
pohon 16,42 dan batang bebas cabang sebesar 1,42 m
3
pohon 21,39.
2.7. Faktor Eksploitasi
Faktor eksploitasi merupakan perbandingan antara banyaknya produksi kayu yang dihasilkan dari suatu areal hutan dengan potensi standingstock-nya,
yaitu sebesar 0,7 dan dimasukkan dalam penentuan target produksi Matangaran et al. 2000. Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang
dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap
dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama Dulsalam
1995. Sianturi et al. 1984 mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang
menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut
limbah. Oleh karena itu, persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu
faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga
dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan
tersebut. Lempang et al. 1995 menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor
eksploitasi dipengaruhi oleh : 1.
Faktor non teknis, yang terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran
2. Faktor teknis yang dibagi meliputi :
a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur,
perencanaan hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad,
pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.
b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran
c. Kebijakan pemerintah dan aturan – aturan ke industri dan pemukiman
masyarakat setempat. Efisiensi pemanenan kayu atau faktor eksploitasi erat hubungannya dengan
limbah pemanenan kayu. Efisiensi penebangan yang dihasilkan di PT. Asialog Provinsi Jambi yang dilakukan secara konvensional dan terkendali berturut-turut
rata-rata sebsar 81,15 dan 87,27. Tingginya efisiensi penebangan tersebut
diikuti dengan rendahnya limbah yang terjadi, yaitu berturut-turut 18,86 dan 12,73 Sukadaryati 2002.
Makin tinggi tingkat efisiensi penebangan kayu maka limbah yang terjadi akan semakin kecil. Efisiensi pemanenan kayu ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain ukuran kayu, jenis kayu, topografi dan kondisi lapangan, peralatan yang digunakan, keterampilan tenaga kerja dan sistem pengupahan yang
diberlakukan. Menurut Dulsalam 1995 pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan
kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor
eksploitasi pemanenan hutan. Pada tahun 1970 hingga tahun 1990, faktor eksploitasi yang digunakan
untuk perhitungan jatah tebangan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hak Pengusahaan Hutan IUPHHK di seluruh Indonesia adalah 0,70. Mulai tahun
1990, Departemen Kehutanan menaikkan faktor eksploitasi tersebut namun tidak diberlakukan untuk setiap IUPHHK di seluruh Indonesia dengan alasan masih
banyak pemegang IUPHHK yang efisiensi pemanenan kayunya masih rendah, sehingga hanya IUPHHK yang dinilai tingkat efisiensi pemanenannya telah baik
yang dapat diberikan peningkatan faktor eksploitasinya sebesar 0,70 – 0,90. Hingga saat ini penentuan besarnya faktor eksploitasi oleh Dinas Kehutanan dan
kanwil Kehutanan di tingkat propinsi sebenarnya masih dengan cara pendugaan tanpa adanya informasi yang memadai mengenai besarnya faktor eksploitasi di
setiap IUPHHK Elias 2002. Salah satu indikator pemanenan kayu dapat dilihat dari indikator faktor
eksploitasi. Faktor eksploitasi besar kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Makin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi berarti faktor eksploitasi
semakin kecil Dulsalam 1995. Pada tahun 1970 hingga 1990 faktor eksploitasi yang digunakan untuk menghitung jatah tebang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu IUPHHK di seluruh Indonesia adalah 0,70. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Partiani 2010, besarnya faktor
eksploitasi di hutan alam Sumatera Barat adalah 0,754 dengan pendekatan persen limbah. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan indeks tebang, indeks
sarad dan indeks angkut sebesar 0,754. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sari 2009 besarnya rata-rata faktor eksploitasi pada hutan alam di Kalimantan
Tengah adalah 0,80. Penelitian Lempang et al. 1995 menghasilkan faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,80.
BAB III METODE PENELITIAN