pengusahaan hutan alam. Dari total volume pohon yang diukur, yaitu 343,6 m
3
, kayu bulat yang dimanfaatkan sebesar 258,5 m
3
atau 75,2. Sisanya berupa limbah kayu bulat yang berasal dari tunggak, batang atas, cabang dan ranting, dan
potongan pendek. Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat
pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Dari kelompok jenis meranti, volume tebangan yang dimanfaatkan sebanyak
225,6 m
3
atau 76,5 dari total volume. Sementara untuk kelompok jenis non meranti hanya sebesar 32,8 m
3
atau 67,4 dari total volume. Besarnya tingkat pemanfaatan pohon yang diukur ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT. MAM
Jenis Komersial
Non Komersil Total
m
3
m
3
m
3
Semua Jenis 258,5
75,2 85,2
24,8 343,7
100 Meranti
225,6 76,5
69,3 23,5
294,9 100
Non meranti 32,8
67,4 15,9
32,6 48,7
100 Berdasarkan tabel di atas, dari total volume pohon yang diukur, sebesar
24,8 tidak dimanfaatkan dan berpotensi menjadi limbah pemanenan kayu, yaitu 23,5 dari kelompok meranti dan 32,6 dari kelompok non meranti.
5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu
Pengertian limbah pemanenan kayu dalam penelitian ini adalah bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan pada saat ini dan biasanya
dibiarkan ditinggalkan di dalam hutan. Bagian pohon tersebut tidak dimanfaatkan karena bukan menjadi target produksi PT. MAM. Limbah pemanenan ini berupa
tunggak, bagian dari batang utama, bagian dari batang atas, cabang dan ranting, atau potongan pendek. Dari 29 pohon contoh yang diukur, volume limbah paling
besar berupa potongan pendek sebesar 25,3 m
3
7,4 dan volume limbah terkecil berupa cabang dan ranting sebesar 16,4 m
3
4,7. Sisanya merupakan limbah dari batang atas sebesar 21,1 m
3
6,2 dan limbah tunggak sebesar 22,4 m
3
6,2. Volume limbah pemanenan berdasarkan bentuk sortimennya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Volume limbah pemanenan hutan di PT. MAM
Volume Sortimen Limbah
Jenis Papua
Jambi Semua
Jenis Meranti
Non meranti
Semua Jenis
Meranti Non
meranti Tunggak
m
3
22,4 18,8
3,6 36,9
15,4 21,4
6,5 6,4
7,5 6,7
7,1 5,1
Batang Atas m
3
21,1 15,9
5,2 67,5
28,5 39,0
6,1 5,4
10,6 12,2
13,0 2,3
Cabang dan Ranting
m
3
16,5 12,9
3,4 60,3
18,8 41,5
4,8 4,4
7,0 10,9
8,6 9,9
Potongan Pendek
m
3
25,3 21,7
3,7 54,7
28,0 26,7
7,4 7,3
7,5 9,9
12,8 21,6
Total m
3
85,2 69,3
15,9 219,4
90,7 128,6
24,8 23,5
32,6 39,5
41,6 39,0
Sumber : Budiaman 2000.
Jika dilihat dari jenis pohon yang ditebang, data yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari kelompok non meranti lebih besar
dibandingkan dengan kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan kelompok jenis yang dominan adalah kelompok non meranti. Sementara itu, dilihat dari asal
limbah, limbah potongan pendek yang berasal dari kelompok jenis meranti dan non meranti relatif tidak berbeda jauh, yaitu berkisar dari 7,3 – 7,5. Perbedaan
cukup mencolok terlihat pada limbah yang berasal dari batang atas dan cabang dan ranting. Volume limbah batang atas dari kelompok jenis meranti mencapai
5,4, sementara dari kelompok jenis non meranti sebesar 10,6. Jika dibedakan berdasarkan jenisnya, limbah cabang dan ranting untuk kelompok jenis meranti
lebih kecil dibandingkan volume cabang dan ranting dari kelompok jenis meranti, begitu pula untuk limbah potongan pendek.
Budiaman 2000 melaporkan bahwa limbah terbesar berasal dari batang atas, yaitu sebesar 12,2 dan volume limbah terkecil berasal dari tunggak sebesar
6,7. Hasil ini berbeda dengan penelitian di PT. MAM dimana limbah terbesar merupakan limbah potongan pendek. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan
arsitektur tegakan, dimana tegakan di Jambi memiliki batang atas yang lebih panjang dibandingkan dengan di Papua yang hanya memiliki panjang rata-rata
batang atas sebesar 5,7 meter, sehingga pada penelitian di Jambi limbah terbesar berasal dari batang atas. Sementara itu, tegakan di Papua memiliki rata-rata
diameter yang cukup besar, yaitu 87,7 cm, sehingga semakin besar diameter akan menghasilkan volume yang besar. Pada PT. MAM, dilakukan pemotongan batang
pada bagian pangkal pohon dengan rata-rata diameter yang cukup besar, sehingga berpengaruh pada volume limbah potongan pendek yang besar pula.
Limbah potongan pendek merupakan bagian dari batang utama yang sengaja ditinggalkan di dalam hutan atau tidak dimanfaatkan. Limbah potongan
pendek banyak ditemukan di petak tebang karena adanya pemotongan batang pada bagian pangkal dan ujung. Potongan-potongan pendek terjadi pada saat
penebang memotong batang baik pada bagian pangkal maupun ujung yang disebabkan adanya cacat alami maupun cacat mekanis pada saat penebangan
untuk mendapatkan kayu gelondongan dengan kualitas tinggi. Potongan pendek pada pangkal dihitung dari batas potongan tunggak sampai batas potongan
pangkal dan potongan pendek pada bagian ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke cabang pertama.
Limbah potongan pendek terjadi karena adanya kebijakan pemotongan batang yang dilakukan di petak tebang. Pada PT. MAM tidak dilakukan
pembagian batang melainkan hanya pemotongan batang trimming pada bagian pangkal dan ujung batang. Besarnya limbah potongan pendek juga menunjukkan
kurang terampilnya penebang dalam menentukan arah rebah pohon. Dalam menentukan arah rebah pohon perlu diperhatikan kondisi sekitar pohon, sehingga
saat pohon rebah tidak terjadi cacat mekanis yang begitu besar pada batang seperti pecah atau belah. Trimming yang dilakukan pada bagian pangkal maupun ujung
pohon untuk mengurangi cacat ini akan menghasilkan limbah potongan pendek dalam jumlah besar.
Selain penentuan arah rebah, kurang terampilnya penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas menjadi salah satu penyebab besarnya
jumlah limbah potongan pendek. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menyebabkan kerusakan pada bagian pangkal seperti pecah
dan retak. Hal ini tentu akan mengurangi nilai komersial batang yang dapat dimanfaatkan karena dilakukannya trimming pada bagian tersebut. Pada penelitian
ini tidak ditemukan adanya kayu gelondongan utuh yang menjadi limbah dikarenakan jatuh ke jurang atau mengalami cacat alami.
Limbah terkecil terdapat pada cabang dan ranting. Cabang dan ranting yang diukur dalam penelitian ini berdiameter sampai 10 cm tanpa batasan
panjang. Cabang dan ranting yang ditemukan dalam penelitian rata – rata dalam keadaan hancur. Sementara limbah batang atas di areal penelitian memiliki
diameter di atas 40 cm dengan panjang rata – rata mencapai 5,7 meter. Limbah tunggak yang ditemukan di areal penelitian memiliki tinggi rata –
rata 0,98 meter. Tinggi tunggak – tunggak ini lebih tinggi dari batas yang diberikan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah sehingga akan
menimbulkan limbah pemanenan kayu. Menurut Elias 1999, untuk mencapai pemanenan dengan sistem reduced impact logging RIL, pemotongan tunggak
harus dilakukan serendah mungkin untuk menghindari kerugian kayu, sehingga batas ketinggian maksimum yang paling optimal adalah 50 cm. Kelebihan
tunggak ini disebabkan penebang memilih membuat takik balas yang lebih tinggi untuk memudahkan pada saat menebang, selain itu juga penebang enggan
menebang dengan takik balas lebih rendah dikarenakan besarnya premi yang didapatkan tidak terlalu besar. Berikut dapat dilihat batas ketinggian maksimum
pemotongan tunggak untuk pemanenan RIL menurut Elias 1999.
Gambar 7 Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sitem RIL.
5.4. Karakteristik Limbah Kayu