Logging Waste and Timber Recovery Rate at PT. Mamberamo Alasmandiri, Papua

(1)

LIMBAH PENEBANGAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PEMANENAN KAYU DI PT. MAMBERAMO ALASMANDIRI

PROVINSI PAPUA

YANUARINDA EFINOSA VIRIANDARHENNY

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

LIMBAH PENEBANGAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI

PEMANENAN KAYU DI PT. MAMBERAMO ALASMANDIRI

PROVINSI PAPUA

YANUARINDA EFINOSA VIRIANDARHENNY

E14080044

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(3)

RINGKASAN

Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny. E14080044. Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Dibimbing oleh Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc. F.Trop.

PT. Mamberamo Alasmandiri (PT.MAM) merupakan salah satu perusahaan pemanfaatan kayu yang berada di kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. PT. MAM melakukan kegiatan pemanenan hutan guna memanfaatkan hasil hutan kayu. Pemanenan di PT. MAM merupakan pemanenan sistem mekanis dengan sistem silvikultur yang digunakan adalah sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPTI).

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung limbah penebangan pohon dan faktor eksploitasi di PT. MAM. Pada penelitian ini, pengukuran limbah hanya dibatasi pada limbah penebangan saja karena kegiatan penebangan merupakan salah satu tahapan pemanenan hutan yang paling berpotensi untuk menghasilkan limbah.

Pengukuran dimensi pohon dilakukan pada pohon yang telah rebah. Sortimen kayu bulat yang diukur adalah tunggak, potongan pendek, batang komersil, batang atas, cabang dan ranting. Sementara pengukuran faktor eksplotasi dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan potensi pohon berdiri dan pendekatan persen limbah pemanenan kayu.

Hasil penelitian menunjukkan besarnya limbah pemanenan kayu akibat penebangan adalah sebesar 24,8% yang terdiri atas 7,4% limbah potongan pendek, 6,5% limbah tunggak, 6,1% limbah batang atas dan 4,8% limbah cabang dan ranting. Sementara menurut cacat kayu yang terjadi, limbah terbesar merupakan limbah pecah, yaitu sebesar 41,7% dan limbah terkecil berupa mata kayu sebesar 0,9%. Besarnya faktor eksploitasi berdasarkan pendekatan volume pohon berdiri adalah sebesar 0,74, sementara berdasarkan pendekatan persen limbah penebangan adalah sebesar 0,73.

Kata kunci: limbah penebangan, faktor eksploitasi, Papua, penebangan, cacat kayu.


(4)

SUMMARY

Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny. E14080044. Logging Waste and Timber Recovery Rate at PT. Mamberamo Alasmandiri, Papua. Supervised by Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc. F.Trop.

PT Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM) hold trust concession right, which is located in Mamberamo Raya, Papua. PT MAM harvests the forest to produce round wood. PT. MAM operates mechanical harvesting system and uses Indonesian Selective Cutting and Planting.

This research aims to quantify the logging waste and timber recovery rate from harvesting in PT. MAM. In this case, the measurement of logging waste is carried for in the felling activity.

The measurement of the tree’s dimensions is doing on the felled tree. Length and diameter of stump, short wood, marketable stems, stems above first branch, branches and twigs are measured. Timber recovery rate accounted by two approaches, namely based on potential standing stock and percent of logging waste.

The result showed that amount of logging waste by timber harvesting was 24.8% which consist of 7.4% of short woods, 6.5% of stumps, 6.1% of stems above the first branch and 4.8% from branches an twigs waste. According by wood defects, the largest waste was broke out stems (41.7%) and the smallest is knots (0.9%). The timber recovery rate was 0.74 based on the potential standing stock and based on felling waste was about 0.73.


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny NIM E14080044


(6)

Judul Penelitian : Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua Nama : Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny

NIM : E14080044

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Ahmad Budiaman M, Sc. F. Trop. NIP : 19651010 199002 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP : 19630401 199403 1 001


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Perusahaan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua pada bulan Mei 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung limbah penebangan pohon dan faktor eksploitasi pada IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri. Penebangan merupakan salah satu tahap pemanenan yang paling berpotensi menghasilkan limbah, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perusahaan mengenai tingkat keberhasilan pelaksanaan pemanenan hutan dengan menghitung beberapa indikator keragaan fisik pemanenan guna mengevaluasi dan perbaikan pelaksanaan pemanenan selanjutnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu dimohon kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, November 2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 26 Januari 1991 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ruddy Hendarto, SP, M.Si dan Ibu Sri Juniati, S.Pd.

Pada tahun 1995 penulis memulai pendidikan formal di TK Pembina Abepura dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SD YPPK Gembala Baik Abepura dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP YPPK St. Paulus Abepura dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 5 Jayapura dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan.

Pada tahun 2010, penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Baturaden dan Cilacap. Pada tahun 2011, penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Pada bulan Februari sampai dengan bulan Juni penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) dan Penelitian di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa tahun 2010-2011.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu, Provinsi Papua di bawah bimbingan Dr.Ir. Ahmad Budiaman M,Sc.F.Trop.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua” dapat diselesaikan dengan baik. Dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ruddy Hendarto, SP, M.Si dan Ibunda Sri Juniati, S.Pd serta adik tercinta Rich Mahardika Anugerah yang telah memberikan dukungan moral dan material serta kasih sayang.

2. Dr. Ir. Ahmad Budiaman M, Sc. F. Trop selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Segenap pimpinan dan staf pegawai PT. Mamberamo Alasmandiri, Bapak Sulatko Ernanto, Bapak Heri Binawan, Bapak Wuri Sutomo, Bapak Maman, Bapak Guntur Wibowo serta seluruh karyawan PT. Mamberamo Alasmandiri. 4. Teman-teman yang melaksanakan PKL dan penelitian di PT. Mamberamo

Alasmandiri : Ganis, Feby, Aga, Dimas dan Pem.

5. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB pada umumnya dan teman-teman Manajemen Hutan 45

6. Adita Agung Pradata atas semangat dan motivasinya selama ini

7. Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini

Bogor, November 2012


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 2

1.3Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanenan Hasil Hutan ... 3

2.2. Sistem Pemanenan Hutan ... 4

2.3. Limbah Pemanenan Hutan ... 6

2.4. Klasifikasi Limbah Pemanenan Kayu ... 7

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah ... 9

2.6. Potensi Limbah Pemanenan di Hutan Alam... 11

2.7. Faktor Eksploitasi ... 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 16

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 16

3.3. Prosedur Pengumpulan Data ... 16

3.3.1. Penentuan Jumlah Plot Contoh ... 16

3.3.2. Pengukuran Tinggi dan Diameter Pohon ... 17

3.3.3. Pengukuran Sortimen Kayu Bulat Hasil Tebangan ... 17

3.4. Pengolahan Data ... 19

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Pemanfaatan Hutan... 22

4.2. Luas dan Letak IUPHHK-HA ... 22

4.3. Topografi dan Kelerengan ... 23

4.4. Tanah ... 23

4.5. Geologi ... 24


(11)

ii

4.7. Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan ... 24

4.8. Sosial dan Ekonomi Masyarakat ... 25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pelaksanaan Pemanenan Hutan ... 27

5.2. Statistik Pohon Contoh 5.2.1 Kelompok Jenis Pohon Contoh ... 28

5.2.2 Diameter Pohon Contoh ... 28

5.3. Kuantifikasi Hasil Penebangan 5.3.1. Batang Komersial ... 29

5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu ... 30

5.4. Karakteristik Limbah Kayu ... 33

5.5. Faktor Eksploitasi ... 38

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Luas masing - masing fungsi hutan di PT Mamberamo

Alasmandiri ... 23

2. Klasifikasi kelas kemiringan lapangan di P MAM ... 23

3. Penutupan vegetasi di PT MAM berdasarkan fungsi hutan ... …..25

4. Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT MAM ... 30

5. Volume Limbah Pemanenan Hutan di PT MAM ... 31

6. Sebaran Kondisi Kayu berdasarkan Sortimen Kayu di PT MAM .... ... 34

7. Volume limbah di petak tebang berdasarkan jenis cacat kayu... 35

8. Faktor eksploitasi di Papua dan Sumatera Barat ... 40

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Pengukuran tunggak ... 18

2. Pengukuran batang komersil dan potongan pendek ... 18

3. Pengukuran volume batang atas, cabang dan ranting ... 19

4. Sebaran kelompok jenis pohon contoh ... 28

5. Sebaran diameter pohon contoh ... 29

6. Persentase ebaran tinggi pohon contoh ... 29

7. Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sistem RIL ... 33

8. Persentase limbah berdasarkan jenis cacat kayu ... 36

9. Faktor eksploitasi pendekatan pohon berdiri dan pendekatan persen limbah di PT MAM ... 38


(13)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Dokumentasi peelitian di petak tebang PT Mamberamo

Alasmandiri ... 47

2. Hasil perhitungan volume pohon berdiri ... 49

3. Hasil perhitungan volume limbah berdasarkan bentuk sortimen ... 50

4. Perhitungan volume limbah berdasarkan kondisinya ... 52

5. Faktor eksploitasi dengan pendekatan pohon berdiri ... 53

6. Faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah ... 54

7. Peta areal kerja PT MAM ... 55


(14)

1.1. Latar Belakang

Pemanenan hutan merupakan salah satu bagian pengelolaan hutan yang sangat penting. Kegiatan pemanenan bertujuan memanfaatkan hutan produksi dan dilaksanakan dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Beberapa indikator keberhasilan kegiatan pemanenan hutan adalah mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan industri kayu, meningkatkan peluang kerja, dan meningkatkan ekonomi lokal dan regional.

Penebangan pohon merupakan tahapan pertama dalam kegiatan pemanenan hutan. Penebangan pohon merupakan kegiatan yang paling berpotensi menghasilkan limbah kayu. Selain menghasilkan kayu bulat, kegiatan penebangan juga akan meninggalkan kayu sisa (limbah penebangan). Penebangan pohon yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang akan banyak menghasilkan limbah kayu. Keberhasilan penebangan pohon dapat diukur diantaranya dari tingkat kerusakan terhadap lingkungan dan limbah yang dihasilkan. Kegiatan penebangan pohon dengan persiapan teknis yang baik dan perencanaan yang matang akan mengurangi kerusakan lingkungan. Penebangan pohon yang benar diharapkan mampu mengurangi kerusakan tegakan tinggal dan dapat memanfaatkan kayu yang ditebang semaksimal mungkin.

PT. Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM) merupakan salah satu Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang terletak di Provinsi Papua. Keragaman vegetasi di Papua berbeda dengan di pulau di bagian barat Indonesia. Secara biogeografis, Papua terletak di kawasan paparan sahul yang berada di sisi sebelah timur dari garis Weber. Kawasan ini berada di bawah pengaruh benua Australia yang biasa disebut flora Australis yang didominasi oleh jenis – jenis tumbuhan berhabitus pohon dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae (Kusmana dan Hikmat 2009).

Menurut Soerianegara (1996), kawasan timur Indonesia didominasi oleh pohon Pometia pinnata, Instia bijuga, Paraserianthes falcataria, Agathis labillardieri, Dracontomelon puberulum, Pterocarpus indicus, Octomeles sumatrana dan Eucalyptus deglupta. Sementara menurut Indriyanto (2008), pada


(15)

2

ekosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku dan Papua merupakan hutan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp., Pometia pinnata, Instia spp., Dyospyros spp., Koordersiodendron pinnatum dan Canarium spp. Berdasarkan perbedaan jenis kayu antara wilayah barat dan timur Indonesia, diperkirakan terdapat pula perbedaan dalam tingkat pemanfaatan kayu.

Pengusahaan hutan alam di wilayah Papua telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, namun penelitian mengenai efisiensi pemanenan hutan, termasuk masalah limbah penebangan, belum banyak dipublikasikan, sehingga penelitian mengenai limbah penebangan pohon dan faktor eksploitasi di Papua dipandang sebagai suatu kebutuhan.

1.2.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung limbah penebangan pohon dan faktor eksploitasi pada IUPHHK-HA PT MAM.

1.3.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perusahaan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan pemanenan hutan dengan menghitung beberapa indikator keragaan fisik pemanenan guna mengevaluasi dan perbaikan pelaksanaan pemanenan hutan selanjutnya.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanenan Hasil Hutan

Pemanenan kayu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkannya ke tempat penggunaaan/pengelolaan melalui tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengujian, sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prinsip kelestarian (Conway 1976, Suparto 1979, Elias 2008). Pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi dan sosial. Adapun tujuan dari kegiatan pemanenan hutan adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, meningkatkan kesempatan kerja dan mengembangkan ekonomi daerah.

Pembukaan wilayah hutan (PWH) adalah kegiatan kehutanan yang menyediakan prasarana/infrastruktur berupa jaringan jalan, log pond, base camp induk dan base camp cabang, base camp pembinaan hutan, tempat penimbunan kayu/TPK, tempat pengumpulan kayu/TPn, jembatan dan gorong-gorong, menara pengawas, dan lain-lain dalam melancarkan kegiatan pengelolaan hutan (Elias 2008).

Menurut Conway (1976) terdapat empat kegiatan utama dalam pemanenan hutan, yaitu penebangan kayu, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan. Keempat tahapan tersebut harus berjalan baik dan berurutan agar operasi penebangan dapat berhasil dengan baik. Penebangan merupakan proses mengubah pohon berdiri menjadi kayu bulat yang dapat diangkut keluar hutan untuk dimanfaatkan. Penebangan dilakukan dengan menggunakan empat prinsip, yaitu meminimalkan kecelakaan, meminimalkan kerugian dan kerusakan pohon, memaksimalkan nilai produk kayu bulat dari tiap pohon dan tidak menyulitkan kegiatan selanjutnya. Sebelum dilakukan penebangan, perlu dilakukan penentuan arah rebah yang tepat untuk mengatasi kerusakan yang mungkin akan timbul menjadi seminimal mungkin. Arah rebah yang benar akan menghasilkan kayu


(17)

4

yang sesuai dengan yang diinginkan dan kecelakaan kerja dapat dihindari serta dapat menekan terjadinya kerusakan lingkungan. Penyaradan merupakan kegiatan memindahkan pohon dari tunggaknya ke daerah yang datar. Penyaradan dilakukan oleh mesin – mesin beroda. Terkadang penyaradan juga menggunakan kabel atau yang disebut yarding, selain itu juga digunakan helikopter dan balon udara untuk memindahkan kayu dari hutan melalui udara.

Pemuatan kayu merupakan kegiatan memindahkan kayu dari tanah ke atas kendaraan angkut yang dilakukan di TPn maupun Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Sedangkan pembongkaran adalah kegiatan menurunkan kayu dari atas alat angkut ke TPK atau di industri. Dalam kegiatan pemuatan kayu diperlukan tiga prinsip yaitu cepat, ekonomis dan peralatan harus selalu siap. Pengangkutan kayu merupakan kegiatan pemindahan kayu dari tempat pengumpulan sementara di tepi hutan ke tempat pengolahan atau tempat pemasaran melalui jalan yang telah dipersiapkan secara optimal. Pengangkutan kayu bertujuan agar kayu dapat sampai ke tempat tujuan pada waktu yang tepat secara kontinyu dengan biaya minimal (Elias 1988).

2.2. Sistem Pemanenan Hutan

Sistem pemanenan hutan berdasarkan bentuk hasil adalah (Direktorat Jenderal Kehutanan 1972) :

a. Sistem pembagian batang di tempat tebangan, sehingga kayu yang disarad keluar adalah kayu yang sudah berbentuk sortimen-sortimen dalam berbagai ukuran (common logs).

b.Pemangkasan cabang dan ranting dilakukan di tempat tebangan, kemudian batang yang sudah bebas cabang disarad keluar, pembagian batang dilakukan di logyard (tree length).

c. Seluruh bagian pohon termasuk cabang dan ranting disarad keluar, baru di logyard dilakukan pemangkasan cabang dan ranting tersebut dan dilakukan pembagian batang (full tree).

d.Perpaduan dari ketiga sistem tersebut diatas.

Elias (1988) menyatakan bahwa sistem pengangkutan pada umumnya terdiri dari dua tahap, yaitu:


(18)

a. Penyaradan (minor transportation) yang dimulai pada saat kayu diikatkan pada rantai penyarad ditempat tebangan kemudian disarad ke tempat tujuannya (Tempat Pengumpulan Kayu/TPn)/ landing, tepi sungai, tepi jalan rel atau tepi jalan mobil) dan berakhir setelah kayu dilepaskan dari rantai penyarad. Secara umum berdasarkan sortimen kayu yang disarad, dikenal 3 sistem penyaradan, yaitu :

1. Short Wood System 2. Tree Length System 3. Full Tree System

Sistem-sistem penyaradan kayu adalah sebagai berikut: 1. Tenaga manusia (manual)

Penyaradan kayu dengan tenaga manusia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain : pemikulan, penggulingan, sistem kuda-kuda, dan ongkak.

2. Penyaradan dengan hewan

3. Penyaradan dengan gaya gravitasi.

Penyaradan kayu dengan cara ini adalah memanfaatkan gaya gravitasi bumi. Cara penyaradan seperti ini antara lain : peluncuran dan wire skidding

4. Penyaradan dengan traktor

5. Penyaradan kayu dengan sistem kabel, antara lain: a. Penyaradan menyentuh tanah (ground yarding). b. Highleadsystem

c. Skylines system

6. Penyaradan kayu lewat udara.

Penyaradan kayu melalui udara dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang (helikopter) dan balon udara. Penyaradan dengan cara ini dapat dilakukan jika medan sangat curam dan oleh karena keadaan tanah tidak memungkinkan untuk membuat jalan, untuk daerah yang tanahnya labil dan biaya pembuatan jalan yang sangat mahal.

b.Pengangkutan (major transportation) dilakukan setelah penyaradan dan dimulai pada saat kayu dimuat ke atas alat pengangkut (truk, kereta api, lori,


(19)

6

cikar dan lain-lain) di TPn atau dikumpulkan dengan rakit didalam sungai untuk diangkut ketempat penimbunan kayu (TPK) atau ke tempat konsumen (pabrik-pabrik pengolahan kayu).

2.3. Limbah Pemanenan Hutan

Kegiatan pemanenan hutan, akan memberikan dampak negatif pada aspek ekologis, ekonomis maupun sosial. Secara ekonomis dan ekologis, kegiatan pemanenan hutan, terutama di hutan alam, menyebabkan beberapa dampak terbesar, yaitu berupa keterbukaan areal, kerusakan tegakan tinggal, pemadatan tanah, erosi dan menghasilkan limbah pemanenan.

Matangaran et al. (2000) menyatakan bahwa limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi secara alami yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kayu bulat yang diinginkan. Limbah pemanenan merupakan batang atau bagian batang yang berasal dari kegiatan pemanenan yang tidak dimanfaatkan dan dibiarkan di hutan.

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35 Tahun 2008 disebutkan bahwa kayu limbah pembalakan adalah kayu – kayu dengan beragam jenis, bentuk dan ukuran yang tertinggal di dalam hutan/tidak dimanfaatkan dan hanya layak diusahakan secara komersial apabila dilakukan pengolahan terlebih dahulu di dalam hutan, yang menurut sortimennya dikelompokkan ke dalam kayu bulat kecil, yaitu kayu yang terdiri atas kayu dengan diameter ≤ 30 cm, yang dapat berupa cabang, kayu bakar, bahan arang dan kayu bulat berukuran ≥ 30 cm yang merupakan kayu sisa pembagian batang dengan panjang kurang dari 1,30 meter, tunggak atau kayu yang dipotong karena mengalami cacat/busuk dan gerowong lebih dari 40%. Sementara itu, berdasarkan peraturan pemerintah RI Nomor 59 tahun 1998 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak pada departemen kehutanan dan perkebunan, disebutkan bahwa limbah pembalakan adalah kayu yang tidak atau belum dimanfaatkan pada kegiatan pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang berupa sisa pembagian batang, tunggak, ranting dan pucuk yang memiliki ukuran diameter kurang dari 30 cm dan panjang kurang dari 1,3 meter.


(20)

Menurut Widarmana (1973) yang menggunakan istilah logging waste bagi limbah pemanenan kayu, menyatakan bahwa limbah kayu adalah limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu (logging). Dengan demikian, logging waste tersebut dapat terjadi di tempat tebangan, sepanjang jalan sarad, sepanjang jalan angkutan, di tempat pengumpulan kayu dan di tempat penimbunan kayu seperti di TPn atau TPK (di hutan jati), atau di logdeck dan logpond (di hutan rimba di luar Jawa). Sisa kayu banyak terdapat di hutan dan di TPn. Hal ini disebabkan karena upaya memperoleh kayu bulat dengan kualitas ekspor, dimana untuk menghasilkan sortimen berkualitas tinggi tersebut sering dilakukan dengan memotong batang untuk mendapat ukuran tertentu dan membuang bagian-bagian yang rusak dan bercacat, sehingga menimbulkan sisa berupa limbah kayu.

2.4. Klasifikasi Limbah Pemanenan Hutan

Menurut Budiaman (2000), limbah pemanenan dapat berupa semua kayu bulat yang berupa bagian dari batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1.Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam.

2.Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3.Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama.

4.Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada dibawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.

5.Potongan kecil adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu.


(21)

8

Limbah pohon diklasifikasikan berdasarkan sumbernya untuk mengetahui dari bagian pohon yang mana limbah berasal, yaitu dengan klasifikasi berdasarkan sumber limbah itu sendiri dan terbatas pada areal tebangan. Sumber limbah berasal dari pohon yang ditebang, pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, sedangkan limbah yang berasal dari pohon yang ditebang berasal dari tunggak, limbah batang bebas cabang, batang kayu di atas cabang pertama (Simarmata & Haryono 1986).

Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan : 1. Bentuknya

a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan.

b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis, dan lain-lain.

c. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan, ranting, maupun tungak. d. Berupa sisa bagian produksi atau akibat proses produksi. 2. Pengerjaan kayunya

a. Limbah pemanenan yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan kayu yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, TPn, dan TPK.

b. Limbah pengolahan kayu yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pabrik gergajian, plywood dan lain-lain.

3. Tempat terjadinya

a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan,

b. Limbah yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPn) c. Limbah yang terjadi di tempat penngumpulan kayu (TPK)

Dalam Keputusan menteri Kehutanan Nomor 6886 tahun 2002 disebutkan batasan limbah pemanena berupa sisa pembagian batang termasuk cabang, ranting, pucuk, tunggak atau kayu bulat dengan ukuran ≤ 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 meter. Kayu yang termasuk dalam kelompok kayu mewah dan kayu indah tidak termasuk dalam limbah pembalakan.

Soewito (1980) mengemukakan bahwa limbah kayu akibat pemanenan di areal tebangan berasal dari dua sumber, yaitu bagian dari pohon yang ditebang yang seharusnya dapat dimanfaatkan, tetapi tidak diambil dan berasal dari tegakan


(22)

tinggal yang rusak akibat dilakukannya kegiatan pemanenan kayu. Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran dan kualita. Widarmana (1973) menjelaskan bahwa macam atau bentuk serta volume limbah pemanenan kayu itu berbeda-beda, tergantung pada :

1.Tingkat efisiensi pemanenan (secara manual atau mekanis).

2.Tujuan pemanenannya, kayu untuk industri dalam negeri, mendapatkan kayu untuk keperluan lokal, atau kayu untuk ekspor.

3.Jenis serta nilai kayunya (jati, rimba alam atau rimba tanaman).

4.Tempat atau lokasi serta fasilitas prasarana, misalnya jalan angkutan. Semakin tinggi tingkat efisiensi pemanenan kayu, limbah yang dihasilkan akan semakin berkurang, begitu pula bila nilai ekonomis kayu dan aksesibilitas hutan tinggi.

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah Kayu

Menurut Sukadaryati dan Yuniawati (2007), secara umum limbah pemanenan yang terjadi di hutan alam maupun hutan tanaman dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1.Teknik pemanenan yang dilakukan, dimana pemanenan yang dilakukan tanpa perencanaan matang akan banyak menimbulkan limbah baik pada saat kegiatan penebangan, penyaradan maupun pengangkutan.

2.Daur tebang yang terabaikan, dimana kegiatan penebangan kayu tidak lagi memperhatikan daur masak tebang.

3.Penggunaan alat pemanenan yang tidak sesuai dengan kondisi hutan, baik yang menyangkut kemampuan mesin maupun kapasitasnya sehingga menyebabkan tingginya limbah yang dihasilkan.

4.Kebijakan pemerintah, berkaitan dengan sistem pembayaran DR (Dana Reboisasi) dan IHH (Iuran Hasil Hutan) yang diterapkan berdasarkan volume kayu yang diperdagangkan sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan pemborosan kayu.

5.Permintaan pasar ukuran standar untuk memenuhi persyaratan kebutuhan bahan baku tertentu.


(23)

10

6.Maraknya penebangan liar yang menyebabkan rusaknya potensi hutan karena pemanenan yang dilakukan tidak terkendali bahkan cenderung memboroskan sumber daya hutan.

Menurut Direktorat Pengolahan Hasil Hutan (1989) limbah pemanenan kayu terjadi karena kesalahan teknis, yaitu :

1.Menebang terlalu tinggi sehingga menghasilkan limbah tunggak yang besar. 2.Pembagian batang pada umumnya disesuaikan dengan jenis dan kapasitas alat

angkut, bukan pada sortimen yang dibutuhkan industri.

3.Pohon-pohon yang rusak sebagai akibat penebangan dan penyaradan.

Faktor penyebab terjadinya limbah antara lain kelemahan-kelemahan dalam peraturan dan disiplin penerapannya, sumberdaya manusia, penguasaan teknologi pemanenan hutan dan tidak adanya diversifikasi industri pengolahan kayu (Tinambunan 2001).

Timbulnya limbah juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasar, jenis, dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasarnya pada saat itu. Dengan demikian ukuran serta kualitas yang tidak memenuhi syarat pada saat itu akan menjadi limbah. Faktor penyebab limbah yang tidak dapat dikuasai adalah faktor alam, yaitu kayu tidak dapat dimanfaatkan karena letaknya tidak memungkinkan pemanenan secara ekonomis antara lain di dalam jurang, atau pada lereng-lereng yang curam, juga apabila pohon yang ditebang ternyata busuk, berlubang atau cacat (Soemitro 1980).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya limbah menurut Lembaga Penelitian Hasil Hutan (1980) adalah:

a. Teknik dan peralatan pemanenan yang kurang tepat. b. Manajemen pengusahaan hutan yang masih lemah.

c. Kesadaran dan keterampilan pelaksana yang masih perlu ditingkatkan dalam proses yang berhubungan dengan kegiatan pengusahaan hutan.

d. Pengawasan yang masih perlu ditingkatkan.

Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa limbah pemanenan kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1.Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan.


(24)

2.Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang. Pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3.Peralatan, pemilihan jenis dan kapasitas alat yang keliru dapat menyebabkan

kayu tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya.

4.Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi.

5.Sistem upah yang menarik akan memberikan rangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan bersedia melaksanakan sesuai yang diharapkan.

6.Kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan.

7.Permintaan pasar

Lempang et al. (1995) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya limbah pemanenan yang terjadi adalah sebagai berikut :

1.Panjang kayu di tempat tebangan 2.Rata-rata diameter di tempat tebangan 3.Volume kayu di tempat tebangan 4.Panjang kayu di TPn

Limbah pemanenan dianggap dapat dihindari bila bagian dari batang kayu, yang memenuhi standar penggunaan perusahaan, tetapi ditinggalkan di hutan karena praktek penebangan dan penyaradan yang tidak tepat (Klassen 2006). Penyebab-penyebab terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar :

1.Secara alami, yaitu kayu ditinggalkan karena ada cacat alami sehingga tidak dapat dipasarkan pada saat ini, seperti kayu berlubang, busuk, dan gerowong. 2.Secara mekanis, yaitu kayu ditinggalkan karena ada kerusakan pada kayu

akibat kegiatan pemanenan, seperti pecah, patah, dan lain-lain.

2.6. Potensi Limbah Pemanenan di Hutan Alam

Budiaman (2001) menyatakan potensi limbah pemanenan yang terdapat di hutan relatif besar, yaitu mencapai 40% dengan diameter yang diturunkan sampai 10 cm. Apabila seluruh limbah pemanenan dihitung, tidak hanya single trees,


(25)

12

diperkirakan limbah pemanenan mencapai lebih dari 50% dari kayu bulat yang dikeluarkan.

Wahyudi (2000) menyatakan bahwa biomassa sisa pohon tebang yang berasal dari hutan alam yang belum dimanfaatkan adalah sebesar 43,5%, yang terdiri atas tunggak, bagian atas bebas cabang, cabang dan ranting serta bontos kayu. Limbah pembalakan yang terjadi dari pohon yang ditebang berupa kayu sampai dengan diameter 15 cm adalah sebesar 57% sehingga log yang dapat dimanfaatkan dari pohon tersebut adalah 43% (Dulsalam et al. 2000). Lim (1992) menyebutkan bahwa limbah dapat ditentukan berdasarkan volume total kayu yang dipanen dan berdasarkan volume total limbah pemanenan kayu. Limbah berdasarkan total kayu yang dipanen sebesar 41,31%, sedangkan limbah berdasarkan total limbah yang terjadi, yaitu limbah berupa tunggak sebesar 6,74%, limbah berupa batang atas sebesar 15,52% dan limbah dahan sebsar 16,34%.

Sasmita (2003) melaporkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu yang terjadi di hutan alam di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya mencapai 26,28 m3/ha. Besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36% dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri atas limbah yang terjadi di petak tebang adalah 33,15%, limbah yang terjadi TPn 2,68% dan limbah terjadi di TPK sebesar 0,98%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) menunjukkan bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan di hutan alam mencapai 6,64 m3/pohon, limbah terbesar berasal dari limbah cabang dan ranting sebesar 41,3 m3/pohon atau 62,2%dari total limbah yang terjadi. Limbah lainnya berasal dari tunggak sebesar 1,09 m3/pohon (16,42%) dan batang bebas cabang sebesar 1,42 m3/pohon (21,39%).

2.7. Faktor Eksploitasi

Faktor eksploitasi merupakan perbandingan antara banyaknya produksi kayu yang dihasilkan dari suatu areal hutan dengan potensi standingstock-nya, yaitu sebesar 0,7 dan dimasukkan dalam penentuan target produksi (Matangaran et al. 2000). Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang


(26)

dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam 1995).

Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu, persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.

Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh :

1.Faktor non teknis, yang terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran

2.Faktor teknis yang dibagi meliputi :

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencanaan hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran

c. Kebijakan pemerintah dan aturan – aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

Efisiensi pemanenan kayu atau faktor eksploitasi erat hubungannya dengan limbah pemanenan kayu. Efisiensi penebangan yang dihasilkan di PT. Asialog (Provinsi Jambi) yang dilakukan secara konvensional dan terkendali berturut-turut rata-rata sebsar 81,15% dan 87,27%. Tingginya efisiensi penebangan tersebut


(27)

14

diikuti dengan rendahnya limbah yang terjadi, yaitu berturut-turut 18,86% dan 12,73% (Sukadaryati 2002).

Makin tinggi tingkat efisiensi penebangan kayu maka limbah yang terjadi akan semakin kecil. Efisiensi pemanenan kayu ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran kayu, jenis kayu, topografi dan kondisi lapangan, peralatan yang digunakan, keterampilan tenaga kerja dan sistem pengupahan yang diberlakukan. Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan.

Pada tahun 1970 hingga tahun 1990, faktor eksploitasi yang digunakan untuk perhitungan jatah tebangan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK) di seluruh Indonesia adalah 0,70. Mulai tahun 1990, Departemen Kehutanan menaikkan faktor eksploitasi tersebut namun tidak diberlakukan untuk setiap IUPHHK di seluruh Indonesia dengan alasan masih banyak pemegang IUPHHK yang efisiensi pemanenan kayunya masih rendah, sehingga hanya IUPHHK yang dinilai tingkat efisiensi pemanenannya telah baik yang dapat diberikan peningkatan faktor eksploitasinya sebesar 0,70 – 0,90. Hingga saat ini penentuan besarnya faktor eksploitasi oleh Dinas Kehutanan dan kanwil Kehutanan di tingkat propinsi sebenarnya masih dengan cara pendugaan tanpa adanya informasi yang memadai mengenai besarnya faktor eksploitasi di setiap IUPHHK (Elias 2002).

Salah satu indikator pemanenan kayu dapat dilihat dari indikator faktor eksploitasi. Faktor eksploitasi besar kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Makin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi berarti faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam 1995). Pada tahun 1970 hingga 1990 faktor eksploitasi yang digunakan untuk menghitung jatah tebang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di seluruh Indonesia adalah 0,70.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Partiani (2010), besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Sumatera Barat adalah 0,754 dengan pendekatan persen limbah. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan indeks tebang, indeks


(28)

sarad dan indeks angkut sebesar 0,754. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) besarnya rata-rata faktor eksploitasi pada hutan alam di Kalimantan Tengah adalah 0,80. Penelitian Lempang et al. (1995) menghasilkan faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,80.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua pada bulan Mei sampai dengan Juli 2012.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan di salah satu petak tebang terpilih, pohon yang ditebang dan kayu bulat hasil penebangan. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pita meter untuk mengukur panjang kayu dan keliling kayu b. Meteran untuk mengukur panjang pohon rebah dan sortimen c. Kapur atau label untuk menandai pohon contoh dan kayu bulat d. Kamera untuk dokumentasi

e. Alat-alat bantu lainnya seperti tally sheet, kalkulatordan alat tulis.

3.3. Prosedur Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Pengambilan data primer dilakukan di petak tebang 37QQ RKT 2012. Data primer yang dikumpulkan adalah diameter, tinggi, dimensi dan jenis pohon. Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung penelitian ini dan diperoleh melalui pengutipan data perusahaan dan hasil penelitian yang dipublikasikan. Data sekunder yang dikumpulkan berupa kondisi umum perusahaan, Laporan Hasil Cruising (LHC) dan peta areal kerja PT MAM.

3.3.1. Penentuan Jumlah Pohon Contoh

Penentuan jumlah pohon contoh dilakukan dengan menggunakan rumus Cochran (1977) :


(30)

Keterangan : t(α/2,dbf) = nilai tabel t-student (dianggap 2) Sy = simpangan baku contoh

SE = sampling error maksimum Y = rata-rata contoh

Penentuan jumlah pohon dihitung berdasarkan LHC pada petak tebang yang diteliti. Pada penelitian ini digunakan sampling error (SE) sebesar 10%. Berdasarkan LHC petak tebang yang diteliti terdapat 1060 pohon layak tebang berdiameter rata – rata 55,93 cm dengan simpangan baku sebesar 0,57 m3. Dengan sampling error sebesar tidak lebih dari 10%, maka jumlah pohon contoh yang didapatkan adalah 29 pohon. Ke-29 pohon contoh ini adalah pohon yang ditebang oleh penebang di petak 37QQ.

3.3.2. Pengukuran Tinggi dan Diameter Pohon

Setelah jumlah pohon contoh ditetapkan, selanjutnya dilakukan pengukuran dimensi pohon. Kegiatan yang dilakukan adalah pencatatan nomor pohon, jenis pohon, diameter pohon, tinggi pohon bebas cabang dan tinggi pohon total. Tinggi pohon yang diukur adalah tinggi pohon rebah, sehingga pengukuran diameter setinggi dada diukur dari tunggak sepanjang 1,3 meter.

Tinggi pohon contoh diukur dari tunggak sampai tajuk pohon rebah, di mana tinggi total pohon merupakan penjumlahan dari tinggi tunggak dan panjang pohon dari batang komersil sampai ujung tajuk. Sementara tinggi bebas cabang merupakan penjumlahan tinggi tunggak dan panjang batang komersil. Pengukuran tinggi pohon pada pohon rebah lebih akurat dibandingkan pengukuran saat pohon masih berdiri, karena tinggi pohon yang diukur adalah tinggi aktual.

3.3.3. Pengukuran Sortimen Kayu Bulat Hasil Tebangan

Setelah penebangan, selanjutnya dilakukan pengukuran dimensi sortimen kayu bulat yang dihasilkan. Sortimen kayu bulat terdiri atas dua kelompok, yaitu bagian di bawah cabang pertama dan bagian di atas cabang pertama. Bagian di bawah cabang pertama terdiri atas tunggak dan batang bebas cabang. Bagian di atas cabang pertama terdiri dari batang atas, cabang dan ranting. Pada penelitian ini, pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dilakukan pada kayu bulat


(31)

18

berdiameter sampai dengan 10 cm, selain batang utama. Sortimen kayu bulat yang diukur adalah :

1.Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Dimensi yang diukur adalah diameter dan tinggi tunggak. Teknik pengukuran dimensi tunggak dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan : H = tinggi tunggak D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil Gambar 1 Pengukuran tunggak.

2. Batang komersial adalah batang utama dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. Potongan pendek juga merupakan bagian dari batang komersial. Potongan pendek adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan pendek juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu. Pengukuran batang komersial dan potongan pendek dapat dilihat pada Gambar 2.

3. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersil). Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang yang dijelaskan pada Gambar 3.

4. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. Teknik pengukuran cabang dan ranting dapat dilihat pada Gambar 3.


(32)

Keterangan : L = panjang sortimen kayu D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil

Gambar 2 Pengukuran batang komersial dan potongan pendek.

Keterangan : L = panjang sortimen kayu D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil

Gambar 3 Pengukuran volume batang atas, cabang dan ranting.

3.4. Pengolahan Data 1. Perhitungan Diameter

Perhitungan diameter pohon ditentukan dengan persamaan berikut : d = K/π

Keterangan : d = diameter pohon (cm) K = keliling Pohon (cm) π (phi) = konstanta (3,14)


(33)

20

2. Perhitungan volume

a. Rumus umum yang digunakan untuk menaksir volume pohon berdiri adalah : V = ¼ π (d/100)2 t x f

Keterangan: V = volume pohon (m3) π (phi) = konstanta (3,14) d = diameter pohon (cm) t = tinggi pohon (m)

f = faktor angka bentuk (0,7)

b.Perhitungan volume sortimen kayu bulat yang dimanfaatkan dengan menggunakan rumus empiris Brereton (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009) :

V = ¼ π [(1/2 (Dp+Du) / 100]2 x P Keterangan : V = volume (m3)

Dp = diameter pangkal (cm) Du = diameter ujung (cm) P = panjang sortimen kayu (m)

π = konstanta (3,14)

3. Perhitungan persen limbah

Persen limbah penebangan dihitung berdasarkan persamaan berikut : Persen limbah = (Vl/Vp) x 100%

Keterangan : Vl = volume limbah (m3)

Vp = volume pohon yang ditebang

4.Faktor Eksploitasi

Perhitungan faktor eksploitasi dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perbandingan kayu yang dimanfaatkan dengan standing stock-nya dan pendekatan persen limbah. Persamaan yang digunakan adalah :

a. Pendekatan potensi pohon berdiri (Rachmatsjah 1992) :


(34)

b.Pendekatan persen limbah pemanenan kayu


(35)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sejarah Pemanfaatan Hutan PT. MAM

PT. MAM merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang tergabung dalam KODECO GROUP. Didirikan pada tanggal 5 Desember 1991 dan memperoleh pengesahaan dari Menteri Kehakiman tanggal 20 April 1992. Lokasi areal IUPHHK PT MAM berada di Kabupaten Jayapura dan Yapen Waropen Provinsi Papua. Luas areal kerja IUPHHK PT. MAM sebesar 677.310 hektar (PT. MAM 2009).

Kegiatan produksi kayu di PT. MAM dimulai pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 dilakukan pemenuhan pasokan bahan baku industri PT. Kodeco Batulicin Plywood (PMA) yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Perkembangan selanjutnya atas pertimbangan pengembangan pembangunan daerah serta efisiensi biaya industri maka pada tahun 1998 didirikan industri pengolahan kayu atas nama PT. Kodeco Mamberamo (PMDN) di desa Kerenui, Distrik Waropen Timur Kabupaten Yapen Waropen. Kapasitas ijin industri plywood adalah 100.000 m3/tahun dan sawmill 12.000 m3/tahun. PT. MAM sebagai pemasok utama bahan baku kayu bagi industri baru tersebut.

Dalam kaitannya dengan kegiatan pengusahaan hutan, PT. MAM yang pada tahun-tahun sebelumnya dibagi menjadi 2 unit kelestarian (unit Aja dan unit Gesa), terhitung mulai tahun 2012 unit kerja tersebut digabung menjadi 1 unit kelestarian yang melakukan kegiatan operasional pengusahaan hutan secara bersama-sama.

4.2. Letak dan Luas PT. MAM

Areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM termasuk ke dalam kelompok hutan Sungai Mamberamo – Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua.


(36)

Berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja IUPHHK PT. MAM seluas 677.310 Ha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/1999 terdiri atas Hutan Produksi (HP), Hutan Prduksi Terbatas (HPT) dan Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Luas masing-masing fungsi hutan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas masing – masing fungsi hutan di PT. MAM

Fungsi Hutan Luas (Ha) Persentase (%)

Hutan Produksi (HP) 117.010 17,30

Hutan Produksi Terbatas (HPT) 513.570 75,80

Hutan Produksi yang dapat

dikonversi (HPK) 46.730 6,90

Jumlah 677.310 100,00

4.3. Topografi dan Kemiringan

Menggunakan kelas kemiringan sesuai dengan ketentuan dalam keputusan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%), dengan luas masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi kelas kemiringan lapangan di PT. MAM

No. Kemiringan (%) Kelas Kemiringan Luas daerah (Ha)

1 < 8 A 202.658

2 8 - 15 B 185.784

3 15 - 25 C 215.920

4 25 - 40 D 60.106

5 > 40 E 12.843

Jumlah 677.310

4.4. Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Provinsi Irian Jaya, 1 : 1.000.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1993), area kerja IUPHHK-HA PT. MAM terdiri atas 5 jenis tanah. Jenis tanah tersebut


(37)

24

adalah aluvial (tidak peka), latosol (agak peka), podsolik (peka), litosol (sangat peka), dan regosol (sangat peka).

4.5. Geologi

Struktur geologi khususnya diareal kerja IUPHHK PT. MAM didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan. Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antikilin dan sinklin. Antikilin yang dikenal adalah antiklin Gesa yang memotong aliran Sungai Gesa yang mengalir ke utara. Perkembangan struktur tersebut adalah dampak kompresi pemekaran lempeng Samudera Pasifik (PT MAM 2009).

4.6. Iklim dan Intensitas Hujan

Berdasarkan klasifikasi iklim secara umum menurut Schmidt & Ferguson, areal IUPHHK PT. MAM memiliki tipe iklim A, yaitu daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering ( < 60 mm) merata sepanjang tahun. Dari data yang diperoleh dari stasiun Pencatat Curah Hujan Camp Gesa (tahun 1994-2001) diperoleh nilai Q sebesar 0 % dan IH (Intensitas Hujan) sebesar 17,4 mm/ha, dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 286 mm per bulan di mana curah hujan minimum terjadi pada bulan November (209 mm perbulan) dan maksimum pada bulan Oktober (354 mm per bulan).

4.7. Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan

Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM didasarkan pada penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US pada tanggal 19 November 2005. Sementara berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja dengan luas 677.310 Ha ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (PT. MAM 2009). Untuk penutupan lahan/vegetasi di areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM menurut fungsi hutannya disajikan pada Tabel 3.


(38)

Tabel 3 Penutupan vegetasi di PT. MAM berdasarkan fungsi hutan

Penutupan Lahan Fungsi Hutan (Ha) BZ Jumlah

(Ha)

HPT HP HPK

1. Hutan primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575

2. Hutan bekas tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524

3. Non hutan 6.209 5.169 592 127 12.097

4. Hutan rawa primer - 1.890 10.951 - 12.841

5.

Hutan rawa bekas

tebangan 8.268 783 - - 9.051

6. Non hutan rawa - 71 1.111 - 1.182

7. Tubuh air / danau - 636 - 12 648

8. Tertutup awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392

Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007

(PT MAM 2009)

4.8. Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Penduduk asli disekitar kelompok hutan Sungai Mamberamo dan Sungai Gesa adalah suku Baudi Bira, Kerema, Obogui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan suku Haya. Hubungan suku-suku yang berbeda wilayah masih bersifat tradisional dan masing-masing suku masih memegang kuat adat istiadatnya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya bahasa yang cukup mencolok diantara suku-suku asli yang ada dan masing-masing suku berkembang sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu (PT. MAM 2009).

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk di sekitar kelompok hutan ini adalah bahasa dari suku masing-masing, sementara bahasa Indonesia hanya dimengerti oleh sebagian kecil penduduk. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Dari total 20.494 jiwa penduduk dalam empat distrik di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM, tercatat sebanyak 19.449 jiwa (94,90%) penganut agama resmi dengan rincian 7.795 jiwa (38,03%) beragama Kristen Protestan, 361 jiwa (1,76%) beragama Islam, dan 11.293 jiwa (55,10%) beragama Kristen Katolik.

Budaya masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK-HA PT. MAM merupakan gambaran kecil dari budaya Papua. Kebudayaan di Papua menunjukan


(39)

26

gejala aneka warna yang ekstrim. Hal ini disebabkan oleh suku-suku/bangsa-bangsa yang berdatangan dari berbagai daerah menduduki pulau-pulau yang ada secara terpisah satu dari yang lainnya (isolasi geografis).

Proses sosial yang ada di kawasan areal kerja IUPHHK berupa proses asosiatif (keserasian) dan proses disosiatif (pertentangan). Proses asosiatif dapat dikaji dari proses akomodasi diawali dengan kegiatan kerjasama, gotong royong, dalam kegiatan perkawinan, membangun rumah ibadah, dan lain-lain. Kegiatan akomodasi juga terlihat dalam kegiatan meramu, di mana masyarakat saling membantu dalam mencari sumber sagu dan hewan buruan.

Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM dapat diklasifikasikan menurut keadaaan alam dimana mereka menetap. Umumnya penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Mamberamo dan Danau Bira memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari dan jika ada kelebihan dari hasil tangkapan, maka akan ditukarkan (barter) dengan bahan makanan seperti umbi-umbian, jagung dan talas. Bahan makanan ini dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di pedalaman yang umumnya hidup dari ladang berpindah. Sistem barter dilakukan pada setiap kesempatan karena di kawasan ini belum berkembang sistem pasar dan perekonomian uang. Disamping mencari ikan dan bercocok tanam dengan berladang berpindah, ada sebagian masyarakat yang melakukan kegiatan yang dikenal dengan istilah meramu (mencari sagu, umbi dan berburu). Sementara masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (distrik dan kabupaten), yang umumnya terdiri atas pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian.

Pendapatan masyarakat di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM umumnya tidak menentu. Cara hidup bertani subsistem menunjukkan bahwa pendapatan penduduk hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Keadaan ekonomi masyarakat setempat, pola bekerja yang tidak menentu, serta pola konsumsi yang sederhana, juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat umumnya masih rendah dan sangat tergantung pada sumber daya alam.


(40)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pelaksanaan Pemanenan Hutan di PT. MAM

PT. MAM menerapkan sistem pemanenan mekanis, yaitu kegiatan pemanenan kayu dilakukan dengan menggunakan bantuan mesin. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Penebangan pohon di PT. MAM dilakukan oleh regu tebang yang terdiri atas satu orang chainsawman dan dibantu oleh seorang helper. Chainsaw yang digunakan dalam penebangan pohon merupakan milik pribadi penebang. Sistem kerja yang diterapkan adalah sistem borongan. Satu petak tebang seluas 100 ha dibagi menjadi dua bagian yang dibatasi oleh jalan sarad maupun jalan cabang. Pembagian ini dilakukan untuk mengefisienkan kegiatan penebangan dan penyaradan, sehingga dalam satu petak tebang terdapat dua regu tebang.

Penentuan arah rebah pohon dilakukan oleh penebang. Pohon yang ditebang adalah pohon dalam keadaan baik dengan diameter ≥ 40 cm untuk hutan produksi tetap dan ≥ 50 cm untuk hutan produksi terbatas. Penentuan arah rebah dilakukan dengan melihat kecondongan tajuk pohon. Pembersihan tumbuhan bawah atau semak-semak tidak dilakukan oleh penebang. Setelah pohon rebah, tidak dilakukan pembagian batang (bucking), melainkan pemotongan banir (trimming). Pembagian batang tidak dilakukan karena industri terkait yang bekerjasama dengan PT. MAM tidak menghendaki sortimen kayu pendek.

Penyaradan dilakukan menggunakan traktor sarad. Penyaradan dilakukan oleh regu sarad yang terdiri atas seorang operator traktor sarad dan seorang helper. Sebelum regu sarad melakukan penyaradan, terlebih dahulu dilakukan koordinasi dengan regu tebang yang bekerja pada petak tersebut, sehingga tim sarad telah mengetahui terlebih dahulu posisi atau letak kayu yang akan disarad. Kegiatan penyaradan bergantung pada kondisi cuaca. Pada kondisi cuaca yang buruk, tidak dilakukan kegiatan penyaradan. Hal ini untuk menghindari pemadatan tanah, efisiensi waktu kerja dan sedikitnya jumlah kayu yang disarad.

Pemuatan dan pembongkaran kayu di PT. MAM dilakukan di TPn dan log pond menggunakan loader dan excavator. Pengangkutan dilakukan setelah


(41)

28

kegiatan penyaradan dan pemuatan. Alat angkut yang digunakan adalah logging truck. Pengangkutan juga bergantung pada cuaca.

5.2 Pohon Contoh

5.2.1 Kelompok Jenis Pohon Contoh

Penebangan pohon yang sedang berlangsung di PT. MAM dilakukan pada areal RKT 2012. Penelitian ini dilakukan di petak 37QQ Blok RKT 2012 dengan fungsi hutan produksi terbatas (HPT), sehingga penebangan pohon hanya dilakukan pada pohon dengan diameter ≥ 50 cm, sehat, bernilai komersil dan berlabel merah. Berdasarkan LHC petak tebang terpilih terdapat 1060 pohon layak tebang dimana 40,8% merupakan pohon kelompok meranti dan 59,8% kelompok non meranti. Pohon contoh yang diamati terdiri atas kelompok meranti dan non meranti. Pohon contoh yang diamati sebanyak 29 pohon yang terdiri atas 69% kelompok meranti dan 31% dari kelompok non meranti. Sebaran kelompok jenis pohon contoh disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran kelompok jenis pohon contoh. 5.2.2 Diameter Pohon Contoh

Diameter rata-rata pohon – pohon contoh sebesar 87,7 cm dengan diameter terkecil 52,4 cm dan diameter terbesar 197 cm. Sementara berdasarkan kelompok jenis, kelompok jenis meranti memiliki rata-rata diameter paling besar, yaitu 100,2 cm dan diameter rata-rata terkecil dari kelompok jenis meranti, yaitu 59,7 cm. Pohon berdiameter besar didominasi oleh jenis merbau dan mersawa. Gambar 5 menyajikan sebaran diameter pohon contoh.

69

31

0 20 40 60 80

Meranti Non Meranti

P

e

rs

en

ta

se

(

%

)


(42)

Gambar 5 Sebaran diameter pohon contoh.

Rata – rata tinggi total pohon contoh sebesar 31,58 meter dengan sebaran 25,2 meter – 39,26 meter, sementara rata – rata tinggi bebas cabang adalah 25,82 meter dengan sebaran 16,4 meter – 33,9 meter. Tinggi tajuk rata-rata sebesar 5,73 meter. Pohon tertinggi adalah jenis mersawa dengan tinggi 39,26 meter. Sebaran tinggi pohon contoh disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Persentase sebaran tinggi pohon contoh ( Tinggi bebas cabang, Tinggi total).

5.3. Kuantifikasi Hasil Penebangan 5.3.1. Batang Komersial

Batang utama atau batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada

68.96 10.34 6.89 3.44 10.34 0 10 20 30 40 50 60 70 80

52 - 81 81 - 110 110 - 139 139 - 168 168 - 197

P er se n ta se ( % )

Sebaran diameter (cm)

27.58 34.48 27.58 10.34 0 0 0 10.34 31.03 48.27 6.89 3.45 0 10 20 30 40 50 60

19-23 23-27 27-31 31-35 35-39 39-43

P e rs e n ta se ( % )


(43)

30

pengusahaan hutan alam. Dari total volume pohon yang diukur, yaitu 343,6 m3, kayu bulat yang dimanfaatkan sebesar 258,5 m3 atau 75,2%. Sisanya berupa limbah kayu bulat yang berasal dari tunggak, batang atas, cabang dan ranting, dan potongan pendek.

Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Dari kelompok jenis meranti, volume tebangan yang dimanfaatkan sebanyak 225,6 m3 atau 76,5% dari total volume. Sementara untuk kelompok jenis non meranti hanya sebesar 32,8 m3 atau 67,4% dari total volume. Besarnya tingkat pemanfaatan pohon yang diukur ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT. MAM

Jenis Komersial Non Komersil Total

(m3) (%) (m3) (%) (m3) (%)

Semua Jenis 258,5 75,2 85,2 24,8 343,7 100

Meranti 225,6 76,5 69,3 23,5 294,9 100

Non meranti 32,8 67,4 15,9 32,6 48,7 100

Berdasarkan tabel di atas, dari total volume pohon yang diukur, sebesar 24,8% tidak dimanfaatkan dan berpotensi menjadi limbah pemanenan kayu, yaitu 23,5% dari kelompok meranti dan 32,6% dari kelompok non meranti.

5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu

Pengertian limbah pemanenan kayu dalam penelitian ini adalah bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan pada saat ini dan biasanya dibiarkan ditinggalkan di dalam hutan. Bagian pohon tersebut tidak dimanfaatkan karena bukan menjadi target produksi PT. MAM. Limbah pemanenan ini berupa tunggak, bagian dari batang utama, bagian dari batang atas, cabang dan ranting, atau potongan pendek. Dari 29 pohon contoh yang diukur, volume limbah paling besar berupa potongan pendek sebesar 25,3 m3 (7,4%) dan volume limbah terkecil berupa cabang dan ranting sebesar 16,4 m3 (4,7%). Sisanya merupakan limbah dari batang atas sebesar 21,1 m3 (6,2%) dan limbah tunggak sebesar 22,4 m3 (6,2%). Volume limbah pemanenan berdasarkan bentuk sortimennya disajikan pada Tabel 5.


(44)

Tabel 5 Volume limbah pemanenan hutan di PT. MAM

Volume Sortimen Limbah

Jenis

Papua Jambi*

Semua

Jenis Meranti

Non meranti

Semua

Jenis Meranti

Non meranti Tunggak

(m3) 22,4 18,8 3,6 36,9 15,4 21,4

(%) 6,5 6,4 7,5 6,7 7,1 5,1

Batang Atas

(m3) 21,1 15,9 5,2 67,5 28,5 39,0

(%) 6,1 5,4 10,6 12,2 13,0 2,3

Cabang dan Ranting

(m3) 16,5 12,9 3,4 60,3 18,8 41,5

(%) 4,8 4,4 7,0 10,9 8,6 9,9

Potongan Pendek

(m3) 25,3 21,7 3,7 54,7 28,0 26,7

(%) 7,4 7,3 7,5 9,9 12,8 21,6

Total (m

3

) 85,2 69,3 15,9 219,4 90,7 128,6

(%) 24,8 23,5 32,6 39,5 41,6 39,0

*Sumber :Budiaman (2000).

Jika dilihat dari jenis pohon yang ditebang, data yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari kelompok non meranti lebih besar dibandingkan dengan kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan kelompok jenis yang dominan adalah kelompok non meranti. Sementara itu, dilihat dari asal limbah, limbah potongan pendek yang berasal dari kelompok jenis meranti dan non meranti relatif tidak berbeda jauh, yaitu berkisar dari 7,3% – 7,5%. Perbedaan cukup mencolok terlihat pada limbah yang berasal dari batang atas dan cabang dan ranting. Volume limbah batang atas dari kelompok jenis meranti mencapai 5,4%, sementara dari kelompok jenis non meranti sebesar 10,6%. Jika dibedakan berdasarkan jenisnya, limbah cabang dan ranting untuk kelompok jenis meranti lebih kecil dibandingkan volume cabang dan ranting dari kelompok jenis meranti, begitu pula untuk limbah potongan pendek.

Budiaman (2000) melaporkan bahwa limbah terbesar berasal dari batang atas, yaitu sebesar 12,2% dan volume limbah terkecil berasal dari tunggak sebesar 6,7%. Hasil ini berbeda dengan penelitian di PT. MAM dimana limbah terbesar merupakan limbah potongan pendek. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan arsitektur tegakan, dimana tegakan di Jambi memiliki batang atas yang lebih panjang dibandingkan dengan di Papua yang hanya memiliki panjang rata-rata


(45)

32

batang atas sebesar 5,7 meter, sehingga pada penelitian di Jambi limbah terbesar berasal dari batang atas. Sementara itu, tegakan di Papua memiliki rata-rata diameter yang cukup besar, yaitu 87,7 cm, sehingga semakin besar diameter akan menghasilkan volume yang besar. Pada PT. MAM, dilakukan pemotongan batang pada bagian pangkal pohon dengan rata-rata diameter yang cukup besar, sehingga berpengaruh pada volume limbah potongan pendek yang besar pula.

Limbah potongan pendek merupakan bagian dari batang utama yang sengaja ditinggalkan di dalam hutan atau tidak dimanfaatkan. Limbah potongan pendek banyak ditemukan di petak tebang karena adanya pemotongan batang pada bagian pangkal dan ujung. Potongan-potongan pendek terjadi pada saat penebang memotong batang baik pada bagian pangkal maupun ujung yang disebabkan adanya cacat alami maupun cacat mekanis pada saat penebangan untuk mendapatkan kayu gelondongan dengan kualitas tinggi. Potongan pendek pada pangkal dihitung dari batas potongan tunggak sampai batas potongan pangkal dan potongan pendek pada bagian ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke cabang pertama.

Limbah potongan pendek terjadi karena adanya kebijakan pemotongan batang yang dilakukan di petak tebang. Pada PT. MAM tidak dilakukan pembagian batang melainkan hanya pemotongan batang (trimming) pada bagian pangkal dan ujung batang. Besarnya limbah potongan pendek juga menunjukkan kurang terampilnya penebang dalam menentukan arah rebah pohon. Dalam menentukan arah rebah pohon perlu diperhatikan kondisi sekitar pohon, sehingga saat pohon rebah tidak terjadi cacat mekanis yang begitu besar pada batang seperti pecah atau belah. Trimming yang dilakukan pada bagian pangkal maupun ujung pohon untuk mengurangi cacat ini akan menghasilkan limbah potongan pendek dalam jumlah besar.

Selain penentuan arah rebah, kurang terampilnya penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas menjadi salah satu penyebab besarnya jumlah limbah potongan pendek. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menyebabkan kerusakan pada bagian pangkal seperti pecah dan retak. Hal ini tentu akan mengurangi nilai komersial batang yang dapat dimanfaatkan karena dilakukannya trimming pada bagian tersebut. Pada penelitian


(46)

ini tidak ditemukan adanya kayu gelondongan utuh yang menjadi limbah dikarenakan jatuh ke jurang atau mengalami cacat alami.

Limbah terkecil terdapat pada cabang dan ranting. Cabang dan ranting yang diukur dalam penelitian ini berdiameter sampai 10 cm tanpa batasan panjang. Cabang dan ranting yang ditemukan dalam penelitian rata – rata dalam keadaan hancur. Sementara limbah batang atas di areal penelitian memiliki diameter di atas 40 cm dengan panjang rata – rata mencapai 5,7 meter.

Limbah tunggak yang ditemukan di areal penelitian memiliki tinggi rata – rata 0,98 meter. Tinggi tunggak – tunggak ini lebih tinggi dari batas yang diberikan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah sehingga akan menimbulkan limbah pemanenan kayu. Menurut Elias (1999), untuk mencapai pemanenan dengan sistem reduced impact logging (RIL), pemotongan tunggak harus dilakukan serendah mungkin untuk menghindari kerugian kayu, sehingga batas ketinggian maksimum yang paling optimal adalah 50 cm. Kelebihan tunggak ini disebabkan penebang memilih membuat takik balas yang lebih tinggi untuk memudahkan pada saat menebang, selain itu juga penebang enggan menebang dengan takik balas lebih rendah dikarenakan besarnya premi yang didapatkan tidak terlalu besar. Berikut dapat dilihat batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak untuk pemanenan RIL menurut Elias (1999).

Gambar 7 Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sitem RIL.

5.4. Karakteristik Limbah Kayu

Limbah pemanenan pada petak tebang berada dalam kondisi rusak atau cacat dan ada pula yang dalam kondisi baik. Cacat kayu adalah suatu kelainan yang terdapat pada kayu yang dapat mempengaruhi mutu kayu (SNI 1999). Dari total volume sortimen kayu bulat sebesar 258,5 m3, sebanyak 28,3 m3 atau 10,9%


(47)

34

merupakan batang yang mengandung cacat seperti pecah, belah, mata kayu dan gerowong. Untuk batang atas, sebesar 13,3 m3 atau 39,3% mengandung cacat berupa pecah batang dan sebesar 12,7 m3 atau 77,6% dari volume total cabang dan ranting mengalami pecah, hancur dan mata kayu. Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu di PT. MAM

Jenis Sortimen

Kondisi Kayu

Kuantifikasi Kayu Bulat

PT. MAM IUPHHK Jambi *

Volume (m3)

Persentase (%)

Volume (m3)

Persentase (%) Batang

Komersial

Bebas cacat 258,5 90,1 335,6 93,8

Cacat 28,3 10,9 22,1 6,2

Total 286,7 100,0 357,7 100,0

Batang Atas Bebas cacat 7,8 60,7 40,5 60,0

Cacat 13,3 39,3 63,0 40,0

Total 21,1 100,0 67,5 100,0

Cabang dan ranting

Bebas cacat 3,7 22,4 15,3 25,3

Cacat 12,7 77,6 45,0 74,7

Total 16,4 100,0 60,3 100,0

*Sumber : Budiaman (2001).

Cacat yang terjadi pada batang dapat berupa cacat alami maupun cacat mekanis. Cacat alami merupakan cacat atau kerusakan yang berasal dari keadaan pohon yang ditebang seperti mata kayu, busuk hati, gerowong dan sebagainya. Sedangkan cacat mekanis merupakan bentuk kerusakan pada kayu yang disebabkan kesalahan teknis pada saat penebangan, penyaradan maupun pemuatan. Cacat mekanis dapat berupa belah, pecah dan hancur. Limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi secara alami tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan (Matangaran et al. 2000). Sementara menurut Budiaman (2001), cacat kayu dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu cacat yang mengurangi ketahanan kayu seperti busuk dan pecah, dan cacat yang mengurangi kekuatan penampakan dan membatasi penggunaan kayu seperti mata


(48)

kayu dan jamur. Besarnya volume limbah berdasarkan jenis cacat kayu ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Volume limbah di petak tebang berdasarkan jenis cacat kayu

Kondisi Limbah Volume total (m3) Volume rata – rata (m3 / plot) 1. Cacat alami

Gerowong Mata Kayu

1,03 7,34

0,04 0,25 2. Cacat mekanis

Pecah Belah Hancur

46,10 10,70 1,69

1,58 0,37 0,06

3. Baik 43,67 1,51

Jenis cacat alami yang ditemukan berupa mata kayu dan gerowong. Dalam menduga suatu batang mengalami gerowong atau tidak, biasanya penebang akan mengetukkan atau memukul pohon dengan parang. Jika pohon diduga memiliki gerowong yang cukup besar maka penebang akan membuat takik balas lebih tinggi dari perkiraan gerowong kayu, tetapi apabila gerowong diduga tidak begitu besar maka penebang akan menebang pohon seperti biasa dan kemudian akan memisahkan bagian gerowong dengan batang komersial pada saat pohon telah rebah. Bila ukuran gerowong melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, maka pohon tersebut tidak perlu ditebang.

Limbah yang terjadi sebagian besar karena cacat mekanis yang terjadi akibat kesalahan teknis pada saat penebangan. Limbah terbesar terjadi dalam keadaan pecah yaitu 1,58 m3/plot atau 41,71%. Limbah pecah ini berasal dari kegiatan trimming berupa potongan pangkal batang dan potongan ujung batang. Limbah pecah ini menunjukkan masih kurangnya keterampilan penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menimbulkan kerusakan pada bagian pangkal berupa pecah pada pangkal dan akan timbul serabut pada pangkal (barber chair) sehingga harus dilakukan pemotongan pada bagian tersebut.


(49)

36

Selain itu juga limbah pecah dipengaruhi oleh kurangnya keterampilan penebang pada saat menentukan arah rebah. Penentuan arah rebah sangat penting dalam penebangan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan atau cacat pada kayu seperti pecah sehingga diperoleh kayu – kayu dengan nilai yang tinggi dan juga untuk memudahkan dalam pengerjaan batang – batang pohon selanjutnya, bahkan sampai penghelaannya (Prastowo 1980). Perebahan pohon sebaiknya memperhatikan kondisi lapang di sekitar pohon, kondisi pohon, cacat fisik alami pohon, keadaan banir dan kondisi cuaca pada saat penebangan.

Limbah terkecil adalah limbah dalam keadaan hancur yaitu sebesar 1,69 m3/plot atau 1,53%. Limbah hancur ini berasal dari bagian cabang dan ranting yang berada di bagian bawah dan ujung pada saat pohon rebah. Cabang dan ranting mengalami hancur karena pada saat pohon rebah, cabang dan ranting pada bagian sisi bawah ketika pohon rebah akan menahan pohon dan menyentuh tanah. Sedangkan cabang dan ranting pada bagian ujung pohon biasanya pada saat pohon rebah akan menimpa batang pohon lain dan kemudian menyentuh tanah sehingga akan hancur. Persentase limbah berdasarkan kondisinya dapat dilihat pada Gambar 8. Disajikan pula persentase limbah pemanenan dari hasil penelitian Partiani (2010) di PT Salaki Suma Sejahtera (S3), Sumatera Barat.

Gambar 8 Persentase limbah berdasarkan jenis cacat kayu ( PT. MAM, PT S3)

Dalam penelitian ini, limbah dalam keadaan baik berupa limbah batang bebas cabang, batang atas serta limbah cabang dan ranting dalam keadaan baik dan memenuhi syarat kualita dengan diameter ≥ 30 cm dan panjang ≥ 4 meter

0.9 6.6 41.7 9.7 1.5 39.5 1.1 0 46.7 13.2 0.62 36.2 0 10 20 30 40 50

Gerowong Mata kayu Pecah Belah Hancur Bebas cacat

P e rs en ta se L im b a h ( % )


(50)

tetapi tidak dimanfaatkan atau ditinggal di dalam hutan. Volume limbah dalam kondisi baik sebesar 39,51 % atau 1,51 m3/plot dari total limbah yang terjadi. Banyaknya limbah dalam kondisi baik disebabkan belum adanya pemanfaatan dari batang berdiameter kecil terutama dari batang bagian atas serta cabang dan ranting. Untuk itu perlu dicari alternatif dalam memanfaatkan limbah baik ini guna meningkatkan nilai tambah kayu dan upaya penekanan meminimalkan limbah pemanenan kayu. Di PT. MAM, pemanfaatan limbah selama ini hanya dilakukan pada limbah tunggak yang berasal dari pohon merbau. Tunggak merbau ini diekspor ke Jepang dan Malaysia sebagai bahan baku molding dan flooring. Limbah kayu bulat berdiameter kecil merupakan sumber kayu bulat yang cukup potensial. Dari berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata lebih dari 1/3 kayu yang ditebang di negara tropis dibiarkan di hutan dan tidak dimanfaatkan. Hasil penelitian di hutan tropis Malaysia menunjukkan bahwa bagian kayu bulat yang ditinggalkan di hutan besarnya sekitar 2 kali lipat dari volume kayu yang dikeluarkan dari hutan (Danced Project 1999), sedangkan di Indonesia volume kayu ini diperkirakan sebesar 40% - 50% dari volume kayu potensial (Budiaman 2000). Pemanfaatan limbah kayu bulat berdiameter kecil masih kurang mendapat perhatian dari pemegang kebijakan dan industri yang menggunakan kayu bulat sebagai bahan utama. Hal ini disebabkan pemanfaatan kayu bulat kecil memerlukan biaya penanganan yang lebih besar dan pengetahuan tentang teknologi pemanfaatan kayu bulat kecil yang masih sangat terbatas. Indonesia saat ini mengalami kekurangan pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri. Semakin lama pasokan kayu bulat tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan industri perkayuan. Kelangkaan kayu bulat besar yang berlebihan menuntut adanya pergeseran pola pemanfaatan dan teknologi dari pemanfaatan kayu bulat berdimater besar ke arah kayu bulat berdiameter kecil, baik kayu kecil dari hutan tanaman maupun kayu bulat berdiameter kecil dari limbah pemanenan sehingga pemanfaatan kayu dapat lebih efisien dan dapat menjadi alternatif dalam menanggulangi kekurangan pasokan bahan baku kayu bulat. Budiaman (2000) menyatakan bahwa 43% dari limbah pemanenan di hutan alam dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk lanjutan dan 44% diantaranya


(1)

Lampiran 5 Perhitungan Faktor Eksploitasi dengan Pendekatan Pohon Berdiri

No No

Plot Jenis Pohon

Volume pohon berdiri (m3)

Volume pohon yang

ditebang (m3) FE

1 1 Mersawa 13,44 8,68 0,65

2 2 Kenari 5,33 4,06 0,76

3 3 Merbau 57,51 30,39 0,53

4 4 Dahu 5,00 3,87 0,77

5 5 Kenari 9,14 7,33 0,80

6 6 Kenari 4,71 4,29 0,91

7 7 Merbau 44,83 25,19 0,56

8 8 Pulai 28,03 20,41 0,73

9 9 Medang 3,54 3,09 0,87

10 10 Kenari 6,88 5,38 0,78

11 11 Bipa 6,57 4,85 0,74

12 12 Merbau 7,52 5,65 0,75

13 13 Kenari 8,26 6,17 0,75

14 14 Langsat Hutan 5,64 4,34 0,77

15 15 Mersawa 2,83 13,17 0,55

16 16 Merbau 52,23 25,53 0,49

17 17 Mersawa 5,86 4,89 0,83

18 18 Langsat Hutan 4,48 4,06 0,91

19 19 Nyatoh 6,46 4,70 0,75

20 20 Nyatoh 8,61 6,40 0,74

21 21 Mersawa 14,23 10,99 0,77

22 22 Merbau 6,71 5,54 0,83

23 23 Jambu 5,20 4,09 0,79

24 24 Terentang 3,03 2,34 0,77

25 25 Bintangur 4,08 3,11 0,76

26 26 Bintangur 4,17 3,09 0,74

27 27 Mersawa 4,56 3,54 0,78

28 28 Mersawa 48,73 26,48 0,54

29 29 Merbau 9,29 6,86 0,74


(2)

54

Lampiran 6 Faktor Ekploitasi berdasarkan Persen Limbah

No No

Plot Jenis Pohon

Volume dimanfaatkan

(m3)

Total Limbah

Faktor eksploitasi Volume

(m3)

Persentase (%)

1 1 Mersawa 8,68 11,33 23,41 76,59

2 2 Kenari 4,06 5,76 29,52 70,48

3 3 Merbau 30,39 37,12 18,14 81,86

4 4 Dahu 3,87 6,34 38,99 61,01

5 5 Kenari 7,33 9,93 26,14 73,86

6 6 Kenari 4,29 4,95 13,40 86,60

7 7 Merbau 25,19 34,50 26,99 73,01

8 8 Pulai 20,41 24,38 16,29 83,71

9 9 Medang 3,09 4,55 32,20 67,80

10 10 Kenari 5,38 7,18 25,09 74,91

11 11 Bipa 4,85 7,66 36,68 63,32

12 12 Merbau 5,65 8,68 34,89 65,11

13 13 Kenari 6,17 8,95 31,08 68,92

14 14

Langsat

Hutan 4,34 5,69 23,87 76,13

15 15 Mersawa 13,17 16,93 22,23 77,77

16 16 Merbau 25,53 34,35 25,67 74,33

17 17 Mersawa 4,89 7,13 31,45 68,55

18 18

Langsat

Hutan 4,06 5,71 28,92 71,08

19 19 Nyatoh 4,70 6,58 28,69 71,31

20 20 Nyatoh 6,40 7,65 16,37 83,63

21 21 Mersawa 10,99 16,17 32,03 67,97

22 22 Merbau 5,54 7,25 23,53 76,47

23 23 Jambu 4,09 6,01 31,90 68,10

24 24 Terentang 2,34 3,80 38,39 61,61

25 25 Bintangur 3,11 4,66 33,23 66,77

26 26 Bintangur 3,09 4,28 27,85 72,15

27 27 Mersawa 3,54 5,17 31,47 68,53

28 28 Mersawa 26,48 30,82 14,10 85,90

29 29 Merbau 6,86 10,09 32,02 67,98


(3)

(4)

56


(5)

RINGKASAN

Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny. E14080044. Limbah Penebangan dan Faktor Eksploitasi Pemanenan Kayu di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Dibimbing oleh Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc. F.Trop.

PT. Mamberamo Alasmandiri (PT.MAM) merupakan salah satu perusahaan pemanfaatan kayu yang berada di kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. PT. MAM melakukan kegiatan pemanenan hutan guna memanfaatkan hasil hutan kayu. Pemanenan di PT. MAM merupakan pemanenan sistem mekanis dengan sistem silvikultur yang digunakan adalah sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPTI).

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung limbah penebangan pohon dan faktor eksploitasi di PT. MAM. Pada penelitian ini, pengukuran limbah hanya dibatasi pada limbah penebangan saja karena kegiatan penebangan merupakan salah satu tahapan pemanenan hutan yang paling berpotensi untuk menghasilkan limbah.

Pengukuran dimensi pohon dilakukan pada pohon yang telah rebah. Sortimen kayu bulat yang diukur adalah tunggak, potongan pendek, batang komersil, batang atas, cabang dan ranting. Sementara pengukuran faktor eksplotasi dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan potensi pohon berdiri dan pendekatan persen limbah pemanenan kayu.

Hasil penelitian menunjukkan besarnya limbah pemanenan kayu akibat penebangan adalah sebesar 24,8% yang terdiri atas 7,4% limbah potongan pendek, 6,5% limbah tunggak, 6,1% limbah batang atas dan 4,8% limbah cabang dan ranting. Sementara menurut cacat kayu yang terjadi, limbah terbesar merupakan limbah pecah, yaitu sebesar 41,7% dan limbah terkecil berupa mata kayu sebesar 0,9%. Besarnya faktor eksploitasi berdasarkan pendekatan volume pohon berdiri adalah sebesar 0,74, sementara berdasarkan pendekatan persen limbah penebangan adalah sebesar 0,73.

Kata kunci: limbah penebangan, faktor eksploitasi, Papua, penebangan, cacat kayu.


(6)

SUMMARY

Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny. E14080044. Logging Waste and Timber Recovery Rate at PT. Mamberamo Alasmandiri, Papua. Supervised by Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc. F.Trop.

PT Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM) hold trust concession right, which is located in Mamberamo Raya, Papua. PT MAM harvests the forest to produce round wood. PT. MAM operates mechanical harvesting system and uses Indonesian Selective Cutting and Planting.

This research aims to quantify the logging waste and timber recovery rate from harvesting in PT. MAM. In this case, the measurement of logging waste is carried for in the felling activity.

The measurement of the tree’s dimensions is doing on the felled tree. Length and diameter of stump, short wood, marketable stems, stems above first branch, branches and twigs are measured. Timber recovery rate accounted by two approaches, namely based on potential standing stock and percent of logging waste.

The result showed that amount of logging waste by timber harvesting was 24.8% which consist of 7.4% of short woods, 6.5% of stumps, 6.1% of stems above the first branch and 4.8% from branches an twigs waste. According by wood defects, the largest waste was broke out stems (41.7%) and the smallest is knots (0.9%). The timber recovery rate was 0.74 based on the potential standing stock and based on felling waste was about 0.73.