Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon

kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan. Terus meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun maka fungsinya secara ekologis menjadi penting Gambar 2. Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO 2 dari udara dan akan melepas O 2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO 2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI Indonesia Oil Palm Research Institute bahwa fiksasi CO 2 adalah 25.71 tonhatahun Htut 2004. Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi 2001 mengemukakan kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40.28 tonha. Jika dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut 2004 menyatakan kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1.66 tonhatahun. Penelitian serupa di Malaysia yang dilkakukan oleh Henson 1999 mengemukakan bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO 2 sebesar 20–55 tonhatahun Hooijer et al. 2006. Oleh karena itu, jika dilakukan pengembangan perkebunan di lahan gambut maka harus dengan pengelolaan yang tepat untuk mencegah terjadinya degradasi terhadap lahan gambut.

2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon

Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Menurut Andriesse 1988, gambut sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah. Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya Noor 2001. Beberapa peneliti lain dari berbagai negara mendefinisikan gambut atau umumnya disebut peat dengan berbagai nama. Peneliti dari Amerika utara Mitsch dan Gosselink 1993 menyebutnya fen, di Kanada menggunakan istilah musked, di Irlandia, Rusia dan Amerika disebut bog, di Finlandia disebut mire dan moor dikenal di Jerman. Dengan timbulnya perbedaan tersebut maka memberikan panduan dalam sistem taksonomi tanah. Dalam kunci taksonomi tanah Soil Survey Staff 1999 maka gambut dikelaskan Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1 Jenuh air 30 hari kumulatif setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20 karbon organik, atau 2 Jenuh air selama 30 hari kumulatif setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan, tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon organik sebesar : a 18 atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 atau lebih, atau b 12 atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c 12 atau lebih ditambah liat x 0,1 bila fraksi mineralnya mengandung 60 liat. Pada umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk, seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman. Sisa-sisa tanaman terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan berdrainase buruk sehingga perombakan terjadi tidak berjalan sempurna Proses permulaan sehingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi , yaitu proses geogenik bukan pedogenik, yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik tersebut dapat dianggap suatu proses pembentukan bahan induk tanah gambut. Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu Hardjowigeno 1993. Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang. Kondisi hidrologi pada lahan gambut merupakan fungsi dari : i keseimbangan antara air masuk dan air keluar, ii topografi tanah mineral yang menopang endapan gambut, dan iii keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi permukaan air genangan Mitsch and Gosselink 1993. Apabila tidak terdapat kondisi anaerob yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka tidak akan terbentuk gambut. Berdasarkan tempat akumulasinya maka gambut dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu pertama, gambut diendapkan pada daerah cekungan, yaitu di atas tanah tua Pleistocene terrace yang berkembang karena pengaruh air hujan atau air tawar dari sungai ekosistem air tawar. Kedua, gambut pada daerah depresi tanah alluvial yang berkembang dalam pengaruh marin ekosistem marin. Ketiga, gambut yang diendapkan pada daerah di bawah pengaruh antara lingkungan air tawar dan marin ekosistem payau. Perbedaan tersebut mempengaruhi ketebalan gambut. Jika terdapat di ekosistem air tawar umumnya ketebalan gambut lebih dari 3 m. Sedangkan pada daerah payau atau marin mempunyai ketebalan kurang dari 3 m. Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H. Idak, perbedaan tinggi antara permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2.5 m Sabiham 2006. Umumnya topografi lahan gambut memang membentuk kubah dome. Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di Kalimantan Tengah sepanjang 24.5 km serta puncak kubah berjarak 16.5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1–3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3–6 km mempunyai ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6.25–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m Noor 2001 Luasan gambut di Indonesia adalah terluas di daerah tropik. Bahan gambut tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk menjadi sangat tebal. Neuzil dalam Noor 2001 menyatakan bahwa laju penimbunan gambut dikawasan tropik lebih cepat 3 – 6 kali dibandingkan dengan gambut di kawasan subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H dan O. Suhardjo dan Widjaja Adhi 1976 dalam Noor 2001 melaporkan bahwa kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada gambut yang sangat dalam 3 m mengandung C organik sebesar 54.11 , sedangkan gambut dangkal 0.5–1 m mengandung C organik sebesar 49.80 . Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53.1–57.8 Salampak 1999. Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO 2 dan H 2 O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk menjaga iklim global terutama pada era holosin. Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus C. Sekitar 50 total C akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke dalam sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer dalam bentuk CO 2 . Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam pemendaman karbon akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Menurut Gorham 1991, fraksi karbon di lahan gambut tropika mencapai 528 000 Mt. Wojick 1999 menyatakan C sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara 0.1–0.7 Gt. Simpanan C bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C mencapai 240-480 Gt atau sekitar 20 dari total secara global Rieley et al. 1997b. Hasil penelitian cadangan karbon yang dilakukan pada gambut dalam di Malaysia oleh Melling et al 2008 yaitu sebesar 3 771 ton Cha. Besarnya C yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber source dan penyimpan sink karbon teresterial terbesar.

3. METODOLOGI