Kandungan C Organik dan Kadar Abu Gambut

memiliki kematangan saprik dengan tingkat dekomposisi lanjut. Bisdom et al. 1993 berpendapat pada bahan organik segar dan separuh terdekomposisi akan lebih besar sifat menolak air dibandingkan yang telah terdekomposisi lanjut. Berarti semakin kecil bobot isi gambut maka semakin besar peluang terjadinya peristiwa kering tak balik. Cepatnya terjadi peristiwa kering tak balik pada lahan gambut harus diperhatikan terutama terhadap pengaturan tata air. Apabila gambut sudah tidak mampu menyerap air maka gambut tidak akan mampu lagi berfungsi sebagai kompleks pertukaran kation. Produktivitas lahan gambut akan semakin menurun meskipun dilakukan pemupukan tetapi pupuk akan mudah hilang terbawa oleh media air atau menguap ke udara. Selain itu peristiwa kering tak balik juga menyebabkan penyusutan ketebalan subsidence yang dapat mengakibatkan munculnya lapisan dibawah gambut. Jika bahan tersebut adalah bahan mineral yang kaya maka tidak akan bermasalah tetapi jika berupa pasir kuarsa atau tanah sulfat masam maka lahan gambut tersebut tidak bisa digunakan sebagai media tempat pertanaman.

4.2 Kandungan C Organik dan Kadar Abu Gambut

Hasil analisis sampel yang berasal dari plot-plot penelitian diperoleh kandungan C organik saprik antara 55.96 – 57.34 , hemik 56.25 – 57.47 dan fibrik antara 48.84 – 57.25 . Kisaran nilainya tidak terlalu beragam namun ada indikasi bahwa kandungan C organik fibrik lebih kecil dibandingkan kandungan C organik saprik dan hemik yang didukung dengan nilai kadar abunya seperti yang terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Kadar Abu Pada 2 Dua Lokasi Kebun PTPN IV Ajamu Lokasi Kebun Kadar Abu Meranti Paham Saprik 1.14 - 3.37 Hemik 0.91 - 3.03 Fibrik 1.31 - 15.81 Panai Jaya Saprik 3.04 - 3.66 Hemik 2.06 - 2.18 Fibrik 1.39 - 1.76 Persentase kadar abu rata-rata pada kematangan saprik berkisar antara 1.14 – 3.66 , hemik berkisar antara 0.91 – 2.18 dan fibrik berkisar antara 1.31 – 15.81 . Hasil ini mengindikasikan bahwa kadar abu fibrik lebih besar dibandingkan saprik dan hemik. Hal ini diduga karena gambut fibrik telah tercampur dengan bahan mineral karena posisinya berada di lapisan bawah. Kecuali pada plot perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka ternyata kadar abu fibrik lebih kecil dari saprik dan hemik yaitu rata-rata 2 karena posisinya yang berada pada lapisan permukaan. Andriesse 1974 dalam Andriesse 1988 mengemukakan bahwa kadar abu ini secara tidak lansung dapat menggambarkan penggolongan gambut yaitu jika kadar kehilangannya lost of ignation lebih dari 75 maka bisa dikelompokkan sebagai tanah gambut true peat. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian Polak 1949 dalam Najiyati et al. 2005 bahwa gambut yang memiliki kadar abu 5 umumnya terdapat di pusat gambut dome dengan ketebalan 3 m. Pendapat tersebut terbukti sesuai dengan kondisi lokasi penelitian yang disimpulkan juga bersifat mesotrofik kadar abu 2-5 dan oligotrofik kadar abu 2 . Kondisi ini mencerminkan rendahnya kandungan bahan mineral gambut sehingga kesuburannya juga rendah. Oleh karena itu, pada lahan gambut umumnya diperlukan penambahan bahan mineral. Salah satu sumber bahan mineral bisa diperoleh dengan mengembalikan air gambut yang berada di dalam saluran drainase ke areal perkebunan kelapa sawit. Air gambut mengandung berbagai mineral yang berasal dari dalam gambut maupun pupuk. Kandungan mineral tersebut merupakan hasil dari peristiwa pencucian leaching dan aliran air permukaan runnoff. Hal ini disebabkan karena pada gambut yang berfungsi sebagai kompleks jerapan adalah gugus-gugus fungsional dan rendahnya pH gambut mengakibatkan kemampuan untuk menahan mineral sangat lemah dan menjadi sangat mudah terlepas. Penambahan bahan mineral akan meningkatkan kemampuan kompleks jerapan pada lahan gambut. Menurut Salampak 1999 penambahan bahan mineral terutama yang berkadar Fe tinggi dapat meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga dapat mengurangi kehilangan P. Fungsi P sangat penting bagi pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan biji, serta memperkuat batang agar tidak mudah roboh Hardjowigeno 1995. Jadi, penambahan bahan mineral dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut akibat dari terbentuknya ikatan antara logam dan senyawa organik atau disebut ikatan organometal yang dapat mengendalikan reaksi asam-asam organik yang membahayakan tanaman. Pembentukan ikatan ini akan mempercepat dekomposisi sehingga mempercepat pelepasan hara agar dapat tersedia bagi tanaman Tan 1998.

4.3 Cadangan C dalam Gambut