Kelapa Sawit Elaeis guinensis jacq dan Fungsi Ekologisnya

destruktif dan menggunakan persamaan alometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan. Salah satu pemecahannya maka dapat digunakan persamaan alometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi tanaman Pearson et al. 2007. Karbon atas permukaaan dapat diduga jika biomassa telah diketahui. Beberapa tahun terakhir dengan berkembangnya teknologi maka dikembangkan berbagai teknik pendugaan karbon atas permukaan menggunakan bantuan data penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi tinggi, foto udara, citra radar dan laser Gibbs et al. 2007. Sementara teknik pendugaan karbon bawah permukaan dilakukan dengan menganalisis C organik tanah dan C dari bahan organik yang berada dipermukaan tanah. Jenis tanah dan metode analisis harus diperhatikan dalam penentuan C bawah permukaan agar penilaiannya lebih akurat.

2.2 Kelapa Sawit Elaeis guinensis jacq dan Fungsi Ekologisnya

Kelapa Sawit Elaeis guinensis jacq adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu i nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, ii virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan iii albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura tebal 2-8 mm, Pisifera tidak bercangkang dan Tenera tebal 0.5-4 mm. Buah sawit bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi Ditjenbun Deptan 2006. Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter 25-75 cm yang tumbuh tegak lurus dari bonggol. Tingginya bisa mencapai 20-30 m. Namun ada juga jenis tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut yang mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar sekunder berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1.5-2 m dari pokok sawit. Daun sawit mempunyai panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125-200 helai dan panjang 1.2 m. Umumnya jumlah daun yang tumbuh adalah 20-30 daun setiap tahun. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Pada setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun banci tetapi tidak semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga jantan dan betina terpisah meskipun masih pada satu pohon monoecious diclin dengan waktu matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar dan mekar. Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami penyerbukan akan menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah. Perkembangbiakan kelapa sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang maka embrionya akan berkecambah dan menghasilkan tunas plumula dan bakal akar atau radikula Hartley 1967. Hasil dari kelapa sawit berupa minyak sawit CPO dan minyak inti sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan emulsifier, margarine, miyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis, es krim, yogurt. Sementara manfaatnya di bidang non pangan sebagai senyawa ester, lilin, kosmetik,f armasi, biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alkohol bahkan pada industri baja. Produk sampingan limbah berupa tandan kosong sawit digunakan untuk pulp dan kertas, kompos, karbon dan rayon; cangkangnya digunakan untuk bahan bakar dan karbon ; serat sawit sebagai medium density atau fibre board dan bahan bakar; pelepah dan batang sawit untuk funitur, pulp dan kertas juga pakan ternak; bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak; dan sludge untuk bahan pakan ternak dan pupuk organik www.FitAgri.com, diunduh 27 April 2008. Sejak tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari bahan bakar fosil fossilfuel maka pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati biofuels semakin meningkat. Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. P ertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit Deli Dura. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera Deli dan Aceh dengan luas areal mencapai 5 123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran terkenal sebagai AVROS dan sekarang menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit kemudian didirikan di Marihat Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya sekarang Malaysia pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911. Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil buruh-militer yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaysia. Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif www.id.wikipedia.org, diunduh 27 April 2008. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan isu lingkungan meningkat yaitu perubahan dari pemanfaat minyak bumi menjadi minyak nabati biofuel maka kebutuhan minyak sawit dunia semakin meningkat. Pertumbuhan rata-rata konsumsi sekitar 7.72 pertahun lebih besar dibandingkan penggunaan minyak nabati lainnya hanya sekitar 4.5 . Luas areal perkebunan kelapa sawit secara nasional tahun 2006 mencapai 6 075 ribu ha Gambar 2. Selama beberapa dekade terakhir produksi minyak sawit nasional meningkat mencapai 14 691 ribu ton, menjadi Indonesia sebagai eksportir terbesar kedua. Tahun 2006, pengusahaan perkebunan kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan besar swasta PBS sebesar 45.1 , diikuti perkebunan rakyat PR sebesar 43.4 dan terakhir oleh perkebunan besar negara PBN sebesar 11.5. Kondisi ini merupakan dampak dari pembukaan lahan baru, rehabilitasi kebun inti rakyat dan penciptaan iklim investasi yang cukup kondusif Ditjebun Deptan 2006. 1000 2 000 000 000 000 000 7000 1979 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 L u a s A re a l P er ke buna n K el a pa Sa w it 1 3 ha Tahun 6 5 4 3 Gambar 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006 diolah dari data Ditjenbun Deptan , 2006 Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai US 4 513 Ditjenbun Deptan 2006. Dari segi daya saing kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi dan merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain itu didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit. Melihat hal tersebut maka perkebunan kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan. Terus meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun maka fungsinya secara ekologis menjadi penting Gambar 2. Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO 2 dari udara dan akan melepas O 2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO 2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI Indonesia Oil Palm Research Institute bahwa fiksasi CO 2 adalah 25.71 tonhatahun Htut 2004. Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi 2001 mengemukakan kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40.28 tonha. Jika dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut 2004 menyatakan kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1.66 tonhatahun. Penelitian serupa di Malaysia yang dilkakukan oleh Henson 1999 mengemukakan bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO 2 sebesar 20–55 tonhatahun Hooijer et al. 2006. Oleh karena itu, jika dilakukan pengembangan perkebunan di lahan gambut maka harus dengan pengelolaan yang tepat untuk mencegah terjadinya degradasi terhadap lahan gambut.

2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon