Ekstraksi Oleoresin Pengaruh Nisbah Bahan Baku – Pelarut dan Suhu Ekstraksi terhadap Kandungan Xanthorrhizol dalam Oleoresin Temulawak (Curcuma xanthorhiza roxb.).

pelarut yang dapat digunakan adalah alkohol, heksan, etil asetat, etil alkohol, isopropil alkohol, aseton, dan gliserol. Diantara bahan-bahan tersebut, alkohol banyak dipakai karena relatif aman untuk makanan, sifat polarnya banyak membantu dalam mendapatkan emulsi oleresin yang baik, dan mempermudah kelarutannya dalam air. Selain menutupi kelemahan penggunaan rempah dalam bentuk rimpang dan serbuk, oleoresin juga memiliki keunggulan. Menurut Somaatmadja 1981, kelebihan penggunaan oleoresin untuk suatu industri terutama industri pangan adalah oleoresin yang diekstrak dengan menggunakan pelarut organik bersifat steril, dapat menghasilkan produk dengan mutu yang terjamin, dan penggunaan rempah akan lebih ekonomis dan efisien. Cripps 1973 menyatakan keuntungan penggunaan oleoresin dibandingkan dengan bentuk aslinya adalah higienis, kekuatan flavornya dapat distandarisasi, mengandung antioksidan alami, bebas dari enzim, dan memiliki waktu simpan yang lebih lama pada kondisi yang ideal. Enzim dalam bahan pertanian dapat menyebabkan terjadinya kerusakan kimiawi terhadap bahan tersebut. Kerusakan bahan dapat ditandai dengan terjadinya perubahan warna sebagai akibat terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis dan timbulnya ketengikan. Ketengikan dapat timbul dengan adanya kerusakan lemak oleh reaksi oksidasi yang dipercepat oleh adanya enzim lipoksidase Syarief, 1993. Sedangkan kekurangan oleoresin menurut Koswara 2009 antara lain sangat pekat dan kadang-kadang lengket sehingga sulit ditimbang dengan tepat, flavor oleoresin dipengaruhi oleh asal dan kualitas bahan mentah yang mungkin asalnya tidak sama, sejumlah tannin masih terdapat di dalamnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna, dan kemungkinan masih terkandung residu atau sisa pelarut dalam jumlah yang melebihi batas yang ditentukan jika tidak dilakukan kontrol yang baik dalam proses ekstraksinya.

C. Ekstraksi Oleoresin

Menurut Bombardelli 1991 ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat adalah proses pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan dari bahan padat. Menurut Ravindarn et al 2007, pada dasarnya ekstraksi oleoresin terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah proses kontak bahan baku dengan pelarut sehingga terjadi perpindahan komponen aktif dari bahan baku ke dalam pelarut. Tahap selanjutnya adalah pemisahan larutan dengan bahan baku, sehingga dihasilkan larutan ekstrak dan ampas. Tahap terakhir adalah proses distilasi pelarut, sehingga dihasilkan oleoresin. Proses kontak bahan baku dengan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa metode. Menurut Afifah 2003 secara umum dikenal beberapa metode yang bisa diterapkan untuk proses ekstraksi bahan aktif temulawak. Metode tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.  Maserasi, yakni merendam bahan di dalam pelarut. Cara ini sangat sederhana, tetapi membutuhkan waktu sangat lama. Proses ektraksi dengan cara ini hasilnya kurang sempurna.  Digesti, yakni ekstraksi dengan cara maserasi yang dikombinasikan dengan pemanasan. Cara ini tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas.  Perkolasi, yakni ekstraksi dengan cara mengalirkan pelarut melalui serbuk simplisia, cara ini membutuhkan waktu sangat lama.  Sokletasi, yakni cara ekstraksi yang digunakan di laboratorium. Cara ini juga tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak bahan panas.  Maserasi dengan pengadukan. Cara ini merupakan cara yang paling representatif dari cara-cara diatas. Ekstraksi dengan cara ini dapat mempercepat waktu yang dibutuhkan menjadi 6-24 jam. Djubaedah 1978 menyatakan pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan dan ekstraksi padatan dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan partikel-partikel ke dalam media pelarut. Menurut Balakrishnan 2005 di dalam Ravindran et al 2007, efesiensi proses ekstraksi oleoresin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. 1. Ukuran partikel simplisia temulawak Menurut Djubaedah 1978, kehalusan partikel bahan yang sesuai akan menghasilkan ekstrak yang sempurna dalam waktu yang singkat, tetapi jika terlalu halus maka minyak atsirinya akan hilang pada waktu penggilingan. Selain itu, partikel yang sangat halus akan melewati lubang saringan dan berkumpul dengan hasil saringan. Selain ukuran partikel, keseragaman ukuran partikel juga harus diperhatikan. Partikel yang bervariasi ukurannya akan mengurangi kontak antara bahan dengan pelarut, karena partikel yang berukuran lebih kecil akan masuk ke dalam celah-celah partikel yang lebih besar. Menurut Purseglove 1981, ukuran yang lazim digunakan adalah 40 mesh. Ukuran partikel terbesar yang telah digunakan pada pengujian di laboratorium adalah 30 mesh dan yang paling halus adalah 60 mesh. Menurut Heath dan Reineocius 1986 di dalam Sembiring et al 2006, semakin kecil ukuran bahan yang digunakan maka semakin luas bidang kontak antara bahan dengan pelarut dan semakin besar kecepatan mencapai kesetimbangan sistem. Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung dengan baik dan tidak memakan waktu yang lama. 2. Pelarut Pelarut merupakan faktor yang sangat penting dalam proses ekstraksi. Menurut Purseglove 1981 pemilihan pelarut mempengaruhi komposisi oleoresin dan jumlah ekstrak yang dihasilkan. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut non polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan lemak yang tinggi, sedangkan ekstraksi dengan menggunakan pelarut polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan lemak yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik lemak yang bersifat non polar, sehingga lemak akan larut dalam pelarut non polar. Pelarut yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat. Menurut Ravindran et al 2007, syarat pelarut yang dapat digunakan untuk proses ekstraksi oleoresin adalah sebagai berikut.  Pelarut harus dapat melarutkan semua komponen aktif yang diinginkan, dan sedikit mungkin melarutkan komponen yang tidak diinginkan.  Pelarut mempunyai titik didih yang cukup rendah, agar pelarut mudah diuapkan tanpa memerlukan suhu yang tinggi. Namun jangan pula terlalu rendah karena akan mengakibatkan hilangnya pelarut selama proses ekstraksi.  Pelarut harus bersifat inert.  Pelarut memiliki titik didih yang seragam, sehingga tidak ada pelarut yang tertinggal dalam oleoresin.  Pelarut panas spesifik dan panas laten yang rendah.  Pelarut tidak bersifat racun dan tidak membahayakan kesehatan.  Pelarut tidak mudah terbakar dan meledak.  Pelarut dijual dengan harga yang sesuai dan masuk akal.  Pelarut diperbolehkan secara hukum untuk digunakan. Beberapa jenis pelarut yang banyak digunakan pada proses ekstraksi flavor makanan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pelarut yang Digunakan dalam Flavor Makanan Pelarut Titik Didih 760 mmHg C Spesifik Gravity 2020 C Etil Alkohol Etanol 78,4 0,7905 Isopropil Alkohol 82,3 0,7862 Etil Asetat 77,1 0,8990 Dietil Eter 34,4 0,7140 Gliserol 290 1,2600 Gliseril Monoasetat 158 1,2210 Gliseri diasetat 280 1,1780 Gliseril Triasetat 260 1,1590 Propilen Glikol 185 1,0380 Sumber : Scheflan and Jacobs 1953 di dalam Heath and Pharm 1978. Menurut Somaatmadja 1981, pemilihan pelarut didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu daya larut dan sifat toksisitas. Pelarut sebaiknya memiliki daya larut yang tinggi agar dapat mengekstrak oleoresin sebanyak mungkin dan pelarut yang digunakan harus dipastikan aman dan tidak beracun. Menurut Goldman 1949, pemilihan pelarut didasarkan pada beberapa hal lainnya, yaitu titik didih pelarut, mudah tidaknya pelarut terbakar dan sifat korosif pelarut terhadap peralatan ekstraksi. Menurut Kirk dan Othmer 1952, penggunaan pelarut dengan titik didih yang rendah dapat menyebabkan terjadinya kehilangan banyak pelarut pada saat pengambilan kembali pelarut yang telah digunakan. Penggunaan pelarut dengan titik didih yang tinggi akan mempersulit proses pemisahan dan terdapatnya resiko kerusakan oleoresin pada saat pemanasan. Volume pelarut yang digunakan memberikan pengaruh terhadap mutu dan rendemen oleoresin yang dihasilkan. Menurut Suryandari 1981, penggunaan pelarut dalam jumlah yang berbeda dapat menghasilkan oleoresin dalam jumlah yang berbeda pula. Semakin besar volume pelarut yang digunakan, maka jumlah oleoresin yang terekstrak juga semakin besar sampai larutan menjadi jenuh oleh pelarut. Menurut Purseglove et al 1981, jumlah pelarut yang baik digunakan untuk mengekstrak oleoresin adalah sebanyak tiga kali jumlah bahan yang diekstrak. Etanol atau etil alkohol yaitu cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, berbau merangsang dan mudah larut dalam air. Etanol mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan pelarut organik lainnya seperti heksan. Etanol mudah melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, sebagian karbohidrat dan senyawa organik lainnya Anonim, 1962. Etanol disebut juga etil-alkohol atau alkohol saja, adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena sifatnya yang tidak beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman. Etanol tidak berwarna dan tidak berasa tapi memilki bau yang khas. Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus molekul etanol adalah C 2 H 5 OH atau rumus empiris C 2 H 6 O Anonim, 2009. 3. Suhu proses ekstraksi Menurut Moestafa 1981, ekstraksi akan lebih cepat jika dilakukan pada suhu tinggi, tetapi pada ekstraksi oleoresin seperti ini akan menyebabkan beberapa komponen yang terdapat dalam bahan akan mengalami kerusakan. Sabel dan Warren 1973 menjelaskan, suhu ekstraksi yang terlalu tinggi harus dihindarkan, karena akan menyebabkan oleoresin menjadi rusak.

D. Pemisahan Pelarut