I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan gaya hidup ke arah lebih sehat cenderung menuntut adanya perubahan pemenuhan kebutuhan hidup dengan bahan alami atau yang lebih dikenal
dengan back to nature. Begitu pula dalam hal penggunaan obat-obatan, terdapat kecenderungan untuk mengkonsumsi obat-obatan yang bersumber dari bahan alami.
Bahan yang secara alami memiliki kemampuan untuk mengobati suatu penyakit dikenal sebagai bahan herbal. Indonesia memiliki berbagai macam tanaman yang
memiliki kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit maupun untuk menjaga kesehatan. Menurut Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia,
terdapat lima bahan herbal yang termasuk sebagai produk unggulan untuk dikembangkan. Kelima komoditas tersebut adalah temulawak, jahe, sambiloto,
kencur dan pegagan Republika, 2009. Temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb. merupakan salah satu tanaman
temu – temuan Zingiberaceae yang memiliki berbagai khasiat dan kegunaan. Menurut Ramlan 1985 di dalam Sidik et al 1995, temulawak dapat digunakan
secara luas baik sebagai rempah, bahan baku obat tradisional, bahan baku makanan maupun minuman. Sebagai tanaman obat, temulawak memiliki berbagai khasiat.
Menurut Sidik et al 1995, temulawak berkhasiat sebagai anti inflamasi, antitumor, mengobati penyakit hipokolesterolemia, mengobati gangguan fungsi hati,
memperbaiki fungsi saluran cerna, bersifat antibakteri dan antijamur, dan antijerawat.
Efek farmakologis yang diberikan oleh temulawak tidak lepas dari peran senyawa aktif yang terdapat dalam rimpang temulawak. Senyawa aktif yang terdapat
dalam temulawak terdiri dari dua fraksi utama yaitu zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Salah satu komponen minyak atsiri temulawak adalah xanthorrhizol.
Menurut Taryono et al 1987, Gabungan senyawa kurkumin dengan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak.
Senyawa kurkumin merupakan komponen yang memberikan warna kuning pada temulawak. Menurut Mahendra 2005, kurkumin yang terdapat dalam rimpang
temulawak bermanfaat sebagai antijerawat, anti-inflamasi anti radang dan anti
hepototoksik anti keracunan empedu. Xanthorrhizol merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak. Menurut Hwang 2006 xanthorrhizol
merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas terhadap aktifitas bakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap manusia.
Sejauh ini, temulawak diperdagangkan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk rimpang temulawak yang utuh, serbuk temulawak, oleoresin temulawak, dan minyak
atsiri temulawak. Penggunaan bahan baku temulawak dalam bentuk rimpang utuh maupun serbuk memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah bersifat kamba,
mudah mengalami perubahan warna dan aroma yang diakibatkan oleh perubahan iklim,
mudah terkontaminasi
oleh bahan
asing, mudah
terkontaminasi mikroorganisme, pada tahap aplikasi komponen aktif dihasilkan secara lambat dan
tidak terekstrak secara sempurna, dan partikel rimpang mengakibatkan adanya bintik atau noda pada produk akhir Ravindran et al, 2007.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka penggunaan temulawak dapat dilakukan dalam bentuk oleoresin temulawak. Menurut Glibertson 1971, oleoresin
merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang diekstrak dari berbagai jenis rempah, baik rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit, maupun rimpang
dengan menggunakan pelarut organik. Selain untuk menutupi kekurangan penggunaan temulawak dalam bentuk rimpang dan sebuk, penggunaannya dalam
bentuk oleoresin dapat meningkatkan nilai jual temulawak. Dalam proses ekstraksi oleoresin temulawak, terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap mutu oleoresin yang dihasilkan. Ravindran et al 2007 menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin
diantaranya adalah jenis dan konsentasi pelarut yang digunakan, suhu ekstraksi, dan ukuran bahan yang diekstrak. Selain itu, faktor volume dan lama ekstraksi juga dapat
mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin. Pemilihan pelarut yang tepat untuk mengekstrak oleoresin temulawak telah
dilakukan oleh Ria pada tahun 1989. Ria 1989 menggunakan pelarut etanol, aseton, dan heksana. Hasil pengamatan Ria 1989 menunjukkan bahwa pelarut etanol
merupakan pelarut terbaik untuk mengekstrak oleoresin dari rimpang temulawak. Pengaruh faktor lama ekstraksi dan kehalusan bahan baku terhadap mutu oleoresin
temulawak diamati oleh Sembiring et al pada tahun 2006. Lama ekstaksi yang
diamati terdiri dari tiga taraf, yaitu 4, 6 dan 8 jam dan tingkat kehalusan bahan terdiri dari dua taraf, yaitu 40 dan 60 mesh.
Hasil pengamatan Sembiring et al 2006 menunjukkan bahwa kehalusan bahan dan lama ekstraksi berpengaruh terhadap rendemen ekstraksi. Rendemen
tertinggi dihasilkan pada tingkat kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 6 jam, yaitu sebesar 32,49 . Kehalusan bahan berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri dan
kadar xanthorrhizol, sedangkan lama ekstraksi tidak berpengaruh. Kadar kurkumin tidak dipengaruhi oleh faktor kehalusan bahan dan lama ekstraksi. Kadar minyak
atsiri dan kadar kurkumin tertinggi dihasilkan pada kehalusan bahan 40 mesh dan lama ekstraksi 4 jam, yaitu secara berurutan sebesar 33,03 dan 2,88. Tingkat
kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 4 jam menghasilkan kadar xanthorrhizol terpilih, yaitu sebesar 14,21 .
Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi oleoresin temulawak adalah suhu ekstraksi dan volume pelarut yang digunakan. Peningkatan penggunaan
suhu dan volume pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi diharapkan mampu meningkatkan mutu oleoresin yang dihasilkan, terutama terjadinya peningkatan
kadar xanthorrhizol didalam oleoresin tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi yang tepat diantara kedua faktor tersebut untuk menghasilkan rendemen
oleoresin optimal dengan kandungan xanthorrhizol yang paling tinggi.
B. Tujuan Penelitian