Tujuan Penelitian Oleoresin Temulawak

diamati terdiri dari tiga taraf, yaitu 4, 6 dan 8 jam dan tingkat kehalusan bahan terdiri dari dua taraf, yaitu 40 dan 60 mesh. Hasil pengamatan Sembiring et al 2006 menunjukkan bahwa kehalusan bahan dan lama ekstraksi berpengaruh terhadap rendemen ekstraksi. Rendemen tertinggi dihasilkan pada tingkat kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 6 jam, yaitu sebesar 32,49 . Kehalusan bahan berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri dan kadar xanthorrhizol, sedangkan lama ekstraksi tidak berpengaruh. Kadar kurkumin tidak dipengaruhi oleh faktor kehalusan bahan dan lama ekstraksi. Kadar minyak atsiri dan kadar kurkumin tertinggi dihasilkan pada kehalusan bahan 40 mesh dan lama ekstraksi 4 jam, yaitu secara berurutan sebesar 33,03 dan 2,88. Tingkat kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 4 jam menghasilkan kadar xanthorrhizol terpilih, yaitu sebesar 14,21 . Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi oleoresin temulawak adalah suhu ekstraksi dan volume pelarut yang digunakan. Peningkatan penggunaan suhu dan volume pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi diharapkan mampu meningkatkan mutu oleoresin yang dihasilkan, terutama terjadinya peningkatan kadar xanthorrhizol didalam oleoresin tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi yang tepat diantara kedua faktor tersebut untuk menghasilkan rendemen oleoresin optimal dengan kandungan xanthorrhizol yang paling tinggi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nisbah bahan baku - pelarut dan suhu ekstraksi terhadap kandungan kurkumin dan xanthorrhizol dalam oleoresin temulawak yang dihasilkan. II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak

1. Botani Tanaman Temulawak

Temulawak Curcuma xanthorriza Roxb merupakan salah satu tanaman obat dari suku temu-temuan Zingiberaceae. Tanaman ini termasuk ke dalam tanaman tahunan dan tumbuh secara liar di beberapa pulau Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Selain dikenal dengan nama temulawak, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah seperti koneng gede Sunda, temo lobak Madura Hyne, 1950 di dalam Sidik et al, 1995, tommo Bali, tommon Sulawesi Selatan, dan di Ternate dengan nama karbanga Gunster, 1943 di dalam Sidik et al, 1995. Menurut Rukmana 1995 kedudukan tanaman temulawak dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut. kingdom divisi sub divisi kelas ordo family genus spesies : : : : : : : : Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledonae Zingiberales Zingiberaceae Curcuma Curcuma xanthorriza ROXB Secara lebih lanjut Rukmana 1995 menjelaskan bahwa temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Batang tanaman temulawak adalah batang semu yang merupakan metamorphosis atau penjelmaan dari daun tanaman dengan tinggi mencapai 2 – 2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman anakan, dan tiap tanaman memiliki 2 – 9 helai daun. Daun tanaman berbentuk panjang dan agak lebar. Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Lebar helaian daun temulawak adalah ±18 cm dengan panjang daunnya 50-55 cm, tiap helaian daun melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur Perbungaan temulawak bersifat lateral. Tangkai bunga ramping dan berbulu dengan panjang 4 – 37 cm. Bunga berbentuk bulir, bulat memanjang yang panjangnya dapat mencapai 23 cm. Bunga tanaman ini memiliki banyak daun pelindung yang panjangnya melebihi atau terkadang sebanding dengan panjang mahkota bunga. Mahkota bunga berwarna putih sampai kuning dan bagian ujungnya berwarna merah dadu atau merah. Bunga temulawak memiliki benang sari dan putik sehingga setelah terjadi fruitset maka akan terbentuk buah. Buah yang terbentuk merupakan buah yang berbulu dengan panjang 2 cm Anonim, 2002. Bunga temulawak dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Bunga Tanaman Temulawak Menurut Ramlan 1985 di dalam Sidik et al 1995, temulawak memiliki rimpang induk yang berbentuk membulat, kemudian dari rimpang induk ini keluar rimpang kedua rimpang cabang yang berukuran lebih kecil, tumbuhnya ke arah samping dengan berbentuk bermacam-macam. Rukmana 1995 menambahkan, tiap tanaman memiliki rimpang cabang antara 3 – 4 buah. Warna kulit rimpang temulawak adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning, dengan cita rasanya pahit, berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman ±16 cm. tiap rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki enam buah rimpang dan lima buah rimpang muda. Sebagai ilustrasi, Gambar rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar 2. Sistem perakaran tanaman temulawak termasuk akar serabut. Akar-akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan Rukmana, 1995. Gambar 2. Rimpang Temulawak

2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak

Menurut Sidik et al 1995, kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada penggunaanya sebagai bahan baku pangan, bahan baku industri, dan sebagai bahan baku obat terbagi menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri. Kandungan kimia rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Kimia Rimpang Temulawak Komponen Jumlah BK Pati 58,24 Lemak fixes oil 12,10 Kurkumin 1,55 Serat Kasar 4,20 Abu 4,92 Protein 2,90 Mineral N, P, K, Na 4,29 Minyak Atsiri 4,90 Sumber : Roeslan 1980 di dalam Ketaren 1988 2.1 Fraksi Pati Sidik et al 1995 menjelaskan bahwa pati rimpang temulawak merupakan fraksi dengan jumlah yang paling besar. Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48 hingga 54 tergantung pada altitude tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, maka makin rendah kadar patinya. Pati temulawak memiliki bentuk bulat telur sampai lonjong dengan salah satu ujungnya persegi dengan ukuran rerata 60 µm. Bentuk pati temulawak ini sangat khas sehingga digunakan sebagai salah satu unsur pengenal untuk mengidentifikasi simplisia rimpang temulawak. Bentuk pati temulawak murni adalah berupa serbuk dan berwarna putih kekuningan. Warna kuning diakibatkan oleh adanya spora kurkuminoid. Pati temulawak berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan makanan, campuran bahan makanan, atau sebagai sumber karbohidrat. Herman 1985 di dalam Sidik et al 1995 memberikan contoh pemanfaatan pati temulawak, yaitu sebagai pencampur pati “sereal” untuk mengurangi sifat “basi” pada produk semacam roti atau digunakan sebagai pengental pada produk sediaan sirup. 2.2 Fraksi Kurkuminoid Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari campuran komponen senyawa kurkumin dan desmetoksikurkumin. Komponen ini berwarna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, memiliki aroma yang khas dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid dapat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida dan tidak dapat larut dalam air dan dietileter Sidik et al, 1995. Kurkumin mempunyai rumus molekul C 21 H 20 O 6 dengan bobot molekul sebesar 368, sedangkan desmetoksikurkumin memiliki rumus molekul C 20 H 18 O 5 dengan bobot molekul 338. Sifat kurkuminoid yang menarik adalah perubahan warna akibat perubahan nilai pH lingkungan. Dalan suasana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Analisis kuantitatif kurkuminoid dapat dilakukan dengan metode spektroskopi sinar tampak, volumetrik, atau kromatografi. Analisis kuantitatif dengan menggunakan sinar tampak didasarkan pada reaksi pembentukan rubrokurmin atau rososianin dengan pengukuran pada panjang gelombang 420 nm Muller 1989 di dalam Sidik et al 1995. 2.3 Fraksi Minyak Atsiri Menurut Krisnamurthy 1976 di dalam Sidik et al 1995 minyak atsiri temulawak merupakan cairan berwarna kuning atau kuning jingga yang mempunyai rasa tajam dengan bau khas aromatik. Minyak atsiri temulawak ini memiliki indeks bias 1,5130 24°C, bobot jenis 0,9423, dan rotasi optik - 140 pada 24°C. Komposisi minyak atsiri tidak selalu sama, hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah umur rimpang, tempat tumbuh, teknik isolasi, dan teknik analisis. Pada tahun 1985, Oei Ban Liang melakukan analisis terhadap minyak atsiri temulawak dengan menggunakan kromatografi gas dan mendeteksi adanya 31 komponen penyusun minyak atsiri. Komponen minyak atsiri tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Komponen dalam Minyak Atsiri Temulawak No Komponen No Komponen No Komponen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Trisiklin α-Pinen Kamfen Sabinen Mirsen -Pinen α-Felandren Limonen 1,8 Sineol -Terpinen 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 p-Simen Terpinolen δ-Elemen Kamfora α-Bergamoten –Elemen allo-Aroma-dendren trans- -Farnesen Borneol Germakrene 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Zingiberen -Bisabolen -Kurkumen -Kadinen -Seskuifelandren ar-Kurkumen Isofuarano-germaken Turmeron Turmerol Ar-Turmeron Xanthorrhizol Sumber : Liang 1985 di dalam Sidik et al 1995 Xanthorrhizol merupakan salah satu produk metabolit sekunder. Sirait pada tahun 1971 melakukan seleksi terhadap kandungan xanthorrhizol pada beberapa jenis curcuma, yaitu Curcuma xanthorrhiza Roxb, Curcuma domestica, Curcuma aeruginosa, Curcuma heyneana, dan Curcuma manga. Hasil seleksi menunjukkan bahwa xanthorrhizol hanya terdapat dalam jenis Curcuma xanthorrhiza Roxb Sirait, 1985 di dalam Sidik et al 1995. Zwaving dan Bos di dalam Sidik et al 1995 melakukan identifikasi terhadap komponen Curcuma aromatic dan menemukan komponen xanthorrhizol di dalam minyak atsiri rimpang tersebut dengan kadar yang lebih tinggi. Fraksi murni xanthorrhizol berupa minyak tidak berwarna, memiliki rumus molekul C 12 H 22 O dengan bobot molekul sebesar 218,335 gmol. Nama IUPAC Xanthorrhizol adalah 5-1,5-dimetilhex 4-enyl-2-metil-phenol. Struktur xanthorrizol dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Gambar 3. Rumus Bangun Xanthorrizol Analisis kuantitatif miyak atsiri rimpang temulawak dapat dilakukan dengan cara distilasi clavenger atau cara distilasi stahl. Analisis kuantitatif komponen minyak atsiri dapat dilakukan melalui kromatografi lapis tipis yang digabung dengan densitometri atau melalui analisis kromatografi gas Toussaint, 1982 di dalam Sidik et al, 1995.

3. Khasiat Farmakologi Rimpang Temulawak

Menurut Afifah 2003, temulawak dapat digunakan sebagai obat antiinflamasi atau antiradang. Melalui aktivitas antiinflamasi, temulawak efektif untuk mengobati radang sendi, reumatik, atau arthritis rematik. Liang 1988 di dalam Sidik 1995 menjelaskan bahwa aktivitas antiinflamasi disebabkan oleh komponen turmerol, ar-turmerol, dan xanthorrhizol yang terdapat dalam minyak atsiri rimpang temulawak. Ozaki 1990 di dalam Sidik 1995 menambahkan bahwa aktivitas antiinflamasi juga disebabkan oleh komponen germakon yang terdapat dalam ekstrak methanol rimpang temulawak. Selain disebabkan oleh komponen minyak atsiri, aktifitas antiinflamsi juga ditimbulkan oleh zat kurkumin. Hal ini dijelaskan oleh Satoskar et al di dalam Sidik 1995 yang menyatakan bahwa pemberian kurkumin mengakibatkan perbaikan yang nyata terhadap 45 orang penderita oedema yang telah melakukan operasi. Oedema atau edema merupakan pembengkakan atau sembab yang disebabkan oleh penimbunan cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan rongga-rongga badan sebagai akibat adanya peningkatan volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler. Selain sebagai antiinflamasi, temulawak juga mempunyai aktivitas hipokolesterolemik. Rio 1970 di dalam Sidik 1995 melaporkan bahwa pemberian kurkuminoid kepada hewan percobaan yang mengalami hipokolesterolemia mampu menurunkan kadar kolesterol total dan mempunyai indikasi meningkatkan kadar lipoprotein densitas tinggi HDL kolesterol. Temulawak juga memiliki aktivitas antijamur atau fungistatik terhadap beberapa jamur golongan dermatophyta. Selain itu, temulawak juga bersifat bakteriostatik atau antibakteri pada mikroba jenis staphylococcus dan salmonella. Pada dunia kosmetika, temulawak digunakan sebagai antijerawat. Hal ini disebabkan temulawak bersifat astringen Afifah, 2003. Kemampuan temulawak sebagai bahan antijerawat dijelaskan oleh Rukmana 1994 sebagai akibat adanya komponen xanthorrhizol. Sifat astrigensia ini menyebabkan terjadinya odema pada muara folikel rambut atau pori-pori kulit, sehingga secara tidak langsung akan mengurangi sekresi kelenjar minyak. Hwang 2006 menambahkan bahwa xanthorrhizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas terhadap aktifitas bekteri, atabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit manusia. Xanthorrhizol secara efisien dapat menghambat infeksi pada gigi dan penyakit kulit, dapat dimanfaatkan sebagai produk misalnya agen anti bakteri, pasta gigi, sabun, pembersih mulut, permen karet, dan kosmetika. Aktifitas antibakteri Xanthorrhizol mempunyai stabilitas yang baik terhadap panas, yakni pada suhu tinggi antar 60 – 121 C xanthorrhizol masih mempunyai aktifitas antibakteri.

B. Oleoresin Temulawak

Ravindran et al 2007 menjelaskan bahwa penggunaan bahan-bahan rempah dalam bentuk rimpang utuh maupun bentuk serbuk memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Bersifat kamba, sehingga memerlukan biaya transportasi yang tinggi dan memerlukan fasilitas gudang penyimpanan yang lebih besar. 2. Mudah mengalami perubahan warna dan aroma yang diakibatkan oleh perubahan iklim. 3. Mudah terkontaminasi oleh bahan asing, baik yang berasal dari proses pemanenan, penanganan pasca panen, penyimpanan, maupun dari transportasi. 4. Mudah terkontaminasi mikroorganisme yang mengakibatkan pendeknya daya simpan rimpang. 5. Pada tahap aplikasi, komponen aktif dihasilkan secara lambat dan tidak terekstrak secara sempurna. 6. Partikel rimpang mengakibatkan adanya bintiknoda pada produk akhir. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, rempah dapat digunakan dalam bentuk oleoresin. Rismunandar 1988 mendefinisikan oleoresin sebagai benda semi padat berbentuk pasta yang merupakan campuran dari minyak atsiri pembawa aroma dan sejenis dammar sebagai pembawa rasa. Menurut Gilbertson 1971 oleoresin dapat diekstrak dari berbagai jenis rempah, baik rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit, maupun rimpang. Menurut Stanforth 1973 oleoresin dapat diperoleh melalui ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik, sehingga selain mengandung minyak atsiri juga mengandung resin yang tidak dapat menguap dan menentukan rasa khas rempah. Menurut Afifah 2003 oleoresin temulawak adalah sari temulawak yang mengandung komponen-komponen temulawak, baik yang menguap minyak atsiri maupun yang tidak menguap seperti resin dan pigmen. Oleoresin temulawak berwana merah tua atau merah jingga yang disebabkan oleh terdapatnya senyawa pigmen kurkuminoid dalam oleoresin temulawak. Oleoresin temulawak diperoleh dengan cara mengekstrak temulawak dengan bahan-bahan pelarut organik. Jenis pelarut yang dapat digunakan adalah alkohol, heksan, etil asetat, etil alkohol, isopropil alkohol, aseton, dan gliserol. Diantara bahan-bahan tersebut, alkohol banyak dipakai karena relatif aman untuk makanan, sifat polarnya banyak membantu dalam mendapatkan emulsi oleresin yang baik, dan mempermudah kelarutannya dalam air. Selain menutupi kelemahan penggunaan rempah dalam bentuk rimpang dan serbuk, oleoresin juga memiliki keunggulan. Menurut Somaatmadja 1981, kelebihan penggunaan oleoresin untuk suatu industri terutama industri pangan adalah oleoresin yang diekstrak dengan menggunakan pelarut organik bersifat steril, dapat menghasilkan produk dengan mutu yang terjamin, dan penggunaan rempah akan lebih ekonomis dan efisien. Cripps 1973 menyatakan keuntungan penggunaan oleoresin dibandingkan dengan bentuk aslinya adalah higienis, kekuatan flavornya dapat distandarisasi, mengandung antioksidan alami, bebas dari enzim, dan memiliki waktu simpan yang lebih lama pada kondisi yang ideal. Enzim dalam bahan pertanian dapat menyebabkan terjadinya kerusakan kimiawi terhadap bahan tersebut. Kerusakan bahan dapat ditandai dengan terjadinya perubahan warna sebagai akibat terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis dan timbulnya ketengikan. Ketengikan dapat timbul dengan adanya kerusakan lemak oleh reaksi oksidasi yang dipercepat oleh adanya enzim lipoksidase Syarief, 1993. Sedangkan kekurangan oleoresin menurut Koswara 2009 antara lain sangat pekat dan kadang-kadang lengket sehingga sulit ditimbang dengan tepat, flavor oleoresin dipengaruhi oleh asal dan kualitas bahan mentah yang mungkin asalnya tidak sama, sejumlah tannin masih terdapat di dalamnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna, dan kemungkinan masih terkandung residu atau sisa pelarut dalam jumlah yang melebihi batas yang ditentukan jika tidak dilakukan kontrol yang baik dalam proses ekstraksinya.

C. Ekstraksi Oleoresin