Sumber: UN-Comtrade, 2011 Diolah.
5.1.2. Hambatan Ekspor CPO Indonesia ke India
Indonesia dalam memasarkan CPO ke India mengalami beberapa hambatan, antaralain berupa tarif atau pun nontarif. Hambatan tarif yang terjadi
tercermin dari:
Tarif Bea Masuk Ke India
Sejak April 2005 tarif bea masuk CPO Indonesia ke India dinaikan dari 15 menjadi sebesar 80. Kebijakan ini memberatkan Indonesia, karena bea
masuk produk substitusi CPO lainnya, yakni minyak kedelai cenderung lebih rendah yakni sekitar 45. Sebagai eksportir terbesar India, Indonesia gusar atas
kebijakan pemerintah India. Menyingkapi persoalan tingginya bea masuk CPO ke India tersebut, maka
pemerintah Indonesia aktif melakukan negosiasi terhadap kebijakan yang diberlakukan India. Akhirnya melalui penandatangan Persetujuan Perdagangan
Barang AIFTA dalam pertemuan ASEAN Economic Ministers ke-41 pada tanggal 13-16 Agustus 2009 di Bangkok telah disepakati bahwa, tarif bea masuk CPO ke
500,000,000 1,000,000,000
1,500,000,000 2,000,000,000
2,500,000,000 3,000,000,000
3,500,000,000 4,000,000,000
4,500,000,000 5,000,000,000
1 9
8 9
1 9
9 1
1 9
9 3
1 9
9 5
1 9
9 7
1 9
9 9
2 1
2 3
2 5
2 7
2 9
Gambar 5.3 Pergeseran Tujuan Ekspor CPO Indonesia, 1989-2010
Volume Ekspor ke Belanda Kg
Volume Ekspor ke United Kingdom Kg
Volume Ekspor ke China Kg
Volume Ekspor ke India Kg
India turun bertahap hingga ketingkat maksimum sebesar 37,5 pada periode 2009-2018
4
. Hal ini merupakan keuntungan bagi Indonesia, karena komoditas CPO Indonesia akan memperoleh actual market access tahun 2018.
Selain hambatan tarif bea masuk, Indonesia masih mengalami hambatan di bidang nontarif, yang akan dipaparkan sebagai berikut:
Kebijakan Persyaratan Kandungan Beta-karoten
Sejak September 2005, pemerintah India telah mensyaratkan kandungan beta-karoten
yang harus dimiliki CPO Indonesia sebesar 500 hingga 2.500 ppm. Kebijakan ini berpotensi menghambat ekspor CPO Indonesia karena Indonesia
belum mampu menghasilkan produk CPO dengan kandungan seperti itu. Sehingga hal ini mendorong Indonesia aktif bernegosiasi terhadap pemerintah India hingga
disepakatinya penurunan kadar minimum beta-karoten CPO Indonesia menjadi sebesar 250 hingga 2.500 ppm Anonim, 2006. Namun, kandungan karoten
Indonesia masih kurang apabila dibandingkan dengan Malaysia, yakni sudah mencapai nilai sebesar 600 sampai dengan 2.500 ppm. Lebih lanjut Anonim
2006 dalam Business News menjelaskan dari hasil investivigasi, kebijakan persyaratan minimum kandungan beta-karoten ini tidak murni berasal dari
Pemerintah India tetapi dari pihak Malaysia yang merasa sudah mampu akan
persyaratan tersebut dan berambisi mengungguli Indonesia di Pasar CPO India.
Kampanye Negatif Penggunaan CPO
Kampanye negatif antipenggunaan CPO banyak dilakukan oleh negara- negara Uni Eropa dan Amerika Serikat yang merupakan penghasil komoditas
substitusi CPO, yakni minyak kedelai. Kampanye negatif ini dilakukan dengan
4
Wahyuni, N. D. 2009. Bea Masuk CPO ke India Turun Jadi 37,5 di 2019. Detik Finance. http:www.detikfinance.comread2009081018252811807564bea-masuk-cpo-ke-india-turun-
jadi-375-di-2019 [30April 2011].
cara mengangkat isu pemanasan global, kerusakan lingkungan, kesehatan dan pengharusan penggunaan standar berupa ecolabeling.
Hal ini dilakukan dengan harapan konsumen CPO akan kembali mengkonsumsi minyak kedelai. Kampanye negatif ini sesungguhnya disebabkan
karena minyak kedelai tidak mampu bersaing dengan CPO, karena biaya produksi CPO jauh lebih murah yakni USS 180ton dibandingkan dengan minyak kedelai
yang mencapai US 315ton Agustian dan Hadi, 2003.
Kurang Memadainya infrastruktur dan Rendahnya Promosi CPO Indonesia
Kurang memadainya infrastruktur pelabuhan Indonesia, menyebabkan importir India harus dibebani ongkos tambahan, karena kapal harus menunggu
dua sampai enam hari, hal ini mengakibatkan semakin tingginya biaya waktu tunggu demorage hingga mencapai US 40.000 rata-rata biaya tunggu
mencapai US13.000-US15.000hari. Selain itu masalah lain yang dihadapi para eksportir Indonesia adalah kurang memadainya promosi CPO Indonesia,
sehingga sejumlah pembeli India kurang yakin terhadap mutu CPO Indonesia Anonim, 2006.
5.2. Analisis Kuantitatif