a. Mengidentifikasi peluang laba penghematan biaya dapat meningkatkan laba. b. Mengambil keputusan capital budgeting dan keputusan investasi lainnya.
c. Menekan biaya pembelian dan biaya yang berkaitan dengan pemasok. d. Mengidentifikasi pemborosan dalam aktivitas yang tidak dikehendaki para
pelanggan. e. Mengidentifikasi sistem yang berlebihan.
f. Menentukan apakah biaya-biaya mutu telah didistribusikan secara tepat. g. Penentuan tujuan dalam anggaran dan perencanaan laba.
h. Mengidentifikasi masalah-masalah mutu. i. Sebagai alat manajemen untuk ukuran perbandingan tentang hubungan
masukan-keluaran. j. Sebagai salah satu alat analisis pareto.
k. Sebagai alat manajemen strategik untuk mengalokasikan sumber daya dalam perumusan dan pelaksanaan strategi.
l. Sebagai ukuran penilaian kinerja yang objektif. 2.5. Perspektif Mutu
Perspektif mutu adalah pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan mutu suatu produk. Garvin dalam Nasution 2005 mengidentifikasi adanya lima
alternatif perspektif mutu yang biasa digunakan, yaitu transcendental-approach, product-based approach, user-based approach, manufacturing-based approach
dan value-based approach. Rinciannya sebagai berikut : 1.
Transcendental Approach Menurut pendekatan ini, mutu dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit
dioperasionalkan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam seni musik, drama, tari dan seni rupa. Selain itu, perusahaan dapat mempromosikan
produknya dengan pernyataan-pernyataan seperti tempat berbelanja yang menyenangkan supermarket, elegan mobil, kecantikan wajah kosmetik,
kelembutan dan kehalusan kulit sabun mandi, dan lain-lain. Dengan demikian, fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit
sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen mutu, karena sulitnya mendesain produk secara tepat yang mengakibatkan
implementasinya sulit. 2.
Product-based Approach Pendekatan ini menganggap mutu sebagai karakteristik atau atribut yang dapat
dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam mutu mencerminkan perbedaan dalam jumlah unsur atau atribut yang dimiliki produk. Pandangan
ini sangat obyektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan dan preferensi individu.
3. User-based Approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa mutu tergantung pada orang yang menggunakannya dan produk yang paling memuaskan preferensi
seseorang misal, perceived quality merupakan produk yang bermutu paling tinggi. Perspektif yang subyektif dan demand-oriented ini menyatakan bahwa
pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan berbeda pula, sehingga mutu bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang
dirasakan. 4.
Manufacturing-based Approach Perspektif ini bersifat utama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan
pabrikasi, serta mendefinisikan mutu sebagai sama dengan persyaratannya conformance to requirement. Dalam sektor jasa dapat dikatakan, bahwa
mutu bersifat operation-driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang sering kali didorong oleh
tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan mutu adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan
konsumen yang menggunakannya. 5.
Value-based Approach Pendekatan ini memandang mutu dari segi nilai dan harga. Dengan
mempertimbangkan trade-off antara kinerja produk dan harga, mutu didefinisikan sebagai affordable excellence. Mutu dalam perspektif ini
bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki mutu paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi, yang paling bernilai adalah
produk atau jasa yang paling tepat dibeli best-buy Nasution, 2005.
2.6. Six Sigma