Rancangan Pengendalian Mutu Dengan Metode Six Sigma Pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk Bogor

(1)

RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

Oleh

NENNY IKA CENDRAWATI

H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Menerapkan Metode Six Sigma pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk, Bogor. Dibawah bimbingan Heti Mulyati.

Six sigma merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measurement, Analyze, Improvement dan Control). Perbaikan dengan menggunakan six sigma diharapkan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk sehingga dapat bertahan dalam persaingan. Perusahaan tekstil merupakan perusahaan yang juga harus mengendalikan kualitas produk, terutama di Bagian Spinning.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengkaji proses produksi pada Divisi Spinning (2) Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze, dan (3) Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.

Penentuan responden dan sampel produk (benang) dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada fase define ditemukan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap mesin tersebut adalah slub, thick dan thin. Fase measurement dilakukan untuk mengetahui kualitas produksi Divisi Spinning. Hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin adalah Defect Per Opportunity (DPO) sebesar 0,000502208; Defect Per Million Opportunity (DPMO) sebesar 502,208 dan nilai sigma sebesar 4,81. Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka nilai DPO yang dihasilkan adalah 0,00504; nilai DPMO sebesar 5.040 dan nilai sigma sebesar 4,07. Pada fase analyze bahwa produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab produk cacat tersebut adalah faktor manusia, metode, mesin, bahan baku dan lingkungan.

Pada fase improvement ditetapkan beberapa solusi perbaikan, yaitu (1) Faktor manusia, antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan, (2) Faktor bahan baku, antara lain pemilihan bahan baku dengan kualitas bagus dan kombinasi bahan baku yang benar, (3) Faktor metode, antara lain mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas kepada karyawan, (4) Faktor mesin, antara lain melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan, (5) Faktor lingkungan, antara lain membersihkan lingkungan secara teratur, menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.

Fase control bertujuan untuk mengevaluasi dan memonitor hasil implementasi di lapangan. Alat yang digunakan pada fase ini adalah control chart. Agar dapat mencapai tingkatan enam sigma, Divisi Spinning harus dapat menekan produk cacatnya sebesar 4,86 cm pada tiap 100 km benang yang dihasilkannya.


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 03 juni 1985, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kisnaniadi dan Indahwati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Santo Paulus Bojonegoro (1990 -1991), SDK Santo Paulus Bojonegoro (1991-1993), SDN Kadipaten II Bojonegoro (1993-1997), SLTPN I Bojonegoro (1997-2000), SMUN I Bojonegoro (2000-2003) dan kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Melalui jalur USMI pada tahun 2003.

Selama menjalani pendidikan di departemen Manajemen penulis bergabung dengan SESC (Syariah Ekonomi Student Club) sebagai sekretaris Divisi Kerjasama dan Usaha Mandiri (2005) serta staf Divisi Usaha Mandiri (2006). Selain itu penulis juga bergabung sebagai anggota muda KAREMATA (Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pecinta Alam).


(4)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini membahas tentang Rancangan Pengendalian Mutu dengan Metode Six Sigma. Penelitian dilakukan pada Divisi Spinnging PT Unitex Tbk Bogor. Pengendalian mutu merupakan sesuau yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Six sigma merupakan suatu metode pengendalian mutu dengan target 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity).

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Heti Mulyati S.TP., MT sebagai dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis.Dipl.Ing.DEA dan Bapak Eko Rudy Cahyady,S.Hut.MM selaku dosen penguji dalam ujian sidang penulis. 3. Bpk. Mukhammad Nadjib S.TP., MM selaku satgas dan moderator pada

seminar

4. Seluruh dosen Departemen Manajemen yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.

5. Seluruh staf TU Departemen Manajemen yang telah membantu penulis untuk mengurus berbagai keperluan surat menyurat.

6. Bapak Lukman, Bapak Syahrul, Bapak Nandang, mbak Desi serta bapak satpam PT Unitex yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian.

7. Mama dan adekku yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis.

8. Elfarista Hantalis Victory atas semua cinta, semangat dan dukungannya. 9. Evi, Irma, Lely, Yan, Melly, Tatha, Tina dan Lucia (TIN 40) yang telah


(5)

iii

10.Seluruh teman seperjuangan dalam MeneDeForty, KAREMATA dan SES-C.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2007


(6)

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nenny Ika Cendrawati H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ……….... 1

1.1. Latar belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

2.1. Definisi Mutu ………... 6

2.2. Pentingnya Mutu ………... 8

2.3. Dimensi Mutu ………... 11

2.4. Biaya Mutu ………... 11

2.5. Six Sigma ... 14

2.6. Peran dalam six sigma ... 19

2.7. Fase dalam six sigma ... 23

2.8. Seven Basic Quality Tools ….……….. 25

2.9 Statistical Process Control ……… 29

2.10. Penelitian Terdahulu ... 30

III METODOLOGI PENELITIAN ………... 33

3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 33

3.2. Tahapan Penelitian ……… 35

3.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 36

3.4. Metode Pengambilan Data ... 36

3.5. Metode Analisis Data ... 36

3.5.1. Analisis Data Kuantitatif ... 37

3.5.2. Analisis Data Kualitatif ……… 38

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 39

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ……… 39

4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi Perusahaan ………. 39

4.1.2. Struktur Perusahaan ... 40


(8)

4.2. Proses Produksi pada Divisi Spinning ... 45

4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning ... 45

4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning ... 48

4.2.3. Standar Mutu Produk ... 50

4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 50

4.3.1. Define ... 51

4.3.2. Measure ... 53

4.3.3. Analyze ... 58

4.4. Solusi untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 65

4.4.1. Improvement ... 66

4.4.2. Control ... 71

4.4.3. Rancangan Pengendalian Mutu dengan Mengunakan Metode six sigma ... 73

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 77

2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ………...………. 79


(9)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk... 3

2. Konversi level sigma yang disederhanakan ... 19

3. Penelitian Terdahulu ……….. 31

4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma ……… 38

5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005 .. 47

6. Deskripsi CTQ ... 52

7. Kegagalan yang terjadi pada EC 45S ………... 54

8. Kegagalan yang terjadi pada AC 40S ... 54

9. Kegagalan yang terjadi pada CVC 45/55 45S ... 55

10. Kegagalan yang rata-rata terjadi pada Divisi Spinning ... 55

11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning ... 67

12. Rancangan Pengendalian Mutu dengan menggunakan Metode Six Sigma ... 73


(10)

No Hal

1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan memperoleh laba ….. 9

2. Hubungan sistem kualitas ……… 10

3. Lima fase six sigma dalam proyek peningkatan kualitas ………. 24

4. Kerangka pemikiran ………. 34

5. Tahapan penelitian ……… 35

6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk …………... 40

7. Proses Produksi PT Unitex ... 42

8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinnng 2005 ... 46

9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005 ... 47

10. Proses Produksi Divisi Spinning ……….. 49

11. IPO Graph ... 51

12. CTQ Tree ... 52

13. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang EC 45S ……… 59

14. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang AC 40 S ... 60

15. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S ... 60

16. Diagram Pareto Rataan Kesalahan yang terjadi pada Divisi Spinning ... 61

17. Fishbone Diagram Penyebab Produk Cacat ... 63


(11)

RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

Oleh

NENNY IKA CENDRAWATI

H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Menerapkan Metode Six Sigma pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk, Bogor. Dibawah bimbingan Heti Mulyati.

Six sigma merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measurement, Analyze, Improvement dan Control). Perbaikan dengan menggunakan six sigma diharapkan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk sehingga dapat bertahan dalam persaingan. Perusahaan tekstil merupakan perusahaan yang juga harus mengendalikan kualitas produk, terutama di Bagian Spinning.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengkaji proses produksi pada Divisi Spinning (2) Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze, dan (3) Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.

Penentuan responden dan sampel produk (benang) dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada fase define ditemukan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap mesin tersebut adalah slub, thick dan thin. Fase measurement dilakukan untuk mengetahui kualitas produksi Divisi Spinning. Hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin adalah Defect Per Opportunity (DPO) sebesar 0,000502208; Defect Per Million Opportunity (DPMO) sebesar 502,208 dan nilai sigma sebesar 4,81. Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka nilai DPO yang dihasilkan adalah 0,00504; nilai DPMO sebesar 5.040 dan nilai sigma sebesar 4,07. Pada fase analyze bahwa produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab produk cacat tersebut adalah faktor manusia, metode, mesin, bahan baku dan lingkungan.

Pada fase improvement ditetapkan beberapa solusi perbaikan, yaitu (1) Faktor manusia, antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan, (2) Faktor bahan baku, antara lain pemilihan bahan baku dengan kualitas bagus dan kombinasi bahan baku yang benar, (3) Faktor metode, antara lain mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas kepada karyawan, (4) Faktor mesin, antara lain melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan, (5) Faktor lingkungan, antara lain membersihkan lingkungan secara teratur, menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.

Fase control bertujuan untuk mengevaluasi dan memonitor hasil implementasi di lapangan. Alat yang digunakan pada fase ini adalah control chart. Agar dapat mencapai tingkatan enam sigma, Divisi Spinning harus dapat menekan produk cacatnya sebesar 4,86 cm pada tiap 100 km benang yang dihasilkannya.


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 03 juni 1985, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kisnaniadi dan Indahwati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Santo Paulus Bojonegoro (1990 -1991), SDK Santo Paulus Bojonegoro (1991-1993), SDN Kadipaten II Bojonegoro (1993-1997), SLTPN I Bojonegoro (1997-2000), SMUN I Bojonegoro (2000-2003) dan kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Melalui jalur USMI pada tahun 2003.

Selama menjalani pendidikan di departemen Manajemen penulis bergabung dengan SESC (Syariah Ekonomi Student Club) sebagai sekretaris Divisi Kerjasama dan Usaha Mandiri (2005) serta staf Divisi Usaha Mandiri (2006). Selain itu penulis juga bergabung sebagai anggota muda KAREMATA (Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pecinta Alam).


(14)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini membahas tentang Rancangan Pengendalian Mutu dengan Metode Six Sigma. Penelitian dilakukan pada Divisi Spinnging PT Unitex Tbk Bogor. Pengendalian mutu merupakan sesuau yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Six sigma merupakan suatu metode pengendalian mutu dengan target 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity).

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Heti Mulyati S.TP., MT sebagai dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis.Dipl.Ing.DEA dan Bapak Eko Rudy Cahyady,S.Hut.MM selaku dosen penguji dalam ujian sidang penulis. 3. Bpk. Mukhammad Nadjib S.TP., MM selaku satgas dan moderator pada

seminar

4. Seluruh dosen Departemen Manajemen yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.

5. Seluruh staf TU Departemen Manajemen yang telah membantu penulis untuk mengurus berbagai keperluan surat menyurat.

6. Bapak Lukman, Bapak Syahrul, Bapak Nandang, mbak Desi serta bapak satpam PT Unitex yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian.

7. Mama dan adekku yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis.

8. Elfarista Hantalis Victory atas semua cinta, semangat dan dukungannya. 9. Evi, Irma, Lely, Yan, Melly, Tatha, Tina dan Lucia (TIN 40) yang telah


(15)

iii

10.Seluruh teman seperjuangan dalam MeneDeForty, KAREMATA dan SES-C.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2007


(16)

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nenny Ika Cendrawati H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ……….... 1

1.1. Latar belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

2.1. Definisi Mutu ………... 6

2.2. Pentingnya Mutu ………... 8

2.3. Dimensi Mutu ………... 11

2.4. Biaya Mutu ………... 11

2.5. Six Sigma ... 14

2.6. Peran dalam six sigma ... 19

2.7. Fase dalam six sigma ... 23

2.8. Seven Basic Quality Tools ….……….. 25

2.9 Statistical Process Control ……… 29

2.10. Penelitian Terdahulu ... 30

III METODOLOGI PENELITIAN ………... 33

3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 33

3.2. Tahapan Penelitian ……… 35

3.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 36

3.4. Metode Pengambilan Data ... 36

3.5. Metode Analisis Data ... 36

3.5.1. Analisis Data Kuantitatif ... 37

3.5.2. Analisis Data Kualitatif ……… 38

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 39

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ……… 39

4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi Perusahaan ………. 39

4.1.2. Struktur Perusahaan ... 40


(18)

4.2. Proses Produksi pada Divisi Spinning ... 45

4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning ... 45

4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning ... 48

4.2.3. Standar Mutu Produk ... 50

4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 50

4.3.1. Define ... 51

4.3.2. Measure ... 53

4.3.3. Analyze ... 58

4.4. Solusi untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 65

4.4.1. Improvement ... 66

4.4.2. Control ... 71

4.4.3. Rancangan Pengendalian Mutu dengan Mengunakan Metode six sigma ... 73

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 77

2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ………...………. 79


(19)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk... 3

2. Konversi level sigma yang disederhanakan ... 19

3. Penelitian Terdahulu ……….. 31

4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma ……… 38

5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005 .. 47

6. Deskripsi CTQ ... 52

7. Kegagalan yang terjadi pada EC 45S ………... 54

8. Kegagalan yang terjadi pada AC 40S ... 54

9. Kegagalan yang terjadi pada CVC 45/55 45S ... 55

10. Kegagalan yang rata-rata terjadi pada Divisi Spinning ... 55

11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning ... 67

12. Rancangan Pengendalian Mutu dengan menggunakan Metode Six Sigma ... 73


(20)

No Hal

1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan memperoleh laba ….. 9

2. Hubungan sistem kualitas ……… 10

3. Lima fase six sigma dalam proyek peningkatan kualitas ………. 24

4. Kerangka pemikiran ………. 34

5. Tahapan penelitian ……… 35

6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk …………... 40

7. Proses Produksi PT Unitex ... 42

8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinnng 2005 ... 46

9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005 ... 47

10. Proses Produksi Divisi Spinning ……….. 49

11. IPO Graph ... 51

12. CTQ Tree ... 52

13. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang EC 45S ……… 59

14. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang AC 40 S ... 60

15. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S ... 60

16. Diagram Pareto Rataan Kesalahan yang terjadi pada Divisi Spinning ... 61

17. Fishbone Diagram Penyebab Produk Cacat ... 63


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Tabel konversi sigma ... 81

2. Daftar pertanyaan wawancara ... 82

3 Data Produksi PT Unitex 2005 ... 83

4. Standar mutu Divisi Spinning PT Unitex ... 92

5. Suhu dan Kelembaban untuk Produksi ... 94


(22)

1.1. Latar belakang

Era globalisasi yang ditandai dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas oleh beberapa negara seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) menyebabkan persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola ekonomi pengendalian pasar menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan pasar dimana permintaan konsumen lebih berperan dalam pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan konsumen dengan meningkatkan mutu produk sehingga mampu bertahan dalam persaingan.

Pentingnya mutu dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari manajemen operasional, mutu produk merupakan salah satu kebijakan penting dalam meningkatkan daya saing produk. Produk dengan mutu bagus mampu bersaing dibandingkan dengan produk lainnya sehingga dapat bertahan di pasar. Dilihat dari sudut manajemen pemasaran, mutu produk merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih produk dengan mutu yang lebih baik.

Para pelaku bisnis dituntut untuk selalu berusaha memperbaiki mutu pada proses yang dilakukannya. Hal ini bertujuan agar dapat memberikan produk atau layanan sesuai dengan tuntutan pelanggan dan efisiensi biaya. Mutu suatu produk mempengaruhi preferensi, persepsi dan perilaku konsumen terhadap produk tersebut. Produk dengan mutu rendah akan menyebabkan konsumen berpaling pada produk yang lebih bermutu. Sebaliknya, bila mutu yang dimiliki suatu produk lebih tinggi dari perusahaan pesaing, konsumen akan lebih memilih untuk menggunakan produk tersebut.


(23)

2

Dalam suatu proses produksi terdapat peluang dihasilkan produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Produk yang tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dianggap sebagai produk cacat yang tidak dapat langsung disalurkan ke pasar tetapi harus diperbaiki terlebih dahulu. Perbaikan tersebut menimbulkan biaya baru yang digolongkan dalam biaya mutu. Perbaikan mutu produksi dengan menekan jumlah produk cacat merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan perusahaan, karena biaya tersembunyi yang muncul dari adanya produk cacat tersebut memiliki dampak yang cukup besar pada keuangan perusahaan.

Industri tekstil adalah salah satu industri yang harus memiliki mutu tinggi agar memenangkan persaingan. Oleh karena itu, produsen harus terus meningkatkan mutu dari produk yang dihasilkannya. Salah satu perusahaan tekstil yang masih bertahan adalah PT Unitex, sebuah perusahaan patungan Indonesia-Jepang yang bergerak dalam bidang tekstil terpadu (Fully Integrated Textile Manufacture) yang mengolah bahan baku kapas dan polyester menjadi benang dan bahan jadi kain. PT Unitex didirikan berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967. Perusahaan dituntut untuk terus mempertahankan dan meningkatkan mutu produk agar dapat mempertahankan loyalitas dan meningkatkan kepuasan konsumen. PT Unitex berusaha meningkatkan ekspor langsung dan tidak langsung secara intensif sebesar 80 persen. Ekspor langsung berjumlah 65 persen dari jumlah produksi dengan tujuan Australia, Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan lain-lain. Ekspor tidak langsung melalui industri pakaian jadi (garmen) berjumlah sekitar 15 persen ke Amerika dan Eropa.

Masing-masing divisi pada PT Unitex menghasilkan produk dengan jenis yang berbeda. Mesin dan kapasitas produksi pada masing-masing divisi pada PT Unitex dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk

Divisi Mesin Hasil

Spinning 31.920 Spindels 1.450 bal/ bulan Weaving AJL184, ISL 116, Toyoda

80 (Conventional)

1.800.000 meter/ bulan

Dyeing Finishing Machine 1 Lot Yarn Dyed 19 Sets

2.000.000 meter/ bulan

130 ton / bulan Utility Generators

PLN Boiler

Waste Water Treatment Water Purifying System

8.475 KVA 4330 KVA 30 ton/H

180.000 ton/bulan 120.000 ton/ bulan Sumber : www. Unitex.co.id , 2006

Proses produksi di PT Unitex terdiri dari pemintalan (spinning), penenunan (weaving), pencelupan (dyeing finishing) dan pencelupan benang (yarn dyeing). Proses produksi pada PT Unitex diawali dari Divisi Spinning yang mengolah bahan baku kapas menjadi benang. Divisi Spinning merupakan divisi yang berperan sangat penting dalam menghasilkan benang yang bermutu. Benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning sangat berpengaruh pada mutu kain yang dihasilkan oleh PT Unitex. Hal itu disebabkan karena benang tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk membuat kain dengan melewati beberapa proses lanjutan. Apabila benang yang dihasilkan mengalami cacat, tetap diolah dalam tahap proses yang lain dengan harapan cacat tersebut dapat ditutup dan disempurnakan dalam proses-proses selanjutnya. Tetapi akan lebih baik jika cacat tersebut dapat diantisipasi di Divisi Spinning sesuai dengan standar, sehingga mutu kain yang akan dihasilkan menjadi lebih baik.

Berbagai jenis metode dikembangkan dan diterapkan oleh masyarakat industri untuk menghasilkan produk dengan mutu yang lebih baik. Six sigma merupakan suatu metode pengendalian dan peningkatan mutu yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen mutu. Banyak ahli manajemen mutu menyatakan bahwa metode six sigma dapat dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri. Metode six sigma mampu melakukan peningkatan mutu sampai ke tingkat kegagalan nol (zero defect).


(25)

4

Six sigma dapat mengidentifikasi masalah dalam proses produksi dan menguraikan cacat yang membebani dalam hal waktu, uang, pelanggan dan peluang. Six sigma dapat digunakan untuk menemukan karakteristik-karakteristik yang penting untuk pelanggan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi karakterisitik dan mengurangi variasi pada faktor-faktor kunci tersebut. Meskipun PT Unitex telah memiliki sertifikasi ISO 9001 : 2000, namun penerapan six sigma belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai six sigma di PT Unitex perlu dikaji dalam rangka perbaikan yang terus menerus (continuous improvement).

1.2. Perumusan masalah

Perbaikan mutu produksi merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan perusahaan dan perbaikan mutu produksi dapat menjadi suatu cara yang ditempuh oleh perusahaan agar dapat bertahan dalam suatu industri. Tingginya jumlah produk cacat dapat menjadi suatu indikator rendahnya mutu produksi perusahaan tersebut. Biaya yang timbul akibat dari adanya produk cacat tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada biaya operasional perusahaan. Divisi Spinning merupakan salah satu divisi dalam industri tekstil yang sangat mempengaruhi mutu kain. Pada divisi Spinning diindikasikan banyak cacat yang ditimbulkan.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dirumuskan adalah : 1. Bagaimana proses produksi pada Divisi Spinning ?

2. Apa faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze ? 3. Bagaimana cara mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning

berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control ? 4. Bagaimana rancangan pengawasan mutu berdasarkan metode six sigma

yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning PT Unitex ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :


(26)

2. Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze.

3. Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.

4. Merancang sistem pengawasan mutu yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning PT Unitex.

1.4. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bahan masukan bagi perusahaan dalam meningkatkan kualitas produksinya dengan cara menekan jumlah produk cacat.

2. Bagi peneliti mengetahui karakteristik produk cacat dan proses produksi pada Divisi Spinning PT Unitex serta menemukan solusi untuk mengurangi produk cacat tersebut dengan menggunakan metode six sigma.

3. Menambah wawasan dan bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya tentang kualitas produksi dengan menekan jumlah produk cacat.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mutu

American Society for Quality Controldalam Heizer dan Render (2001) menyatakan, bahwa mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi.

Meskipun demikian, pendapat lain menyatakan bahwa definisi mutu menyangkut berbagai kategori. Beberapa dari definisi tersebut berorientasi pada pengguna atau pemakainya. Pendapat ini mengatakan bahwa mutu tergantung pada anggapan pemakai produk dan jasa tersebut. Orang-orang yang berkecimpung dalam bidang pemasaran menyukai pendekatan ini, demikian pula para konsumen. Bagi mereka, mutu yang lebih tinggi berarti memiliki kemampuan pemuasan kebutuhan yang lebih baik, bentuk produk yang lebih menarik dan kelebihan lainnya (terkadang memakan biaya). Bagi manajer produksi, mutu tergantung pada pengerjaan, karena mutu berarti keharusan menyesuaikan dengan lebih baik pada standar yang berlaku dan membuatnya dengan benar pada waktu pertama. Namun, pendekatan yang ketiga bersifat berorientasi pada produk, yang menganggap mutu sebagai variabel tertentu dan dapat diukur (Heizer dan Render, 2001)

Definisi mutu yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dirangkum sebagai berikut :

- Juran dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.

- Scherkenbach dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan menginginkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai dari produk tersebut.


(28)

- Elliot dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat atau dikatakan sesuai dengan tujuan.

- Standar Nasional Indonesia dalam Ariani (2002) mendefinisikan mutu sebagai keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar.

- Crosby dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan. Standar mutu meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi.

- Deming dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan.

- Feigenbaum dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk bermutu apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk.

- Garvin dan Daviz dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.

Selera dan harapan konsumen terhadap suatu produk selalu berubah, sehingga mutu produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan perubahan mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.


(29)

8

Nasution (2004) menyatakan bahwa walaupun tidak ada definisi mengenai mutu yang diterima secara universal, tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen berikut : 1. Mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. 2. Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan.

3. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan mutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang).

2. 2. Pentingnya Mutu

Menurut Heizer dan Render (2001), produk dan jasa yang bermutu secara strategis penting bagi perusahan dan negara yang diwakilinya. Mutu dan produk suatu perusahaan, harga yang ditetapkan oleh perusahaan dan pemasokan barang yang membuat produk itu tersedia bagi konsumen merupakan faktor yang menentukan permintaan. Mutu terutama mempengaruhi perusahaan dalam empat cara yaitu :

1. Biaya dan pangsa pasar.

Gambar 1 menunjukkan bahwa mutu yang ditingkatkan dapat mengarah pada peningkatan pangsa pasar dan penghematan biaya, yang mempengaruhi profitabilitas. Demikian pula usaha perbaikan keandalan dan standar berarti penurunan kerusakan pada produk dan biaya suatu jasa.


(30)

Perbaikan Mutu Peningkatan Laba

Gambar 1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan meraih laba (Heizer dan Render, 2001)

2. Reputasi perusahaan.

Reputasi perusahaan mengikuti reputasi mutu yang dihasilkan apakah baik atau buruk. Mutu akan muncul bersamaan dengan persepsi mengenai produk baru perusahaan, praktik-praktik penanganan pegawai dan hubungannya dengan pemasok. Mutu produk tidak dapat digantikan oleh promosi perusahaan.

3. Pertanggungjawaban produk.

Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan produk yang beredar di pasar, pengadilan kini menganggap bahwa pihak-pihak yang harus memikul tanggung jawab adalah seluruh pihak yang tercakup dalam rantai distribusi. Dapat ditambahkan, perusahaan yang merancang dan memproduksi barang atau jasa yang cacat dapat dianggap bertanggung jawab atas kerusakan dan kecelakaan yang diakibatkan pemakaian barang dan jasa tersebut.

4. Implikasi internasional.

Mutu merupakan perhatian internasional dan operasi dalam era teknologi. Perusahaan dan negara dapat bersaing secara efektif dalam perekonomian global apabila produknya memenuhi standar mutu dan harga yang diinginkan. Produk yang bermutu rendah dapat

Hasil yang diperoleh dari pasar • Perbaikan reputasi

• Peningkatan volume • Peningkatan harga

Biaya yang dapat ditekan • Peningkatan produktivitas • Penurunan biaya pengerjaan

ulang dan sisa material • Penurunan biaya garansi


(31)

10

membahayakan perusahaan dan mengakibatkan implikasi yang negatif bagi neraca pembayaran.

Menurut Heizer dan Render (2001), perspektif lain dari mutu mencakup empat hal yaitu :

1. Kemampuan memenuhi harapan konsumen, 2. Wujud dari produk tersebut,

3. Keandalan,

4. Mutu yang diterima.

Bounds dalam Nasution (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya sistem mutu modern dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:

1. Disain, yaitu memenuhi keinginan dan harapan dari pelanggan serta secara ekonomis layak untuk diproduksi

2. Konformasi (conformance), yaitu memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan

3. Pemasaran dan pelayanan purna jual

Hubungan ketiga sistem mutu tersebut digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan Sistem Mutu (Nasution, 2004) Mutu konformitas

Mutu desain

Mutu pemasaran dan pelayanan purna jual

Produk dalam masa pemakaian Pemasaran, pelayanan purna jual

Produksi Sertifikasi Desain produk Permintaan pasar


(32)

2.3. Dimensi Mutu

Garvin dalam Ariani (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa dimensi mutu dalam industri manufaktur, antara lain :

1. Performance, yaitu kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu sendiri atau karakteristik operasi dari suatu produk.

2. Feature, yaitu ciri khas produk yang membedakan dengan produk lainnya dan merupakan karakteristik pelengkap dan mampu menimbulkan kesan yang baik bagi pelanggan.

3. Reliability, yaitu kepercayaan pelanggan terhadap produk karena kehandalannya atau kemungkinan rusaknya rendah.

4. Conformance, yaitu kesesuaian produk dengan syarat atau ukuran tertentu atau sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar yang telah ditetapkan.

5. Durability, yaitu tingkat keawetan produk atau lama umur produk 6. Serviceability, yaitu kemudahan produk bila akan diperbaiki atau

kemudahan memperoleh komponen produk tersebut. 7. Aesthetic,yaitu keindahan atau daya tarik produk.

8. Perception, yaitu fanatisme konsumen akan merk suatu produk tertentu karena citra atau reputasi produk itu sendiri

2.4. Biaya Mutu

Ada dua golongan besar biaya mutu, yaitu biaya untuk menghasilkan produk yang bermutu dan biaya yang harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat. Menurut Russel dalam Ariani (2002) secara keseluruhan biaya kualias tersebut meliputi :

1. Biaya untuk menghasilkan produk yang bermutu (cost of achieving good quality), yaitu biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk membuat produk yang bermutu sesuai dengan yang diinginkan pelanggan, meliputi :

a. Biaya pencegahan (prevention costs), yaitu biaya untuk mencegah kerusakan atau cacat produk yang terdiri dari:


(33)

12

i. Biaya perencanan mutu (quality planning costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat perencanaan produk yang bermutu.

ii. Biaya perancangan produksi (production design costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk merancang produk sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi. iii. Biaya pemrosesan (process costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk menjalankan proses produksi sehingga menghasilkan produk yang bermutu.

iv. Biaya pelatihan (training costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan bagi karyawan sehingga karyawan bertanggung jawab untuk selalu membuat produk yang baik.

v. Biaya informasi akan mutu produk yang diharapkan oleh pelanggan (information costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan survey pelanggan tentang mutu produk yang diharapkan oleh pelanggan.

b. Biaya penilaian (appraisal costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk yang dihasilkan, meliputi :

i. Biaya untuk mengadakan inspeksi dan pengujian (inspection and testing costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk yang dihasilkan.

ii. Biaya peralatan pengujian (test equipment costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan alat untuk pengujian terhadap mutu.

iii. Biaya operator (operator costs), yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memberikan upah pada orang yang bertanggung jawab dalam pengendalian mutu.


(34)

2. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk cacat (cost of poor quality), meliputi :

a. Biaya kegagalan internal (internal failure costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan telah menghasilkan produk yang cacat tetapi cacat produk tersebut telah diketahui sebelum produk tersebut sampai kepada pelanggan. Biaya ini meliputi : i. Biaya yang dikeluarkan karena produk harus dibuang (scrap

costs), yaitu biaya yang telah dikeluarkan perusahaan tetapi produk yang dihasilkan ternyata produk cacat sehingga harus dibuang dan adanya biaya untuk membuang produk tersebut.

ii. Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya untuk memperbaiki produk yang cacat.

iii. Biaya kegagalan proses (process failure costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi tetapi ternyata produk yang dihasilkan adalah produk cacat.

iv. Biaya yang dikeluarkan karena proses produksi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya (process downtime costs). v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menjual

produk di bawah harga patokannya karena produk yang dihasilkan cacat (price down grading costs)

b. Biaya kegagalan eksternal (external failure costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat dan produk ini telah diterima oleh konsumen, meliputi :

i. Biaya untuk memberikan pelayanan terhadap keluhan pelanggan (customer complain costs).

ii. Biaya yang harus dikeluarkan karena produk yang telah disampaikan kepada konsumen dikembalikan karena produk tersebut cacat (product return costs).

iii. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani tuntutan konsumen terhadap adanya jaminan mutu produk (warranty claims costs).


(35)

14

iv. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan harus memberikan jaminan atau garansi bagi konsumen bahwa produk yang dihasilkan adalah baik (product liability costs) v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak

dipercaya oleh konsumen sehingga konsumen tidak mau lagi membeli produk ke perusahaan tersebut (lost sales cost).

2.5. Six Sigma

Six sigma adalah metode untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas. Six sigma adalah penerapan metodik dari alat penyelesaian masalah statistik untuk mengidentifikasi dan mengukur pemborosan dan menunjukkan langkah-langkah untuk perbaikan (Brue, 2005). Metode ini diterapkan perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen mutu (Gaspersz, 2003). Six sigma merupakan suatu target 3,4 Defect Per Million Opportunities (DPMO) yang memungkinkan karakteristik mutu diukur dari perspektif jumlah cacat yang sebenarnya dibanding total peluang terjadinya cacat (Muslim, 2005).

Nama “Six sigma” berasal dari tingkatan mutu : performa pada tingkatan enam sigma yang berarti hanya 3,4 DPMO. Abjad Yunani Sigma adalah lambang dalam statistik untuk deviasi standar, suatu ukuran variasi (Brue, 2005).

Sigma mengukur kemampuan proses untuk menghasilkan produk tanpa cacat. Indeks pengukuran yang sering digunakan adalah “defect per unit”. Nilai sigma mengindikasikan seberapa sering kecacatan terjadi. Semakin meningkat nilai sigma, jumlah cacat semakin sedikit sehingga biaya dan cycle time menurun. Selain itu tingkat kepuasan pelanggan akan semakin meningkat (Muslim, 2005)

Menurut Breyfogle dalam Rahardjo (2003), sigma merupakan tingkat variabilitas yang menyatakan performance dari suatu proses. Tingkat mutu enam sigma merupakan tingkat mutu dimana proses dengan penyebaran enam sigma terhadap rataan proses masih memenuhi spesifikasi. Six sigma


(36)

juga diartikan sebagai tingkat mutu, dimana 3,4 kecacatan dihasilkan dari satu juta kesempatan terjadinya.

General Electric (GE) sebagai salah satu perusahaan yang sukses menerapakan six sigma menyatakan bahwa six sigma merupakan proses disiplin tinggi yang membantu mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna. Six sigma bukan hanya merupakan inisiatif kualitas, tetapi juga merupakan inisiatif bisnis unutk mendapatkan dan menghilangkan penyebab kesalahan atau cacat pada output proses bisnis yang penting di mata pelanggan. Six sigma dapat dijelaskan dalam dua perspektif, yaitu perspektif statistik dan perspektif metodologi (Hendradi, 2006).

Pada perspektif statistik, sigma (σ) merupakan huruf Yunani yang dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai simpanganterhadap nilai tengah dalam statistik. Suatu proses dikatakan berjalan baik apabila berjalan pada suatu rentang yang telah disepakati. Rentang tersebut memiliki batas atas atau USL (Upper Spesification Limit) dan batas bawah atau LSL (Lower Spesification Limit). Proses yang terjadi di luar rentang disebut cacat (defect). Proses 6 σ adalah proses yang hanya menghasilkan 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity). DPMO tidak hanya sekedar cacat saja tapi juga merupakan rasio cacat dibandingkan dengan peluang jumlah kemungkinan cacat yang terjadi (Hendradi, 2006).

Pada perspektif metodologi, six sigma merupakan pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses melalui fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improvement dan Control). DMAIC merupakan jantung analisis six sigma yang menjamin Voice of Customer berjalan dalam keseluruhan proses sehingga produk yang diinginkan memuaskan keinginan pelanggan (Hendradi, 2006)

Ada banyak pengertian mengenai six sigma. Six sigma diartikan sebagai metode berteknologi canggih yang digunakan oleh para insinyur dan statistikawan dalam memperbaiki atau mengembangkan proses atau produk. Six sigma diartikan demikian karena kunci utama perbaikan six sigma


(37)

16

menggunakan metode-metode statistik, meskipun tidak secara keseluruhan membicarakan tentang statistik (Miranda dan Tunggal, 2002).

Pengertian six sigma lainnya adalah tujuan mendekati kesempurnaan dalam mencapai kebutuhan pelanggan. Ada juga yang mengartikan six sigma sebagai usaha mengubah budaya perusahaan untuk mencapai kepuasan pelanggan, keuntungan dan persaingan yang jauh lebih baik. Kunci utama pengertian di atas adalah pengukuran, tujuan dan budaya perusahaan (Miranda dan Tunggal, 2002).

Definisi secara lebih lengkap dan jelas adalah six sigma merupakan suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberikan dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data dan analisis statistik secara terus-menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha (Miranda dan Tunggal, 2002).

Menurut Gaspersz (2005), beberapa keberhasilan Motorola yang perlu dicatat dari aplikasi program six sigma adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas rataan 12,3 persen per tahun

2. Penurunan Cost of Poor Quality (COPQ) lebih daripada 84 persen 3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7 persen

4. Penghematan biaya manufakturing lebih dari $11 milyar

5. Peningkatan tingkat pertumbuhan rataan tahunan 17 persen dalam penerimaan, keuntungan dan harga saham Motorola.

Keuntungan penerapan six sigma menurut Miranda dan Tunggal (2002) adalah :

1. Dimulai dari pihak pelanggan. Six sigma mengukur permintaan dalam arti yang sebenarnya dari apa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Hal ini menguntungkan kedua belah pihak dan memikirkan apa-apa saja yang benar-benar penting.

2. Menyediakan pengukuran yang bersifat konsisten. Dengan berfokus pada cacat atau kemungkinan terjadinya cacat, pengukuran six sigma dapat digunakan untuk mengukur dan membendingkan proses yang benar-benar berbeda di dalam organisasi atau antar organisasi.


(38)

3. Menyatukan tujuan yang penuh ambisi. Dengan memusatkan perhatian seluruh organisasi pada tujuan kinerja 99,9997 persen dapat membuat perbaikan yang cukup nyata.

Blakeslee dalam Gaspersz (2003) menyatakan bahwa untuk menciptakan iklim organisasi yang mampu mendukung usaha-usaha six sigma, manajemen organisasi perlu memperhatikan tujuh prinsip berikut : 1. Keberhasilan usaha implementasi six sigma harus diarahkan oleh para

pemimpin yang memiliki komitmen kuat. Tujuan six sigma yang terfokus dan energi yang dibutuhkan untuk mengarahkan proses six sigma dalam organisasi membutuhkan kepemimpinan manajemen para pemimpin puncak organisasi.

2. Usaha-usaha six sigma harus diintegrasikan dengan inisiatif-inisiatif, strategi bisnis dan ukuran kinerja kunci. Organisasi yang berhasil dengan six sigma adalah yang mampu mengintegrasikan implementasi six sigma dengan inisiatif organisasi, strategi bisnis dan matriks kinerja kunci.

3. Keberhasilan usaha six sigma didukung oleh suatu kerangka kerja pemikiran proses. Six sigma tidak dapat diimplementasikan secara efektif dalam suatu organisasi tanpa pemetaan yang tepat dari proses bisnis yang ada. Pihak-pihak yang terlibat dalam six sigma harus mengetahui dan menyetujui proses-proses yang akan dilibatkan, apa yang diinginkan pelanggan terhadap output yang dihasilkan serta mendefinisikan kemampuan proses dalam nilai sigma pada saat sekarang maupun targetnya di masa yang akan datang.

4. Six sigma membutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi dari pelanggan dan pasar. Agar usaha-usaha six sigma dapat berhasil, dibutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi berkaitan dengan tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan sepanjang waktu. Informasi berbentuk cerita tentang apa yang diinginkan oleh pelanggan dan pasar tidak akan efektif dalam six sigma karena six sigma membutuhkan informasi yang spesifik, dapat diamati dan diukur.


(39)

18

5. Proyek-proyek six sigma harus menghasilkan manfaat atau hasil-hasil nyata bagi organisasi.

6. Usaha-usaha six sigma dipimpin oleh pemimpin tim yang terlatih dan bekerja penuh waktu. Six sigma sebagi pendekatan intensif dalam peningkatan kualitas membutuhkan disiplin dan komitmen orang-orang yang terlibat dalam proyek itu.

7. Six sigma dilaksanakan secara terus-menerus melalui keberlangsungan penguatan langsung (direct reinforcement) dan balas jasa dari pemimpin organisasi yang selalu mendukung inisiatif dan tim peningkatan mutu yang melaksanakan proyek-proyek six sigma. Mengingat six sigma berbeda dengan program peningkatan mutu yang lain, insentif-insentif baru harus dibagi kepada orang-orang yang terlibat dalam proyek six sigma agar organisasi six sigma dapat bergerak ke arah yang benar. Sistem kompensasi harus dirumuskan secara adil dalam proyek-proyek six sigma.

Menurut Hendradi (2006), secara sederhana pengukuran tingkat six sigma dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Tetapkan apa yang diinginkan oleh pelanggan (voice of customer) terhadap suatu produk.

2. Ubahlah keinginan pelanggan dalam suatu ukuran, hal ini disebut Critical to Quality atau Y.

3. Mencai hubungan hasil (Y) dengan proses-proses yang menyertai (X). Hubungan Y dan X dinyatakan dalam sistem Closed Loop, Y=f(X) . Level sigma dari kinerja sering diekspresikan dalam kesalahan per sejuta peluang DPMO. DPMO mengindikasikan berapa banyak cacat yang akan muncul jika sebuah aktivitas diulang satu juta kali. Dalam melakukan kalkulasi dengan memfaktorkan peluang-peluang dalam defect yang telah ditentukan dalam quality control, perusahaan dituntut untuk lebih realistis dalam menyamakan kinerja dan proses-proses yang berbeda. DPMO juga menggambarkan secara sederhana mutu dan kapabilitas dari sebuah proses seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel konversi nilai sigma dapat dilihat pada Lampiran 1.


(40)

Tabel 2. Konversi level sigma yang disederhanakan.

COPQ DPMO Level

Sigma Tidak dapat dihitung 691.462,00 (sangat tidak kompetitif) 1,0 Tidak dapat dihitung 308.538,00 (rataan industri Indonesia) 2,0

25-40%dari penjualan 66.807,00 3,0

15-25 % dari penjualan 6.210,00 (rataan industri USA) 4,0

5-15 % dari penjualan 233,00 5,0

<1% dari penjualan 3,40 (industri kelas dunia) 6,0 Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10% dari penjualan.

Sumber : Gaspersz , 2003.

Sejak dimulainya prakarsa six sigma, komitmen dan komunikasi merupakan hal yang krusial. Para pemimpin eksekutif harus mendukung dan mempromosikan prakarsa itu dan memberi informasi mengenai six sigma serta semua perkembangannya. Prakarsa itu juga tergantung pada orang-orang yang memainkan peran utama, yaitu yang bertanggung jawab untuk menggunakan teknik dan perangkat six sigma demi mencapai hasil (Brue, 2005).

2.6. Peran dalam six sigma

Menurut Miranda dan Tunggal (2002) ada sejumlah peran yang harus diambil oleh orang yang berbeda-beda saat menerapkan prakarsa six sigma pada suatu organisasi, yaitu :

1. Kelompok Leadership atau Council

”Tim Leadership six sigma” atau “Dewan Mutu” hampir sama dengan tim manajemen puncak.

Tanggung jawab manajemen puncak ini adalah : - Menentukan peran dan infrastruktur six sigma

- Memilih proyek yang spesifik dan alokasi sumber daya

- Meninjau ulang perkembangan proyek dan menyumbangkan ide atau bantuan secara berkala


(41)

20

- Menganggap diri sendiri sebagai sponsor

- Membantu dalam perhitungan dari pengaruh usaha six sigma terhadap perusahaan

- Menilai perkembangan dan mengidentifikasi kelemahan/kekuatan usaha

- Membagi praktik-praktik terbaik pada organisasi, termasuk juga pemasok dan pelanggan inti

- Bertindak sebagai ”pemindah batu karang” bila tim menemukan hambatan

2. Sponsor atau Champion.

Sponsor adalah manajer senior yang mengawasi perbaikan proyek. Tim memerlukan kebebasan memutuskan masalah tetapi juga memerlukan pedoman dari pemimpin dalam mencapai tujuan usaha. Tanggung jawab sponsor adalah :

- Menetapkan tujuan perbaikan proyek, termasuk pembuatan Project Rationale dan menjamin untuk menjalankannya sesuai dengan prioritas usaha

- Memimpin dan menyetujui perubahan arah atau jangkauan proyek bila perlu

- Menemukan sumber daya untuk proyek

- Mewakili tim Kelompok Kepemimpinan (leadership) dan bertindak sebagai penasehat

- Membantu menjernihkan permasalahan dan menyesuaikannya dengan tim lain atau di luar tim

- Bekerja sama dengan process owner untuk menjamin kelancaran menyimpulkan proyek perbaikan

- Menerapkan ilmu mengenai perbaikan proses dan tugas-tugas manajemen.


(42)

3. Pemimpin pelaksana (Implementation Leader) Tanggung jawab dari pemimpin pelaksana adalah :

- Mendukung Kelompok Kepemimpinan (Leadership) yang meliputi kegiatan mereka, termasuk komunikasi, pemilihan proyek dan tinjau ulang proyek

- Identifikasi dan rekomendasi individu atau kelompok untuk memenuhi peranan inti termasuk konsultasi eksternal dan dukungan pelatihan

- Mempersiapkan dan menjalankan rencana pelatihan termasuk pemilihan kurikulum, penjadwalan dan logistik

- Membantu sponsor memenuhi peran mereka sebagai pendukung, penasehat dan pembangkit semangat tim

- Mencatat keseluruhan perkembangan dan memfokuskan kepada permasalahan yang memerlukan perhatian lebih

- Membuat rencana pemasaran. 4. Pelatih six sigma (Coach)

Pelatih ahli secara teknis dan benar-benar bertindak sebagai konsultan. Seorang pelatih menyediakan :

- Hubungan antara sponsor dengan kelompok kepemimpinan (Leadership)

- Menetapkan jadwal proyek perusahaan

- Menghadapi perselisihan atau kurangnya kerjasama antar tim dalam organisasi

- Memperkirakan potensi dan validasi hasil aktual

- Menyelesaikan ketidaksetujuan dan konflik anggota tim - Mengumpulkan dan analisis data mengenai aktivitas tim - Membantu promosi tim dan menyatakan keberhasilan mereka 5. Pemimpin tim (Team Leader) atau Pemimpin Proyek (Project Leader)

Team Leader memegang tanggung jawab utama pekerjaan dan hasil six sigma. Biasanya berfokus pada proses atau desain ulang, tetapi juga menangani sistem Voice of The Customer, pengukuran atau manajemen proses.


(43)

22

Tanggung jawab pemimpin tim adalah :

- Meninjau ulang/mengklarifikasi project rationale dengan sponsor - Mengembangkan dan memutakhirkan Project Charter dan rencana

implementasi

- Memilih anggota-anggota tim proyek

- Memperkenalkan dan mencari sumber daya dan informasi

- Memberi pengertian dan membantu anggota tim lainnya menggunakan alat-alat six sigma yang tepat, juga tim dan teknik manajemen pertemuan

- Membuat jadwal proyek dan terus menuju ke solusi dan hasil akhir - Mendukung transfer solusi atau proses baru untuk meneruskan

proses operasional ketika bekerja sama dengan manajer lainnya, juga Process Owner

- Mencatat hasil akhir dan membuat ”story board” proyek. 6. Anggota tim (Team Member)

Anggota tim kebanyakan diumpamakan sebagai kendaraan untuk mencapai usaha perbaikan. Anggota tim menggunakan pikiran dan tenaga yang lebih di samping pengukuran, analisis dan perbaikan proses. 7. Pemilik proses (Process Owner)

Pemilik proses merupakan orang yang bertanggung jawab secara cross-functional untuk mengatur sekumpulan langkah ”end-to-end”, baik untuk pelanggan internal maupun eksternal. Pemilik proses menerima pedoman dari tim perbaikan atau menjadi pemilik baru dari proses yang baru didesain.

8. Black Belts,Master Black Belts dan struktur peranannya.

Black Belts adalah orang-orang yang memiliki keterampilan dan kedisiplinan, disamping itu Grenn, Black dan Master lebih cenderung dilatih lebih mendalam dan berpengalaman.

Definisi Black Belts tergantung dari empat faktor utama berikut : a. Jenis proyek atau proses yang ditangani

Bila proses dan produk cenderung bersifat teknik, Black Belts memerlukan keterampilan teknis yang lebih. Di bidang jasa


(44)

misalnya, bila data yang diambil lebih sederhana dan persoalan tidak begitu teknis, keterampilan dasar lainnya seperti definisi proses, mengembangkan definisi operasional, mengumpulkan dan analisis data, keterampilan tim lebih diutamakan.

b. Struktur Black Belts dalam organisasi

Bila Black belts ditujukan sebagai Coaches perhatiannya akan cenderung lebih teknis. Bila diberi peringkat dari segi manajemen dan akan menuntun ke tim perbaikan, keterampilan seperti definisi masalah, kepemimpinan dan manajemen proyek akan lebih penting daripada analisis statistik

c. Tujuan dari inisiatif six sigma

Tidak semua perusahaan yang menerapkan six sigma dijamin menjadi pemimpin sistem. Banyak perusahaan yang menerapkan secara mendasar hanya berupa pengukuran dan skill/tools statistik. Bedanya, perusahaan six sigma mengembangkan dan berfokus pada statistik, analisis data dan metode rekayasa lainnya.

d. Konsultan atau penasehat yang dipilih

Konsultan ada yang menitikberatkan pada teknis/statistik, ada yang cenderung ke perubahan bisnis dan perbaikan proses. Selain itu menawarkan program yang kaku, ada yang mencoba menyelesaikan dengan organisasi dan rencana kebutuhan/ implementasinya.

2.7. Fase dalam six sigma

Pendekatan six sigma yang digunakan dalam proyek peningkatan mutu terdiri dari lima fase yaitu Define, Measure, Analyze, Improve dan Control (DMAIC). DMAIC merupakan sebuah tahapan proses sistematis dan mengacu pada fakta untuk melakukan perbaikan terus menerus (Muslim, 2005). Kelima fase tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.


(45)

24

Gambar 3. Lima Fase Six Sigma dalam Proyek Peningkatan Mutu (Muslim, 2005)

1. Define

Fase define berkaitan dengan pendefinisian tujuan dan latar belakang serta identifikasi permasalahan yang harus diberi perhatian untuk dapat mencapai kinerja mutu yang lebih baik. Aktivitas yang dilakukan adalah merumuskan masalah (problem statement) menentukan ruang lingkup dan mendefinisikan proses bisnis yang akan diteliti dengan mengenali hubungan antara variabel input dan responnya.

2. Measure

Fase measure berkaitan dengan pengumpulan informasi mengenai kondisi saat ini dan melakukan pengukuran atau studi kemampuan proses yang ada saat ini. Hasil pengukuran menghasilkan nilai metrik yang menunjukkan kemampuan proses saat ini dan dijadikan tolok ukur perusahaan dalam melakukan tindakan perbaikan.

3. Analyze

Fase analyze bertujuan untuk menemukan penyebab permasalahan yang tepat dari masalah mutu dengan menggunakan alat analisis yang sesuai, yaitu diagram sebab akibat. Tujuannya adalah untuk mengerti lebih jauh tentang proses dan mengidentifikasi alternatif solusi yang dilakukan untuk melakukan perbaikan.

Define

Mulai proyek baru

Measurement

Control Improvement Analyze

Proyek selesai dan memulai langkah baru untuk proyek


(46)

4. Improvement

Fase improvement berkaitan dengan penentuan dan implementasi solusi-solusi berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

5. Control

Fase control bertujuan untuk terus mengevaluasi dan memonitor hasil-hasil tahap sebelumnya atau hasil implementasi yang telah dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa kondisi yang diperbaiki dapat berkesinambungan dan tidak berjalan dalam waktu yang singkat. (Muslim, 2005)

2.8. Seven Basic Quality Tools

Alat bantu yang dapat digunakan secara mudah dalam persoalan pemberian jaminan mutu produk adalah seven basic quality tools. Seven basic quality tools terdiri dari (1) Lembar Periksa (Check Sheet),(2) Diagram Pareto, (3) Diagram Sebab Akibat, (4) Histogram, (5) Diagram Stratifikasi, (6) Scatter Diagram dan (7) Bagan Kendali Mutu (Control Chart) (Sulistyadi dam Susanti , 2003). Alat-alat tersebut merupakan alat analisis dalam pengawasan mutu (quality control) yang paling mendasar. (http://en.wikipedia.org/ wiki/Seven Basic Quality Tools).

1. Lembar Periksa (Check Sheet)

Lembar periksa merupakan suatu bagan terstruktur yang dipersiapkan untuk mengumpulkan dan menganlisis data. Alat ini merupakan suatu alat yang umum sehingga dapat digunakan untuk berbagai jenis tujuan (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools).

Muhandri dan Kadarisman (2007) menyatakan bahwa check sheet merupakan alat bantu untuk memudahkan pengumpulan data. Data sendiri merupakan unsur penting dalam pelaksanaan pengendalian dan perbaikan mutu. Data berguna untuk membantu memahami situasi yang sebenarnya, menganalisis persoalan, mengendalikan proses, mengambil keputusan dan membuat rencana. Jenis data yang ada adalah :


(47)

26

b. Data hasil penghitungan : jumlah copy, jumlah kerusakan dan lain-lain.

c. Data dalam urutan : pertama, kedua dan lain-lain.

d. Data dalam derajat tingkat persoalannya : nilai 1, nilai 2 dan lain-lain.

e. Data dalam hubungan kepentingan relatif : ya/tidak, 1/0 dan lain-lain.

Lembar periksa terdiri atas daftar-daftar item dan petunjuk mengenai hal-hal yang sering terjadi. Selain itu juga sebagai pengingat yang langsung menunjukkan pada data yang penting. Biasanya disebut Confirmation Check Sheet (Miranda dan Tunggal, 2002). Tujuan utama dari lembar periksa adalah memudahkan proses pengumpulan data, memilah data ke dalam kategori yang berbeda seperti penyebab dan masalah, menyusun data secara otomatis serta memisahkan antara opini dan fakta (Trisyulianti, 2005)

2. Diagram Pareto

Diagram pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan. Diagram pareto dapat memperlihatkan masalah mana yang dominan (vital few) dan masalah yang banyak tapi kurang dominan (trivial many) (Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Diagram pareto dapat digunakan untuk memprioritaskan masalah yang harus ditangani dengan aturan pengelompokan 80/20 (Hendradi, 2006). Diagram ini cocok digunakan pada tingkatan bervariasi dalam program perbaikan mutu untuk menentukan langkah apa yang harus diambil selanjutnya (Miranda dan Tunggal, 2002).

3. Diagram Sebab Akibat

Ishikawa membuat diagram sebab akibat atau sering disebut diagram Ishikawa (fishbone diagram) yang merupakan alat untuk menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan masalah (Miranda dan Tunggal, 2002). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah


(48)

berpengaruh terhadap hasil), penyusunannya dilakukan dengan teknik brainstorming (Muhandri dan Kadarisman, 2006). Diagram sebab akibat mengidentifikasi semua penyebab yang mungkin terjadi untuk suatu akibat atau masalah ke dalam kategori yang berguna (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tool). Penyebab masalah minor biasanya dikelompokkan dalam empat sampai lima kategori dasar (http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).

Kategori itu antara lain :

1. Bahan, metode, manusia dan mesin

2. Peralatan, kebijakan, prosedur dan manusia

3. Penanganan, metode, manusia, perancangan dan peralatan 4. Histogram

Histogram merupakan diagram yang terdiri dari grafik balok dan menggambarkan penyebabarn (distibusi) data-data yang ada (Muhandri, 2006). Histogram merupakan alat yang paling umum digunakan untuk menunjukkan penyebaran frekuensi atau seberapa sering masing-masing variabel terjadi pada suatu data (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools). Melalui histogram, dispersi dan kecenderungan terpusat serta perbandingan distribusi yang dibutuhkan dapat terlihat dengan jelas (Miranda dan Tunggal, 2002).

Histogram merupakan salah satu bagian dari diagram batang. Pada histogram, variabel dletakkan pada sumbu x dan dibandingkan dengan nilai yang diletakkan pada sumbu y. (http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).

5. Diagram Stratifikasi

Suatu teknik yang digunakan untuk memisahkan kumpulan data dari berbagai jenis sumber sehingga polanya dapat dilihat. Pada beberapa daftar, diagram stratifikasi digantikan dengan flowchart atau run chart (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools).

Stratifikasi merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mengurai atau mengklasifikasi data dan masalah menjadi kelompok atau golongan


(49)

28

sejenis yang lebih kecil atau menjadi unsur-unsur tunggal dari data atau masalah sehingga menjadi lebih jelas (Muhandri, 2006).

6. ScatterDiagram

Scatter diagram atau diagram tebar merupakan plot satu variabel atau lebih. Satu variabel disebut variabel independen biasanya diletakaan pada sumbu horizontal. Variabel lainnya disebut dengan variabel dependen yang ditunjukkan dengan sumbu vertikal (Miranda dan Tunggal, 2002). Scatter diagram merupakan suatu diagram yang menggambarkan hubungan antara dua faktor atau data. Diagram ini dapat melihat apakah dua faktor yang diuji memiliki hubungan atau tidak (Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Manfaat dari scatter diagram adalah dapat mengevaluasi hubungan sebab akibat. Asumsi yang digunakan adalah variabel independen menyebabkan perubahan pada variabel dependen (Miranda dan Tunggal, 2002).

7. Bagan Kendali Mutu (Control Chart)

Control chart merupakan grafik yang digunakan untuk mempelajari perubahan proses dari waktu ke waktu. (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools). Definisi lain menyebutkan bahwa control chart merupakan grafik tren dengan batas atas dan batas bawah yang ditentukan secara statistik pada rataan proses (http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).

Bagan kendali merupakan grafik garis yang mencantumkan batas maksimum dan batas minimum yang merupakan daerah batas pengendalian. Bagan ini menunjukkan perubahan data dari waktu ke waktu tetapi tidak menunjukkan penyebab munculnya penyimpangan (Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Control chart membantu untuk memisahkan antara penyebab umum dari penyebab khusus. Alat ini digunakan untuk mengawasi stabilitas sistem sehingga penyebab khusus dapat segera diketahui. Data

yang digunakan dalam control chart berasal dari


(50)

1. Data pengukuran, seperti panjang, suhu, volume dan tekanan. 2. Data penghitungan, seperti cacat produk, barang yang belum diberi

label dan kejadian. 2.9. Statistical Process Control

Pengendalian proses secara statistik dan sampling penerimaan merupakan alat statistik yang terpenting dalam mengendalikan mutu. Proses pengendalian secara statistik merupakan teknik statistik yang secara luas digunakan untuk memastikan bahwa proses yang sedang berjalan telah memenuhi standar. Tujuan sistem pengendalian proses adalah untuk memberikan informasi awal secara statistik di tempat timbulnya sebab-sebab khusus (variasi yang ditimbulkan oleh gangguan pada proses) yang mempengaruhi variasi. Tanda awal seperti itu dapat mempercepat pengambilan keputusan yang tepat untuk menghapus sebab-sebab khusus tersebut (Heizer dan Render, 2001).

Alat sederhana yang digunakan untuk memisahkan variasi alami dengan variasi khusus adalah peta kendali proses. Peta tersebut digunakan untuk mengukur kinerja proses. Suatu proses dikatakan terkendali secara statistik jika sumber variasi satu-satunya adalah sebab-sebab yang alami. Proses tersebut harus digambarkan dalam peta kendali proses melalui pendeteksian dan penghapusan sebab-sebab variasi yang khusus. Setelah itu, barulah dapat diprediksi kinerjanya dan dapat ditentukan kemampuannya untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh konsumen. Tujuan dari pembuatan peta kendali adalah untuk membantu membedakan mana variasi yang alami dan variasi yang dipengaruhi oleh sistem penyebab tertentu (Heizer dan Render, 2001).

Terdapat dua variasi dalam hasil proses yaitu variasi alami dan variasi khusus. Variasi alami merupakan variasi yang secara alami mempengaruhi hampir setiap proses produksi dan pasti selalu ada. Variasi alami adalah sumber-sumber variasi dalam proses yang secara statistik berada dalam batas-batas kendali. Variasi khusus adalah variasi yang ditimbulkan oleh gangguan-gangguan dalam proses. Variasi yang timbul akibat gangguan pada sebuah proses dapat dilacak penyebabnya. Faktor-faktor seperti


(51)

30

peralatan mesin, peralatan yang distel salah atau karyawan yang lelah dan tidak terlatih dapat menjadi sumber-sumber terjadinya variasi yang dapat dihilangkan (assignable variations).

Sampling penerimaan adalah bentuk pengujian yang mencakup kegiatan yang mengambil sampel acak dari kumpulan atau ”lot” produk yang telah selesai diproduksi dan mengukurnya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Sampling lebih ekonomis daripada melakukan inspeksi 100%. Mutu sampel digunakan untuk menilai mutu setiap barang yang ada di kumpulan tersebut. Kurva Karakteristik Operasi (Operating Characteristic) membantu sampling penerimaan dan memberikan manajer suatu teknik untuk mengevaluasi mutu produksi atau kiriman barang. Kurva Karakteristik Operasi menjelaskan seberapa baik suatu rencana penerimaan membedakan antara lot yang baik dengan lot yang buruk. Kurva tersebut menggambarkan rencana tertentu yaitu kombinasi dari n (ukuran sampel) dan c (tingkat penerimaan). Kurva itu digunakan untuk menunjukkan kemungkinan rencana tersebut menerima lot dengan tingkat mutu yang beragam (Heizer dan Render, 2001).

2.10. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan berkaitan dengan metode six sigma dapat dilihat pada Tabel 3.


(52)

Tabel 3 : Penelitian terdahulu

No Nama Penulis Judul Hasil Penelitian

1 Anto Dilana, Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2005 Analisis Manajemen Mutu Perspektif Six Sigma pada Sub Divisi Es Balok dan Perbekalan Divisi Usaha Pelayanan Kapal Perum Prasarana Perikanan Samudera Cabang Jakarta

Perum PPS Cabang Jakarta khususnya Sub Divisi Es Balok memiliki permasalahan dalam hal produksi. Hal ini terbukti dari persentase kecacatan yang masih tinggi. Pemborosan yang terjadi di Divis Es Balok dan perbekalan jika dikonversikan dalam level

sigma adalah sebesar 2,58. Sehingga dapat diartikan bahwa nilai tersebut masih memiliki kapabilitas proses yang rendah. Perum memiliki delapan titik kritis permasalahan (CTQ) yang menjadi penyebab es menjadi cacat. Proses perbaikan pada sistem produksi es balok dan CTQ harus dilakukan secara

berkelanjutan sehingga kekurangan yang terjadi dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan mendatang. Target yang dijadikan sasaran perbaikan perlu diformulasikan sehingga tepat pada sasaran. 2 Intan Idul Fitri

Yunindari Solichin, Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2006 Analisis Manajemen Mutu Perspektif Six Sigma pada divisi Produksi Bagian

Fish Fillet PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk Tanjung Priok Jakarta Utara.

Kinerja Divisi Produksi PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk komoditi fish fillet

berdasarkan perspektif six sigma

berada pada level 4,53 sigma

untuk periode Januari 2004 hingga Juni 2005. Ini berarti kinerja produksi fish fillet dapat dikatakan cukup tinggi, terbukti dari perolehan nilai DPMO yang rendah sebesar 1.227,60 DPMO. Dengan metode DMAIC terdapat 17 CTQ pada proses pembuatan

fish fillet yang dapat mempengaruhi mutu dan kuantitas fish fillet. Proses perbaikan dilakukan pada 17 CTQ yang telah ditentukan. Perbaikan berupa target kinerja yang dijadikan sasaran perbaikan sehingga apa yang dilaksanakan tepat pada sasaran. Target kinerja tersebut merupakan upaya


(53)

32

Lanjutan Tabel 3.

perbaikan yang sedang dilakukan perusahaan terutama pada divisi produksi karena pada umumnya kesalahan yang terjadi lebih bersifat teknis atau human error.

Proses perbaikan bersifat berkelanjutan sehingga setiap kekurangan yang ada dapat dipahami dan dipelajari untuk perbaikan dimasa yang akan datang.


(54)

3.1. Kerangka Pemikiran

Persaingan yang terjadi pada dunia bisnis saat ini semakin ketat termasuk persaingan pada industri tekstil. Untuk dapat bertahan dalam kondisi tersebut, setiap perusahaan harus memperbaiki mutu produksinya. Perbaikan mutu produksi dapat dilakukan dengan menekan jumlah produk yang cacat sehingga terjadi penghematan biaya produksi. Biaya yang berasal dari produk cacat tersebut cukup besar karena produk yang cacat tersebut tidak dapat langsung dijual ke pasar melainkan harus diperbaiki.

PT Unitex Tbk merupakan salah satu perusahaan yang terlibat dalam persaingan yang ada pada industri tekstil. Pada tahun 2003 PT Unitex Tbk menerima sertifikasi ISO 9001 : 2000. Hal ini menandakan bahwa mutu atau mutu produk yang dihasilkan oleh PT Unitex Tbk sudah bagus. Namun, perusahaan harus tetap melakukan perbaikan secara terus menerus agar mutu produknya semakin meningkat. Salah satu cara perbaikan tersebut adalah dengan menekan jumlah produk cacat dengan memperbaiki mutu produksinya. Alternatif dalam pengawasan mutu adalah merancang atau mendesain berdasarkan metode six sigma yang belum dilakuakn oleh PT Unitex.

Six sigma merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki mutu produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improvement dan Control). Fase define digunakan untuk menemukan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Dalam hal ini masalah yang diangkat adalah jumlah produk cacat. Fase measure adalah fase dimana pengukuran dilakukan dengan menghitung peluang terjadinya kegagalan pada tiap unit (DPO/Defect Per Opportunity), kesempatan terjadinya kegagalan pada tiap satu juta unit (DPMO/Defect Per Million Opportunity) dan nilai sigma. Pada fase analyze dilakukan analisa terhadap faktor-faktor penyebab masalah. Pada fase improvement dilakukan perbaikan


(55)

34

pada faktor-faktor penyebab terjadinya masalah. Fase control bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan perbaikan di lapangan.

Rancangan pengendalian mutu dengan menggunakan six sigma di PT Unitex Tbk diharapakan dapat menekan biaya produksinya dan meningkatkan mutu produknya sehingga dapat bertahan dalam persaingan.

Kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian Persaingan pada industri tekstil

Peningkatan dan pengendalian mutu produksi

Penghematan biaya produksi

Peningkatan mutu produk

Keunggulan bersaing

Metode Six sigma


(1)

Sep Lbs Rp Okt Lbs Rp Nov Lbs Rp Des Lbs Rp T/C 158.208 1.691.516.507 T/C 123.060 1.415.324.510 T/C 111.056 1.389.636.862 T/C 134.348 1.496.314.383 CVC 10.227 129.267.235 CVC 40.052 539.184.757 CVC 54.236 770.069.102 CVC 59.704 742.647.569 Cotton 180.076 2.700.879.931 Cotton 169.124 2.611.861.695 Cotton 112.252 1.796.395.379 Cotton 138.888 2.149.672.489 SPINNING

Total 348.556 4.521.663.673 Total 332.236 4.566.370.962 Total 277.544 3.956.101.343 Total 332.940 4.388.634.441

WEAVING Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp

T/C 38.509 270.250.811 T/C 42.000 299.022.478 T/C 20.262 144.194.090 T/C 65.411 438.486.507

CVC 102.805 741.245.877 CVC 125.266 891.815.011 CVC 69.568 526.746.474 CVC 71.012 516.763.238 Cotton 72.065 711.497.604 Cotton 114.143 1.061.161.625 Cotton 95.310 782.788.965 Cotton 130.489 1.183.597.474 Cotton

80/2 0 0 Cotton 80/2 1.452 21.596.417

Cotton

80/2 0 0 Cotton

80/2 0 0 PD

PD/Total 213.379 1.733.994.292 PD/Total 282.860 2.273.595.531 PD/Total 185.140 1.453.729.529 PD/Total 266.912 2.138.847.219 T/C 313.030 2.456.554.222 T/C 254.280 2.039.245.750 T/C 223.884 1.839.399.199 T/C 254.728 2.046.751.190 CVC 115.930 1.038.338.195 CVC 206.471 1.838.662.718 CVC 102.530 1.090.708.205 CVC 125.946 1.346.038.384 Cotton 230.725 2.409.190.102 Cotton 147.079 1.549.264.626 Cotton 212.825 2.274.101.154 Cotton 227.176 2.356.450.383 Cotton

80/2 39.984 490.012.350 Cotton 80/2 11.719 226.338.113 Cotton

80/2 26.376 491.036.931 Cotton

80/2 11.558 222.557.582

YD

YD/Total 699.668 6.394.094.869 YD/Total 619.549 5.653.511.207 YD/Total 565.615 5.695.245.489 YD/Total 619.408 5.971.797.539 Total 913.048 8.117.089.161 Total 902.410 7.927.106.738 Total 750.755 7.148.975.018 Total 886.32 8.110.644.758


(2)

FINISHING Sep Mtr Rp Okt Mtr Rp Nov Mtr Rp Des Mtr Rp T/C 125.61 1.218.198.304 T/C 69.526 639.061.024 T/C 31.368 332.484.793 T/C 146.551 1.413.037.829 CVC 69.477 736.344.128 CVC 79.681 814.320.572 CVC 30.717 329.471.105 CVC 185.966 1.889.084.738 Cotton 22.276 258.514.739 Cotton 42.284 533.752.670 Cotton 170.865 2.207.040.435 Cotton 61.436 662.469.997 Cotton

80/2 0.000 0 Cotton 80/2 1.416 25.718.742

Cotton

80/2 0 0

Cotton

80/2 0 0

PD

PD/Total 217.365 2.213.057.171 PD/Total 192.906 2.012.853.008 PD/Total 232.950 2.868.996.333 PD/Total 393.954 3.694.592.564 T/C 299.708 2.857.578.704 T/C 267.763 2.544.757.221 T/C 181.519 1.791.573.969 T/C 271.274 2.570.021.137 CVC 108.878 1.167.825.813 CVC 185.769 1.906.937.678 CVC 118.609 1.416.784.375 CVC 122.144 1.451.806.133 Cotton 237.844 3.043.772.695 Cotton 142.736 1.808.045.954 Cotton 201.046 2.588.418.591 Cotton 196.205 2.374.311.126 Cotton

80/2 20.311 300.296.513 Cotton 80/2 27.971 497.671.350 Cotton

80/2 21.466 448.526.231 Cotton

80/2 16.575 348.788.694

YD

YD/Total 666.741 7.369.473.725 YD/Total 624.239 6.757.412.203 YD/Total 522.641 6.245.303.166 YD/Total 606.198 6.744.927.090 Total 884.105 9.852.530.896 Total 817.145 8.770.265.211 Total 755.591 9.114.299.499 Total 1.000.151 10.709.519.564

Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp

T/C 109.203 1.861.708.295 T/C 68.810 1.248.099.117 T/C 72.412 1.423.718.914 T/C 94.357 2.096.438.999 CVC 32.972 650.091.033 CVC 43.387 847.094.295 CVC 13.263 246.665.477 CVC 48.802 928.736.554 Cotton 58.739 1.295.352.423 Cotton 94.039 1.990.509.187 Cotton 81.524 1.810.013.944 Cotton 66.206 1.401.611.547 Cotton

80/2 10.653 372.657.997 Cotton 80/2 15.944 580.345.886 Cotton

80/2 3.569 142.747.856 Cotton

80/2 3.929 147.115.170 YARN

DYED


(3)

87

Lampiran 3 (lanjutan)

Total Lbs Rp

T/C 1.375.372 15.639.342.320 CVC 697.424 9.168.214.229 Cotton 1.471.708 22.636.386.125 SPINNING

Total 3.544.504 47.443.942.674

WEAVING Mtr Rp

T/C 827.796 5.373.718.530

CVC 1.867.718 13.6005.923.542 Cotton 1.067.514 9.608.552.943 Cotton

80/2 2.860 49.378.407

PD

PD/Total 3.765.888 28.637.573.422 T/C 2.390.671 19.362.693.233 CVC 2.058.505 18.979.324.926 Cotton 2.191.936 23.491.772.704 Cotton

80/2 190.544 3.071.445.358

YD

YD/Total 6.831.656 64.905.236.221 Total 10.597.544 93.542.809.643

FINISHING Mtr Rp

T/C 755.639 6.970.379.140

CVC 1.838.610 18.342.158.204 Cotton 843.918 10.005.939.829 Cotton

80/2 2.782 57.958.661

PD

PD/Total 3.440.949 35.376.435.834 T/C 2.415.287 23.024.806.119 CVC 2.048.506 21.711.150.624 Cotton 2.167.915 27.472.121.187 Cotton

80/2 180.773 3.352.424.028

YD

YD/Total 6.812.481 75.560.501.958 Total 10.253.430 110.936.937.792

Lbs Rp

T/C 756.365 13.9002.941.571 CVC 584.535 11.377.984.845 Cotton 857.128 18.617.129.209 Cotton

80/2 94.310 3.382.528.281 YARN

DYED


(4)

Standar mutu Divisi

Spinning

PT Unitex Tbk tahun 2005

Strenght E Long U% Thin Thick Neps Classifault

Jenis

STD MIN STD MIN STD MAX STD MAX STD MAX STD MAX STD MAX E/C

45's 265.0 238.5 8.0 7.0 12.5 13.0 15.0 20.0 35.0 55.0 76.0 99.0 427.0 595.0

6-MIN 225.0 207.0

45'STT 275.0 247.5 8.0 7.0 12.5 13.0 15.0 20.0 35.0 55.0 76.0 99.0 427.0 595.0

6-MIN 225.0 207.0

34's 360.0 324.0 9.0 8.0 11.0 11.7 4.0 7.0 10.0 21.0 47.0 62.0 315.0 375.0

6-MIN 310.0 298.0

20'S 675.0 607.5 11.0 10.0 9.3 10.0 1.0 4.0 6.0 28.0 38.0 90.0 125.0

6-MIN 610.0 579.5

17'S 800.0 720.0 12.0 11.0 8.3 8.7 1.0 1.0 3.0 10.0 15.0 81.0 125.0

6-MIN 725.0 580.0

CVC 45/55 45 240.0 216.0 7.0 6.0 12.5 13.0 10.0 15.0 35.0 45.0 80.0 99.0 450.0 595.0

6-MIN 210.0 199.5

CVC 70/30 45 220.0 198.0 6.0 5.0 12.5 12.8 15.0 20.0 45.0 50.0 80.0 99.0 495.0 595.0


(5)

Standar mutu Divisi

Spinning

PT Unitex Tbk tahun 2005

AC

50's 230.0 220.0 5.0 4.5 11.5 12.0 2.0 5.0 35.0 45.0 76.0 93.0 427.0 765.0

6MIN 210.0 200.0

40 s 230.0 207.0 5.5 4.5 11.5 12.0 3.0 5.0 25.0 30.0 76.0 90.0 405.0 637.0

6MIN 206.0 199.8

50's EGP 235.0 211.5 5.5 4.5 11.1 11.7 3.0 5.0 18.0 27.0 45.0 54.0 224.0 271.0

6MIN 210.0 200.0

40's DX 300.0 270.0 6.0 5.0 10.5 11.0 3.0 6.0 10.0 15.0 66.0 76.0 337.0 425.0

6MIN 260.0 234.0

30's 310.0 279.0 5.5 4.5 10.5 11.5 2.0 5.0 10.0 15.0 55.0 60.0 202.0 255.0

6MIN 260.0 234.0

20's 450.0 405.0 6.5 6.0 9.5 10.0 2.0 2.0 4.0 19.0 30.0 135.0 212.0

6MIN 400.0 360.0

16's 610.0 549.0 7.5 6.0 7.5 8.5 2.0 2.0 4.0 16.0 26.0 63.0 127.0

6MIN 580.0 522.0

10's 1,095.0 1,000.0 7.0 6.0 6.5 7.0 2.0 2.0 4.0 9.0 15.0 50.0 75.0

6MIN

40's PE 425.0 382.5 12.0 10.0 11.0 11.5 3.0 6.0 5.0 10.0 8.0 14.0 72.0 85.0


(6)

90

Lampiran 5.

Suhu dan Kelembaban Standar untuk Produksi

Relatif Humidity

(RH%) Suhu

No Lokasi

LCL CL UCL Toleransi

1

Blowing ester

55

60

65

28-32

2

Blowing cotton

antara carding cotton no 3

55

60

65

28-32

3

Mesin comber

no 5 antara no 6

50

55 60

28-32

4

Depan mesin DF 10

belakang mesin roving no 5

55

60

65

28-32

5

Mesin roving

no 21A antara no 22A

55

60

65 28-32

6

Mesin roving

no 10A antara no 11A

55

60

65

28-32

7

Mesin roving

no 4B antara no 5B

55

60

65 28-32

8

Mesin roving

no 18 antara no 19

55

60

65

28-32

9

Mesin roving

no 6 antara no 7

55

60

65 28-32

10

Mesin comber

no 3 antara no 4