Karakterisasi Bioinsektisida Determination of C N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

dari galur yang berbeda maupun membandingkan profil galur dari pengaruh faktor media kultivasi yang berbeda. Prinsip analisis SDS-PAGE yaitu pemisahan protein berdasarkan ukuran molekul dengan menggunakan perbedaan tegangan listrik. Sebelum protein dimasukkan pada gel, diberikan suatu reduktor, mercaptoethanol berfungsi membantu dalam denaturasi protein dengan mengurangi ikatan disulfida. Protein yang terdenaturasi sempurna akan mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut Dunn 1989, dimana SDS memecah area hidrofobik dan menyelimuti protein dengan muatan negatif. Sampel ‐sampel protein yang diinjeksikan ke dalam sumur gel diberi warna dengan bromphenol biru yang dapat terionisasi. Fungsi pewarna adalah untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis. Berat molekul protein dapat diketahui dengan membandingkan Rf protein dengan protein standar yang berat molekulnya telah diketahui Wilson dan Walker 2000. Hasil analisisa SDS-PAGE terhadap kristal protein dari kelima komposisi media dan bioreaktor tersaji pada Gambar 19 masing-masing profile protein kristal yang berasal dari komposisi media menunjukan adanya perbedaan baik bobot molekul protein maupun kekuatan intensitas pita. Hal ini mengindikasikan komposisi media akan berpengaruh pada perbedaan sintesa fraksi protein. Komposisi C 3 N menunjukan profil protein dengan fraksi yang lebih banyak dibanding keempat komposisi media lain. Seluruh komposisi media menghasilkan protein 140,12 kD dengan intensitas pita paling kuat ada pada komposisi C 3 N dan C 7 N. Menurut studi yang dilakukan Höfte and Whiteley 1989 B. thuringiensis dengan kristal protein bebentuk bipiramid dan kubus masing-masing dikode oleh gen cry 1 dan gen cry 2, gen ini merupakan tipe protein yang memiliki berat antara 130-150 kDa dan cry 2 tipe protein pada 60-70 kDa. Hasil studi yang berbeda diberikan oleh Cetinkaya 2002 dimana gen cry 1 and cry 2 yang dimiliki Bt memproduksi 75 kDa. Gambar 19 Profil pita protein delta endotoksin yang dihasilkan pada kultivasi dengan variasi komposisi media dan kultivasi dalam bioreaktor, B : Bioreaktor 3 L, M: Marker Menurut Cetinkaya 2002 ukuran dari protein cry 1 and cry 2 yang berbeda ini lebih mungkin terjadi karena perbedaan grup gen cry dan juga perbedaan subtipe dari gen cry yang dibawa oleh galur yang berbeda. Faktanya, B. thuringiensis dapat memproduksi satu atau lebih kristal inklusi; untuk itu profile protein dari organisme memperlihatkan perbedaan pada masing-masing galur. Kemungkinan lain terjadinya perbedaan profil protein dari gen cry yang sama dalam dua studi yang berbeda tersebut dapat disebabkan karena faktor lingkungan yang dapat menekan atau memunculkan ekspresi beberapa gen cry Agassie dan Lereclus 1995. Analisis SDS-PAGE mengindikasikan bahwa profil protein kristal pada semua komposisi media menunjukan adanya gen cry 1 dan cry 2. Pada komposisi media C3N dan C5N , tampak pula pita protein yang cukup kuat pada 66,80 kD dan 55,51 kD yang memperkuat adanya gen cry 2. Data ini didukung oleh hasil analisis mikroskopik Bt yang menunjukan bentuk kristal bipiramid dan kubus. Pita protein juga muncul pada kisaran 21,99-26,46 kD pada kelima rasio CN termasuk hasil dari bioreaktor. Menurut Frederici et al. 2010 pita protein 25 kDa menunjukan adanya gen Cyt1Aa yang mengkode kristal protein berbentuk bulat. C11N C9N C7N B C5N C3N M 116 kD 66,2 kD 45 kD 35 kD 25 kD Kekuatan intensitas pita protein masing-masing media komposisi terlihat berbeda. Menurut Cetinkaya 2002 intensistas pita protein yang sangat lemah terjadi karena kurangnya jumlah protein dalam sampel akibat waktu sporulasi yang berbeda, dimana waktu untuk melengkapi sporulasi berbeda-beda tergantung dari pertumbuhan bakteri pada kondisi masing-masing medium.

4.6.2 Komposisi asam amino

Delta endotoksin terdiri dari protein kira-kira 88-95 dengan asam amino terbanyak antara lain aspartat dan glutamat, sedangkan 5-12 persennya terdiri dari karbohidrat yaitu manosa dan glukosa serta tidak mengandung asam lemak Bulla et al. 1977; Fast 1981. Besarnya komposisi protein menyebabkan efek toksisitas delta endotoksin terhadap serangga target sangat tergantung pada kelarutan protein didalam cairan usus serangga. kristal endotoksin bersifat tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam cairan usus serangga yang bersifat basa. Menurut Schnepf et al. 1998, toksisitas bioinsektisida Bt dipengaruhi oleh struktur dan susunan asam-asam amino di dalam toksin. Kristal protein toksin terutama pada bagian hidrofobik merupakan bagian yang paling penting pada pembentukan pori-pori lisis di dalam epithelium usus organisme target. Berdasarkan hasil analisa HPLC yang tersaji pada Tabel 16, komposisi protein dalam kristal endotoksin hasil kultivasi pada bioreaktor lebih kecil dari kultivasi dalam erlenmeyer, masing-masing sebesar 1,04 ww dan 1,36 ww, walaupun demikian secara kualitatif komposisi asam aminonya sama yaitu 15 jenis asam amino. Hal ini berakibat pada presentasi komposisi asam amino penyusun protein pada kultivasi bioreaktor pun lebih kecil dari skala erlenmeyer. Penjelasan yang mungkin untuk kondisi ini adalah adanya pengaruh agitasi pada media yang mengandung padatan ampas tahu dalam bioreaktor. Agitasi diperlukan agar terjadi difusi oksigen terlarut dalam larutan. Adanya padatan pada media menghambat laju agitasi sehingga pemecahan gelembung udara rendah mengakibatkan jumlah oksigen terlarut yang semakin sedikit. Hal ini mengakibatkan respirasi sel akan meningkat sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan maksimum. Rahman 1998 mengemukakan bahwa jika konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil dari konsentrasi oksigen kritis, maka metabolisme sel akan terganggu. Sedangkan bilang dibandingkan dengan produk komersial bactospeine WP kadar presentasi protein jauh lebih besar yaitu sebesar 14,29. Hal ini kemungkinan terjadi karena produk Bactospeine merupakan bentuk serbuk yang bersifat lebih konsentrat dibanding dua sampel hasil penelitian ini yang bersifat cairan. Konsentrasi protein yang tinggi pada bactospein menyebabkan tingginya daya toksisitas produk ini terhadap serangga sasaran. Tabel 16 Analisis asam amino kristal protein No Parameter Skala Erlenmeyer bb Skala 3L bb Bactospeine WP bb A. Protein 1,36 1,04 14,29 B. Asam amino Hidrofilik 1. Aspartat 0,16 0,14 1,47 2. Glutamat 0,19 0,19 1,80 3. Serina 0,07 0,05 0,60 4. Histidina 0,02 0,02 0,29 5. Tyrosin 0,05 0,03 0,53 6. Threonina 0,05 0,03 0,58 7. Arginina 0,05 0,02 0,70 8. Lysina 0,14 0,12 0,75 9. Valina 0,06 0,06 0,68 Total asam amino hidrofilik 0,63 0,66 7,4 Nilai presentasi dari protein 46,32 63,46 51,78 C. Asam amino hidrofobik 1. Methionina 0,02 0,01 0,19 2. Glisina 0,09 0,05 0,54 3. Phenilalanin 0,07 0,04 0,81 4. Iso-leusin 0,04 0,03 0,67 5. Leusin 0,06 0,04 1,05 6. Alanina 0,09 0,05 0,68 Total asam amino hidrofobik 0,37 0,22 3,94 Nilai presentasi dari protein 27,21 21,15 27,57 Tiga asam amino yang memiliki komposisi besar dalam kristal protein Bt dalam penelitian ini adalah aspartat, glutamat dan lysine, dimana ketiganya bersifat hidrofilik. Sedangkan tiga asam amino yang dominan pada produk komersial bactospeine selain aspartat dan glutamat yang bersifat hidrofilik juga terdapat asam amino hidrofobik leusin. Adanya asam amino tersebut juga meningkatkan daya toksisitas bactospeine dibanding dengan produk hasil penelitian ini. Hal lain yang dapat kita lihat adalah apabila dibandingkan presentasi perolehan asam amino hidropobik baik skala erlenmeyer, bioreaktor 3 L maupun produk komersial menunjukan perolehan yang tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan asam amino hidrofilik yang dihasilkan bioreaktor 3L nilai presentasinya lebih besar dari Bactospein. Ini memberikan dugaan bahwa sebenarnya galur Bt B2 memiliki kemampuan menghasilkan asam amino yang setara bahkan lebih besar dari produk komersial.

4.7 Penggandaan Skala

Scale-up Penggandaan skala merupakan perancangan dan penyusunan sistem yang lebih besar prototipe berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan model yang berukuran lebih kecil. Kajian peningkatan skala dalam penelitian ini telah dimulai dengan men-screening bakteri yang memberikan sifat toksisitas paling baik. Langkah selanjutnya adalah mempelajari faktor-faktor fisik, kimia dan biologis penting yang mempengaruhi proses dan hasil kultivasi pada skala laboratorium. Informasi yang diperoleh kemudian digunakan untuk merancang suatu prosedur untuk skala pilot, dimana rancangan tersebut bertujuan untuk memberikan kondisi kultivasi yang optimum, yang selanjutnya akan digunakan untuk rancang bangun alat dan proses produksi skala industri. Pada penelitian ini kondisi optimum telah diperoleh dari percobaan dalam skala erlenmeyer yang selanjutnya diterapkan pada bioreaktor tangki berpengaduk skala 3L Gambar 20. Geometri bioreaktor yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 17. Gambar 20 Kultivasi Bt pada bioreaktor 3L Tabel 17 Geometri bioreaktor skala 3 L No Parameter Skala Geometri 1. Tinggi bioreaktor H t 0,247 m 2. Tinggi cairan kultivasi H t 0,153 m 3. Diameter impeler H t 0,045 m 4. Diameter tangki H t 0,128 m Kajian peningkatan skala yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan basis tenaga per unit volume PgV dengan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6 Hasil perhitungan memberikan nilai tenaga per unit volume PgV sebesar 0,037 HPm 3 . Berdasarkan klasifikasi tenaga per unit volume yang dilakukan Aiba et al. 1973 untuk pengadukan yang kuat PV = 1,0 - 4,0 HPm 3 sedangkan untuk pengadukan yang lemah PV = 0,3 - 1,0 HPm 3 , dengan demikian tingkat agitasi impeler dalam penelitian termasuk pengadukan lemah. Peningkatan skala produksi bioinsektisida dari skala 3 liter menjadi skala 40 liter membutuhkan aerasi sebesar 0,7 vvm dengan kecepatan agitasi 111,57 rpm. Gambar 21 Kultivasi Bt pada bioreaktor 40 L

4.7.1 pH cairan media kultivasi pada bioreaktor 40 L

Berdasarkan data pengamatan pH selama kultivasi B. thuringiensis dalam bioreaktor 40 L perubahan pH media antara 6,5-7,0. Rentang pH tersebut masih