Latar Belakang Determination of C N Ratio and development of Bioinsecticide Production by Bacillus thuringiensis Using Tofu waste Cultivation Media

I P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Pengendalian hama secara biologis senantiasa dikaitkan dengan keberhasilan bakteri Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida. Bakteri ini adalah bakteri gram positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan kristal protein endotoksin selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan kristal protein ini dapat bersifat racun pada sistem pencernaan serangga Hofte dan Whiteley 1989; Dulmage 1993. Di alam, B. thuringiensis memiliki habitat berbeda-beda seperti tanah, serangga mati, dan lingkungan akuatik. Hidupnya bersifat saprofit, yaitu dengan memanfaatkan bahan sisa-sisa organik, dan juga bersifat parasit karena dapat hidup serta menyebabkan kematian pada serangga tertentu Glazer Nikaido, 1994. Kondisi geografis yang berbeda menunjukkan perbedaan genetik dan daya toksisitas B. thuringiensis. Masing-masing habitat memungkinkan terkandung isolat-isolat yang baru dengan potensi daya toksisitas yang lebih efektif. Oleh karena itu banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan galur B. thuringiensis dari lingkungan yang berbeda-beda dengan potensi daya toksisitas tinggi dan serangga sasaran yang lebih luas Apaydin 2004. Dalam lingkup pasar global, biopestisida menunjukan pertumbuhan yang cukup besar. Menurut BCC research 2011, segmen ini diperkirakan akan tumbuh pada tingkat 15,6 dari 1,6 miliar pada 2009 menjadi 3,3 miliar dalam tahun 2014. Peningkatan perhatian masyarakat tentang pencemaran lingkungan dan efek residu racun dari pestisida kimia telah mendorong permintaan biopestisida. Menurut data CPL Business Consultant 2009, Pasar Asia dan Australia pestisida berbasis mikroba dan nematoda diperkirakan bernilai sekitar 132.500.000 per tahun pada Agustus 2007. Ini merupakan peningkatan secara keseluruhan dari Mei 2004 sebesar 35,7 . Proporsi pasar yang diambil oleh produk berbasis Bacillus thuringiensis diperkirakan 55,3 . Cina adalah pasar terbesar biopestisida, diikuti oleh India dan Jepang. Mayoritas produk yang digunakan di negara-negara tersebut telah diteliti, dikembangkan dan diproduksi secara lokal. Negara-negara di kawasan Asia seperti India dan Thailand juga telah menjadi produsen besar produk B. thuringiensis. Pengembangan dan penggunaan biopestisida mikroba di Asia memiliki potensi besar. Sejumlah hambatan penting dalam pengembangan industri bioinsektisida di negara-negara tersebut adalah kemampuan untuk membeli, ketersediaan bahan kimia murah, kebijakan pemerintah untuk dukungan produksi lokal seringkali sulit dalam jangka panjang. Meskipun perkembangan pasar biopestisida akan sulit dan mungkin lambat, potensinya tetap tinggi dan kesempatan yang ada dapat meningkatkan pasar total 225.000.000 pada tahun 2015. Ketersedian sumberdaya untuk pengembangan industri bioinsektisida lokal sangat melimpah. Rusmana et al. 1994 telah mengisolasi 2813 isolat Bacillus dari daerah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, 32 isolat diantaranya menghasilkan protein kristal. Berbagai jenis media pertumbuhan seperti molases Cahyati 1998, air kelapa Yulianti 2001; Syamsu et al. 2003 dan onggok Wicaksono 2002 telah diteliti kemampuannya sebagai media pertumbuhan. Limbah industri tahu dapat menjadi alternatif untuk media kultivasi B. thuringiensis. Selain harganya yang murah, menurut Jenie 1994 kandungan nutrisinya seperti protein 19,69 dan karbohidrat 58,21 termasuk diantaranya fermentable sugar 38,74 dapat dikonversi menjadi biomassa dan produk oleh B. thuringiensis. Menurut Shurtleff dan Aoyagi 1979, dalam produksi tahu banyak industri menggunakan batu tahu CaSO 4 sebagai bahan untuk mengendapkan protein pada susu kedelai sehingga menjadi tahu. Kalsium yang terbuang bersama limbah cair tahu dapat membantu dalam pertumbuhan spora B. thuringiensis. Menurut Dulmage Rhodes 1971, Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Pada tahap awal penggandaan skala, pemilihan galur yang menghasilkan daya tokisisitas terbaik perlu dilakukan. Selanjutnya ditentukan beberapa parameter-parameter penentu pada skala laboratorium seperti rasio CN, pH awal kultur, suhu serta kecepatan agitasi dan aerasi. Menurut Wang et al. 1978, pada penggandaan skala biasanya terjadi perubahan lingkungan fisik, oleh karena itu perlu dipilih suatu patokan penggandaan skala yang sesuai. Di antara beberapa patokan penggandaan skala kriteria dasar tenaga per unit volume dan koefisien transfer oksigen konstan merupakan prosedur umum yang sering dipakai Banks 1979. Kriteria ini menggunakan asumsi bahwa kecepatan agitasi yang optimum dalam pembentukan produk akhir diperoleh dari percobaan skala kecil dan data ini digunakan untuk mendapatkan kecepatan agitasi pada skala besar yang membutuhkan tenaga per unit volume PgV yang sama Wiseman 1977.

1.2 Identifikasi Masalah