Pengaruh perbedaan rasio CN terhadap pH cairan kultivasi dapat dilihat pada Gambar 13. Secara keseluruhan pada kelima komposisi media pH larutan
mengalami kenaikan dari nilai pH awal yaitu antara 7,13 – 8,20. Rentang pH tersebut masih dalam rentang pH pertumbuhan yang optimum bagi B
thuringiensis yaitu 5,5 – 8,5 Benhard dan Utz 1993. Pada jam ke-3, yang
merupakan tahap pertama pertumbuhan, seluruh cairan kultivasi kelima komposisi media mengalami kenaikan pH yang berkisar antara 7,40 hingga 7,90.
kenaikan pH disebabkan oleh dilepaskannya amonia sebagai hasil metabolisme urea. Menurut Sneath 1986, Bacillus thuringiensis memang diketahui memiliki
enzim urease. Selain itu kenaikan pH terjadi karena dan adanya proses deaminasi substrat protein dalam medium Rahayuningsih 2003.
Penurunan pH kemudian terjadi pada jam ke-6 dimana mulai terjadi pembentukan asam organik karena pemanfaatan karbohidrat oleh B. thuringiensis
menghasilkan asam organik seperti asam piruvat dan asam asetat Norris 1971, selanjutnya pH naik kembali hingga jam ke-12. Peningkatan kembali nilai pH
selama fasa stasioner disebabkan oleh pemanfaatan kembali asam asetat yang terakumulasi dalam medium untuk memproduksi poli-l3-hidroksibutirat PHS
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai energi selama proses sporulasi Tirado- Montiel et al. 2001.
Fluktuasi nilai pH cairan kultivasi kelima komposisi masih terjadi hingga jam ke 36 dengan nilai kisaran pH antara 7,80 dan 8,10.
Setelah
jam ke 36 pH media pengalami penurunan karena adanya akumulasi dari hasil katabolisme
glukosa. Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 5 pada tingkat kepercayaan
95 menunjukan bahwa pengaruh rasio CN terhadap hasil pengukuran pH pada setiap jam pengamatan berbeda nyata, demikian pula interaksi antara keduanya
berpengaruh secara signifikan. Dengan demikian berdasarkan perubahan pH yang terjadi kelima komposisi rasio diatas masih dapat digunakan untuk pertumbuhan
Bt.
4.4.2 Pertumbuhan
Bacillus thuringiensis
Umumnya bakteri dapat memperbanyak diri dengan pembelahan biner, yaitu dari satu sel membelah menjadi dua sel baru. Pertumbuhan mikroba
dibedakan antara pertumbuhan masing-masing individu sel dan pertumbuhan kelompok sel atau pertumbuhan populasi. Pertumbuhan Bacillus thuringiensis
selama kultivasi diartikan sebagai pertumbuhan populasi. Pengukuran pertumbuhan populasi dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel hidup atau
massa sel berat kering sel. Jumlah sel hidup dapat ditetapkan dengan metode total plate count
TPC atau colony count yaitu dengan cara ditaburkan pada medium agar sehingga satu sel hidup akan tumbuh membentuk satu koloni,
jumlah koloni dianggap setara dengan jumlah sel. Menurut Bideshi et al. 2010, jumlah sel hidup menunjukan total jumlah sel vegetatif, spora yang sedang
tumbuh dan jumlah spora, bukan menunjukan ukuran sel. Dalam biakan secara curah, pengamatan jumlah sel dalam waktu yang
cukup lama akan memberikan gambaran berdasarkan kurva pertumbuhan dimana terdapat fase-fase pertumbuhan. Menurut Wang et al. 1978 pertumbuhan
mikroorganisme pada media tertentu mempunyai empat fasa dalam kurva pertumbuhannya, yaitu fasa awal lag phase, yang diikuti fasa eksponensial, fasa
stasioner dan fasa penurunan death phase.
Gambar 14 Pertumbuhan sel vegetatif B. thuringiensis Pertumbuhan sel B. thuringiensis dalam kelima komposisi media Gambar
14 menunjukan pola yang hampir sama. Fase lag hanya terjadi pada media C3N. Media yang lain peertumbuhan sel mula-mula rata-rata berlangsung cepat hingga
jam ke-6. Kondisi ini dimungkinkan karena penggunaan sumber nitrogen dan
2 4
6 8
10 12
3 9
15 21
27 33
39 45
51 57
63 69
Ju m
la h
k o
lo n
i c
fu m
L x
1
8
Jam Pengamatan ke
C3N C5N
C7N C9N
C11N
karbon yang lebih sederhana dari media seperti gula-gula sederhana dan ion amonium. Pertumbuhan sel kemudian melambat dari jam ke-18 hingga jam ke-
36. Pertumbuhan melambat terjadi antara jam ke-36 sampai jam ke-48, hal ini dapat terjadi karena substrat sederhana telah mulai habis sehingga terjadi
penguraian sumber karbon dan nitrogen yang lebih komplek seperti pati dan protein. Menurut Rehm et al. 1999 B. thuringiensis menghasilkan enzim
ekstraseluler seperti ami lase, β-glukonase, dan protease untuk menguraikan pati
dan protein menjadi gula-gula sederhana dan asam amino. Pada tahap ini mungkin beberapa sel mulai mati. Setelah jam ke-48 jumlah koloni relatif tidak berubah
banyak. Pada kondisi ini sel tetap tumbuh tetapi jumlah sel yang mati juga semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel hidup hasil pembelahan sama
dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup relatif konstan. Dalam penelitian ini, Rasio C3N; C5N; C9N; dan C11N fase kematian hingga jam ke-72
hampir terlihat, sedangkan media C7N menunjukan penurunan jumlah sel dari mulai jam ke-48 sebesar 9,1 x 10
8
cfuml menjadi 8,9 x 10
8
cfuml pada jam ke- 72.
Jumlah sel total selama masa kultivasi rata-rata diperoleh antara 0,58 x 10
8
cfuml dan 10,75 x 10
8
cfuml, jumlah sel tertinggi diperoleh pada jam ke 48-72 dengan capaian terendah diperoleh dari media C3N yaitu 8,85 x 10
8
cfuml dan total jumlah sel tertinggi diperoleh dari media C9N yaitu 10,75 x 10
8
cfuml. Berdasarkan analisis ragam uji F Lampiran 5 pada menunjukkan bahwa
pengaruh perbedaan rasio CN terhadap pengukuran jumlah koloni pada setiap jam pengamatan dengan tingkat kepercayaan 95 sangat berbeda nyata,
demikian pula interaksi antara rasio CN dan jam pengamatan pada tingkat kepercayaan 95 berbeda nyata.
Pertumbuhan sel juga dapat diukur dari massa selnya atau secara tidak langsung dengan mengukur turbiditas cairan medium tumbuh. Massa sel dapat
dipisahkan dari cairan mediumnya menggunakan alat sentrifus, dicuci dengan air dan dikeringkan dengan pemanasan pada suhu 80
o
C selama 4-5 jam hingga diperoleh bobot yang konstan. Umumnya bobot kering bakteri adalah 10-20 dari
berat basahnya Wang et. al. 1979. Bobot kering biomassa mengukur sel hidup,
sel mati, spora dan bahan lain yang tidak larut seperti serat kasar yang terdapat
dalam ampas tahu. Pengaruh komposisi media terhadap bobot biomassa kering dapat dilihat
pada Gambar 15. Dalam kelima komposisi media Bt dapat tumbuh dengan baik. Kurva pertumbuhan bakteri selama 72 jam rata-rata mengalami kenaikan.
Pertumbuhan dengan cepat terjadi pada jam ke-0 dengan bobot kering sel antara 0,91 dan 1,39 gr hingga jam ke-12 dengan bobot antara 4,79 dan 6,97 gr dimana
bobot terendah diperoleh dari media C9N. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sel Bt pada fase awal dapat langsung beradaptasi dengan media kurang dari 3 jam.
Selanjutnya bakteri mengalami fase eksponensial dengan memanfaatkan sumber karbon dan nitrogen sederhana dalam media. Pada jam 12-18 rata-rata
pertumbuhan mengalami penurunan, ini dimungkinkan karena telah habisnya substrat sederhana dalam media dan bakteri melakukan konversi substrat komplek
oleh bakteri menjadi substrat yang lebih sederhana. Kondisi ini dikuatkan oleh kondisi selanjutnya dimana terjadi kembali kenaikan bobot biomassa kering diatas
jam ke-18 dan 24. Keadaan stasioner terjadi di atas jam ke-24 yang diikuti oleh fase penurunan pada mulai jam ke-36 dan 48. Penurunan bobot kering sel diakhir
waktu pengamatan dimungkinkan karena berkurangnya substrat, karena dari pengukuran sel hidup pada akhir waktu pengamatan jumlah sel hidup tidak
mengalami penurunan.
Gambar 15 Perkembangan bobot biomassa kering sel
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
B o
b o
t k
e ri
n g
b io
m a
ss a
g L
jam Pengamatan ke-
C3N C5N
C7N C9N
C11N
4.4.3 Total gula sisa
Gula merupakan hasil metabolisme karbohidrat yang digunakan untuk aktivitas pertumbuhan dan pembentukan metabolit sekunder oleh mikroba.
Bernhard dan Utz 1993, menyatakan bahwa semua galur Bt mampu menghasilkan enzim amilase
yang akan memecah pati menjadi gula-gula sederhana, sehingga dapat
digunakan langsung sebagai media kultivasi.
Glukosa dalam sel akan mengalami oksidasi untuk menghasilkan ATP, asam-asam dan energi. Pengolahan glukosa menjadi ATP berlangsung di dalam
sel melalui respirasi selular yang melibatkan empat jenis reaksi yaitu glikolisis, pembentukan asetil koenzim A, siklus Kreb dan rantai transport elektron Tortora
dan Derrickson 2009. Hubungan total gula sisa dan pertumbuhan sel dijelaskan Gambar 16,
secara selama kultivasi total gula mengalami penurunan. Pada awal kultivasi kadar gula masih tinggi yaitu 18,32 – 18,76 gL. Penurunan kadar gula pada
masing-masing komposisi media selanjutnya menunjukan pola yang berbeda bila dibandingkan dengan fase pertumbuhan Bt. Pada fase eksponensial yaitu sampai
jam ke-6 dimana media C3N penurunan gula masih sedikit, sedangkan pada keempat media yang lain terjadi sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena
pemanfaatan sumber N masih lebih dominan dibanding sumber C karena media C3N memiliki kadar nitrogen yang lebih tinggi dibanding keempat media yang
lain. Kondisi ini dibuktikan dengan adanya kenaikan pH cairan kultivasi C3N yang lebih besar dibanding keempat media yang lain Gambar 13.
Pada fase berikutnya penurunan gula berjalan relatif lambat mulai jam ke- 9 hingga jam ke-36, hal ini disebabkan karena amilase yang terbentuk masih
sedikit. Kondisi berbeda terjadi pada komposisi C11N yang memiliki kadar karbon paling tinggi, dimana penurunan kadar gula yang lambat hanya
berlangsung antara jam ke-18 dan ke-24. Hal ini diduga Bt menghasilkan amilase lebih awal sebagai adaptasi dengan media yang memiliki sumber C lebih banyak
dari ampas dan limbah cair tahu dibandingkan dengan sumber C dari urea. Kadar gula di akhir fermentasi mengindikasikan adanya pemanfaatan C dan N dari
organisme yang telah mati. Hal ini terbukti dengan tidak terlihatnya fase kematian pada kurva pertumbuhan sel.
Gambar 16 Hubungan total sel kultur Bt pada komposisi C3N a, C5N b, C7N c, C9N d, dan C11N e. Simbol:
total sel
■ total gula sisa
a
b
c
d
e
4.4.4 Pembentukan spora selama kultivasi
Sel vegetatif Bt terus memperbanyak diri hingga satu atau lebih jenis faktor pada media mulai berkurang, baik itu gula-gula sederhana, asam amino,
kadar oksigen, serta pH dan suhu yang ekstrim. Pada kondisi tersebut, bakteri memproduksi spora dan badan paraspora yang terutama mengandung satu atau
lebih delta endotoksin Federici et al. 2010, sedangkan menurut Kang et al. 1993 pada kultur curah spora terbentuk selama fase stasioner pertumbuhan sel.
Protein kristal akan lisis dari dinding sel pada akhir masa sporulasi, menurut Schnepf et al. 1998 beratnya kira-kira 20-30 berat kering sel.
Gambar 17 Pertumbuhan spora Bt selama kultivasi Pertumbuhan spora pada kelima komposisi media terlihat pada Gambar
17. Berdasarkan hasil viable spore count VSC, pada awal kultivasi jam ke-0 spora belum dapat teranalisa, meskipun mungkin dalam kultur yang
diinokulasikan terdapat spora. Koloni spora mulai tampak pada pengamatan jam ke-3. Pertumbuhan spora berjalan sangat cepat hingga jam ke-12 yang diikuti
dengan pertumbuhan yang lambat dan mencapai puncak pertumbuhan pada jam ke-36. Hal ini sesuai dengan
Sukmadi et al. 1996 bahwa pembentukan spora mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akan berakhir yaitu saat dimulainya fase
stasioner.
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5 4
4,5
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Ju m
la h
S p
o ra
x 1
8
c fu
m L
Jam Pengamatan ke-
C3N C5N
C7N C9N
C11N Ket :
C3N = C N : 3 1 C9N
= C N : 9 1 C5N = C N : 5 1
C11N = C N : 11 1 C7N = C N : 7 1
Kisaran jumlah spora pada jam ke-36 antara 1,4 x 10
8
cfuml dan 4,10 x 10
8
cfuml. Nilai VSC terendah diperoleh dari media C3N dan tertinggi dicapai oleh media C9N. Hal dapat terjadi karena berdasarkan nilai pH kultivasi media
C9N memiliki nilai perubahan pH yang ekstrim yang dapat memacu pertumbuhan spora. Pertumbuhan spora setelah jam ke-36 mengalami penurunan. Hal
kemungkinan terjadi karena terjadi perkecambahan spora menjadi sel vegetatif akibat konsumsi karbon dari sisa sel Bt yang telah mati. Terbukti dengan tidak
terlihatnya fase kematian pada grafik pertumbuhan sel Gambar 17. Pertumbuhan spora merupakan indikasi pembentukan delta endotoksin
sebagai produk aktif bioinsektisida. Informasi yang diperoleh dari tahap ini dapat digunakan untuk masa pemanenan dan uji daya toksisitas produk. Semakin besar
jumlah spora yang dihasilkan diharapkan semakin besar pula pembentukan delta endotoksin.
4.4.5 Kinetika kultivasi
Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme merupakan proses biokonversi dimana nutrisi kimia diumpankan dan diubah menjadi
sejumlah sel dan metabolit. Masing-masing konversi dapat dihitung melalui koefisien yield sebagai jumlah sel Y
NS
, produk Y
PS
, bobot sel Y
XS
yang dibentuk per unit masa nutrient yang dikonsumsi, dengan demikian maka
koefisien yield menunjukkan efisiensi biokonversi Wang et al. 1979. Tabel 11 Pengaruh komposisi media pada kinetika kultivasi
Parameter Formula Media
C
3
N C
5
N C
7
N C
9
N C
11
N N-max cfumL x 10
8
8,85± 0,06 9,95± 0,01
9,10± 0,05 10,75± 0,03
9,18± 0,06 P-max cfumL x 10
8
1,73± 0,03 3,35± 0,03
2,95± 0,04 4,1± 0,02
3,23± 0,03 µ
N
-max jam
-1
0,43± 0,02 0,25± 0,01
0,45± 0,01 0,55± 0,01
0,44± 0,04 q
P
-max jam
-1
0,19± 0,13 0,24± 0,04
0,29± 0,01 0,21± 0,07
0,23± 0,05 µ
X
-max jam
-1
8,85± 0,07 8,88± 0,03
8,40± 0,03 8,94± 0,02
9,04± 0,03 Y
NS
kolonig gula 0,45± 0,02
0,49± 0,02 0,55± 0,01
0,57± 0,01 0,41± 0,05
Y
PS
sporag gula 0,10± 0,00
0,17± 0,01 0,16± 0,01
0,17± 0,01 0,21± 0,01
Y
xS
g biomassag gula 0,51± 0,09
0,43± 0,02 0,44± 0,09
0,42± 0,03 0,50± 0,07
∆SSo 76,77± 0,0
82,47±0,03 85,08± 0,04
88,05± 0,0 86,99± 0,0
LC
50
mgL 1,45
10,78 0,90
3,27 15,19
Potensi toksisitasIUmg 5186
698 8356
2300 495
Hasil Perhitungan kinetika fermentasi kelima jenis formulai terlampir pada Tabel 11 Nilai tertinggi pertumbuhan sel terhadap konsumsi substrat Y
NS
diperoleh pada komposisi media C5N dan C7N, dimana 1 gram substrat menghasilkan masing-masing 0,55 kolonig substrat dan 0,57 kolonig substrat.
Sedangkan pertumbuhan spora terhadap konsumsi substrat Y
PS
paling besar pada C11N yaitu
0,21 sporag substrat. Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat
∆SSo selama proses kultivasi, rasio C9N menunjukan efisiensi paling besar yaitu 88,05. Berdasarkan data pada Tabel 11 substrat
dimanfaatkan bakteri untuk pertumbuhan sel. Uji Anova pada masing-masing parameter kultivasi diatas menunjukan perbedaan masing-masing parameter tidak
berbeda nyata terhadap perbedaan rasio CN. Laju pertumbuhan spesifik sel dan spora dapat dihitung berdasarkan massa
jumlah sel dan jumlah spora. Laju pertumbuhan spesifik sel dari kelima rasio CN menunjukan nilai yang bervariasi. Rasio C9N menunjukan nilai paling besar
dengan laju pertumbuhan maksimum pada jam ke-24 yaitu sebesar 0,55 jam
-1
, sedangkan laju pertumbuhan spesifik spora menunjukan nilai yang relatif sama
pada semua komposisi media dengan nilai laju spesifik tertinggi pada komposisi C7N pada jam ke-12 sebesar 0,29 jam
-1
. Kinetika hubungan antara pertumbuhan dan pembentukan produk
bergantung kepada peranan produk dalam metabolisme sel. Pola kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk terdiri dari tiga macam Wang et al.
1979, yaitu : 1.
sintesa produk selama pertumbuhan, sel biasanya merupakan produk langsung dari jalur katabolisme growth-associated product misalnya
fermentasi anaerobik glukosa menjadi etanol atau berupa produk antara misalnya asam amino
2. sintesa produk setelah pertumbuhan, yaitu dimana produk yang terbentuk
setelah pertumbuhan sel non growth associated product dinamakan metabolit sekunder, karena dihasilkan pada tahap setelah proses
pertumbuhan, seperti asam laktat, xhantam gum dan beberapa metabolit sekunder
3. Sintesis produk pada awal pertumbuhan sel produk tidak terbentuk,
tetapi pada beberapa saat kemudian produk mulai d ihasilkan sedangkan pertu mbu han sel berjalan terus Mixed-growth-associated product,
seperti pembentukan antibiotik Pada saat kondisi tidak seimbang dimana salah satu atau lebih jenis nutrisi
dalam media seperti gula, asam amino atau oksigen mengalami pengurangan untuk pertumbuhan, bakteri akan membentuk spora dan badan spora yang
mengandung satu atau lebih protein kristal akan diproduksi Bideshi et al. 2010.
4.4.6 Penentuan aktivitas bioinsektisida
Kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linier dengan jumlah yield spora Morris et al. 1996. Rendemen delta endotoksin per sel yang
bersporulasi dipengaruhi sangat kuat oleh kondisi kultivasi dan seleksi media, dimana komponen dari medium harus seimbang untuk memperoleh aktivitas
toksik terbaik per volume medium Scherrer et al. 1972. Selain kondisi kultivasi, konsentrasi glukosa pada media juga memegang peranan penting dalam
mementukan ukuran delta endotoksin yang dihasilkan. Hal ini juga sejalan
dengan Dulmage et al. 1990 bahwa jika konsentrasi glukosa dalam medium meningkat, maka kristal delta endotoksin akan meningkat ukuran dan potensinya.
Tabel 12 Pengaruh komposisi media pada daya toksisitasnya terhadap ulat kubis
Jenis Komposisi
Media
Mortalitas pada konsentrasi LC 50
mgL Potensi
IUmg 10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5
10
-6
10
-7
C3N 85
70 60
50 1,45
5186 C5N
70 60
45 35
10,78 698
C7N 85
75 65
50 0,90
8356 C9N
70 65
55 45
3,27 2300
C11N 70
70 50
45 15,19
495 NB
100 80
55 25
1,54 4883
Limbah cair tahu 70
50 30
10 18,70
402 Bactospeine WP
100 100
100 100
90 40
40 0,47
16000 Air suling
Standar USDA Larutan 1 gL
Pengujian hasil uji toksisitas masing-masing komposisi media tersaji pada Tabel 12. Melalui pengujian daya toksisitas ini asumsi awal bahwa
pertumbuhan delta endotoksin maksimal terjadi pada saat jumlah spora maksimum tidak dapat terpenuhi. Terbukti walaupun jumlah spora pada C5N
cukup besar tetapi daya toksisitasnya relatif kecil. Selanjutnya, Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa komposisi C7N memberikan daya toksisitas yang lebih
besar dibandingkan komposisi yang lain. Termasuk apabila dibandingkan dengan bioinsektisida yang dihasilkan dalam media kultivasi standar seperti NB. Hasil ini
sama dengan hasil penelitian Farrera et al. 1998 dimana kristal protein dihasilkan paling tinggi dalam rasio CN 7:1. Pada komposisi ini terjadi
keseimbangan asam basa media yang mendukung terbentuknya komplek spora- kristal dalam jumlah maksimum. Menurut Pearson dan Ward dalam
Rahayuningsih 2003, media yang mempunyai kandung protein tinggi seperti NB dapat menghambat sporulasi karena terjadinya pengaruh represi katabolit
nitrogen. Dengan demikian untuk kultivasi dalam bioreaktor selanjutnya digunakan komposisi media C7N.
Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian lain Tabel 13 yang dilakukan oleh Aryani 2011 dengan menggunakan serangga sasaran yang
sama hasil ini lebih kecil, tetapi masih menunjukan daya toksisitas yang lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian Afriatni 2003, dan Sarfat 2010.
Tabel 13 Daya toksisitas Bt pada ulat kubis dalam berbagai media fermentasi
Hasil Penelitian
Media Galur Bt
Hama sasaran
LC
50
mgL
Afriatni 2003
Glukosa, NH
4 2
SO
4
kurstaki Ulat
kubis 19,22 -1,65
Sarfat 2010
Limbah industri tahu, Urea
aizawai Ulat
kubis 1,34 - 45636,00
Aryani 2011
Limbah cair tahu, air kelapa, urea
aizawai Ulat
kubis 0,01
4.5 Kultivasi Bt pada bioreaktor 3 L
Kultivasi pada bioreaktor dilakukan menggunakan komposisi media CN 7:1, yang memberikan uji toksisitas paling baik pada saat tahap penentuan media.
Perubahan pH pada kultivasi Bt dalam bioreaktor berkisar antara 7,55 - 8,30 Gambar 18, kisaran ini masih dalam range pH pertumbuhan optimum Bt.
Penurunan pH di awal fermentasi menunjukan konsumsi karbon oleh Bt untuk pertumbuhan sel. Pembentukan spora yang sangat pesat juga sudah dapat dilihat
pada fase ini. Kadar kalsium yang tinggi dalam media diperkirakan memacu pertumbuhan spora lebih awal.
Fase ekponensial terjadi sampai jam ke-24 yang diikuti oleh fase stasioner hingga jam ke-36, selanjutnya sel mengalami fase kematian hingga jam ke-72.
Peningkatan jumlah spora terus meningkat dan berkontribusi pada bobot biomassa kering, dimana hingga jam ke 72 bobot biomassa kering terus bertambah
walaupun jumlah sel menurun Gambar 18.
Gambar 18 Parameter kinetika kultivasi pada bioreaktor 3 L, pH
a, gula sisa dan pertumbuhan sel b, pertumbuhan spora c. Simbol:
pH
▲
total gula sisa ■
biomassa kering
total sel
spora
2 4
6 8
10 12
14
p H
2 4
6 8
10 12
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Ju m
la h
k o
lo n
i c
fu m
L .
x 1
8
B o
b o
t k
e ri
n g
b io
m a
ss a
g L
S is
a t
o ta
l g
u la
g L
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Ju m
la h
s p
o ra
x 1
8
c fu
m L
Jam pengamtan ke-
a
b
c