18
27 30
33 36
39 42
30 120
210 300
390 480
570
S u
h u
°C
Menit Ke-
percobaan 6 percobaan 7
percobaan 8 percobaan 9
percobaan 10 27
30 33
36 39
42
30 120
210 300
390 480
570
S u
h u
°C
Menit ke-
percobaan 1 percobaan 2
percobaan 3 percobaan 4
percobaan 5 Tabel 5. Perbandingan persentase selisih kadar minyak dan rendemen db
Ahmad 2010 Kelompok A
Kelompok B Persentase selisih
25,55 ± 15,41 25,83 ± 5,20
20,66 ± 4,65 Jika dibandingkan dengan penelitian Ahmad 2010 kualitas penyulingan di IKM
Wanatiara saat ini relatif lebih bailk dan stabil hal ini terlihat pada Tabel 5 dimana persentasi selisih kadar minyak dengan rendemen rata-rata pada tahun 2010 memiliki nilai yang relatif sama
20-25 tetapi memiliki simpangan baku lebih besar tiga kali lipat. Jika yang dibandingkan adalah nilai dari selisih kadar minyak dan rendemendb terlihat sangat signifikan yaitu 0,68
untuk penelitian Ahmad ; 0,46 untuk kelompok A dan 0,38 untuk kelompok B. Semakin banyak minyak yang tersuling maka semakin tinggi pula kemungkinan minyak yang terbuang
pada proses pemisahan di dalam separator.
b. Suhu Distilat
Suhu distilat sangat dipengaruhi oleh kemampuan kondensor dalam menyerap panas. Kondensor yang digunakan pada uj kinerja ini adalah kondensor spiral berbahan stainless yang
diletakan di dalam bak. Selama proses penyulingan air dingin dialirkan ke dalam bak dengan suhu relatif stabil yang memiliki nilai rata-rata 26°C dan laju rata-rata 18 litermenit sedangkan suhu
air yang keluar dari bak cenderung meningkat selama proses penyulingan. Suhu distilat rata-rata yang dihasilkan adalah 32°C untuk kelompok A dan 38°C pada
kelompok B. Suhu ini jauh dibawah suhu distilat yang diharapkan dari suhu optimal disain prototipe separator IPB. Menurut Soesanto 2010 suhu distilat yang digunakan dalam merancang
prototipe separator IPB ini adalah 45°C. Suhu distilat pada setiap penyulingan cenderung selalu meningkat. Suhu distilat yang didapat dari keseluruhan data berada pada kisaran 27,8-42,7°C
dengan suhu rata-rata 34°C. Hal ini akan berhubungan dengan jumlah loss yang menjadi perhatian utama pada penelitian ini.
Gambar 12a. Perubahan suhu distilat selama evaluasi kinerja prototipe separator IPB
19
27 30
33 36
39 42
30 120
210 300
390 480
570 660
S u
h u
°C
Menit ke-
percobaan 11 percobaan 12
percobaan 13
percobaan 14 percobaan 15
27 30
33 36
39 42
30 120
210 300
390 480
570 660
S u
h u
°C
Menit Ke-
percobaan 16
percobaan 17 percobaan 18
percobaan 19 percobaan 20
Gambar 12b. Perubahan suhu distilat selama evaluasi kinerja prototipe separator IPB Pada Gambar 12 terlihat percobaan 15 memiliki peningkatan suhu distilat terendah
sedangkan peningkatan suhu distilat tertinggi terjadi pada percobaan 12. Pada Tabel 6. peningkatan rata-rata suhu distilat selama pengamatan adalah 4,2°C pada kelompok A dan 5,4°C
pada kelompok B. Nilai peningkatan tertinggi hanya 10°C sedangkan pada penelitian Ahmad 2010 peningkatan rata-rata suhu distilat adalah 21°C dengan nilai peningkatan tertingi 31°C.
Tabel 6. Perbandingan peningkatan suhu distilat Peningkatan Suhu distilat °C
Tertinggi Terendah
Rata-rata Ahmad 2010
38 – 69
38-40 21 ± 8,9
Kelompok A 30
– 40 30-32
4.2 ± 1,2 Kelompok B
30 – 39
32-37 5,4 ± 2,0
Perbedaan yang mencolok ini dikarenakan berbedanya kemampuan kondensor yang digunakan. Pada penelitian Ahmad 2010 digunakan dua kondensor yang masing-masing hanya
berdiameter 30 cm sedangkan kondensor yang digunakan pada penelitian ini berdiameter 2 meter. Kondisi kondensor yang besar disertai bak kondensor yang dapat menampung air pendingin
sebesar 30.000 liter terbukti optimal hal ini terlihat pada suhu air pendingin keluar dan suhu distilat yang relatif dingin Gambar 13. Akan tetapi karena kondensor ini juga suhu distilat ideal
yang diharapkan senilai 45°C tidak bisa tercapai.
20
24
29 34
39 44
49
30 120
210 300
390 480
570 660
S u
h u
°C
Menit ke-
T air pendingin
masuk
T air pendingin keluar
T distilat
Gambar 13. Perbandingan suhu air pendingin dan distilat pada percobaan18 Selain suhu distilat, dalam penelitian ini juga diukur suhu ruang di dalam separator.
Suhu ruangan separator ini diterjemahkan sebagai suhu pada saat terjadi proses pemisahan. Suhu separator ini dibaca pada termometer analog yang terpasang di dinding atas separator. Pada
Gambar 14 terlihat konstan suhu distilat masuk lebih besar dari suhu distilat keluar dan suhu distilat keluar lebih besar dari suhu separator. Hal ini dikarenakan volume separator yang besar
sehingga distilat yang masuk bisa tercampur dengan distilat sebelumnya yang memiliki suhu lebih rendah atau lebih tinggi sesuai dengan suhu distilat sebelumnya.
Gambar 14. Perbandingan suhu distilat masuk, distilat keluar, dan suhu separator percobaan 18 Kondisi ini berbeda dengan penelitian Ahmad 2010 dimana suhu yang terbaca di
termometer separator terkadang memiliki nilai tertinggi dan terkadang diantara suhu distilat masuk dan suhu distilat keluar Lampiran 7. Hal ini dikarenakan suhu distilat masuk yang sangat
fluktuatif sehingga suhu di dalam separator ketika diukur sangat dipengaruhi oleh suhu distilat sebelumnya. Termometer yang dipasang juga posisinya tidak berada di silinder dalam yang
didisain sebagai tempat pertama kali masuknya distilat dan proses separasi melainkan diletakan diatas bagian kerucut separator yang menjadi tempat terkumpulnya minyak dan distilat
sebelumnya.
c. Laju Distilat