47 belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan
aktual sebesar 14.539 kgtahun dengan upaya 1.400 triptahun yang tidak melebihi dari nilai rezim pengelolaan MSY.
C. Rezim Pengelolaan Open Access
Rezim pengelolaan yang bersifat open access merupakan sistem perikanan yang tidak asing lagi bagi sumberdaya perikanan, hal tersebut terlihat di Teluk
Banten dimana para pelaku perikanan yang mendapatkan izin menangkap ikan dapat melakukan operasi penangkapan. Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan
di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY. Pada kondisi rezim pengelolaan MEY hasil
tangkapan maksimum yang didapat sebesar 37.927,21 kg dengan upaya sebesar 33.535 sedangkan pada kondisi MSY hasil tangkapan maksimum yang didapat
sebesar 38.036,41 kg dengan upaya sebesar 35.434 triptahun. Akan tetapi hasil tersebut berkebalikan dengan kondisi pada rezim pengeloaan Open Access yaitu
dengan upaya yang jauh lebih tinggi sebesar 67.070 triptahun menghasilkan hasil tangkapan sebesar 7.715,22 kgtahun serta rente ekonomi yang berkebalikan yakni
bernilai nol. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu
untuk memperoleh keuntungan secara fisik biologi dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik
MEY.
4.2. Pembahasan
Model surplus produksi yang didasarkan pada keseimbangan biomassa homogen ikan di suatu perairan yang digunakan pada penelitian ini terdapat lima
model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan model Clarke Yoshimoto Pooley
. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer 1954 in Widodo dan Suadi 2008 menyebutkan bahwa salah
satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Artinya dalam suatu perairan tidak dilakukan analisis secara rinci mengenai
kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang terjadi di suatu wilayah perairan.
48 Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun, dinamika yang
terjadi secara alami di suatu perairan khususnya Teluk Banten adalah seimbang atau dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis.
Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu tahunan untuk dapat mengaplikasikan model ini.
Hasil wawancara oleh tiga puluh orang nelayan di Karangantu yang menangkap rajungan di Teluk Banten menunjukkan bahwa musim penangkapan
rajungan di perairan Teluk Banten terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari
dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September – November. Musim
paceklik terjadi pada bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung
oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011
Berdasarkan perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masing- masing model surplus produksi maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang mirip
dengan grafik tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley.
Jika dilihat dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi maka nilai R
2
paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu sebesar 0,9826. Hasil tersebut hampir mendekati dengan penelitian terdahulu yaitu
oleh Pasisingi 2011 dengan nilai R
2
pada model CYP untuk rajungan di Teluk Banten sebesar 0,9897. Menurut pendapat Pindyck dan Rubnfield 1998 in Aminah
2010 bahwa nilai determinasi atau R
2
lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit
dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R
2
menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa model CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada
perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten. Sedangkan untuk nilai tangkapan maksimum lestari pada model CYP diperoleh sebesar 38.036,41 kg
dengan upaya optimum sebesar 70.867 trip. Analisis bioekonomi yang digunakan pada sumberdaya rajungan di Teluk
Banten diperoleh dari hasil perhitungan pada model Clarke Yoshimoto Pooley. Rezim pengelolaan yang dipakai yaitu MEY, MSY, dan Open Access. Menurut
Anderson dan Seijo 2010 bahwa maximum economic yield MEY dapat dicapai
49 apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan
produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol.
Analisis bioekonomi yang telah dilakukan, ditunjukkan dengan nilai yang paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY,
sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY. Analisis MEY lebih menekankan pada keuntungan maksimum namun tetap terjaga kelestarian
sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar 35.434
triptahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp 984.851.819,00 hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim
pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp 988.018.525,00. Analisis bioekonomi pada kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila
dibandingkan dengan kondisi aktual dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai
hasil tangkapan aktual sebesar 14.539 kgtahun dengan upaya 1.400 triptahun tidak melebihi dari nilai MSY sebesar 38036,41 kgtahun. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar 1400 triptahun menghasilkan rente ekonomi
sebesar Rp 416.961.017,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar 33.535 triptahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00 , hal
ini berarti bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic overfishing
. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial ada pada rezim MEY. Rezim MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan
kepemilikan yang jelas atau disebut “sole owner” Fauzi 2010. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik biologi dan ekonomis untuk kelestarian
sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY Anderson Seijo 2010. Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan
di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY yaitu sebesar 66.573 triptahun. Akan tetapi
dengan upaya yang jauh lebih besar menghasilkan rente ekonomi yang berkebalikan yakni bernilai nol.
50 Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Gordon in Fauzi 2010 bahwa effort
yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi
rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Hasil
tangkapan rajungan pada kondisi rezim open access jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual maupun pada rezim MSY dan MEY yaitu sebesar 7.715,22
kgtahun. Menurut pernyataan Widodo dan Suadi 2008 bahwa pengelolaan perikanan
membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan stakeholder, dan penetapan berbagai tujuan dan
strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi aturan mainnya. Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan
sumberdaya rajungan di Teluk Banten melalui analisis bioekonomi menunjukkan bahwa saat ini belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing.
Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu mengenai studi pertumbuhan rajungan di perairan Teluk Banten oleh Diskibiony 2012. Hasil yang didapatkan
oleh penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju eksploitasi rajungan di Teluk Banten sebesar 0,4847 atau 48,47. Nilai laju eksploitasi ini dibawah nilai
eksploitasi optimum sebesar 0,5 artinya tidak adanya indikasi tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok rajungan di Teluk Banten.
Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya dukung lingkungan maka dibutuhkan monitoring berupa upaya pengelolaan atau
kebijakan melalui total allowable catch TAC atau dikenal dengan istilah jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80
dari tangkapan maksimum lestari berdasarkan hasil perhitungan pada model Clark Yoshimoto Pooley
dan rezim pengelolaan MSY. Maka JTB untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar 30.429,13
kgtahun. Nilai JTB ini apabila dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan maksimum berdasarkan rezim yang paling efisien yaitu rezim MEY senilai
37.927,21 kg lebih rendah dikarenakan untuk menghindari kesalahan perhitungan pada rezim MEY. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi yang
51 berlebihan over estimate dan diharapkan dapat menjamin kelestarian dan
ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort alat tangkap pada ukuran mata jaring berdasarkan
umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY. Menurut Kumar et al.
2000 in Firman 2008 rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan
umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12
bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina
umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. Berdasarkan kondisi
tersebut, rajungan yang boleh ditangkap oleh nelayan di Teluk Banten adalah rajungan yang telah melewati masa matang gonad yaitu yang berukuran melebihi
90mm. Hal ini berarti bahwa para nelayan harus mengatur ukuran mata jaring agar dapat menangkap rajungan yang berukuran menebihi 90mm. Menurut Rounsenfell
1975 in Setriana 2011 rajungan yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm.
52
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian dengan pengujian melalui lima model surplus produksi, model Clarke Yoshimoto Pooley
yang paling sesuai untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten dengan nilai koefisien determinasi R
2
sebesar 0,9826. Hasil tangkapan maksimum lestari pada model CYP sebesar 38.036,41 kg dan upaya optimum
sebesar 70.867 trip. Berdasarkan analisis bioekonomi menggunakan rezim pengelolaan MEY, MSY, serta Open Access maka dapat dikatakan bahwa
sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual
sebesar 14.539 kgtahun dengan upaya 1.400 triptahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 sehingga kondisi ini tidak melebihi dari nilai hasil
tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar 38.036,41 kgtahun dan upaya pada rezim pengelolaan MEY sebesar 33.535 triptahun yang menghasilkan rente
ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00. Upaya pengelolaan untuk sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten yaitu dengan cara menerapkan TAC
Total Allowable Catch yang bernilai 80 dari hasil tangkapan maksimum lestari berdasarkan model CYP atau rezim MSY yaitu sebesar 30.429,13 kgtahun. Selain
itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort alat tangkap pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini
diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY.
5.2. Saran
Model surplus produksi dan analisis bioeknomi perlu dievaluasi setiap tahun, karena kondisi sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten serta
kondisi perairannya tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, perlu adanya analisis mengenai aspek reproduksi di penelitian selanjutnya agar dapat
mengaplikasikan pola musim penangkapan rajungan.