Standarisasi Upaya Penangkapan Analisis Bioekonomi

25

3.2. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tulis, peta wilayah Karangantu, daftar pertanyaan kuesioner, dan alat dokumentasi kamera.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara para nelayan di Pelabuhan PPN Karangantu dengan mengguunakan media kuisioner Lampiran 1 antara lain untuk mengetahui: 1. Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip 2. Rata-rata biaya operasi penangkapan per trip 3. Rata-rata pendapatan per trip 4. Jumlah trip selama satu tahun 5. Musim dan daerah penangkapan 6. Dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mendokumentasikan keadaan lokasi penelitian dan deskripsi profil. Sedangkan, data sekunder terdiri dari kondisi umum perairan Teluk Banten, upaya penangkapan dan data produksi rajungan selama tujuh tahun terakhir 2005- 2011. Data sekunder tersebut diperoleh dari studi literatur, laporan statistik dan tahunan PPN Karangantu, Serang, Banten.

3.4. Teknik Analisis

3.4.1. Standarisasi Upaya Penangkapan

Standarisasi terhadap alat tangkap bertujuan untuk menyeragamkan satuan- satuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Pada umumnya pemilihan suatu alat tangkap standar didasarkan pada dominan tidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerah serta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks FPI = 1 Tampubolon dan Sutedjo 1983 in Tinungki 2005. Adapun nilai fishing power indeks FPI jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch 26 per unit effort CPUE alat tangkap lain dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut. ...............................................................................................3.4.1.1 ....................................................................................3.4.1.2 ......................................................................................3.4.1.3 Upaya standar = FPI fi dengan CPUEs merupakan hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar, CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, Cs merupakan jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar, Ci adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap i, fs adalah jumlah upaya jenis alat tangkap standar, fi adalah jumlah upaya jenis alat tangkap i, FPIs adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar, sedangkan FPIi adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap i.

3.4.2. Model Surplus Produksi

Model surplus produksi bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Struktur umum model surplus produksi adalah hubungan yang dinyatakan sebagai berikut: Biomasa t+1 = Biomasa t + produksi – kematian alamiah Ketika produksi lebih besar dibandingkan kematian alamiah, maka stok akan bertambah, sedangkan stok akan berkurang bilamana kematian alami meningkat. Model surplus produksi digunakan untuk menyatakan perbedaan antara produksi dan kematian alamiah Tinungki 2005. Lima model yang akan digunakan dan dicobakan dalam penelitian ini adalah model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Model surplus produksi yang telah dikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam data runut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan rajungan Portunus pelagicus yang dilakukan oleh nelayan di perairan Teluk Banten yang kemudian didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Berikut adalah 27 persamaan matematik masing-masing model surplus produksi yang digunakan untuk menduga tangkapan maksimum lestari MSY dan upaya optimum penangkapan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel:

A. Model Schaefer 1954

Model linear Schaefer seperti pada 2.3.10 adalah . Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Pada model Schaefer, regresi pertama yang dilakukan adalah: Y = c t X 1 = f t X 2 = f t 2 Sedangkan regresi kedua: Y = CPUE X = f t Parameter K, q, dan r diperoleh dari hasil yang dilakukan pada regresi kedua, yaitu: Keterangan: c t : Tangkapan tahun ke-t f t : Upaya penangkapan tahun ke-t CPUE t : Hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t c t f t r : Parameter pertumbuhan K : Daya dukung lingkungan q : Koefisien penangkapan MSY : Tangkapan Maksimum Lestari Maximum Sustainable Yield f opt : Upaya tangkapan optimal

B. Model Fox 1970

Persamaan model Fox seperti pada 2.4.1 adalah . Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: 28 Pada model Fox, regresi pertama yang dilakukan sama dengan regresi yang dilakukan oleh model Schaefer, begitu pula untuk memperoleh parameter K, q, dan r. Pada model ini, yang membedakan adalah regresi kedua, berikut ialah regresi kedua pada model Fox: Y = lnCPUE t X = f t

C. Model Walter Hilborn 1976

Persamaan model Walter Hilborn seperti pada 2.5.4 adalah . Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:

D. Model Schnute 1977

Persamaan model Schnute seperti pada 2.6.4 adalah . Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah: 29

E. Model Clarke Yoshimoto Pooley CYP 1992

Persamaan model CYP seperti pada 2.7.1 adalah: untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:

3.4.3. Analisis Bioekonomi

Dalam penelitian ini data dianalisis dengan pendekatan analisis bioekonomi Gordon-Shaefer. Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan optimum bagi pelaku eksploitasi sumberdaya perikanan Susanto 2006. Analisis bioekonomi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan dan tingkat pemanfaatan stok pada kondisi perikanan lestari MSY serta potensi ekonomi yang dikenal maximum economic yield MEY, sehingga diketahui apakah terjadi perubahan profitability atau rente ekonomi dari aktivitas penangkapan rajungan yang menerapkan kebijakan minimum legal size. Secara umum analisis bioekonomi dapat menggunakan rumus pada Tabel 1. Untuk menghitung persamaan dalam Tabel 1 diperlukan data sebagai berikut: c = Rata-rata biaya per satuan upaya Rptrip E = Jumlah upaya dari seluruh alat tangkap rajungan triptahun K = Daya dukung lingkungan p = Rata-rata harga rajungan Rpkg q = Koefisien penangkapan 30 TR = p c TC = c E Tabel 1. Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan Variabel Rezim Pengelolaan MEY MSY OA Hasil Tangkapan H Tingkat Upaya E Rente Sumberdaya Sumber: Fauzi 2010 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten

Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49’45’’- 06 o 02’00’’LS dan 106 o 03’20’’- 106 o 16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran Suadela, 2004. Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0,2 - 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua Tiwi, 2004. Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg 1999 in Pasisingi 2011 juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970. Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 Tiwi, 2004. Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km 2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.